Tuesday 26 April 2016

Implementasi Langkah Preventif Terhadap Mafsadah Dalam Perspektif Islamic Legal Maxim


Oleh: Choirul Anwar, S.Th.I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua khususnya bagi yg ingin memahami fiqh secara mendalam. Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu Qawaidul fiqhiyah.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan diharapkan mampu mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.
Pada kaidah keempat, ad-Dhararu yuzaalu yang berarti kemadlaratan harus dihilangkan. Kita sebagai umat muslim tidak boleh membuat kerusakan di muka bumi ini, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. Pada kaidah ini terdapat banyak masalah hukum fiqh yang menyangkut didalamnya baik itu didalam muamalat, pada bagian jinayat maupun pada bagian munakahat. Untuk itu kemadlorotan itu membolehkan terhadap hal hal yang dilarang namun ada batasan-batasan sendiri yang perlu diperhatikan. Sehingga manusia mempunyai takaran atau batasan dalam memutuskan sesuatu hal disertai dengan kaidah hukumnya.  
B. Rumusan Masalah
1. Apa teks kaidah dan dasar-dasar nash yang berhubungan dengan kondisi madlarat?
2. Apa perbedaan antara masyaqqah dan madlarat ?
3. Apa yang termasuk dalam kaidah-kaidah mengenai kondisi madlarat ?
C. Tujuan
1.Untuk mengetahui  kaidah kubro dan dasar-dasar nash yang berhubungan dengan kondisi madlarat.
2. Untuk mengetahui perbedaan antara masyaqqah dan madlarat
3. Untuk mengetahui  kaidah-kaidah cabang mengenai kondisi madlarat.


PEMBAHASAN
1.      Teks Kaidah, Dasar-Dasar Nash
Ad-Dhararu Yuzalu, kemadlarata harus dihilangkan. Maksud dari kaidah “ad-Dhararu Yuzalu” adalah kemudharatan/bahaya harus dihilangkan. Jadi konsepsi kaidah ini memberikan pengertian bahwa manusia harus dijauhkan dari idhrar (tindak menyakiti), baik oleh dirinya maupun orang lain, dan tidak semestinya ia menimbulkan bahaya (menyakiti) pada orang lain.
Dharar  secara etimologi adalah berasal dari kalimat "adh Dharar" yang berarti sesuatu yang turun tanpa ada yang dapat menahannya. Sedangkan Dharar secara terminologi menurut para ulama ada beberapa pengertian diantaranya adalah:
1. Dharar ialah posisi seseorang pada suatu batas dimana kalau tidak mau melanggar sesuatu yang dilarang maka ia dalam bahaya. hal seperti ini memperbolehkan ia melanggarkan sesuatu yang diharamkan dengan batas batas tertentu.
2. Abu Bakar Al Jashas, mengatakan “Makna Dharar disini adalah ketakutan seseorang pada bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota badannya karena ia tidak  makan”.
3. Menurut Ad Dardiri, “Dharar ialah menjaga diri dari kematian atau dari kesusahan yang teramat sangat”.
4. Menurut sebagian ulama dari Madzhab Maliki, “Dharar ialah mengkhawatirkan diri dari kematian berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan”.
5. Menurut Asy Suyuti, “Dharar adalah posisi seseorang pada sebuah batas dimana kalau ia tidak melakukan sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau nyaris binasa.
Jadi, Dharar disini  menjaga jiwa dari kehancuran atau posisi yang sangat mudharat sekali, maka dalam keadaan seperti ini kemudaratan itu membolehkan sesuatu yang dilarang.
Berdasarkan pendapat para ulama di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Dharar adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia.
Kaidah ini menunjukkan bahwa kemadharatan itu telah terjadi atau akan terjadi, dengan demikian setiap kemadharatan memang harus dihilangkan.
Dasar dari kaidah ini adalah firman Allah dalam surat al-A’raf ayat 7: 56
قال تعالى: وَلاَ تُفْسِدُواْ فِي الأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفاً وَطَمَعاً إِنَّ رَحْمَتَ اللّهِ قَرِيبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِين
56. dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.
Surat al-Qashash ayat 77:
قال تعالى: وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
77. dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
لا ضرر ولا ضرار tidak boleh membuat kerusakan pada diri sendiri serta membuat kerusakan pada orang lain (HR. Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas).[1]
Masalah-masalah yang dapat mempergunakan kaidah ini banyak sekali, diantaranya: khiyar, hudud, kafarat, memilih pemimpin, dan lain sebagainya.[2]

2. Perbedaan antara masyaqqah dan madlarat.
1. Masyaqqah adalah suatu kesulitan yang menghendaki adanya kebutuhan (hajat) tentang sesuatu, dan jika tidak terpenuhi tidak akan mempengaruhi eksistensi manusia, sedang madlarat adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika tidak terselesaikan akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta, serta kehormatan manusia.
2. Masyaqqat waktu terjadinya relative lama dan bias terjadi terus-menerus, sedangkan madlarat relative singkat
3.  Masyaqqat solusi alternativenya banyak, sedangkan madlarat  hanya ada satu
4. Dengan adanya Masyaqqat akan mendatangkan kemudahan dan adanya madlarat akan ada penghapusan hukum.
Dengan demikian adanya Rukhsoh (keringanan) dan penghapusan Dharar akan mendatangkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia, dan dalam konteks ini keduanya tidak mempunyai perbedaan.[3]

3.      Kaidah-kaidah mengenai kondisi madlarat.
          i.          الضرورات تبيح المحظورات “Kemadlaratan-kemadlaratan itu dapat memperbolehkan keharaman.

قال تعالى: وَمَا لَكُمْ أَلَّا تَأْكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ ۗ وَإِنَّ كَثِيرًا لَيُضِلُّونَ بِأَهْوَائِهِمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِالْمُعْتَدِينَ
119. mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, Padahal Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. dan Sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas.[4]
قال تعالى: إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ ۖ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
173. Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[5]

Melihat ayat diatas, tidak semua keterpaksaan itu membolehkan yang haram, akan tetapi terdapat batasan-batasan tertentu. Pembolehan terhadap larangan ini dilakukan karena ditakutkan jika tidak dilakukan akan mengancam eksistensi manusia yang terkait dengan panca tujuan, yaitu memelihara agama, jiwa,akal,keturunan dan kehormatan atau harta.[6]
Beberapa contoh dalam kasus ini seperti memakan bangkai, minum khamr,kufur untuk berbohong. Akan tetapi tetapi untuk mayat para nabi tetap tidak diperbolehkan dengan alasan menjaga kehormatan para nabi lebih utama dalam syariat dibandingkan kebutuhan menghilangkan madlarat.[7]

        ii.          ما أبيح للضرورة يقدر بقدرها  “ Apa yang diperbolehkan karena darurat maka diukur menurut kadar kemadlaratannya”
Contoh, kebolehan memakan bangkai bagi seseorang hanya sekadar dalam ukuran untuk mempertahankan hidup, tidak boleh melebihi.[8] Dalam hubungannya dengan kaidah ini, perlu dijelaskan lebih lanjut bahwa kebutuhan seseorang itu ada 5 (tingkat),[9] yaitu :
1. Tingkat darurat, tidak boleh tidak, seperti orang yang sudah sangat lapar, dia tidak boleh tidak harus memakan apa yang dapat dimakan, sebab kalau tidak, dia akan mati atau hampir mati.
2. Tingkat hajat, seperti orang yang lapar,. Dia harus makan, sebab kalau dia tidak makan dia akan payah, walaupun tidak membahayakan hidupnya.
3. Tingkat manfaat, seperti kebutuhan makan yang bergizi dan memberikan kekuatan, sehingga dapat hidup wajar.
4. Tingkat zienah, untuk keindahan dan kemewahan hidup seperti makan makanan yang lezat, pakaian yang indah, perhiasan dan sebagainya
5. Tingkat fudlul, berlebih-lebihan, misalnya banyak makanan yang syubhat atay yang haram dan sebagainya.

      iii.           ما جاز لعذر بطل بزواله “Apa yang dizinkan karena adanya uzur, maka keizinan itu hilang dengan hilangnya uzur. Misal diperbolehkannya tayamum bagi yang sakit, maka ketika sembuh kebolehan itu hilang, atau karena tidak ada air, maka kebolehan itu hilang jika menemukan air.[10]

      iv.          الميسورة لا يسقط بالمعسور  “ Kemudahan itu tidak dapat digugurkan dengan kesulitan”     Kaidah tersebut menurut Ibnu Subki diambil dari sabda Nabi SAW.
إذا أمرتكم بأمر فأتوا منه ماستطعتم
Apabila aku perintahkan kalian dengan sesuatu maka lakukanlah perintah itu semampumu” misal seorang yang buntung maka cara wudlunya cukup membasuh apa yang ada.[11]

        v.          الاضطرار لا يبطل حق الغبر “ Keterpaksaan itu dapat membatalkan hak orang lain”
Misalnya seorang dalam keadaan lapar, dan dia akan mati jika tidak makan, dan jalan satu-satunya adalah mencuri, maka dalam perkara ini tidak diperbolehkan karena pengguguran terhadap keterpaksaan ini menganggu hak orang lain.

      vi.          .      درءالمفاسد اولى من جلب المصالح فاذاتعارض مفسدة ومصلحة قدم دفع المفسدة غالبا
“Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada mendapatkan kemaslahatan, dan apabila berlawanan antara mafsadah dan maslahah maka yang didahulukan adalah menolak mafsadahnya” (as-Suyuthi, TT:62)
Kaidah tersebut diilhami oleh hadits nabi SAW:
 اذاامرتكم بامرفأ توا مااستطعتم واذانهيتكم عن شئ فاجتنبوه
“Apabila aku telah memerintahkanmu dengan suatu perintah maka kerjakanlah perintah itu semampumu, tetapi jika aku telah melarang padamu tentang sesuatu maka jauhilah”.(HR. Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah)"
Misalnya seseorang diprintahkan shalat dalam keadaan berdiri, namun ia tidak mampu melaksanakannya, maka shalat itu dapat dikerjakan dengan duduk atau berbaring. Menolak madharat didahulukan karena kerusakan akan berakibat pada hilangnya manfaat. Misalnya minum khomr itu disamping ada madharatnya merusak akal dan menghambur-hamburkan uang sedang manfaatnya untuk menguatkan badan , walaupun demikian maka yang dimenangkan adalah menolak kerusakannya.[12]

    vii.          الضرار لايزال بالضرر “kemadharatan itu tidak bisa dihilangkan dengan kemadhratan yang lain” 
Maksud kaedah itu adalah kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan cara melakukan kemudharatan lain yang sebanding keadaannya. Misalnya, seseorang debitor tidak mau membayar utangnya padahal waktu pembayaran sudah habis. Maka dalam hal ini tidak boleh kreditor mencuri barang debitor sebagai pelunasan terhadap hutangnya. Contoh lain seorang dokter tidak boleh melakukan donor darah dari satu orang ke orang lain jika hal itu menyebabkan si pendonor menderita sakit lebih parah dari yang menerima donor.[13]

  viii.           اذا تعارض مفسدتان روعى اعظمهما ضررا بارتكاب اخفِّهما“Apabila dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar madharatnya dengan memilih yang lebih ringan madharatnya”
Misalnya diperbolehkan mengadakan pembedahan perut wanita yang mati jika dimungkinkan bayi yang dikandungnya dapat diselamatkan. Demikian juga boleh shalat denga bugil jika tidak ada alat penutup sama sekali.[14]

      ix.           الحاجة العا مة اوالخاصة تنزل منزلة الضرورة“Kebutuhan umum atau khusus dapat menduduki tempat Dharar” Kaidah ini menunjukkkan bahwa keringanan itu tidak hanya berlaku bagi kemadharatan, baik kebutuhan umum maupun khusus, sehingga dapat dikatakan bahwa keringanan itu diperbolehkan karena kebutuhan sebagaimana kebolehan keringanan atas kemadharatan, karena itu hajat itu hampir sama kedudukannya dengan mudharat.
Misalnya, pada dasarnya transaksi jual beli diharuskan terpenuhi semua rukun dan syaratnya, namun untuk mempermudah transaksi tersebut maka diperbolehkan akad salam (pesanan) walaupun pada dasarnya hal itu tidak mengikuti hukum asal.

PENUTUP
Dari penjelasan diatas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa pemberlakuan kaidah fiqhiyah yang berkenaan dengan kemadlaratan hanya bisa dilakukan jika kemadlaratan tersebut menyangkut lima hal, yaitu; agama, jiwa, akal, keturunan, kehormatan/harta, sehingga tidak disalah gunakan hanya sekedar mencari kemudahan. Dengan memahami fungsi dari kaidah tersebut kita tidak hanya memberikan hukum larangan tapi juga mencoba memberikan solusi yang dapat memberikan manfaat dan mengurangi kemadlaratannya.

DAFTAR PUSTAKA
Drs. H.Abdul mudjib. Kaidah-kaidah ilmu fiqh. Jakarta pusat.: Kalam mulia,1996.
Ibnu Nujaim, Al-Ashbah wan Nadlair, Beirut, Darul Kutub Al-ilmiyah,1999.
Muchlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah, Jakarta: PT RajaGrafindo persada, 2002
Abdul hamid hakim, as-Sullam, juz II, Jakarta: maktabah as-sa’diyah putra.



[1] Muchlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah, (Jakarta: PT RajaGrafindo persada, 2002), hal.132
[2] Abdul hamid hakim, as-Sullam, juz II, Jakarta: maktabah as-sa’diyah putra, hlm 59
[3] Op.cit, Muchlis Usman. Hal 133.
[4] Al-An’am 119
[5] Al-Baqarah 173.
[6] Op.cit, Muchlis Usman. Hal 134.
[7] Ibnu Nujaim, Al-Ashbah wan Nadlair, Beirut, Darul Kutub Al-ilmiyah,1999, hal 73.
[8] Ibid, Ibnu Nujaim, hal 73.
[9] Drs. H.Abdul mudjib. Kaidah-kaidah ilmu fiqh. Jakarta pusat.: Kalam mulia. 1996.  Hal 43.
[10] Ibid, Ibnu Nujaim, hal 74.
[11] Op.cit, Muchlis Usman. hal 136.
[12] Op.cit, Muchlis Usman. hal 137.
[13] Op.cit, Muchlis Usman. hal 138.
[14] Op.cit, Muchlis Usman. hal 138.

Thursday 21 April 2016

Peran Qawaid Fiqhiyyah Dalam Konteks Keraguan


Oleh: Hendro Risbiyantoro

Pendahuluan
1.1  Latar Belakang Masalah
Banyak permasalahan muncul di dalam kehidupan sehari-hari dengan berbagai macam jenisnya. Dengan adanya permasalahan-permasalahan tersebut, tentunya menuntut kita untuk mencari jalan ke luar untuk menyelesaikannya. Seperti kita ketahui adanya kaidah fiqih (qawaid fiqhiyyah) merupakan kaidah yang bersifat umum dan biasa untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang bersifat praktis dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam pembahasan kali ini, penulis mengkhususkan pembahasan tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan kaidah fiqih sebagai jalan keluarnya. Namun tentunya tidak semua kaidah fiqih akan dibahas dalam makalah ini melainkan salah satu dari kaidah-kaidah yang ada. Makalah ini ditulis untuk meneruskan pembahasan-pembahasan yang telah dilakukan sebelumnya. Sebagaimana kita ketahui, ada lima (panca) kaidah yang telah dirumuskan oleh ulama’-ulama’ ushul. Yaitu “الأمور بمقاصدها” (segala sesuatu tergantung pada tujuannya), “اليقين لا يزال بالشك” (yakin itu tidak dapat dihiangkan dengan adanya keraguan), “المشقة تجلب التيسير” (kesulitan itu dapat menarik kemudahan), “الضرر يزال” (kemudharatan itu harus dihilangkan”, “العادة محكمة” (adat atau kebiasaan itu bisa dijadikan hukum.

Salah satu masalah yang sering muncul dalam kehidupan kita adalah masalah yang berkenaan dengan keyakinan dan keraguan di dalam memutuskan sesuatu. Sebagai contohnya adalah ketika kita sedang dalam keadaan berwudlu dalam jangka waktu yang cukup lama, sehingga kita lupa apakah sudah batal wudlu kita atau belum, makan di situ ada kaidah fiqhiyyah yang bisa kita pakai. Contoh lain misalkan kita sedang berada dalam sholat, lantas kita lupa jumlah rekaat shalat pada waktu itu, apa yang harus kita lakukan? Tentunya apa yang akan kita lakukan harus berdasar kepada sebuah dalil agar shalat kita tetap sah. Dari sinilah kita akan tahu akan pentingnya kaidah kedua dari qawaid fiqhiyyah, yaitu “اليقنن لا يزال بالشك”. (yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan adanya keraguan). Lalu bagaimanakan peran kaidah fiqih tersebut dalam konteks keraguan yang sering terjadi di masyarakat muslim? Kita akan mengetahuinya dalam pembahasan selanjutnya.

Kaidah-kaidah fiqih yang ada dalam khazanah keilmuan (qawaid fiqhiyyah) pada dasarnya terbagi dalam dua kategori. Pertama adalah kaidah fiqih yang hanya diperuntukkan untuk masalah individu dan masalah ibadah dalam arti hubungan vertikal antara setiap individu dengan Alla SWT. Kedua, kaidah fiqih yang memang sengaja dimunculkan untuk menyelesaikan masalah terkait hubungan yang bersifat horizontal antar manusia itu sendiri selain memang di dalamnya terdapat hubungan vertikal karena beberapa objek yang menjadi kajian adalah hukum Islam yang tentu saja itu semua bersumber dari-Nya. Menurut hemat penulis, bahwa kaidah ini sangat penting untuk dibahas karena merupakan kaidah yang berisi tentang al-yaqin dan asy-syakk. Imam As-Suyuthi menyatakan: “kaidah ini mencakup semua pembahasan dalam Fiqih, dan masalah-masalah yang berkaitan dengannya mencapai ¾ dari subyek pembahasan fiqih”.[1] Imam Al-Qarafi menambahkan: “dalam kaidah ini seluruh ulama sudah bersepakat dalam mengamalkannya dan kita harus selalu mempelajarinya”.

Dalam kaitannya dengan apa yang menjadi pembahasan kita, Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى  الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ، كَالرَّاعِي يَرْعىَ حَوْلَ الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ، أَلاَ وَإِنَّ  لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ   مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ  أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ[2]

Yang artinya adalah: Dari Abu Abdillah Nu’man bin Basyir radhiallahuanhu dia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Diantara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh orang banyak. Maka siapa yang takut terhadap syubhat berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya disekitar (ladang) yang dilarang untuk memasukinya, maka lambat laun dia akan memasukinya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan dan larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan. Ketahuilah bahwa dalam diri ini terdapat segumpal daging, jika dia baik maka baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh, ketahuilah bahwa dia adalah hati.

Kemudian para ulama’ mengisyaratkan kepada setiap umat Islam untuk mengerjakan sesuatu yang sudah pasti dan membuang keragu-raguan, sehingga seakan-akan ulama telah sepakat tentang keberadaan kaidah, akan tetapi mereka tidak bersepakat dalam prosedur tata laksana kaidah ini. Kaidah ini menghantarkan kepada kita kepada konsep kemudahan demi menghilangkan kesulitan yang kadang kala menimpa kepada kita, dengan cara menetapkan sebuah kepastian hukum dengan menolak keragu-raguan. Dan telah diketahui akibat dari keragu-raguan adalah adanya beban dan kesulitan, maka kita diperintahkan untuk mengetahui hukum secara benar dan pasti sehingga terasa mudah dan ringan dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Termasuk didalamnya adalah aqidah dan ibadah.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka penulis akan membahas kaidah “اليقين لا يزال بالشك” (Yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan adanya keraguan) menjadi tiga poin sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan kaidah “اليقين لا يزال بالشك” (Yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan adanya keraguan)?
2.      Apakah dasar hukum dari kaidah “ اليقين لا يزال بالشك” (Yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan adanya keraguan)?
3.      Apa sajakah kaidah turunan yang timbul dari kaidah “ اليقين لا يزال بالشك” (Yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan adanya keraguan)?


1.3  Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1.      Pembaca dapat mengetahui secara detail apa yang dimaksud dengan kaidah “اليقين لا يزال بالشك” (Yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan adanya keraguan).
2.      Pembaca mengerti dasar hukum dari kaidah “اليقين لا يزال بالشك” (Yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan adanya keraguan).
3.      Pembaca mengetahui kaidah-kaidah terkait dengan kaidah “اليقين لا يزال بالشك” (Yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan adanya keraguan).


Pembahasan
2.1 Kaidah Fiqih Tentang Keyakianan dan Keraguan
Keyakinan dan keraguan merupakan dua hal yang berbeda, bahkan bisa dikatakan saling berlawanan. Hanya saja, besarnya keyakinan dan keraguan akan bervariasi tergantung lemah-kuatnya tarikan yang satu dangan yang lain. Sebelum menjelaskan kaidah Al Yaqinu la Yuzalu Bi al-Syak ini penulis akan menjelaskan terlebih dahulu makna Al Yaqinu la Yuzalu Bi al-Syak dari segi bahasa dan dari segi istilah.

1.      اليقين (Keyakinan)
Menurut Bahasa berarti: pengetahuan dan tidak ada keraguan didalamnya.[3] Ulama sepakat dalam mengartikan Al-Yaqin yang artinya pengetahuan dan merupakan anonim dari Asy-Syakk.
Sedangkan menurut istilah ada beberapa pendapat. Menurut Imam Al-Jurjani,  Al-Yaqin adalah meyakini sesuatu bahwasanya “begini” dengan berkeyakinan bahwa tidak mungkin ada kecuali dengan ”begini” cocok dengan realita yang ada, tanpa ada kemungkinan untuk menghilangkannya”.[4] As-Suyuthi menyatakan Al-Yaqin adalah ”sesuatu yang tetap dan pasti yang dapat dibuktikan melalui penelitian dan menyertakan bukti-bukti yang mendukungnya”.[5] Menurut ulama yang lain, Al-yaqin adalah ”pengetahuan yang bersifat tetap dan pasti dan dibenarkan oleh hati dengan menyebutkan sebab-sebab tertentu dan tidak menerima sesuatu yang tidak bersifat pasti”.

2.      الشك (Keraguan)
Menurut bahasa, as-syak bisa juga dikatakan anonim dari al-yaqin. Juga bisa diartikan sesuatu yang membingungkan.

Sedangkan menurut istilah ada beberapa pendapat. Menurut Imam Al-Maqarri Asy-Syakk adalah ”sesuatu yang tidak menentu (meragukan) antara ada atau tidak ada.[6] Menurut Imam Al-Jurjani Asy-Syakk adalah ”sesuatu yang tidak menentu (meragukan) antara sesuatu yang saling berlawanan, tanpa dapat dimenangkan salah satunya”.

Dari uraian diatas maka dapat diperoleh pengertian secara jelas bahwa sesuatu yang bersifat tetap dan pasti tidak dapat dihapus kedudukannya oleh keraguan. Sehingga al-yaqin bukan termasuk sesuatu yang terbebankan. Dan apabila ada sebuah dalil yang memberikan pembebanan kepada al-yaqin, maka harus sesuai dengan sendi agama. Contoh: hukum asal air adalah suci, baik air hujan, sungai, laut, sumber, danau. Hukum asal air telah pasti suci dan tidak ada sesuatu yang meragukan hukum asal air tersebut.

2.2  Dasar Hukum Kaidah “ اليقين لا يزال بالشك
Dasar-dasar kaidah tentang keyakinan dan keraguan berdasarkan kepada Al-Qur-an, Hadits Nabi Muhammad saw, Ijma para Sahabat, dan dalil Aqli yang disepakati jumhur Ulama. Berikut adalah penjelasannya :
Firman Allah SWT :
وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللّهِ إِن يَتَّبِعُونَ إِلاَّ الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلاَّ يَخْرُصُونَ
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).
Dusta mereka di sini adalah seperti menghalalkan memakan apa-apa yang telah diharamkan Allah dan mengharamkan apa-apa yang telah Dihalalkan Allah, menyatakan bahwa Allah mempunyai anak.

وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّاإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ [7] 
Artinya: Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan.

Di sini dijelaskan bahwa sesuatu yang diperoleh dengan prasangkaan sama sekali tidak bisa mengantikan sesuatu yang diperoleh dengan keyakinan.

Hadits Rasulullah SAW:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا[8]

“Apabila salah seorang diantara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu dia kesulitan menetukan apakah sudah keluar sesuatu (kentut) ataukah belum, maka jangan ia keluar dari masjid (membatalkan sholatnya) sampai dia mendengar suara atau mencium bau.”

Menurut al-Nawawi, hadis ini merupakan salah satu landasan dasar yurisprudensi Islam yang kemudian dijadikan fundamen terbangunnya kaidah-kaidah fiqh. Dari hadis ini pula terbangun konsep serta metodologi-analitis mengenai status objek, yakni dengan cara melihat status hukum asalnya yang tidak akan berubah hingga ada unsur eksternal yang valid dan mampu mempengaruhi keasliannya. Secara eksplisit, hadis ini memang berbicara dalam konteks seseorang yang ragu apakah telah merasakan keluarnya angin (kentut) atau tidak. Dalam hal ini, Nabi menegaskan, keraguan yang baru timbul itu tidak dapat mempengaruhistatus wudhunya. Kecuali jika memang telah benar-benar mendengar bunyi atau mencium bau angin tersebut.

Dalam hadits lain dinyatakan:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلَاتَهُ وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا لِأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَان[9]
“Apabila salah seorang diantara kalian ragu dalam shalatnya, apakah dia telah mencapai tiga atau empat rakaat? Maka hendaklah dia membuang jauh-jauh keraguan itu dan berpeganglah pada keyakinannya, kemudian sujud (sujud sahwi)-lah dua kali sebelum salam. Jika (kenyataannya) dia shalat sampai lima raka’at, maka shalatnya akan akan genaplah shalatnya. Namun bila –ternyata- empat rakaat, maka dua sujudnya akan membuat malu setan”

Hadis ini berbicara mengenai keraguan yang terjadi pada jumlah bilangan rakaat. Apabila dalam shalat timbul keraguan mengenai jumlah bilangan raka’at, maka yang di jadikan pedoman adalah bilangan minimal. Sebab bilangan inilah yang di yakini. Karena apabila yang dipilih adalah bilangan yang lebih besar , maka ada kemungkinan akan salah perhitungan. Tapi jika jumlah minimal yang menjadi pilihan sebagai landasan untuk meneruskan shalat, kemungkinan salahnya tipis.

2.3  Kaidah-kaidah Terkait dengan Kaidah “اليقين لا يزال بالشك
Muhammad Shidqi Ibn Ahmad al-Burnu menjelaskan bahwa kaidah al-yaqin la yazalu bi al-syak adalah bersumber dari Abu Hanifah. Zaid al-Dabusi dalam kitab Ta’sis al-Nazhar menyatakan bahwa: “Menurut Abu Hanifah, sesuatu yang ditetapkan dengan. cara penelitian dari segala segi dan meyakinkan dari seluruh seginya, hukumnya ditetapkan berdasarkan penelitian tersebut sebelum terdapat bukti kuat yang mengingkarinya.” Adapun kaidah-kaidah terkait dengan kaidah “اليقين لا يزال بالشك” adalah:
1.      الأصل بقاء ما كان على ماكان “Hukum asal adalah tetapya apa yang telah ada atas apa yang telah ada”. Contohnya: Jika ada dua orang yang mengadakan utang piutang, dan keduanya berselisih apakah hutangnya sudah dibayar apa belum sedangkan pemberi hutang itu bersumpah bahwa hutang belum dilunasi, maka sumpah pemberi hutang itu akan dimenangkan karena yang demikian itu yang benar menurut kaidah di atas. Hal demikian itu bisa berubah jika orang yang berhutang mampu memberikan bukti berupa kwitansi atau catatan lainnya.

2.      الأصل براءة الذمة “Hukum yang asal adalah bebasnya seseorang dari segala tanggungan”. Contohnya: Jika terjadi pertengkaran antara tertuduh dan penuduh, selama penuduh tidak ada bukti, maka yang dimenangkan adalah pengakuan tertuduh karena pada dasarnya ia bebas dari segala beban atau tanggungjawab.


3.      من شك أفعل شيأ أم لا فالأصل أنه لم يفعله “Barangsiapa yang ragu-ragu apakah ia telah melakukan sesuatu atau belum, maka hukum yang terkuat adalah ia belum melakukannya”. Contohnya: Ada seseorang bingung dan ragu terkait masalah wudlu, apakah dia sudah berwudlu atau belum. Maka dalam hal ini, dia dianggap belum berwudlu, karena belum wudlu merupakan hukum asal.

4.      من تيقن الفعل وشك في القليل أو الكثير حمل على القليل لأنه المتيقن “Barangsiapa yang yakin melakukan pekerjaan tetapi ragu-ragu tentang sedikit banyaknya perbuatan, maka yang dianggap adalah yang sedikit karena hal itu yang meyakinkan”. Contohnya: Ada seseorang yang shalat, dia lupa sudah mengerjakan 3 rekaat apa 4 rerkaat dalam shalatnya, maka yang dianggap adalah yang 3, karena yang 3 itulah yang diyakini sudah dilaksanakan sedangkan 4 belum tentu.

5.      إن ما ثبت بيقين لا يرتفع إلا بيفين “Sesungguhnya sesuatu yang berdasar pada keyakinan, tidak dapat dihilangkan kecuali dengan yang yakin pula”. Contohnya:  Jika ada imam yang ragu dalam blangan rekaatnya, sudah sampai 3 atau 4. Ketika dia yakin baru sampai 3 dan ingin berdiri, akan tetapi makmum mengingatkan dengan kalimat tasbih, maka yang dianggap adalah yang empat, karena sudah ada dalil atau bukti dari makmum yang lebih banyak.


6.      الأصل العدم “Asal dari segala hukum adalah tidak adanya beban”. Contohnya: ketika terjadi perselisihan antara penjual dan pembeli tentang kerusakan barang, dalam hal ini penjual dimenangkan, karena barang dagangan dijual dalam keadaan baik atau telah dicoba sebelumnya oleh pembeli.

7.      الأصل في كل حادث تقديره بأقرب زمن “Asal dari kasus mengenai perkiraan waktu adalah dilihat dari yang terdekat waktunya”. Contohnya: Ada seseorang wudlu dengan air sumur dan melaksanakan shalat. Setelah shalat ia melihat ada bangkai kambing di dalam sumur itu. Maka dia tidak wajib mengkada’ shalatnya. Karena yang diyakini adalah dia berwudlu dengan air suci. Masa ia berwudlu dan masa ia melihat bangkai kambing lebih dekat masa ia berwudlu.


8.      الأصل في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم “Hukum asal sesuatu adalah kebolehan, sehingga terdapat bukti/ dalil yang mengharamkan”. Contohnya: Apa saja yang ada di bumu ini adalah halal, sampai adanya dalil yang menunjukkan akan keharamannya, maka dia akan menjadi haram.

9.      الأصل في العبادات التوفيق والإتباع “Hukum asal dari ibadah adalah mengikuti ajaran yang ditetapkan”. Contohnya: Jumlah rekaat dalam shalat maghrib itu 3, maka tidak diperbolehkan menambahnya menjadi empat.

10.  الأصل في الإبضاء التحريم “Hukum asal tentang seks adalah haram”. Pernyataan ini tentunya akan menjadi halal ketika adanya jalan yang bisa menjadikannya halal, yaitu dengan menikah.

11.  الأصل في الكلام الحقيقة “Hukum asal dalam memahami kalimat adalah hakikat”. Cotohnya: Ada orang tua yang sebelum meninggal ia mengatakan ingin memberikan hadiah kepada seseorang, maka hal tersebut bukan dianggap wasiat, karena makna yang asal adalah hakikat pemberian, bukan arti dibalik pemberiannya itu.[10]

Penutup
Keyakinan dan keraguan merupakan dua hal yang berbeda, bahkan bisa dikatakan saling berlawanan. Hanya saja, besarnya keyakinan dan keraguan akan bervariasi tergantung lemah-kuatnya tarikan yang satu dangan yang lain. Dalil ‘aqli (akal) bagi kaidah keyakinan dan keraguan adalah bahwa keyakinan lebih kuat dari pada keraguan, karena dalam keyakinan terdapat hukum qath’i yang meyakinkan. Atas dasar petimbangan itulah bisa dikatakan bahwa keyakinan tidak boleh dirusak oleh keraguan. Dari pembahasan tentang kaidah keyakinan tidak bisa hilang dengan adanya keraguan ini, oleh karenanya pemakalah mengambil kesimpulan bahwa apabila kita telah yakin terhadap sesuatu dalam hati, maka hal itu lah yang berlaku, kecuali memang ada dalil atau bukti lain yang lebih kuat atau meyakinkan sehingga dapat membatalkan keyakinan kita itu. Karena sesuai dengan maknanya yakin itu adalah kemantapan hati atas sesuatu. Intinya rasa ragu itu tidak bisa menghapuskan keyakinan kita.

Referensi
Al-qur’an al-karim dan terjemahannya.
As-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman. Al-Asybah Wa An-Nadzair fi qawaid wa furu’ fiqh Asy-Syafi’iyyah, Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, t.th.
Asjmuni A. Rahman, Kaidah-kaidah Fiqih (Qawai’idul Fiqhiyyah), Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Hadits Digital (online) 9 imam
Internet: http://semuaberbagiilmu.blogspot.com/2014/09/qawaid-fiqhiyyah-keyakinan.html
Mandzur, Ibnu, Lisanul Arob, Beirut: Darulkhottob, 2005.
M. Ab Husain, Ya’qub Abdulwahhab. Kaidah Al-Yaqin La Yuzalu Bi Asy-Syakk. Riyadh: Maktabah Ar-Rasyd, t.th.
Usman, Mukhlis. Kaidah-kaidah Ushuliyyah dan Fiqhiyyah Pedoman Dasar dalam Istimbath hukum Islam. Jakarta: Raja Grafindo. 1999.



[1] Assuyuti, Al-asybah Wan Nadzair, hal.55
[2] Hadits riwayat Imam Bukhari, Shahih Bukhari, juz 1, hal 28
[3] Ibnu Mandzur, Lisanul ‘Arab, juz 13 hal. 457
[4] Al-Jurjani, Atta’rifat hal. 322
[5] As-Suyuthi, Al-Asybah Wa An-Nadzair, hal. 58
[6] Al-Maqarri, Al-misbah Al-munir, juz 1, hal. 320
[7] Surat Yunus, ayat 36
[8] Hadits riwayat Muslim no 362
[9] Hadits riwayat Muslim, no. 571
[10] Muslih Usman, Kaidah-kaidah Usuliyyah dan Fiqhiyyah, hal. 122