Thursday 1 December 2016

Mempertanyakan Nasionalisme Ummat Islam di Indonesia


Oleh: Hasanuddin Tosimpak

Kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia saat ini sedang mengalami cobaan yang besar juga berat, besar karena konflik ini telah melibatkan hampir seluruh elemen anak bangsa, berat karena bangsa Indonesia belum bisa menemukan formula yang tepat untuk menanggulangi konflik tersebut, bisa dikatakan ini penyakit stadium tiga, satu tingkat diatasnya maka mungkin saja negara Indonesia tinggal nama. Apakah baru kali ini masyarakat Indonesia mengalami konflik?, tentu tidak, bangsa Indonesia sudah kenyang akan dinamika sejak orde lama hingga saat ini, namun pekerjaan yang belum terselesaikan adalah mencari penawar penyakit kambuhan tersebut.

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kemajemukan tinggi di dunia, karena kemajukan inilah maka Indonesia merupakan Negara yang sangat rentan dengan terjadinya konflik, sejak awal kemerdekaan, bagaimana susahnya menyatukan pemuda-pemuda yang memiliki perbedaan budaya, bahasa, warna kulit, hingga kemudian tonggak sejarah itu diikrarkan pada 28 oktober 1928, dinamika tidak berhenti sampai disitu, setelah merdeka sangat banyak hal yang merintangi persatuan dan kesatuan yang ingin diwujudkan oleh bangsa Indonesia. Hingga yang apa yang tersaji hari ini di depan kita, telah sampai pada titik nadir kehidupan berbangsa dan bernegara, dan lagi-lagi bukannya mencari jalan keluar dari permasalahan yang terjadi, namun membiarkan hal ini berlarut-larut, menghabiskan energi setiap individu anak bangsa. Permasalahan yang awalnya sederhana, sudah memiliki aturan hukum yang jelas namun dibiarkan menjadi bola panas yang berlari kesana-kemari lalu membakar apa saja yang tersentuh olehnya, polemik yang awalnya hanya terjadi di ibu kota sana, sekarang telah merambat ke seluruh wilayah, salah siapa ini?, aparatur negara?, pihak berwenang?, tidak, mereka semua cuci tangan, tidak mau disalahkan, maka perlu ada yang dikambinghitamkan, lagi-lagi bangsa Indonesia tidak belajar dari kesalahan-kesalah terdahulu.

Para pemeluk agama yang meminta keadilan karena agamanya dihina, yang kemudian menghimpun kekuatan karena permintaan mereka tidak digubris oleh pihak berwenang, dianggap akan melakukan makar terhadap pemerintah, ingin menggulingkan presiden, maka kemudian muncul pelarangan-pelarangan terhadap aksi-aksi yang akan dilakukan, pelarangan ini semakin nyata karena pihak berwenang turun tangan langsung, seperti pelarangan terhadap perusahaan transportasi  yang akan mengangkut peserta aksi, juga penyuluhan-penyuluhan yang dilakukan oleh aparat-aparat sektor kepada masyarakat agar mengurungkan niat mereka berangkat ke ibu kota, maka kemudian timbul anggapan bahwa aksi yang akan dilakukan adalah upaya untuk makar dan mengganggu stabilitas nasional, apakah ini adalah bentuk tuduhan kepada ummat islam, sebagai pihak yang telah membuat semua keributan ini?, apakah ummat islam ingin berbuat makar?. Soal tuduhan makar, ummat islam indonesia sudah kenyang akan dakwaan tersebut. [Sejak pengesahan undang-undang anti subversi[1] yang diumumkan dengan resmi oleh Presiden Sukano pada tahun 1963 sebagai Penetapan Presiden No. 11/1963 hingga kemudian undang-undang ini diberikan pakaian baru pada era DPR orde baru dengan nama UU 11/PnPs/1963[2], dengan adanya undang-undang pemberantasan kegiatan subversi, pihak keamanan ketika itu dalam hal ini KOPKAMTIB dapat membawa siapa saja yang disinyalir dapat membahayakan ideologi pancasila ke meja hijau berdasarkan undang-undang anti subversi tersebut[3]]. Kemudian  kasus Tanjung Priok yang jelas-jelas merupakan usaha untuk menyudutkan ummat islam di Indonesia, tidak membuat ummat islam melawan pemerintah, padahal sudah jelas bahwa ummat islam yang menjadi korban tragedi itu berjumlah kurang lebih [400 orang[4]], [laporan Far Eastern Economic pada tanggal 22 november 1984, menyebutkan bahwa jumlah korban mencapai ratusan orang, , sementara orang yang selamat dalam peristiwa tersebut menaksir jumlah yang meninggal mencapai enam ratus orang][5], [tokoh-tokoh muslim seperti AM Fatwa[6], Salim Qadir, Prof. Oesmany Al Hamidi, mereka diadili dibawah tekanan penguasa pada saat itu, kemudian dijatuhi hukuman 18-20 tahun penjara][7]. Lalu apakah kemudian ummat islam melakukan perlawanan terhadap pemerintah?. Kemudian penerapan asas tunggal pancasila yang dilakukan oleh orde baru, lalu memberikan label “anti pancasila” kepada mereka yang tidak patuh, membuat puluhan bahkan ratusan tokoh dan aktivis muslim berurusan dengan pihak berwajib, lagi-lagi dengan alasan menjaga stabilitas nasional “perlu” dibuat musuh negara, dan itu ditujukan kepada ummat islam.

Mungkin aparat lupa dengan semangat jihad yang digelorakan oleh ummat islam ketika masa perjuangan kemerdekaan melawan penjajah, mereka lupa dengan perjuangan para santri yang gugur selama dekade revolusi bersenjata, nama mereka yang gugur tidak pernah tercatat satu persatu di dalam buku sejarah, karena bisa jadi buku sejarah akan butuh ratusan halaman untuk mencatat nama-nama mereka, dan mereka pun tak minta nama mereka diabadikan, cukup Tuhan yang tahu bahwa mereka berjuang untuk tanah air yang mereka cintai, sesuai dengan seruan para ulama pencetus Resolusi Jihad, apa anda ingin tahu apa agama mereka?. Apa yang dipekikkan para penghembus semangat perjuangan di setiap palagan yang terkenal, sebut saja Sutomo alis Bung Tomo, pria yang membuat semangat anak-anak Surabaya tak terbendung pada November 1948, apa yang diteriakkannya?, sehingga dengan izin-Nya tentara inggris dengan senjatan modern dapat dipukul mundur oleh tentara Indonesia dengan senjata ala kadarnya, seperti kisah para syuhada badar dengan perlengkapan seadanya dengan izin Allah mampu mengalahkan pasukan bersenjata lengkap pimpinan Abu Jahal. Bakti ummat islam untuk negara ini tidak perlu dihitung, karena para pejuang pun tidak meminta agar perjuangan mereka diganti dengan sanjungan, sekali lagi demi bakti kepada negara yang mereka cintai, apapun itu akan diberikan. Dan masih banyak lagi kisah-kisah heroik yang dipelopori ummat islam untuk kemerdekaan Indonesia, lalu masihkah anda menganggap bahwa ummat islam ingin melakukan makar?.

Jika ingin membentuk negara sendiri, mudah saja ummat islam melakukannya, NII, DI/TII bisa dijadikan propaganda untuk mendirikan negara islam, tapi apakah itu dilakukan?, bahkan mereka (NII, DI/TII) tidak mendapat simpati dari ummat islam mayoritas, ummat islam di Indonesia sepakat bahwa NKRI adalah final, ummat islam bisa menjalankan kewajiban mereka dengan tenang di negara ini, tanpa adanya pelarangan-pelarangan ketika ummat islam akan melakukan ibadah. Lalu untuk apa ummat islam makar???. Bukti lain dari sikap “mengalah”nya ummat islam di Indonesia adalah penghapusan beberapa kata dalam sila pertama pancasila atas tuntutan beberapa pihak, lalu dihapuslah kata-kata tersebut yang terkenal dengan piagam Jakarta. Lalu apakah ummat islam melakukan makar, karena merasa mayoritas lalu menindas minoritas, tidak…!!!, demi keutuhan bangsa dan negara, ummat islam mengalah, jika ego yang didahulukan, “kami kan yang mayoritas, kalian yang minoritas harus ikut kami”, tapi sikap itu pantang dilakukan ummat islam, sikap mengayomi yang ditunjukkan ummat islam adalah untuk kemaslahatan bersama.

Kembali kepada aksi yang telah dan akan kembali dilakukan oleh ummat islam tidak serta merta dengan turun ke jalan, hal tersebut tidak akan terjadi jika pemerintah dalam hal ini pihak berwenang mengambil langkah cepat menangani kasus ini, jika sejak awal kasus ini ditangani dengan baik, maka aksi tersebut mungkin saja tidak terjadi, misalkan pun terjadi, hanya melibatkan ummat islam yang berada di daerah Jakarta saja. Namun sekarang semua daerah datang ke Jakarta, dengan massa yang sangat besar tersebut, maka muncul lagi slogan “demi menjaga stabilitas keamanan nasional” yang dibuat oleh pihak keamanan, seakan-akan mereka yang melakukan aksi tersebut telah mengganggu keamanan negara, apakah benar seperti itu?. Lalu mengapa kasus ini dibiarkan berlarut-larut, sehingga menimbulkan polemik yang serius. Fakta dan bukti yang nyata di depan mata para penegak hukum, serta peraturan yang jelas yang dapat menjadi landasan bagi mereka untuk mengambil kesimpulan, seperti buram bahkan tak nampak di hadapan mereka, namun isu makar, yang hanya kabar angin, begitu cepat ditanggapi oleh pemerintah. Anda bisa melihat bagaimana ummat islam sejak awal ikut aturan main yang berlaku di Indonesia, mulai dari pelaporan kasus, perwakilan ummat islam memperlihatkan i’tikad baik, ikut hukum tidak main hakim sendiri, namun seperti ada pembiaran terhadap laporan tersebut, lalu ketika sekarang kasus ini menjadi besar, timbul isu-isu miring yang entah ditiup oleh siapa bahwa ummat islam anti ke-bhineka-an, apakah para pembuat isu itu sadar bahwa yang dituntut oleh ummat islam adalah individu yang melakukan kesalahan tersebut, tanpa pernah membawa-bawa latar belakangnya. Lalu kemudian muncul stigma negatif atas aksi yang telah dan akan dilakukan, sebagai sebuah usaha makar kepada pemerintah, mengganggu stabilitas keamanan nasional, sama dengan cara-cara yang dilakukan orde baru untuk menyudutkan ummat islam, menjadikan ummat islam sebagai musuh negara. Lagi-lagi mereka lupa dengan apa yang telah dikorbankan ummat islam untuk negara ini, kemudian mempertanyakan nasionalisme ummat islam di Indonesia.




[1] Subversi: kegiatan apa saja yang dapat merubah,menggeroroti kekuasaan negara, atau wibawa pemerintah yang sah, atau aparat negara, atau yang dapat menyebarkan rasa permusuhan, atau menimbulkan permusuhan, atau menyebabkan perpecahan, perselisihan, kekacauan, kerusuahn, atau keresahan di kalangan penduduk. Tapol, Islam Diadili; Mengungkap Tragedi Tanjung Priok, (Jakarta: Teplok Press,2002), hal.105.
[2] UU 11/PnPs/1963 telah dicabut berdasarkan UU  No. 29 Tahun 1999  tentang

Pencabutan Undang-Undang  No  11/PnPs/Tahun 1963  Tentang  Pemberantasan  Kegiatan  Subversi
[3] Tapol, Islam Diadili; Mengungkap Tragedi Tanjung Priok,……..hal.104.
[4]Berdasarkan data dari Sontak (Solidaritas Untuk Peristiwa Tanjung Priok), sedang versi aparat keamanan sebanyak 18 orang meninggal dan  53 orang luka-luka, https://indocropcircles.wordpress.com/2014/05/30/tragedi-tanjung-priok-1984-pembantaian-kaum-muslimin-oleh-abri/
[5] Tapol, Islam Diadili; Mengungkap Tragedi Tanjung Priok,……..hal.49.
[6] Salah satu dari 22 orang penanda tangan Lembaran Putih, Ibid,hal.254.
[7] http://jejakislam.net/tragedi-tanjung-priok-1984-musibah-dalam-musibah/

Tuesday 22 November 2016

Kaidah-kaidah Non Asasiyah yang Kontroversial


Oleh : Muhammad Taufiq

A. Pendahuluan
                Seperti mana yang kita ketahui bahwa kaidah-kaidah Fiqhiyah yang non asasiyah untuk dasar dalam istinbath hukum2 islam ada yang telah disepakati dan ada juga yang diperselisihkan (kontroversial).
Kaidah non asasiyah yang disepakati ada 40 kaidah dalam Al-Asyba’ wan Nadzoir (Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi) dan ditambah 68 kaidah dalam Al-Majallatul Ahkamil Adliyah (semula merupakan RUU di Syiria, dan telah disempurnakan oleh Al-Ustadz Mushtafa Ahmad Az-Zargo dalam bukunya Al Fiqhul Islamy fi Tsaubil Jadid .
Kaidah-kaidah non asasiyah ini, walaupun kedudukannya bukan kaidah asasiyah, namun keabsahannya dapat diakui, dan tiada jumhur ulama mengingkarinya walaupun terdapat sebagian ulama yang tidak sepakat.
Sedangkan kaidah yang mukhtalafah ini banyaknya ada duapuluh kaidah. Menurut al suyuthi, kedua puluh kaidah tersebut tidak dapat ditarjih (diunggulkan) salah satunya. Hal ini dikarenakan kedua puluh kaidah tersebut mempunyai dasar hukum masing – masing. Berikut akan dijelaskan mengenai kedua puluh kaidah tersebut.

B.     Macam-Macam Kaidah Ghoiru Asasiyah yang Mukhtalaf Fiha beserta contohnya
Menurut Abdurrahman as-suyuthi dalam “Al_Asybah Wa Nadhoir” menyebutkan 20 (dua puluh) kaidah yang diperselisihkan, yaitu:

Kaidah pertama
الجمعة ظهر مقصورة او صلاة على حالها
“salat jum’at merupakan salat zuhur yang dipersingkat, ataukah salat sebgaimana mestinya.” (as_suyuthi. TT:109).
Menaggapi kaidah tersebut ada dua macam pendapat:
1.      Salat jum’at sebagai salat dzuhur yang diringkas, karena itu orang yang sedang bepergian boleh menjamak jum’at dengan ashar, baik jama’ taqdim maupun jama’ ta’khir.
2.      Salat jum’at sebagai keadaan salat jum’at sendiri bukan merupakan salat yang lain, karena itu niatnya harus niat salat jum’at bukan salat dzuhur.
Apabila salat jum’at diniati dengan salat dzuhur yang diringkas, maka menurut hakikatnya sudah sah, tetapi menurut fungsinya tidak sah, karena niat itulah sebenarnya yang membedakan setiap amalan.

Kaidah Kedua
الصلاة خلف المحدث المجهول الحال اذا قلنا بالصحة هل هي صلاة جماعة اوانفراد
“salat (makmum) dibelakanga imam yang berhadas dan tidak diketahui kondisi itu, jika salatnya diketahui sah, apakah sahnya itu karena salat jamaah ataukah karena salat sendirian.”(as_suyuthi.TT:110).
Jika seorang imam menjadi imam dalam salat dan jumlah jamaah sudah cukup walaupun dikurangi imam, sedang imam dalam keadaan berhadas, maka salat jamahnya dianggap sah, karena itu mereka semua mendapat pahala jamaah. Jika imam lupa bahwa ia berhadas atau makmumnya lupa bahwa imamnya berhadas, kemudian dalam salat itu ia ingat dan memisahkan diri dari jamaah sebelum salam, jika makmum menginginkansalat jamaah maka ia harus sujud sahwi karena lupanya imam, bukan karena kelupaan dirinya.

Kaidah Ketiga
من اتى بما ينا فى الفرض دون النفل فى اول فرض اواثناءه بطل فرضه وهل تبقى صلاته نفلا اوتبطل
“Barangsiapa yang  melakukan perbuatan dengan membatalkan perbuatan fardu, bukan perbuatan sunnat, diawal atau ditengah-tengah perbuatan fardu, maka perbuatan fardunya menjadi batal, tetapi apakah perbuatan itu menjadi perbuatan sunnat ataukah batal secara keseluruhan.” (as_suyuthi. TT:110).
Kaidah tersebut menimbulkan dua pendapat, yaitu:
1.      Bila seorang melakukan salat fardu sendirian, kemudian ada salat jamaah dan karena ingin mengikuti salat jamaah, maka ia salam setelah dua rakaat, maka salatnya tetap sah, dan salatnya berstatus salat sunnah.
2.      Bila seorang telah melakukan takbiratul ihram untuk salat fardu sebelum masuknya waktu atau karena ia membatalkan salat fardunya untuk ditukarkan kepada fardu yang lain, tau untuk berpindah kepada salat sunnah tanpa sebab, maka salatnya dianggap tidak sah.

Kaidah Keempat
النذر هل يسلك به مسلك الواجب اوالجائز
“Realisasi nazar, apakah apakah dilakukan seperti mengerjakan pekerjaan wajib, ataukah pekerjaan jaiz.” (as_suyuthi.TT:110).
Kaidah tersebut menimbulkan dua pendapat, yaitu:
1.      Dilaksanakan seperti pelaksanaan ibadah wajib, misalnya; nazar salat, puasa maupun kurban, maka salat , puasa, ataupun kurban itu harus dilakukan sebagaimana pekerjaan wajib. Kalau salat harus berdiri, tidak boleh duduk bila kuasa, puasanya harus berniat dimalam hari, tidak boleh siang hari seperti puasa sunnat, sedang kurbanya harus hewan yang cukup umur serta tidak cacat.
2.      Dilaksanakan seperti pelaksanaan ibadah jaiz, seperti memerdekakan budak, sehingga boleh memerdekakan budak kafir atau budak cacat.

Kaidah Kelima
هل العبرة بصيغ العقود او بمعانيها
“Apakah ungkapan itu yang dianggap bentuk akadnya tau maknanya.” (as_suyuthi.TT:111).
Misalnya ada orang yang mengadakan transaksi dengan berkata “saya beli bajumu dengan syarat-syarat demikian dengan harga sekian” kemudian penjual menjawab “iya jadi”, jika melihat akadnya bentuknya jual beli, namun jiak melihat maknanya merupaakan akad salam (pesanan). Demikian juga jika orang berkata “saya jual bajuku padamu” tanpa menyebutkan harganya. Bila dilihat dari maknanya berarti hibah, tetapi sudut lafalnya berarti jual beli. Bila hibah maka diperbolehkan tetapi jika dipandang jual beli, maka merupakan jual beli yang fasid (rusak).

Kaidah Keenam
العين المستعارة للرهن هل المغلب فيها جانب الضمان او جانب العارية
“Barang yang dipinjam untuk gadai, apakah layak sebagai jaminan ataukah sebagai pinjaman.”(as_suyuthi.TT:113).
Barang pinjaman untuk jaminan gadai dipegang oleh pemberi gadai, apakah yang mempunyai barang tersebut boleh meminta kembali? Kalau barang tersebut dianggap sebagai pinjaman, maka dapat kembaliatau diambil, sedaang jika sebagai jaminan maka tidak dapat diminta kembali kecuali sudah dilunasi utangnya. Demikian juga, jika barang itu rusak, maka pihak gadai harus mengganti, jika sebagai pinjaman, tetapi tidak wajib mengganti, jika sebagai jaminan.

Kaidah Ketujuh
الحوالة هل هي بيع او استيفاء
“Apakah hiwalah (pemindahan utang) itu merupakan jual beli ataukah kewajiban yang dipenuhi”.(as_suyuthi.TT:114).
Jika hiwalah merupakan kewajiban yang harus dipenuhi, maka tidak ada khiyar baginya (pilihan untuk ditangguhkan), namun bila dianggap jual beli maka ia berlaku persyaratan-persyaratan sebagaimana jual beli , yakni bila ada cacatnya dapat dikembalikan, atau bila tidak senang dapat dikembalikan kembali (khiyar majlis), namun apabila sebagai istifa’ maka tidak ada persyaratan tersebut.

Kaidah Kedelapan
الإبراء هل هو إسقاط او تمليك
“Pembebasan utang, apakah sebagai pengguguran utang, ataukah merupakan pemberian untuk dimiliki.”(as_suyuthi.TT:115).
Pembebasan utang yang tidak diketahui jumlah utangnya oleh orang yang membebaskan, maka yang lebih sah adalah pemberian untuk dimiliki dan tidak sah pengguguranya, sedanfkan kalau pemberi membebaskan dengan mengetahui jumlah uangnya, maka yang lebih sah dengan isqoth (pengguguran). Demikian juga pembebasan utang dari salah satu orang, maka  yang lebih sah adalah pemberian untuk dimiliki (tamlik) dan jika ibro’nya dikaitakan dengan sesuatu (tempat,keadaan) maka yang sah adalah tamlik, kalu disyaratkan adanya qobul maka yang sah dengan isqoth (pengguguran), sedang tamlik tidak disyaratkan adanya qobul.

Kaidah Kesembilan
الإقالة هل هي فسخ او بيع
“iqolah (pencabutan jual-beli terhadap orang yang menyesal) adakah itu merupakan pembatalan jual-beli ataukah merupakan jual-beli (keduakalinya)”. (as_suyuthi, TT:115).
Misalnya seseorang membeli budak kafir dari penjual kafir, kemudian budak tersebut menjadi muslim dan penjual menghendaki iqalah. Kalau iqalah itu dipandang sebagai jual-beli maka dianggap sah seperti mengembalikan barang pembelian karena adanya cacat. Sedangkan kalau iqalah dianggap sebagai fasah (pembatalan) maka tidak perlu adanya ijab qabul, sedangkan jika dianggap jual beli maka memerlukan ijab qabul baru.

Kaidah Kesepuluh
الصداق المعين في يد الزوج قبل القبض مضمون ضمان عقد او ضمان يد
“Maskawin yang sudah ditentukan dan masih dalam genggaman suami yang belum diterima oleh istri, hal itu merupakan barang yang di jamin oleh suami berdasrkan akad ataukah dijamin sebagai barang yang diambil dari tangan istri (as_suyuthi,TT:116).
Artinya, maskawin kalau dianggap sebagai barang yang dijamin akad maka tidak sah untuk dijual sebelum diterima, sedangkan kalau dianggap hak milik istri maka boleh dijual walaupun barangnya masih disuaminya. Demikian juga jika maskawin yang ditangan suami itu rusak atau hilang, maka harus diganti sesuai dengan maskawin misil istri, karena jaminan berdasarkan akad. Tetapi kalau dianggap sebagai barang yang diambil dari tangan istri maka harus diganti persis seperti wujud semula atau seharga mahar itu.

Kaidah Kesebelas
الطلاق الرجعي هل يقطع النكاح اولا
“Thalaq raj’i apakah itu merupakan pemutusan nikah atai tidak.” (as_suyuthi,TT:116).
Seandainya suami menggauli istri dalam masa iddahnya, kemudian baru merujuknya, maka wajib membayar mahar menurut pendapat yang menyatakan rujuk termasuk memutus pernikahan, dan kalau suami meninggal, istri tidak boleh memandikanya menurut pendapat yang absah, tetapi menurut pendapat yang kedua boleh memandikanya sebagaimana masih suami istri. Bila hal itu dianggap putus maka berakibat haram melihat aurat, dan bergaul dengan istri, namun jika dianggap tidk putus, maka berkaibat wajib memberi nafkah, mempunyai hak waris. Menilai kaidah tersebut, maka muncul pndapat ketiga, yaitu talak Raj’i masih mauquf sampai habis masa iddahnya.

Kaidah Kedua belas
الظهار هل المغلب فيه مشابهة الطلاق اومشابهة اليمين
“Dhihar itu apakah selayaknya serupa dengan talak, ataukah serupa dengan sumpah.”
Misalnya ada seorang yang mendhihar (menyamakan punggung istri dengan punggung ibunya) empat istrinya dengan satu kalimat. Misalnya “engkau semua seperti punggung ibuku.” Jika ia ingin kembali pada istrinya ia harus membayar empat kafarat karena diserupakan dnegan talak, tetapi jika lebih diserupakan dengan sumpah maka cukup membayar satu kafarat, yakni kafarat sumpah. Jika diserupakan dengan talak maka boleh dengan lisan atau tulisan, tetapi jika dengan sumpah maka harus dengan lisan.

Kaidah Ketiga belas
فرض الكفاية هل يتعين بالشروع او لا
“Fardu kifayah, apakah menjadi fardu ‘ain setelah dilaksanakan atau masih tetap sebagai fardu kifayah “.)as_suyuthu,TT:117).
Pendapat yang lebih syah adalah bahwa shalat jenazah apabila sesorang telah memulai menegrjakan maka haram baginya untuk meninggalkan, karena hal itu bagai fardu ‘ain, demikian pula kasus jihad. Diharamkan meninggalkan bila sudah memulai berjihad (berperang), bahkan sangat dibenci jika hal itu dilakukan, karena hal itu merupakan kemunafikan. Bagi al-Ghazali menyatakan bahwa pendapat itu khusus fardu kifayah shalat jenazah dan jihad, selainya tidak mengubah status fardu kifayah.

Kaidah Keempat belas
الزائل العائد هل هو كالذي لم يزل او كالذي لم يعد
“Suatu yang hilang kemudian kembali, apakah hukumnya seperti tidak hilang sebagaimana sedia kala ataukah sebagai barang baru”. (as_suyuthi.TT:118).
Kaidah tersebut menimbulkan dua pendapat , yaitu:
1.Dianggap sebagaiamana sedia kala, misalnya wanita yang telah ditalak sebelum digauli, maka hilang kemilikanya atas mahar, kalau suamianya kemabali maka kembali pula hak pemilikanya terhadap mahar seperti mahar semula. Harta yang pada ahir tahun perlu dizakati kemudian hilang ditengah tahun yang kemudian kembali maka tetap pada ahir tahun dizakati seperti tidak hilang, dan juga orang memukul orang lain hingga rusak penglihatan, kemudian penglihatan kembali maka gugur hukum qashas atas orang itu.
2.Dianggap sebagaimana barang baru, mislanya hakim gila atau hilang keahlianya, kemudian sembuh atau kembali keahlianya maka tidak kembali kekuasaan hakimnya.

Kaidah Kelima belas
هل العبرة بالحال اوبالمال
“Apakah ungkapan itu menurut keadaan atau menurut bendanya”. (as_suyuthi,TT:119).
Kaidah tersebut menimbulkan kaidah sebagai berikut:
ماقارب الشيء هل يعطي حكمه
“Yang dekat dengan sesuatu adakah diberi hukumya.”
المشرف الزوال هل يعطي حكم الزائل
“Sesuatu yang hampir hilang, apakah diberikan hukum sebgaimana sesuatu yang hilang” (as_suyuthi,TT:119).
المتوقع هل يجعل كالواقع
“Apa yang akan terjadi apakah dijadikan seperti yang terjadi.” (as_suyuthi, TT:119).
Misalnya ada seorang menjadi imam dengan berpakaian yang menutup aurat, tetapi ketika ruku’ pakianya robek. Pendapat yang kuat adalah bahwa apa yang akan terjadi itu tidak dijadikan seperti apa yang terjadi, jadi makmum tetap sah dengan niat infirod (memisahkan diri dari shalat jamaah) ketika robek pakaian imam.

Kaidah Keenam belas
اذا بطل الخصوص هل يبقى العموم
“Apabila kekhususanya batal maka masih tetap keumumanya”. (as_suyuthi, TT:121).
Misalnya seseorang telah melakukan takbiratul ihram pad shalat yang belum masuk waktunya, mka batallah kekhususanya (niat shalat wajib itu) tetapi menurut pendapat yang absah masih dianggap berlaku keumuman takbir itu untuk shalat sunnah. Demikian juga orang yang bertayamum untuk shalat wajib sebelum waktunya, maka batal tayamumnya untuk digunakan shalat wajib (sebab kebolehan tayamum adalah menunggu waktu shalat wajib tiba) serta tidak boleh digunakan sholat sunnat, lain lagi jika niyatnya untuk tayamum sholat sunnat maka diperbolehkan.

Kaidah Ketuju belas
الحمل هل يعطي حكم المعلوم اوالمجهول
“Anak yang masih dalam kandungan, apakah dihukumi seperti sesuatu yang telah diketahui ataukah sebagai sesuatu yang belum diketahui”.(as_suyuthi, TT:121).
Misalnya mengenai penjualan biantang yang bunting “hamil” menurut pendapat yang absah hal itu tidak diperkenankan, karena yang dalam kandungan itu masih majhul tidak tidak diketahui kriterianya, demikian juga tidak sah menjual binatang dalam perut induknya karena hal itu tidak diketahui, sedang dalam masalah waisat pada anak dalam kandungan itu diperbolehkan, karen ahak itu sudah jelas. Tetapi dalam hal waris-mewarisi, maka anak dalam kandungan dianggap laki-laki saja, sebab dengan begitu maka ketika ia lahir laki-laki maka bagianya sebgaimana mestinya, tetapi jika wanita maka uang warisan yang lebih dapat dibagikan lagi pada yang lain.

Kaidah Kedelapan belas
النادر هل يلحق بجنسه اوبنفسه
“Sesuatu yang jarang terjadi, apakah dikaitkan dengan jenisnya ataukah menurut keadaanya sendiri”.(as_suyuthi,TT:122)
Misalnya hukum menyentuh penis laki-laki yang telah putus, menurut pendapat yang lebih kuat adalah membatalkan wudlu, karena secara hakiki adalah menyentuh alat kelamin. Sedangkan jika menyentuh anggota tubuh wanita yang telah terputus dari induknya maka tidak membatalkan, karena hal itu tidak menyentuh wanita lagi. Demikian juga orang yang mempunyai anggota badan lebih, misalnya jarinya 6 (enam), maka wajib juga dibasuh saat berwudlu.

Kaidah Kesembilan belas
القادر على اليقين هل له الاجتهاد والأخذ بالظن
“Orang yang kuasa menuju yang yakin bolehkah baginya berijtihad berdasarkan perkiraan”.(as_suyuthi,TT:123)
Secara umum seorang mujtahid tidak boleh berijtihad jika mendapatkan nash, karena nash merupakan suatu keyakinan dan dia tidak boleh mengabaikan nash tersebut, sedangkan ijtihad merupakan keputusan dhon dibanding nash. Misalnya seseorang mempunyai dua baju, yang stau suci, sedang yang lain najis, maka dia boleh meneliti (berijtihad) mana yang suci untk dipergunakan walaupun ia dapat berganti dengan pakaianya lain yang jelas suci. Namun seseorang tidak sah shalat menghadap hijr ismail, karena yang yakin jelas diketahui, yakni menghadap ka’bah.

Kaidah keduapuluh
المانع الطارئ هل هو كالمقارن
“Halangan yang datang kemudian, apakah ia seperti bercampur”. (as_suyuthi,TT:123).
Kaidah tersebut ada dua pendapat , sebagian menganggap seperti bercampur seperti menambah air sehingga menjadi banyak yang semua jenis. Selesainya orang yang istihadloh ditengah-tengah menjalankan sholat. Murtadnya seseorang yang sedang ihram, serta perubahan niat yang buruk yang semula baik dalam bepergian, maka kasus tersebut hukum airnya menjadi suci, sholatnya menjadi batal, dan ihramnya juga batal dan tidak ada rukhsoh baginya.
Dari beberapa kaidah diatas, dapat diamati bahwa kaidah-kaidah yang diperselisihkan sebenarnya bukan pada kaidah itu sendiri tetapi lebih mengarah pada kondisi yang mempengaruhi kaidh itu tercipta, sehingga keberlakuan kaidah tersebut menurut kondisi yang melatar belakanginya.

C. Penutup
                Qawaidul fiqhiyyah terbagi dalam kaidah – kaidah asasi dan ghairu asasi. Qawaid fiqhiyyah ghairu asasiyyah dibagi menjadi dua bagian, yaitu kaidah ghairu asasiah muttafaq ‘alaih ( yang tidak dipertentangkan ), dan kaidah ghairu asasiah mukhtalafah fiha ( yang dipertentangkan ). Adapun kaidah ghairu asasiah yang tidak dipertentangkan banyaknya ada empat puluh kaidah. Kaidah ini disebut sebagai kaidah kulliah ( kaidah universal ). Sedangkan kaidah yang mukhtalafah ini banyaknya ada duapuluh kaidah. Kedua puluh kaidah tersebut tidak dapat ditarjih (diunggulkan) salah satunya.






Thursday 3 November 2016

DEMONSTRAN TERMASUK KATEGORI BUGHOT DAN KHAWARIJ?

Hasil Bahtsul Masail PCI NU Pakistan
Senin, 31 Oktober 2016

A. LATAR BELAKANG
Mengingat maraknya aksi demo/unjuk rasa yang terjadi hampir di seluruh dunia dengan isu yang berbeda-beda, khususnya di negara Indonesia, kemudian muncullah pendapat dari sebagian kaum muslimin di Indonesia bahwa mereka yang berunjuk rasa menentang kebijakan pemerintah telah keluar dari millah/agama (bughat & khawarij) lalu bagaimanakah kita sebagai akademisi menyikapi pendapat tersebut?

B. 
RUMUSAN MASALAH

1. Apakah demonstrasi dilarang atau tidak dalam agama Islam?

2. Apakah Demonstran Termasuk Golongan Bughot dan Khawarij?


C. 
 PEMBAHASAN
a.       Definisi Demonstrasi dan demonstran
Demonstrasi atau unjuk rasa dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti pernyataan protes yang dikemukakan secara massal, sedangkan demonstran adalah para pelaku demonstrasi. Dalam sistem demokrasi, unjuk rasa atau aksi protes merupakan bentuk penyuaraan aspirasi yang dilakukan oleh masyarakat. Aksi-aksi yang dilakukan bermacam-macam, mulai dari protes kecil-kecilan sampai pengerahan massa yang besar, untuk menyuarakan aspirasi, ataupun menuntut sesuatu, hingga protes terhadap kebijakan pemerintah. Terkadang kegiatan ini berjalan damai dan tak jarang pula aksi ini berakhir dengan kerusuhan, antara para pengunjuk rasa dan pihak keamanan, bahkan tidak jarang memakan korban pihak ketiga yang tidak tahu menahu, dan tidak ikut aksi tersebut.   
b.      Apakah demonstrasi dilarang dalam agama Islam atau tidak?
     Para ulama berbeda pendapat soal boleh tidaknya melakukan demonstrasi (unjuk rasa), Syaikh Utaimin, Abdul Aziz bin Baz, dan Syaikh Soleh Fauzan, berpendapat bahwa demonstrasi dilarang untuk dilakukan karena tidak adanya dalil baik dari al-qur’an maupun hadits nabi yang memerintahkan untuk melakukan unjuk rasa (menuntut keadilan) kepada pemerintah (sulthan), dikarenakan tidak adanya dalil, dan juga para sahabat tidak melakukan hal tersebut, maka aksi demonstrasi tidak dianjurkan untuk dilakukan (dilarang)[1]. Sedang Syaikh Yusuf Qardhawi memfatwakan bolehnya melakukan demonstrasi, karena unjuk rasa merupakan sarana pengungkapan ekspresi untuk menuntut hak-hak masyarakat (yang mungkin belum atau diabaikan oleh pemerintah), tradisi yang lumrah dilakukan oleh masyarakat modern[2]
     Dikarenakan tidak adanya dalil baik yang melarang secara langsung maupun juga membolehkan melakukan tindakan demonstrasi (unjuk rasa), maka para ulama pun bebeda pandangan mengenai hal tersebut, namun ada beberapa poin yang bisa disimpulkan:
1.      Demonstrasi (unjuk rasa) adalah salah satu wasilah penyampaian aspirasi ataupun pendapat, dari sekian banyak sarana untuk melakukan penyampaian aspirasi tersebut, seperti mengutus orang-orang yang dianggap dapat mewakili masyarakat untuk menyampaikan aspirasi mereka kepada pemerintah, mengirimkan surat kepada pemerintah, meminta kesempatan untuk dengar  pendapat dan lain-lain.
2.      Demonstrasi (unjuk rasa) dapat dilakukan dengan beberapa tahapan, tidak kemudian serta-merta jika ada kebijakan pemerintah yang tidak disetujui langsung direspon dengan melakukan pengerahan masa. Beberapa aksi pendahuluan terlebih dahulu dilakukan, seperti; mengirimi surat kepada pemerintah, mengirim utusan, hingga meminta kesempatan untuk melakukan dengar pendapat. Dengan kata lain, aksi turun ke jalan dengan pengerahan massa yang besar adalah jalan terkahir jika sarana-sarana pendahuluan yang telah dilakukan tidak membuahkan hasil (tidak didengar oleh pemerintah).
3.      Sebaiknya aksi unjuk rasa tidak mendatangkan kerugian yang tidak diharapkan, seperti aksi anarkis (pengrusakan sarana-sarana umum), membuat masyarakat yang lain merasa dirugikan dengan aksi tersebut karena mengganggu ketertiban umum, apalagi sampai menimbulkan korban jiwa.
4.      Menjaga agar aksi unjuk rasa yang betul-betul untuk menuntuk hak-hak umum, disusupi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, yang ingin menggunakan kesempatan itu untuk melakukan aksi mereka mencari keuntungan, memancing di air keruh.
c.       Apakah Demonstran Termasuk Golongan Bughot dan Khawarij?
              i.      Bughot: kriteria dan kayfiyah (coraknya).
Tidak semua yang berbau anarkisme secara berjamaah adalah bughot, mengapa? mari definisikan bughot, kriteria, dan kayfiyah (coraknya)[3]:
1. Bughot adalah bentuk pemberontakan kaum muslimin kepada imam atau penguasa, mencegah kewajiban yang harus ditunaikan, dan intensi mengambil alih kekuasaan secara dholim. (buka kitab nihayatul muhtaj 7/402 - maktabah syamilah)
2. Syarat sahnya dikatakan bughot adalah: punya kekuatan massa yang banyak, ada unsur meraih hak kekuasaan dengan kedholiman, dan punya pemimpin yang ditaati dalam gerakan pemberontakan ini (buka muhadzab juz 2/217)
           ii.      Khawarij: kriteria dan ciri-cirinya. 
Sebagaimana keterangan dalam banyak hadits, bahwa ciri-ciri khawarij adalah sebagai berikut[4]:
1.      Menuduh dan menyesatkan
Sifat orang-orang khawarij yang paling menonjol adalah suka menuduh dan menyesatkan para imam (pemimpin), serta menghukumi mereka telah berbuat tidak adil dan salah, sifat ini terlihat jelas pada sikap Dzul Khuwaisirah terhadap Rasulullah saw, dimana dia berkata : “Wahai Rasulullah berbuatlah adil”, ia menganggap dirinya lebih tahu agama dari pada Rasulullah saw, sehingga ia menghukumi Rasulllah telah melakukan kesalahan dan tidak adil dalam pembagian harta ghanimah. 
2.      Berburuk sangka
Ini merupakan sifat lain dari orang-orang khawarij, yang terlihat jelas pada sosok leluhur mereka Dzul Khuwasirah yang tidak memiliki sifat ikhlas dan tidak tahu akan pribadi Rasulullah SAW, dia berkata kepada beliau: “Demi Allah, pembagian ini tidak adil, dan dilakukan tidak demi mengharap ridha Allah”.
3.      Berlebihan dalam ibadah 
Sifat ini sebagaimana dijelaskan oleh Nabi saw, dalam sabdanya: “Akan ada kelompok orang dari ummatku, mereka rajin membaca al-qur’an, bacaan al-qur’an kalian tidak sebanding dengan bacaan al-qur’an mereka, shalat kalian tidak sebanding dengan shalat mereka, dan puasa kalian tidak sebanding dengan puasa mereka”, berlebihan dalam berpuasa, shalat malam, berdzikir dan membaca al-qur’an merupakan sifat-sifat yang menjadi ciri khas kaum khawarij. Orang-orang khawarij juga dikenal dengan sebutan al-qurra’, karena begitu rajinnya dalam membaca al-qur’an dan beribadah, hanya saja mereka memahami kandungan al-Qur’an tidak sesuai dengan maksudnya, mereka terlalu mengagungkan pendapat mereka, terlalu berlebihan dalam zuhud, khusyu’ dan sejenisnya.

4.      Bersikap keras kepada ummat Islam
Kaum khawarij dikenal dengan sikap yang keras dan kasar terhadap sesama umat Islam, bahkan sikap mereka bisa sampai batas yang sangat ekstrim, sehingga menghalalkan darah, harta, dan kehormatan umat Islam dengan menindas dan membunuh mereka. Meski demikian, mereka meninggalkan, tidak memerangi, dan tidak menyakiti musuh-musuh Islam para penyembah berhala. Rasul SAW mengabarkan kepada kita tentang sifat mereka ini dalam sabdanya: “Mereka membunuh orang-orang Islam dan meninggalkan para penyembah berhala”. 
5.      Lemah dalam pemahaman fiqh
Diantara bahaya besar dari sekte khawarij ini adalah, minimnya pengetahuan fiqih, karena tidak belajar kepada para sahabat, sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi saw, “Mereka membaca al-Qur’an namun tidak melewati tenggorokan mereka”.


D. KESIMPULAN
Dengan melihat hasil pembahasan, maka apakah kriteria, unsur, dan kayfiyah di atas memiliki korelasi dengan konteks demo di tanah air? Perlu kita  ingat bersama bahwa segala hal yang berkaitan dengan jinayah (tindak pidana), bisa katakan jinayah tam (tindak pidana yang sempurna) apabila telah terkumpul 4 unsur utama yaitu (niat, i'dad/persiapan, tanfidz/eksekusi, natijah/hasil) maka apabila tindak pidana itu belum masuk kategori sempurna, jarimah yang awalnya harus mendapatkan hudud (hukuman), akan mendapatkan keringanan hukuman, baik berupa kaffaroh (membayar denda), atau hanya dengan hukum ta'zir (diasingkan). Mari kita melirik konteks demo di tanah air, dimana niatnya adalah untuk menyerukan haq (kebenaran), meminta keadilan. I'dad (persiapannya) adalah tangan kosong, tanpa senjata, dijanjikan tidak huru hara, berkoordinasi dengan aparat, tanfidznya (rencana aksi) semua terkoordinir rapi, hanya teriak dan orasi, hasilnya adalah harapan kesepakatan. Adakah unsur anarkisme di sana? Adakah rukun jarimah (syarat-syarat sesuatu bisa dikatakan perbuatan kriminal) yang terpenuhi?
Apabila dalam praktek (di lapangan) nanti ternyata di luar ekspektasi terjadi anarkisme, maka rukun jarimah tetap tidak terpenuhi, seperti halnya jarimatu qatl khoto'. Tidak akan mendapatkan hudud, apalagi haddul bagy. Dari sini juga bisa kita tarik kesimpulan, bahwa tidak semua jenis demo itu bisa dipukul rata "haram". Dalil-dalil nushus yang berkonotasi umum tidak bisa dijadikan landasan pada qodiyyah (hukum) yang bersifat eksplisit, terlebih jika hanya dalil dzonniyah (yang belum pasti hukumnya). Maka sebelum kita menarik kesimpulan demonstrasi (unjuk rasa) adalah terlarang atau tidak, serta pelakunya merupakan bughat dan khawarij atau tidak, terlebih dahulu kita lihat dulu pattern (pola) nya dengan mengkorelasikan pada arkan jarimah (syarat-syarat sesuatu bisa dikatakan perbuatan kriminal).  Dalam artian kita tidak bisa memukul rata bahwa demonstran termasuk ke dalam bughot dan khawarij sebelum memastikan bentuk demonstrasi dan ciri-ciri bughot dan khawarij terpenuhi di dalam aksi demonstrasinya. (Tim LBM).
Wallahu a'lam bisshowab

Lajnah Bahtsul Masail
PCI NU Pakistan 2016



[1]   محمد بن عبد الرحمن الخميس, المظاهرات والاعتصامات والاضرابات رؤية شرعية, دار الفضيلة: رياض, 2006, ص. 44-49.  
[3] Firman Arifandi, dalam bahtsul masail PCI NU Pakistan dengan tema : Apakah Demonstran Termasuk Golongan Bughot dan Khawarij?, pada tanggal 31 Oktober 2016.
[4] www.waag-azhar.org/id/Makalat1.aspx?id=311

Friday 28 October 2016

Kaidah-kaidah Non Asasiyah Yang Ditolelir Islamic Legal Maxim

Oleh: Zulfikri Hasibuan
A.  PENDAHULUAN

A.1. Latar Belakang
Qawaidul Fiqhiyah atau biasa disebut kaidah-kaidah fikih adalah ketentuan-ketentuan yang bersifat kulli (menyeluruh atau umum) yang mencakup bagian-bagiannya. Bisa juga dikatakan sebagai ketentuan umum yang menghukumi beberapa bab pembahasan masalah fikih[[1]]. Terkait dengan hakikat dari kaidah fikih itu sendiri, dapat dilihat kembali pada pembahasan tentang hakikat dan urgensi qawaid fiqhiyah sebelumnya. Jelasnya, kaidah-kaidah fikih ini sangat penting dalam kehidupan manusia. Salah satu manfaatnya yaitu agar dapat mengetahui prinsip-prinsip umum fikih.
Dalam ilmu qawaidul fiqhiyah, kaidah-kaidah fikih ada yang disebut  qawaid al-fiqhiyah al-asasiyyah dan adapula yang disebut qawaid al-fiqhiyah ghairu asasiyyah atau yang disebut dengan kaidah-kaidah fikih yang bukan merupakan kaidah asasiyyah. Khususnya dalam makalah ini yang akan dibahas adalah kaidah-kaidah fikih yang bukan merupakan kaidah-kaidah dasar yang lima seperti yang dibahas oleh pemateri-pemateri sebelumnya seperti kaidah tentang al-Umuru bi Maqaashidiha, al-Yaqin laa Yuzalu bi asy-Syakk, al-masyaqqah tajlib at-taisir, adh-adhararu yuzal, dan kaidah al-’adah muhakkamah. Namun demikian, kaidah yang dibahas kali ini tetap disebut sebagai kaidah kulli (menyeluruh atau umum) sehingga berlaku pula untuk persoalan-persoalan hukum Islam (fikih) dalam berbagai bidang sesuai dengan bagiannya masing-masing[[2]].

A.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka penulis akan membahas tema di atas menjadi tiga poin sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan kaidah-kaidah ghoiru asasi?
2.      Apa sajakah pembagian kaidah ghoiru asasi?
3.      Apa sajakah kaidah-kaidah ghoiru asasi yang ditolelir dalam Islamic Legal Maxim?

A.3. Tujuan
1.      Pembaca dapat mengetahui secara detail apa yang dimaksud dengan kaidah ghoiru asasi.
2.      Pembaca mengetahui pembagian dari kaidah ghoiru asasi.
3.      Pembaca mengetahui apa saja kaidah-kaidah ghoiru asasi beserta contoh-contohnya yang ditolelir dalam Islamic Legal Maxim.
4.      Dengan mengetahui semua kaidah-kaidah ini pembaca dapat dengan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi dengan disesuaikan menurut waktu dan tempat penerapan hukum (fikih) yang berbeda-beda.

B.  PEMBAHASAN

B.1. Pengertian Kaidah Ghairu Asasi
Kaidah ghairu asasi termasuk dalam kategori kaidah fikih, bukan kaidah ushul. Kaidah fikih adalah kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fikih dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus yang baru timbul, yang tidak jelas hukumnya dalam nash[[3]]. Sebelum mengetahui apa makna atau arti dari kaidah ghairu asasi, perlu diketahui apa makna kaidah asasi itu sendiri. Kaidah Asasi atau yang terkenal juga dengan sebutan al-Qawaid al-Khamsah adalah lima kaidah yang mencakup hampir seluruh kaidah fikih.
Menurut penulis sendiri, Kaidah Ghairu Asasi adalah kaidah-kaidah yang bukan asasi. Dapat juga diartikan dengan kaidah-kaidah yang ruang lingkupnya di bawah kaidah asasi. Karena di bawah kaidah asasi, maka cakupan Kaidah ghairu asasi berkurang dan tentu jumlahnya lebih banyak daripada kaidah asasi. Karena tidak menginduk ke kaidah yang lebih umum.
B.2. Pembagian Kaidah Ghairu Asasi
Banyaknya kaidah ghairu asasi membuat para ahli qawaid membaginya beberapa macam pembagian. Menurut Djazuli dalam ‘Kaidah-Kaidah Fikih’, pembagian kaidah fikih berdasarkan ruang lingkup dan cakupannya bisa dibagi sebagai berikut[[4]]:
Pertama, kaidah inti yaitu meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan dengan meminjam istilah Izzudin ibnu Abd al-Salam, “Jalbu al-Mashalih wa Daf’u al-Mafasid.”
Kedua, kaidah-kaidah asasi, yaitu kaidah-kaidah fikih yang lima telah dijelaskan beserta cabang-cabangnya oleh para pemakalah lain sebelumnya (al-Qawaid al-Asasiyah).
Ketiga, kaidah-kaidah umum, yaitu kaidah-kaidah fikih yang ada di bawah kaidah-kaidah asasi yang lima. (al-Qawaid al-‘Ammah)
Keempat, kaidah-kaidah khusus, yaitu kaidah-kaidah yang khusus berlaku dalam bidang hukum tertentu seperti dalam ibadah mahdhah, muamalah, munakahat, dan jinayah. (al-Qawaid al-Khashshah)
Kelima, kaidah yang merupakan bagian dari kaidah yang disebut nomor empat, yaitu bagian dari ibadah, seperti tentang shalat saja, bisaa disebut al-Qawaid al-Tafshiliyah.
Jalaluddin al-Suyuthi dalam kitabnya al-Asybah wa-Nadzair, membagi kaidah fikih dalam tiga bagian: al-Qawaid al-Khamsah, Qawaid Kulliyah, dan al-Qawaid al-Mukhtalaf fiha.

B.3. Kaidah-kaidah Ghairu Asasi
Banyaknya jumlah kaidah ghairu asasi, membuat pemakalah memilih Qawaid Kulliyah dari kitab al-Suyuthi yang berjudul al-Asybah wa al-Nadzair yang jumlahnya mencapai 40 kaidah[[5]].
١-الاِجْتِهَادُ لَايُنْقَضُ بِالْاِجْتِهَادِ
“Ijtihad yang telah lalu tidak dibatalkan oleh ijtihad kemudian.”
Maksud kaidah ini adalah suatu ijtihad di masa lalu, tidak berubah karena hasil ijtihad baru dalam suatu kasus hukum. Alasannya karena hasil ijtihad yang kedua tidak berarti lebih kuat dari hasil ijtihad yang pertama. Apabila hasil ijtihad yang pertama harus dibatalkan oleh yang kedua maka akan menimbulkan ketidakadilan hukum. Contohnya: seorang hakim dengan ijtihadnya menjatuhkan hukuman kepada seorang pelaku kejahatan dengan hukuman tujuh tahun. Kemudian dalam kasus yang sama, datang lagi pelaku kejahatan, tetapi hakim menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup, karena ada pertimbangan-pertimbangan lain dari si hakim yang berbeda dengan pertimbangan pada pelaku pertama. Jadi bukan keadilannya yang berbeda, tetapi pertimbangan keadaan dan hukumnya berbeda, maka hasil ijtihadnya pun berubah, meskipun kasusnya sama, misalnya korupsi.
Sudah tentu kaidah ini ada pengecualiannya, yaitu apabila jelas-jelas ijtihadnya itu salah, karena menyalahi sumber hukum.
٢-إِذَا اجْتَمَعَ الْحَلَالُ وَالْحَرَامُ غُلِبَ الحرامُ
“Apabila berkumpul antara halal dan haram pada waktu yang sama maka dimenangkan yang haram.”
Artinya meninggalkan perbuatan yang haram harus dilakukan. Kaidah ini dilakukan misal dalam hal makanan yang terjadi percampuran antara yang halal dan haram, maka makanan tersebut dianggap haram.
٣-الإِيْثَارُ بِالْقُرْبِ مَكْرُوْهٌ وَفِيْ غَيْرِهَا مَحْبُوْبٌ
“Mengutamakan orang lain pada urusan ibadah adalah makruh dan dalam urusan selainnya adalah disenangi.”
Contohnya, mengutamakan orang lain pada shaf pertama dalam shalat adalah makruh. Juga mendahulukan orang lain dalam bersedekah daripada dirinya. Akan tetapi dalam masalah keduniaaan, mendahulukan orang lain daripada dirinya sendiri adalah disenangi. Misalnya, mendahulukan orang lain dalam membeli barang dagangan.
٤-التَابِعُ تَابِعٌ
“Pengikut itu hukumnya tetap sebagai pengikut yang mengikuti.”
Contoh dalam kaidah ini banyak sekali, di antaranya: apabila seseorang membeli kambing, maka termasuk dalam kambing tersebut kulitnya. Demikian juga, apabila kambingnya sedang bunting, maka anak yang dikandungnya termasuk yang dibeli. Apabila shalat berjamaah, maka makmum wajib mengikuti imam.
٥-تَصَرُّفُ الإمَامِ عَلَى الرَعْيَة مَنُوْطٌ بالمَصْلَحَة
“Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya harus bergantung kepada kemaslahatan.”
Kaidah ini menegaskan bahwa pemimpin harus berorientasi kepada kemaslahatan rakyat, bukan mengikuti keinginan hawa nafsunya, atau kelompoknya.
٦-الحُدُوْدُ تَسْقُطُ بالشُبْهَات
“Sanksi had gugur karena adanya syubhat.”
Ada tiga macam syubhat yang dapat menggugurkan sanksi had, yaitu: pertama, syubhat yang berhubungan dengan fa’il (pelaku) disebabkan salah sangkaan si pelaku, seperti mengambil harta orang lain yang dikira miliknya. Kedua, syubhat karena perbedaan ulama (fi al-jihah) seperti Imam Malik membolehkan nikah tanpa saksi tapi harus ada wali sedangkan Imam Abu Hanifah membolehkan nikah tanpa wali tapi harus ada saksi. Ketiga, syubhat karena fi al-mahal (tempat) seperti menyetubuhi istri yang sedang haidh.
٧-الحُرُّ لَايَدْخُلُ تَحْتَ اليَدِ
“Orang merdeka itu tidak masuk di bawah tangan atau kekuasaan.”
Kaidah ini maksudnya adalah bahwa orang yang merdeka itu tidak dikuasai oleh pihak mana pun, sebab ia tidak ada yang memiliki. Lain lagi dengan status hamba sahaya, maka dirinya di bawah kekuasaan tuannya. Dan berarti pula ia bisa dimiliki tuannya.
Misalnya seorang merdeka di penjara karena melakukan kesalahan, dan ketika di penjara mati terkena reruntuhan, maka kematiannya tersebut tidak mewajibkan ganti rugi bagi pihak keamanan, namun apabila yang mati tersebut seorang hamba sahaya maka pihak keamanan harus memberi ganti rugi pada tuannya.
٨-الحَرِيْمُ لَهُ حُكْمٌ مَاهُوَ حَرِيْمٌ لَهُ
“Yang menjaga sesuatu hukumnya sama dengan apa yang dijaga.”
Kaidah ini berhubungan dengan kehati-hatian untuk menjaga hal-hal yang syubhat agar tidak terjatuh kepada yang haram.
Al-Harim ini bisa masuk kepada wajib, haram maupun makruh. Contoh harim yang masuk wajib seperti membasuh tangan melampaui siku.
٩-اذا اجْتَمَعَ اَمْرَانِ مِنْ جِنْسٍ وَاحِدٍ وَلَمْ يَخْتَلِفْ مَقْصُوْدُهُمَا دَخَلَ اَحَدُهُمَا فِي الاَخَرِ غَالِبًا
“Apabila bersatu dua perkara dari satu jenis, dan maksudnya tidak berbeda, maka hukum salah satunya dimasukkan kepada hukum yang lain.”
Maksudnya apabila dua perkara itu, jenis dan tujuannya sama, maka cukup dengan melakukan salah satunya. Contohnya: apabila berkumpul antara bersuci karena haid dan bersuci karena ada hadas besar, maka cukup dengan sekali mandi. Demikian pula apabila berkumpul waktu Id dan jum’at, cukup sekali mandi, sunnah untuk keduanya.
١٠-اِعْمَالُ الكَلَامِ اَوْلَى مِنْ إِهْمَالِهِ
“Mengamalkan suatu kalimat lebih utama daripada mengabaikannya.”
Suatu kalimat adakalanya jelas dan adakanya tidak jelas. Untuk kalimat yang jelas tidak ada masalah. Tetapi untuk kalimat yang tidak jelas maksudnya, kalimat terebut tidak boleh diabaikan atau lebih baik mengamalkannya. Contohnya: apabila seseorang sedang sakit keras dan berwasiat bahwa harta warisannya akan diberikan kepada anaknya. Namun orang tersebut hanya mempunyai cucu karena anaknya telah meninggal, maka harta warisan itu milik cucunya.
١١- الَخرَاجُ بِالضَمَانِ
“Berhak medapatkan hasil disebabkan karena keharusan mengganti kerugian.”
Arti asal al-kharaj adalah sesuatu yang dikeluarkan baik manfaat benda maupun pekerjaan, seperti pohon mengeluarkan buah atau binatang mengeluarkan susu. Sedangkan al-dhaman adalah ganti rugi.
Contohnya, seekor binatang dikembalikan oleh pembelinya dengan alasan cacat. Si penjual tidak boleh meminta bayaran atas penggunaan binatang tadi. Sebab penggunaan binatang tadi sudah menjadi hak pembeli.
١٢- الخُرُوْجُ مِنَ الخِلَافِ مُسْتَحَبٌّ
“Keluar dari perbedaan pendapat adalah disenangi.”
Dalam kehidupan bersama sering terjadi perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat ini penting dalam memberi alternatif pemecahan masalah. Tetapi, kembali pada kesepakatan itu disenangi, setelah terjadi perbedaan pendapat agar kehidupan masyarakat menjadi tenang kembali.
١٣-الدَفْعُ اَقْوَى مِنَ الرَفْعِ
“Mencegah lebih kuat daripada mengangkat yang diperselisihkan.”
Artinya menolak agar tidak terjadi sesuatu (preventif) itu lebih kuat daripada mengembalikan seperti sebelum terjadi (rehabilitative). Misalnya air musta'mal apabila mencapai dua kulah, kembalinya menjadi suci diperselisihkan tetapi apabila sejak semula sudah dua kullah banyaknya maka disepakati kesuciannya. Bedanya kalua sudah banyak sejak semula berarti mencegah, dan banyak setelah musta'mal berarti mengangkat. Jadi mencegah lebih kuat daripada mengangkat.
١٤-الرُخَصُ لَاتُنَاطُ بِالمَعَاصِى
“Keringanan itu tidak dikaitkan dengan kemaksiatan.”
Kaidah ini digunakan untuk menjaga agar keringanan-keringanan dalam hukum tidak disalahgunakan untuk melakukan maksiat. Seperti orang bepergian dengan tujuan mencuri, maka tidak boleh menggunakan keringanan-keringanan dalam islam seperti mengqashar.
١٥-الرخص لاتناط بالشك
Keringanan itu tidak dikaitkan dengan keraguan.”
Misalnya ada seseorang yang pergi ke rumah pamannya di sebuah kota yang jaraknya tidak begitu jauh atau dengan kata lain belum mencapai batas jarak yang membolehkan jama’ qashar. Tetapi sebenarnya rumah kakeknya tidak sampai kota tapi masih di pedalaman. Sehingga terjadilah keraguan apakah jaraknya sudah mencapai ketentuan. Maka ia tidak boleh melakukan jama’ qashar.
١٦-الرِضَا بِالشَيْءِ رِضَى بِمَا يَتَوَلَّدُ مِنْهُ
“Ridha atas sesuatu berarti ridha pula dengan akibat yang muncul dari sesuatu tersebut.”
Maksudnya apabila orang telah ridha terhadap sesuatu, maka dia ridha menanggung segala risiko yang timbul dari hal tersebut. Contohnya: apabila ridha membeli rumah yang sudah rusak, maka ridha pula bila rumah tersebut runtuh. Apabla ridha beragama islam, maka harus ridha melaksanakan kewajibannya.
١٧-السُؤَالُ مُعَادٌ فِي الجَوَاب
“Pertanyaan itu diulangi di dalam jawaban.”
Maksud kaidah ini adalah hukum dari jawaban itu terletak pada soalnya. Misalnya seorang hakim bertanya kepada tergugat (dalam hal suami): apakah engkau telah menalak istrimu? Dijawab: Ya. Maka bagi istri telah berlaku hukum sebagai wanita yang ditalak.
١٨-لَايُنْسَبُ اِلَى سَاكِتٍ قَوْلٌ
“Perkataan tidak bisa disandarkan kepada yang diam.”
Dalam buku karya Djazuli berjudul ‘Kaidah-kaidah fikih’ ditambahkan lagi dengan
ولكن السكوت في معرض الحاجة الى البيان بيان
(tetapi sikap diam dalam hal membutuhkan keterangan adalah merupakan suatu keterangan). Kaidah ini menetapkan bahwa suatu keputusan hukum tidak bisa diambil dengan diamnya seseorang, kecuali ada qarinah, tanda-tanda, atau alasan yang menguatkannya, maka diamnya orang tersebut merupakan keterangan juga. Contohnya: apabila seseorang tergugat, ketika ditanya hakim, kemudian ia diam saja, maka diperlukan bukti-bukti lain yang menguatkan gugatan penggugat. Akan tetapi, apabila seorang perawan yang diminta izinnya untuk dinikahkan lalu diam saja tanpa ada perubahan apa-apa pada perangainya, maka diamnya itu menunjukkan persetujuan.
١٩-مَا كَانَ اَكْثَرُ فِعْلًا كَانَ اَكْثَرُ فَضْلًا
“Sesuatu yang lebih banyak pekerjaannya, maka lebih banyak keutamaannya.”
Misalnya, memisah witir itu lebih utama daripada menyambungnya untuk menambah niat, takbir, dan salam. Kaidah ini juga didasarkan hadits nabi kepada ‘Aisyah yang artinya “Pahalamu tergantng kadar keshalehanmu.”
٢٠-المُتَعَدِّى اَفْضَلُ مِنَ القَاصِرِ
“Perbuatan yang mencakup kepentingan orang lain lebih utama daripada kepentingan sendiri.”
Maksud kaidah di atas ialah suatu perbuatan yang dapat menghasilkan kemanfaatan lebih luas yakni dirasakan banyak orang lebih diutamakan daripada  perbuatan untuk kepentingan pribadi.
Berdasarkan kaidah di atas Abu Ishak berpendapat bahwa fardhu kifayah lebih utama daripada fardhu a'in, kerena fardhu kifayah bias membebaskan dosa orang lain sedang fardhu ain tidak lebih, hanya khusus untuk si pelaku sendiri.
٢١-الفَرْضُ اَفْضَلُ مِنَ النَفْلِ
“Fardhu lebih utama daripada yang sunnah.”
Maksudnya agar mendahulukan pekerjaan yang wajib daripada pekerjaan yang sunnah atau tidak wajib. Misalnya seseorang yang mempunyai tanggungan qadha puasa ramadhan hendaknya melaksanakan qadha puasanya daripada melakukan puasa sunnah.
٢٢-الفَضِيْلَة المُتَعَلِّقَة بِنَفْسِ العِبَادَةِ اَوْلَى مِنَ المتعلقة بِمَكَانِهَا
“Keutamaan yang dikaitkan dengan ibadahnya sendiri lebih baik daripada yang dikaitkan dengan tempatnya.”
Contohnya: shalat berjama’ah di luar masjid lebih baik daripada shalat sendirian di masjid.
٢٣-الوَاجِبُ لَايُتْرَكُ اِلَّا لِوَاجِبٍ
“Sesuatu yang wajib hukumnya tidak boleh ditinggalkan kecuali ada sesuatu yang wajib lagi.”
Contohnya: manusia wajib dihormati hartanya, darahnya, dan kehormatannya, kecuali apabila dia melakukan kejahatan, maka kewajiban tadi ditinggalkan karena ada kewajiban  lain yaitu melaksanakan hukum.
Contoh lainnya: seorang istri berpuasa senin dan kamis, namun suaminya di rumah yang tidak menginginkan atas puasanya tersebut, maka seorang istri harus meninggalkan atau membatalkan puasanya untuk memenuhi kebutuhan suaminya, karena taat kepada suami lebih penting daripada puasa sunat.
٢٤-مَا اَوْجَبَ اَعْظَمَ الاَمْرَيْنِ بِخُصُوْصِهِ لَايُوْجِبُ اَدْوَنَهُمَا بِعُمُوْمِهِ
“Apabila yang mewajibkan yang lebih besar dari dua perkara karena kekhususannya, tiadalah diwajibkan yang lebih ringan dari keduanya kerena keumumannya.”
Maksud dari kaidah ini adanya dua perkara yang saling berlainan dalam melahirkan suatu hukum. Yang satu merupakan perkara umum dan melahirkan hukum ringan. Sedangkan satunya lagi perkara khusus dan melahirkan hukum berat.
Contohnya: memasuki rumah orang lain tanpa izin itu dilarang dan dapat dituntut lalu dihukum meski hukumannya ringan. Sedangkan apabila seseorang memasuki rumah tersebut lalu mencuri barang-barangnya, maka yang dituntut hanyalah hukum mencurinya saja.
٢٥-مَا ثَبَتَ بِالشَرْعِ مُقَدَّمٌ عَلَى مَا وَجَبَ بِالشَرْطِ
“Apa yang ditetapkan menurut syara’ lebih didahulukan daripada sesuatu yang wajib menurut syarat.”
Maksud di sini adalah ketetapan yang ada di dalam syara’ itu harus diutamakan daripada undang-undang yang ditetapkan manusia. Misalnya seseorang bernadzar apabila ia sukses dalam ujian maka akan melakukan shalat subuh. Bernadzar seperti ini tidak diperkenankan sebab mengerjakan shalat subuh itu memang ketentuan syara’ yang harus dikerjakan dan lebih diutamakan bukan mengerjakan karena terpenuhi syarat yang ia buat.
٢٦-مَا حَرُمَ اِسْتِعْمَالُهُ حَرُمَ اِتِّخَاذُهُ
“Apa yang haram digunakannya, haram pula didapatkannya.”
Maksudnya adalah apa yang haram digunakan, baik haram dimakan, diminum, atau dipakai, maka haram pula mendapatkannya. Contohnya: khamar dan barang-barang yang memabukkan seperti narkoba adalah haram, maka haram pula membuatnya, membelinya, membawanya, menyimpannya, dan harga penjualannya pun haram.
٢٧-مَا حَرُمَ اَخْذُهُ حَرُمَ اِعْطَاؤُهُ
“Apa yang haram mengambilnya, haram pula memberikannya.”
Atas ketentuan kaidah di atas, maka haram memberikan uang hasil korupsi, atau hasilsuap. Sebab perbuatan demikian bisa diartikan tolong-menolong dalam dosa. (QS Al-Maidah: 3)
٢٨-المَشْغُوْلُ لَايَشْغَلُ
“Sesuatu yang sedang dijadikan objek perbuatan tertentu, maka tidak boleh dijadikan objek perbuatan lainnya.”
Contohnya: apabila seseorang telah menggadaikan hartanya pada suatu bank, maka dia tidak bisa menggadaikannya pada bank lain. Meminang wanita yang sudah dipinang orang lain.
٢٩-المُكَبَّرُ لَايُكَبَّرُ
“Yang sudah dibesarkan, tidak dibesarkan lagi.”
Contohnya: membasuh sesuatu dari kotoran atau najis disunnahkan mengulang tiga kali. Namun apabila kotoran tersebut ialah jilatan anjing maka tidak disunnahkan lagi mengulangi tiga kali sebab sudah diperbesar dengan diharuskan mengulang sebanyak tujuh kali.
٣٠-مَنِ اسْتَعْجَلَ شَيْئًا قَبْلَ اَوَانِهِ عُوْقِبَ بِحِرْمَانِهِ
“Barangsiapa yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya maka menanggung akibat tidak mendapatkan sesuatu tersebut.”
Contohnya: belum waktu shalat lalu shalat atau belum berbuka lalu berbuka, maka baik shalat maupun puasanya menjadi batal.
Contoh lainnya: Seorang ahli waris yang membunuh sang pemberi warisan.
٣١-النَفْلُ اَوْسَعُ مِنَ الْفَرْضِ
“Sunnah lebih luas daripada fardhu.”
Misalnya niat dalam puasa sunnah boleh dilakukan pada pagi harinya sedangkan puasa wajib harus malam harinya.
٣٢-الوِلَايَة الخَاصَّة اَقْوَى من الولاية العامّة
“Kekuasaan yang khusus lebih kuat (kedudukannya) daripada kekusaan yang umum.”
Contohnya camat lebih kuat kekuasaannya dalam wilayahnya daripada gubernur. Maksud kaidah di atas adalah lembaga-lembaga yang khusus lebih kuat kekuasaannya daripada lembaga yang umum.
٣٣-لَاعِبْرَةَ بِالظَنِّ الْبَيِّنِ خَطَؤُهُ
“Tidak dianggap (diakui), persangkaan yang jelas salahnya.”
Apabila seorang debitor telah membayar utangnya kepada kreditor, kemudian wakil debitor atau penanggungjawabnya membayar uang debitor atas sangkaan bahwa utang belum dibayar oleh debitor, maka wakil debitor berhak meminta dikembalikan uang yang dibayarkannya, karena pebayarannya dilakukan atas dasar persangkaan yang jelas salahnya, yaitu menyangka utang belum dibayar debitor. Kaidah ini oleh Qadhi Abd al-Wahab al-Maliki dimasukkan dalam kaidah cabang “al-Yaqin La Yuzal bi al-Syakk.”
٣٤-الاِشْتِغَالُ بِغَيْرِ المقصود إِعْرَاضٌ عن المقصود
“Berbuat yang tidak dimaksud berarti berpaling dari yang dimaksud.”
Ada yang memasukkan kaidah ini dalam cabangan al-Umur bi Maqashidiha. Contohnya apabila ada seseorang yang bersumpah untuk tidak diam dan menetap di rumah, maka seketika itu harusnya ia keluar dari rumah. Sebab yang dimaksud dari sumpahnya adalah keluar dari rumah.
٣٥-لَايُنْكَرُ المُخْتَلَفُ فيه وانما يُنْكَرُ المُجْمَعُ عليه
“Masalah yang masih diperselisihkan tidak harus diingkari, sedangkan yang harus diingkari adalah yang disepakati.”
Maksud kaidah di atas adalah segala sesuatu yang disepakati tentang keharamannya maka harus benar-benar dijauhi. Misalnya tentang keharaman khamar maka kita harus menjauhi khamar. Berbeda dengan menyemir rambut yang masih terdapat perbedaan pendapat, maka kita tidak mengingkarinya.
٣٦-يَدْخُلُ القَوِيُّ عَلَى الضَعِيْفِ وَلَا عَكْسُهُ
“Yang kuat mencakup yang lemah dan tidak sebaliknya.”
Contohnya: dibolehkannya melakukan ibadah hajisekaligus umrah, tapi tidak sebaliknya. Dalam hukum pidana disebut dengan teori al-tadakhul (teori absorpi/penyerapan hukuman).
٣٧-يُغْتَفَرُ فِي الوَسَائِلِ مَالَايُغْتَفَرُ في المَقَاصِد
“Dapat dimaafkan karena sebagai sarana, namun tidak dapat dimaafkan pada maksud yang dituju.”
Maksudnya adalah sesuatu yang harus ada pada apa yang menjadi maksud haruslah dipenuhi, sedangkan sarana yang digunakan untuk mencapai msksud dapat dimaafkan atau dilonggarkan dengan menghilangkan atau menguranginya, karena itu niat dalam wudhu tidak harus ada, walaupun hal itu disyaratkan, karena wudhu hanya sebagai sarana shalat, sedangkan niat dalam shalat diwajibkan dan harus ada, karena shalat merupakan tujuan syarat, bukan sarana syarat.
٣٨-المَيْسُوْرُ لَايَسْقُطُ بِالمَعْسُوْرِ
“Suatu perbuatan yang mudah dijalankan, tidak menggugurkan yang sukar dijalankan.”
Maksud kaidah ini adalah suatu perbuatan yang diperintahkan untuk dilakukan, harus dilakukan sedapat mungkin yang kita sanggup lakukan. Contohnya: apabila seseorang tidak dapat sujud dalam shalat, maka shalat tetap harus dilakukan meskipun sujudnya hanya dengan membungkuk. Tidak berarti karena tidak bisa sujud, lalu dia tidak shalat. Apabila tidak ada pemimpin yang betul-betul memenuhi syarat maka pilihlah pemimpin meskipun tidak sempurna syaratnya. Kaidah ini mirip dengan kaidah:
ما لايدرك كله لايترك كله
“Apa yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya.”
٣٩-مَالَايَقْبَلُ التَبْعِيْضُ فَاخْتِيَارُ بَعْضِهِ كَاخْتِيِارِ كُلِّهِ وَاِسْقَاطُ بَعْضِهِكَإِسْقَاطِ كُلِّهِ
“Sesuatu yang tidak dapat dibagi, maka mengusahakan sebagiannya seperti mengusahakan seluruhnya. Demikian juga menggugurkan sebagiannya seperti menggugurkan seluruhnya.”
Redaksi lain dari kaidah ini adalah
ذكر البعض مالايتجزء كذكر كله
“Menyebutkan sesuatu yang tidak bisa dibagi, seperti menyebutkan keseluruhannya.”
Contohnya: apabila seseorang menyebutkan setengah talak kepada istrinya, maka hukumnya sama saja dengan menjatuhkan satu talak.

٤٠-اذَا اجْتَمَعَ السَبَبُ وَالغُرُوْرُ وَالمُبَاشَرَةُ قُدِمَتْ المباشرةُ
“Apabila berkumpul antara sebab, tipuan, dan pelaksanaan, maka pelaksanaan didahulukan.”
Maksud kaidah suatu kasus itu terdapat tiga faktor. Pertama, sebab terjadinya kasus. Kedua, adanya penipuan yang membantu terjadinya kasus. Ketiga, perbuatan langsung yang mengakibatkan kasus. Dari ketiga faktor di atas, maka yang pertama kali diminta pertanggungjawaban adalah perbuatan yang langsung menimbulkan kasus.
Contoh: ahmad menjual pisau kepada budi. Kemudian oleh budi, pisau tersebut digunakan untuk membunuh. Dalam contoh ini yang terkena tuntutan hukuman adalah budi sebab dialah pelaksananya. Namun bila ahmad adalah penjual alat-alat pembunuhan maka dia bisa dituntut juga.

C.  PENUTUP
Qawaid al-fiqhiyyah ghairu asasiyyah berarti kaidah-kaidah umum fikih yang bukan kaidah asasiyyah. Kaidah ini adalah kaidah-kaidah umum yang ruang lingkup dan cakupannya luas yaitu mencakup berbagai cabang hukum fikih.  Misalnya dalam bidang muamalah, peradilan, jinayah dan hukum keluarga. Kaidah-kaidah fikih ini, walaupun bukan kaidah asasiyah namun sangat bermanfaat dalam ilmu fikih. Salah satu manfaatnya yaitu dengan memperhatikan kaidah-kaidah fikih ini, akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi dengan disesuaikan menurut waktu dan tempat penerapan hukum (fikih) yang berbeda-beda.

D.  REFERENSI
Az-Zarqo, Ahmad bin Muhammad. Syarhu Al-Qowa’id Al-Fiqhiyyah. Dar-el-Qolam Damaskus 1989
Anshari, Zakariyya. Hasyiyatul jumal ala syahil manhaj. Darul Ihya’i Turats Al-‘Arabi
Dzajuli, Ahmad. Kaidah-kaidah Fiqih. Tri Cipta Press Semarang 1998
Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman. Al-asybah wa An-Nadzhair fi qawa’id wa furu fiqh syafi’i. Darul Kutub Ilmiyah Beirut 1983
Usman, Muchlis. Kaidah-kaidah ushuliyyah dan fiqhiyyah pedoman dasar dalam Istinbath hukum Islam. PT. Raja grafindo persada 1999. Jakarta



[1] Az-Zarqo, Ahmad bin Muhammad. Syarhu Al-Qowa’id Al-Fiqhiyyah. Dar-el-Qolam Damaskus 1989 hal.243
[2] Muslih Usman, Kaidah-kaidah Usuliyyah dan Fiqhiyyah, , Rajawali Press, Jakarta 1999 hal. 144
[3] Muslih Usman, Kaidah-kaidah Usuliyyah dan Fiqhiyyah, Rajawali Press, Jakarta 1999 hal. 144
[4] Dzajuli, Ahmad, Kaidah-kaidah Fiqih. Tri Cipta Press Semarang 1998 hal.123
[5] Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman. Al-asybah wa An-Nadzhair fi qawa’id wa furu fiqh syafi’i. Darul Kutub Ilmiyah Beirut 1983 hal.101