Saturday 4 June 2016

Pulang ke Indonesia Ikut Awal Puasa Negara Setempat Atau Indonesia?


Sejumlah Negara kadang berbeda dalam menentukan awal masuknya bulan Ramadhan yang mulia, ada yang berbeda sehari bahkan pernah ada yang perbedaannya hingga dua hari. Hal ini tidak menjadi masalah karena ru’yatul hilal bisa terjadi berbeda waktu di negara dan tempat yang berbeda, dan yang dianjurkan adalah mengikuti waktu hilal setempat. seperti yang disebutkan dalam sebuah riwayat:

عنْ كُرَيْبٍ أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ فَقَالَ: فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللهِ بْنُ عَبَّاسٍ ، ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلالَ فَقَالَ: مَتَى رَأَيْتُمْ الْهِلالَ ؟ فَقُلْتُ : رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ، فَقَالَ : أَنْتَ رَأَيْتَهُ ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ ، وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ ، فَقَالَ: لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلاثِينَ أَوْ نَرَاهُ ، فَقُلْتُ : أَلا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ ؟ فَقَالَ: لا ، هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Dari Kuraib: “Sesungguhnya Ummu Fadl binti al-Harits telah mengutusnya menemui Mu’awiyah di Syam. Berkata Kuraib:” Lalu aku datang ke Syam, terus aku selesaikan semua keperluannya. Dan tampaklah olehku (bulan) Ramadlan, sedang aku masih di Syam, dan aku melihat hilal (Ramadlan) pada malam Jum’at. Kemudian aku datang ke Madinah pada akhir bulan (Ramadlan), lalu Abdullah bin Abbas bertanya ke padaku (tentang beberapa hal), kemudian ia menyebutkan tentang hilal, lalu ia bertanya; “Kapan kamu melihat hilal (Ramadlan)?” Jawabku : “Kami melihatnya pada malam Jum’at”.Ia bertanya lagi : “Engkau melihatnya (sendiri) ?” Jawabku: “Ya! Dan orang banyak juga melihatnya, lalu mereka puasa dan Mu’awiyah Puasa”. Ia berkata: “Tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu, maka senantiasa kami berpuasa sampai kami sempurnakan tiga puluh hari, atau sampai kami melihat hilal (bulan Syawal) “. Aku bertanya: “Apakah tidak cukup bagimu ru’yah (penglihatan) dan puasanya Mu’awiyah?” Jawabnya : “Tidak! Begitulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, telah memerintahkan kepada kami[1].

Hadist di atas juga menjadi salah satu landasan golongan yang berpegang kepada ikhtilaful mathla’ sehingga tidak mengikuti hisab atau ru’yah negara lain. Bahkan dalam Shahih Ibnu Khuzaimah ditegaskan bahwa wajib hukumnya tiap-tiap penduduk negeri untuk berpuasa Ramadhan berdasarkan ru’yah mereka, bukan ru’yah selain negeri mereka[2].

Kemudian dari sini timbul pertanyaan, jika ada warga negara Indonesia yang tinggal di negara lain dimana awal penentuan Ramadhanya berbeda sehari atau dua hari dengan Indonesia, dan WNI ini hendak pulang ke Indonesia di pertengahan Ramadhan atau beberapa hari setelah awal puasa, dia harus ikut awal puasa Indonesia atau negara tempatnya tinggal? Konsekuensinya jika dia ikut awal puasa di negaranya berada, ketika sampai di Indonesia dia akan menjalani jumlah hari puasa yang tidak sempurna, bisa kurang dari 29 hari karena lebaran di Indonesia lebih awal, atau puasa lebih dari 30 hari karena awal puasa di negara sebelumnya yang jauh lebih awal dari Indonesia.
Di sini perlu kita bagi 3 cabang masalah dari pertanyaan di atas:
  •         Puasa ikut negara setempat atau puasa ikut Indonesia karena mau pulang
  • .      Bolehkah Shalat Eid di hitungan hari ke 2 atau 3 syawwal dan bagaimana jika puasa hanya       terhitung 28 hari?
 Pembahasan

Pembahasan tentang dimana mengikuti awal hari berpuasa tentu sudah menjadi polemik lama antar ulama. Ada kelompok yang berpegang kepada wihdatul mathla’ atau ru’yat yang bersifat universal, sehingga bila satu wilayah sudah melihat adanya hilal maka wilayah lain wajib mengikutinya. Kelompok kedua adalah kelompok yang berpijak pada ikhtilaful matholi’ atau berpegang kepada perbedaan munculnya hilal, maka bagi kelompok ini hilal disesuaikan kepada munculnya di tiap-tiap tempat atau negara. Adapun sebab perbedaan keduanya adalah dalam menyikapi ayat Qur’an dan hadist terkait munculnya hilal dan perintah memulai puasa. Hal ini kemudian berpengaruh juga kepada penentuan puasa Arofah. Namun belakangan, dengan melihat kepada sejumlah dalil seperti hadist Kuraib yang disebutkan di atas, pendapat untuk mengikuti puasa sesuai negara menjadi kecondongan banyak ulama.

Dalam syarah sohih Muslim, Imam Nawawi dalam menjelaskan hadist Kuraib mengatakan:

وَأَنَّهُمْ إِذَا رَأَوُا الْهِلَالَ بِبَلَدٍ لَا يَثْبُتُ حُكْمُهُ لِمَا بَعُدَ عَنْهُمْ فِيهِ حَدِيثُ كُرَيْبٍ عَنِ بن عَبَّاسٍ وَهُوَ ظَاهِرُ الدَّلَالَةِ لِلتَّرْجَمَةِ وَالصَّحِيحُ عِنْدَ أَصْحَابِنَا أَنَّ الرُّؤْيَةَ لَا تَعُمُّ النَّاسَ بَلْ تَخْتَصُّ بِمَنْ قَرُبَ عَلَى مَسَافَةٍ لَا تُقْصَرُ فِيهَا الصَّلَاةُ وَقِيلَ إِنِ اتَّفَقَ الْمَطْلَعُ لَزِمَهُمْ وَقِيلَ إِنِ اتَّفَقَ الْإِقْلِيمُ وَإِلَّا فَلَا وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا تَعُمُّ الرُّؤْيَةُ فِي مَوْضِعٍ جَمِيعَ أَهْلِ الْأَرْضِ فَعَلَى هَذَا نَقُولُ إِنَّمَا لَمْ يعمل بن عَبَّاسٍ بِخَبَرِ كُرَيْبٍ لِأَنَّهُ شَهَادَةٌ فَلَا تَثْبُتُ بِوَاحِدٍ لَكِنَّ ظَاهِرَ حَدِيثِهِ أَنَّهُ لَمْ يَرُدَّهُ لِهَذَا وَإِنَّمَا رَدَّهُ لِأَنَّ الرُّؤْيَةَ لَمْ يَثْبُتْ حُكْمُهَا فِي حَقِّ الْبَعِيدِ[3]

Dan jika terlihat hilal pada suatu negara, tidak berlaku hukumnya pada negara yang jauh darinya, dari situ tertera hadist Kuraib dari Ibnu Abbas yang menjelaskan secara jelas. Dan yang benar menurut pendapat Ashhabinaa (ulama Syafi’iyah) : ru’yah pada suatu negeri tidak berlaku untuk setiap orang dibumi ini, tetapi dibatasi pada kawasan dibawah jarak berlakunya qashar. Pendapat lain dibatasi pada kawasan yang sama mathali’nya. Pendapat lain lagi, dibatasi hanya pada yang sama iklimnya. Sebagian Ashhabinaa : Ru’yah mewajibkan puasa semua penduduk bumi. Maka dalam hal ini kami berpendapat bahwa Ibnu Abbas menolak berita Kuraib bukan karena kesaksiannya hanya satu orang, tetapi karena ru’yah tidak berlaku bagi orang yang jauh.”

Hal ini juga ditegaskan dalam kitabnya yang terkenal di kalangan Syafi’iyah, dalam kitab Minhaju Thalibin, imam Nawawi juga menekankan bahwa hilal berlaku untuk negara yang berdekatan dan sama terlihat mathla’nya, sementara untuk batasan diberlakukannya ikhtilaful mathali’ adalah batas berlakunya shalat qasar[4].

Termasuk yang kontemporer adalah yang termaktub dalam fatwa syaikh Utsaimin dalam Majmu Fatwanya ketika ditanya tentang perbedaan hari arafah karena perbedaan dalam “munculnya hilal”, maka beliau menjawab:

هذا يبنى على اختلاف أهل العلم: هل الهلال واحد في الدنيا كلها أم هو يختلف باختلاف المطالع؟ والصواب أنه يختلف باختلاف المطالع... وكذلك لو قدر أنه تأخرت الرؤية عن مكة وكان اليوم التاسع في مكة هو الثامن عندهم، فإنهم يصومون يوم التاسع عندهم الموافق ليوم العاشر في مكة، هذا هو القول الراجح، لأن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يقول: «إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا[5]

“hal ini tergantung kepada pandangan para ahli Ilmu: apakah hilal itu satu di dunia secara universal, atau dia berbeda berdasarkan terbitnya? Dan yang paling benar adalah bahwa Hilal berbeda sesusai dengan tempat munculnya. … dan juga apabila ditetapkan bahwa hasil rukyat negara itu tertinggal dari Mekkah, sehingga tanggal 9 di Mekkah menjadi tanggal 8 di negara tersebut, maka penduduk negara itu puasanya pada tanggal 9 menurut negara itu, walaupun itu berarti sudah tanggal sudah tanggal 10 di Mekkah. Dan inilah pendapat yang rajih karena Nabi SAW bersabda: Apabila kamu melihatnya (hilal) maka berpuasalah dan apabila kamu melihatnya maka berbukalah. (juz 20 hal 47).
          
        Fatwa tersebut mempunyai korelasi dengan pendapat imam Ibnu Hajar al Haitami, apabila kita berpindah ke negara lain saat berpuasa:

وَإِذَا لَمْ نُوجِبْ الصَّوْمَ عَلَى أَهْلِ الْبَلَدِ الْآخَرِ لِاخْتِلَافِ مَطَالِعِهِمَا فَسَافَرَ إلَيْهِ مِنْ بَلَدِ الرُّؤْيَةِ إنْسَانٌ فَالْأَصَحُّ أَنَّهُ يُوَافِقُهُمْ فِي الصَّوْمِ آخِرًا وَإِنْ أَتَمَّ ثَلَاثِينَ؛ لِأَنَّهُ بِالِانْتِقَالِ إلَيْهِمْ صَارَ مِثْلَهُمْ[6]

Dan jika tidak diwajibkan berpuasa pada penduduk negara lain, karena perbedaan mathali’nya, kemudian dia berpindah dari negara yang mendapat ru’yah di awal, maka yang benar adalah agar dia mengikuti akhir puasa pada negara yang dipindahinya walaupun harus menggenapkan sejumlah 30 hari, karena dengan pindahnya dia ke negara lain menjadi bagian dari penduduknya.

           Maka dari sini jika kita berpegang kepada madzhab yang pertama yakni wihdatul mathla’ yang memandang bahwa hilal adalah satu, sebaiknya harus konsisten, tidak dengan pertimbangan karena akan pulang ke Indonesia yang berbeda hari lebarannya dan harus punya landasan syar’i mengapa harus ikut hilal di Indonesia. Namun jika mengikuti kelompok ikhtilaful mathali’ maka sesungguhnya akan lebih longgar dan fleksibel karena awal puasa mengikuti negara setempat dan ketika pulang bisa menggenapkan hitungan hari puasanya hingga 30 hari sesuai fatwa imam Ibnu Hajar Al Haitami.

Bolehkah Shalat Eid di hitungan hari ke 2 atau 3 syawwal?

            Hal ini merupakan konsekuensi bagi yang pulang ke Indonesia dengan awal hari puasa yang berbeda, yakni perbedaan masuk syawwal secara hitungan hari. Bila di negara setempat awal ramadahan lebih awal daripada Indonesia maka otomatis dia akan melakukan shalat Eid yang dalam hitungannya adalah hari ke 2 syawwal. Menyikapi hal ini ada sebuah hadist yang menjelaskan kebolehannya:

وَعَنْ أَبِي عُمَيْرِ بْنِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا  عَنْ عُمُومَةٍ لَهُ مِنْ الصَّحَابَةِ، أَنَّ رَكْبًا جَاءُوا فَشَهِدُوا أَنَّهُمْ رَأَوْا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ، فَأَمَرَهُمْ النَّبِيُّ  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُفْطِرُوا وَإِذَا أَصْبَحُوا أَنْ يَغْدُوا إلَى مُصَلَّاهُمْ

“Dari Abu Umairah Ibnu Anas Ibnu Malik Radliyallaahu ‘anhu dari paman-pamannya di kalangan shahabat bahwa suatu kafilah telah datang, lalu mereka bersaksi bahwa kemarin mereka telah melihat hilal (bulan sabit tanggal satu), maka Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan mereka agar berbuka dan esoknya menuju tempat sholat mereka”  (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Dalam kitab Subulussalam hadist tersebut dijadikan landasan oleh imam Syaukani tentang dibolehkannya melakukan sahalat Eid di hari ke dua dan tiga dengan alasan ketidak tahuan, kemudian diqiyaskan kepada semua jenis udzur syar’i[7].

Lantas kemudian bagaimana dengan mereka yang di negaranya memulai puasa sehari setelah Indonesia sehingga dalam hitungan jumlah puasanya tidak sampai 29 hari bila harus mengikuti shalat Eid di Indonesia.

Dalam menentukan jumlah hitungan hari dalam Ramadhan, sebenarnya banyak riwayat yang menerangkan bahwa Ramadhan itu bisa 29 hari atau 30 hari, seperti dalam hadist berikut:

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ ,الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا

“Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah, Kami tidak mengenal tulis-menulis dan tidak pula mengenal ilmu hisab, Bulan itu bisa seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30)”.(HR. Ahmad: 5017, HR. Bukhori: 1913, HR.Muslim: 1080)

Maka bila fenomena ini terjadi, dimana ketika kita mengikuti awalm puasa di negara yang berbeda sehari setelah awal di Indonesia, dan terhitung jumlah puasanya hanya dua puluh delapan hari, kemungkinan terbesar yang harus dilakukannya adalah mengqadha’ sehari puasanya di luar Ramadhan hingga menggenapkan menjadi 29 hari.

Wallahu a’lam bisshawab
Oleh : Firman Arifandi, LLB




[1]  (HR. Muslim [1087], Ahmad 1/306, Abu Dawud [2332], al-Tirmidzi [693], al-Nasa’i 4/131 dan Ibnu Khuzaimah [1916]).
[2] Shahih Ibnu Khuzaimah. Bab 3/205 (dikatakan dalam bab pembahasannya sebagai :
(بَابُ الدَّلِيلِ عَلَى أَنَّ الْوَاجِبَ عَلَى أَهْلِ كُلِّ بَلْدَةٍ صِيَامُ رَمَضَانَ لِرِؤْيَتِهِمْ لَا رُؤْيَةِ غَيْرِهِمْ
[3] Nawawi. Syarah Nawawi ‘ala-l-Muslim. Dar ihya turos arabiy. Juz 7 hal 197
[4] Nawawi. Minhaju-t-Talibin wa umdatul muftiin fil fiqh. Darul fikr. Hal 74
[5] Majmu fatawa wa rasail Fadilatu Syaikh Muhammad Bin Sholih al Utsaimin, Juz 20 hal 47
[6] Al Haitami, Ibnu Hajar. Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj. Maktabah Musthofa. Juz 3 hal 383
[7] Shan’ani. Subulussalam. Juz 1/ hal. 427