Oleh:
Zulfikri Hasibuan
A. PENDAHULUAN
A.1.
Latar Belakang
Qawaidul
Fiqhiyah atau biasa disebut kaidah-kaidah fikih adalah ketentuan-ketentuan yang
bersifat kulli (menyeluruh atau umum) yang mencakup bagian-bagiannya. Bisa juga
dikatakan sebagai ketentuan umum yang menghukumi beberapa bab pembahasan
masalah fikih[[1]]. Terkait dengan hakikat
dari kaidah fikih itu sendiri, dapat dilihat kembali pada pembahasan tentang
hakikat dan urgensi qawaid fiqhiyah sebelumnya. Jelasnya, kaidah-kaidah fikih
ini sangat penting dalam kehidupan manusia. Salah satu manfaatnya yaitu agar
dapat mengetahui prinsip-prinsip umum fikih.
Dalam
ilmu qawaidul fiqhiyah, kaidah-kaidah fikih ada yang disebut qawaid al-fiqhiyah al-asasiyyah dan adapula
yang disebut qawaid al-fiqhiyah ghairu asasiyyah atau yang disebut dengan
kaidah-kaidah fikih yang bukan merupakan kaidah asasiyyah. Khususnya dalam
makalah ini yang akan dibahas adalah kaidah-kaidah fikih yang bukan merupakan
kaidah-kaidah dasar yang lima seperti yang dibahas oleh pemateri-pemateri
sebelumnya seperti kaidah tentang al-Umuru bi Maqaashidiha, al-Yaqin laa Yuzalu
bi asy-Syakk, al-masyaqqah tajlib at-taisir, adh-adhararu yuzal, dan kaidah
al-’adah muhakkamah. Namun demikian, kaidah yang dibahas kali ini tetap disebut
sebagai kaidah kulli (menyeluruh atau umum) sehingga berlaku pula untuk
persoalan-persoalan hukum Islam (fikih) dalam berbagai bidang sesuai dengan
bagiannya masing-masing[[2]].
A.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian di atas maka penulis akan membahas tema di atas menjadi tiga poin
sebagai berikut:
1.
Apa yang dimaksud
dengan kaidah-kaidah ghoiru asasi?
2.
Apa sajakah
pembagian kaidah ghoiru asasi?
3.
Apa sajakah
kaidah-kaidah ghoiru asasi yang ditolelir dalam Islamic Legal Maxim?
A.3.
Tujuan
1.
Pembaca dapat
mengetahui secara detail apa yang dimaksud dengan kaidah ghoiru asasi.
2.
Pembaca mengetahui
pembagian dari kaidah ghoiru asasi.
3.
Pembaca mengetahui
apa saja kaidah-kaidah ghoiru asasi beserta contoh-contohnya yang ditolelir
dalam Islamic Legal Maxim.
4.
Dengan mengetahui
semua kaidah-kaidah ini pembaca dapat dengan lebih mudah menetapkan hukum bagi
masalah-masalah yang dihadapi dengan disesuaikan menurut waktu dan tempat
penerapan hukum (fikih) yang berbeda-beda.
B. PEMBAHASAN
B.1.
Pengertian Kaidah Ghairu Asasi
Kaidah
ghairu asasi termasuk dalam kategori kaidah fikih, bukan kaidah ushul. Kaidah
fikih adalah kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fikih
dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus yang baru
timbul, yang tidak jelas hukumnya dalam nash[[3]]. Sebelum
mengetahui apa makna atau arti dari kaidah ghairu asasi, perlu diketahui apa
makna kaidah asasi itu sendiri. Kaidah Asasi atau yang terkenal juga dengan
sebutan al-Qawaid al-Khamsah adalah lima kaidah yang mencakup hampir seluruh
kaidah fikih.
Menurut
penulis sendiri, Kaidah Ghairu Asasi adalah kaidah-kaidah yang bukan asasi.
Dapat juga diartikan dengan kaidah-kaidah yang ruang lingkupnya di bawah kaidah
asasi. Karena di bawah kaidah asasi, maka cakupan Kaidah ghairu asasi berkurang
dan tentu jumlahnya lebih banyak daripada kaidah asasi. Karena tidak menginduk
ke kaidah yang lebih umum.
B.2.
Pembagian Kaidah Ghairu Asasi
Banyaknya
kaidah ghairu asasi membuat para ahli qawaid membaginya beberapa macam
pembagian. Menurut Djazuli dalam ‘Kaidah-Kaidah Fikih’, pembagian kaidah fikih
berdasarkan ruang lingkup dan cakupannya bisa dibagi sebagai berikut[[4]]:
Pertama,
kaidah inti yaitu meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan dengan meminjam
istilah Izzudin ibnu Abd al-Salam, “Jalbu al-Mashalih wa Daf’u al-Mafasid.”
Kedua,
kaidah-kaidah asasi, yaitu kaidah-kaidah fikih yang lima telah dijelaskan
beserta cabang-cabangnya oleh para pemakalah lain sebelumnya (al-Qawaid
al-Asasiyah).
Ketiga,
kaidah-kaidah umum, yaitu kaidah-kaidah fikih yang ada di bawah kaidah-kaidah
asasi yang lima. (al-Qawaid al-‘Ammah)
Keempat,
kaidah-kaidah khusus, yaitu kaidah-kaidah yang khusus berlaku dalam bidang
hukum tertentu seperti dalam ibadah mahdhah, muamalah, munakahat, dan jinayah.
(al-Qawaid al-Khashshah)
Kelima,
kaidah yang merupakan bagian dari kaidah yang disebut nomor empat, yaitu bagian
dari ibadah, seperti tentang shalat saja, bisaa disebut al-Qawaid
al-Tafshiliyah.
Jalaluddin
al-Suyuthi dalam kitabnya al-Asybah wa-Nadzair, membagi kaidah fikih dalam tiga
bagian: al-Qawaid al-Khamsah, Qawaid Kulliyah, dan al-Qawaid al-Mukhtalaf fiha.
B.3.
Kaidah-kaidah Ghairu Asasi
Banyaknya
jumlah kaidah ghairu asasi, membuat pemakalah memilih Qawaid Kulliyah dari
kitab al-Suyuthi yang berjudul al-Asybah wa al-Nadzair yang jumlahnya mencapai
40 kaidah[[5]].
١-الاِجْتِهَادُ لَايُنْقَضُ
بِالْاِجْتِهَادِ
“Ijtihad
yang telah lalu tidak dibatalkan oleh ijtihad kemudian.”
Maksud
kaidah ini adalah suatu ijtihad di masa lalu, tidak berubah karena hasil ijtihad
baru dalam suatu kasus hukum. Alasannya karena hasil ijtihad yang kedua tidak
berarti lebih kuat dari hasil ijtihad yang pertama. Apabila hasil ijtihad yang
pertama harus dibatalkan oleh yang kedua maka akan menimbulkan ketidakadilan
hukum. Contohnya: seorang hakim dengan ijtihadnya menjatuhkan hukuman kepada
seorang pelaku kejahatan dengan hukuman tujuh tahun. Kemudian dalam kasus yang
sama, datang lagi pelaku kejahatan, tetapi hakim menjatuhkan hukuman penjara
seumur hidup, karena ada pertimbangan-pertimbangan lain dari si hakim yang
berbeda dengan pertimbangan pada pelaku pertama. Jadi bukan keadilannya yang
berbeda, tetapi pertimbangan keadaan dan hukumnya berbeda, maka hasil
ijtihadnya pun berubah, meskipun kasusnya sama, misalnya korupsi.
Sudah
tentu kaidah ini ada pengecualiannya, yaitu apabila jelas-jelas ijtihadnya itu
salah, karena menyalahi sumber hukum.
٢-إِذَا اجْتَمَعَ
الْحَلَالُ وَالْحَرَامُ غُلِبَ الحرامُ
“Apabila
berkumpul antara halal dan haram pada waktu yang sama maka dimenangkan yang
haram.”
Artinya
meninggalkan perbuatan yang haram harus dilakukan. Kaidah ini dilakukan misal
dalam hal makanan yang terjadi percampuran antara yang halal dan haram, maka
makanan tersebut dianggap haram.
٣-الإِيْثَارُ بِالْقُرْبِ
مَكْرُوْهٌ وَفِيْ غَيْرِهَا مَحْبُوْبٌ
“Mengutamakan
orang lain pada urusan ibadah adalah makruh dan dalam urusan selainnya adalah
disenangi.”
Contohnya,
mengutamakan orang lain pada shaf pertama dalam shalat adalah makruh. Juga
mendahulukan orang lain dalam bersedekah daripada dirinya. Akan tetapi dalam
masalah keduniaaan, mendahulukan orang lain daripada dirinya sendiri adalah
disenangi. Misalnya, mendahulukan orang lain dalam membeli barang dagangan.
٤-التَابِعُ تَابِعٌ
“Pengikut
itu hukumnya tetap sebagai pengikut yang mengikuti.”
Contoh
dalam kaidah ini banyak sekali, di antaranya: apabila seseorang membeli
kambing, maka termasuk dalam kambing tersebut kulitnya. Demikian juga, apabila
kambingnya sedang bunting, maka anak yang dikandungnya termasuk yang dibeli.
Apabila shalat berjamaah, maka makmum wajib mengikuti imam.
٥-تَصَرُّفُ الإمَامِ عَلَى
الرَعْيَة مَنُوْطٌ بالمَصْلَحَة
“Kebijakan
seorang pemimpin terhadap rakyatnya harus bergantung kepada kemaslahatan.”
Kaidah
ini menegaskan bahwa pemimpin harus berorientasi kepada kemaslahatan rakyat,
bukan mengikuti keinginan hawa nafsunya, atau kelompoknya.
٦-الحُدُوْدُ تَسْقُطُ
بالشُبْهَات
“Sanksi
had gugur karena adanya syubhat.”
Ada
tiga macam syubhat yang dapat menggugurkan sanksi had, yaitu: pertama, syubhat
yang berhubungan dengan fa’il (pelaku) disebabkan salah sangkaan si pelaku,
seperti mengambil harta orang lain yang dikira miliknya. Kedua, syubhat karena
perbedaan ulama (fi al-jihah) seperti Imam Malik membolehkan nikah tanpa saksi
tapi harus ada wali sedangkan Imam Abu Hanifah membolehkan nikah tanpa wali
tapi harus ada saksi. Ketiga, syubhat karena fi al-mahal (tempat) seperti
menyetubuhi istri yang sedang haidh.
٧-الحُرُّ لَايَدْخُلُ
تَحْتَ اليَدِ
“Orang
merdeka itu tidak masuk di bawah tangan atau kekuasaan.”
Kaidah
ini maksudnya adalah bahwa orang yang merdeka itu tidak dikuasai oleh pihak
mana pun, sebab ia tidak ada yang memiliki. Lain lagi dengan status hamba
sahaya, maka dirinya di bawah kekuasaan tuannya. Dan berarti pula ia bisa
dimiliki tuannya.
Misalnya
seorang merdeka di penjara karena melakukan kesalahan, dan ketika di penjara
mati terkena reruntuhan, maka kematiannya tersebut tidak mewajibkan ganti rugi
bagi pihak keamanan, namun apabila yang mati tersebut seorang hamba sahaya maka
pihak keamanan harus memberi ganti rugi pada tuannya.
٨-الحَرِيْمُ لَهُ حُكْمٌ
مَاهُوَ حَرِيْمٌ لَهُ
“Yang
menjaga sesuatu hukumnya sama dengan apa yang dijaga.”
Kaidah
ini berhubungan dengan kehati-hatian untuk menjaga hal-hal yang syubhat agar
tidak terjatuh kepada yang haram.
Al-Harim
ini bisa masuk kepada wajib, haram maupun makruh. Contoh harim yang masuk wajib
seperti membasuh tangan melampaui siku.
٩-اذا اجْتَمَعَ اَمْرَانِ
مِنْ جِنْسٍ وَاحِدٍ وَلَمْ يَخْتَلِفْ مَقْصُوْدُهُمَا دَخَلَ اَحَدُهُمَا فِي
الاَخَرِ غَالِبًا
“Apabila
bersatu dua perkara dari satu jenis, dan maksudnya tidak berbeda, maka hukum
salah satunya dimasukkan kepada hukum yang lain.”
Maksudnya
apabila dua perkara itu, jenis dan tujuannya sama, maka cukup dengan melakukan
salah satunya. Contohnya: apabila berkumpul antara bersuci karena haid dan
bersuci karena ada hadas besar, maka cukup dengan sekali mandi. Demikian pula
apabila berkumpul waktu Id dan jum’at, cukup sekali mandi, sunnah untuk
keduanya.
١٠-اِعْمَالُ الكَلَامِ
اَوْلَى مِنْ إِهْمَالِهِ
“Mengamalkan
suatu kalimat lebih utama daripada mengabaikannya.”
Suatu
kalimat adakalanya jelas dan adakanya tidak jelas. Untuk kalimat yang jelas
tidak ada masalah. Tetapi untuk kalimat yang tidak jelas maksudnya, kalimat
terebut tidak boleh diabaikan atau lebih baik mengamalkannya. Contohnya:
apabila seseorang sedang sakit keras dan berwasiat bahwa harta warisannya akan
diberikan kepada anaknya. Namun orang tersebut hanya mempunyai cucu karena
anaknya telah meninggal, maka harta warisan itu milik cucunya.
١١- الَخرَاجُ بِالضَمَانِ
“Berhak
medapatkan hasil disebabkan karena keharusan mengganti kerugian.”
Arti
asal al-kharaj adalah sesuatu yang dikeluarkan baik manfaat benda maupun
pekerjaan, seperti pohon mengeluarkan buah atau binatang mengeluarkan susu. Sedangkan
al-dhaman adalah ganti rugi.
Contohnya,
seekor binatang dikembalikan oleh pembelinya dengan alasan cacat. Si penjual
tidak boleh meminta bayaran atas penggunaan binatang tadi. Sebab penggunaan
binatang tadi sudah menjadi hak pembeli.
١٢- الخُرُوْجُ مِنَ الخِلَافِ
مُسْتَحَبٌّ
“Keluar
dari perbedaan pendapat adalah disenangi.”
Dalam
kehidupan bersama sering terjadi perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat ini
penting dalam memberi alternatif pemecahan masalah. Tetapi, kembali pada
kesepakatan itu disenangi, setelah terjadi perbedaan pendapat agar kehidupan
masyarakat menjadi tenang kembali.
١٣-الدَفْعُ اَقْوَى مِنَ
الرَفْعِ
“Mencegah
lebih kuat daripada mengangkat yang diperselisihkan.”
Artinya
menolak agar tidak terjadi sesuatu (preventif) itu lebih kuat daripada
mengembalikan seperti sebelum terjadi (rehabilitative). Misalnya air musta'mal
apabila mencapai dua kulah, kembalinya menjadi suci diperselisihkan tetapi
apabila sejak semula sudah dua kullah banyaknya maka disepakati kesuciannya.
Bedanya kalua sudah banyak sejak semula berarti mencegah, dan banyak setelah
musta'mal berarti mengangkat. Jadi mencegah lebih kuat daripada mengangkat.
١٤-الرُخَصُ لَاتُنَاطُ
بِالمَعَاصِى
“Keringanan
itu tidak dikaitkan dengan kemaksiatan.”
Kaidah
ini digunakan untuk menjaga agar keringanan-keringanan dalam hukum tidak
disalahgunakan untuk melakukan maksiat. Seperti orang bepergian dengan tujuan
mencuri, maka tidak boleh menggunakan keringanan-keringanan dalam islam seperti
mengqashar.
١٥-الرخص لاتناط بالشك
Keringanan
itu tidak dikaitkan dengan keraguan.”
Misalnya
ada seseorang yang pergi ke rumah pamannya di sebuah kota yang jaraknya tidak
begitu jauh atau dengan kata lain belum mencapai batas jarak yang membolehkan
jama’ qashar. Tetapi sebenarnya rumah kakeknya tidak sampai kota tapi masih di
pedalaman. Sehingga terjadilah keraguan apakah jaraknya sudah mencapai
ketentuan. Maka ia tidak boleh melakukan jama’ qashar.
١٦-الرِضَا بِالشَيْءِ رِضَى
بِمَا يَتَوَلَّدُ مِنْهُ
“Ridha
atas sesuatu berarti ridha pula dengan akibat yang muncul dari sesuatu
tersebut.”
Maksudnya
apabila orang telah ridha terhadap sesuatu, maka dia ridha menanggung segala
risiko yang timbul dari hal tersebut. Contohnya: apabila ridha membeli rumah
yang sudah rusak, maka ridha pula bila rumah tersebut runtuh. Apabla ridha
beragama islam, maka harus ridha melaksanakan kewajibannya.
١٧-السُؤَالُ مُعَادٌ فِي
الجَوَاب
“Pertanyaan
itu diulangi di dalam jawaban.”
Maksud
kaidah ini adalah hukum dari jawaban itu terletak pada soalnya. Misalnya
seorang hakim bertanya kepada tergugat (dalam hal suami): apakah engkau telah
menalak istrimu? Dijawab: Ya. Maka bagi istri telah berlaku hukum sebagai
wanita yang ditalak.
١٨-لَايُنْسَبُ اِلَى سَاكِتٍ
قَوْلٌ
“Perkataan
tidak bisa disandarkan kepada yang diam.”
Dalam
buku karya Djazuli berjudul ‘Kaidah-kaidah fikih’ ditambahkan lagi dengan
ولكن
السكوت في معرض الحاجة الى البيان بيان
(tetapi
sikap diam dalam hal membutuhkan keterangan adalah merupakan suatu keterangan).
Kaidah ini menetapkan bahwa suatu keputusan hukum tidak bisa diambil dengan
diamnya seseorang, kecuali ada qarinah, tanda-tanda, atau alasan yang
menguatkannya, maka diamnya orang tersebut merupakan keterangan juga.
Contohnya: apabila seseorang tergugat, ketika ditanya hakim, kemudian ia diam
saja, maka diperlukan bukti-bukti lain yang menguatkan gugatan penggugat. Akan
tetapi, apabila seorang perawan yang diminta izinnya untuk dinikahkan lalu diam
saja tanpa ada perubahan apa-apa pada perangainya, maka diamnya itu menunjukkan
persetujuan.
١٩-مَا كَانَ اَكْثَرُ
فِعْلًا كَانَ اَكْثَرُ فَضْلًا
“Sesuatu
yang lebih banyak pekerjaannya, maka lebih banyak keutamaannya.”
Misalnya,
memisah witir itu lebih utama daripada menyambungnya untuk menambah niat,
takbir, dan salam. Kaidah ini juga didasarkan hadits nabi kepada ‘Aisyah yang
artinya “Pahalamu tergantng kadar keshalehanmu.”
٢٠-المُتَعَدِّى اَفْضَلُ
مِنَ القَاصِرِ
“Perbuatan
yang mencakup kepentingan orang lain lebih utama daripada kepentingan sendiri.”
Maksud
kaidah di atas ialah suatu perbuatan yang dapat menghasilkan kemanfaatan lebih
luas yakni dirasakan banyak orang lebih diutamakan daripada perbuatan untuk kepentingan pribadi.
Berdasarkan
kaidah di atas Abu Ishak berpendapat bahwa fardhu kifayah lebih utama daripada
fardhu a'in, kerena fardhu kifayah bias membebaskan dosa orang lain sedang
fardhu ain tidak lebih, hanya khusus untuk si pelaku sendiri.
٢١-الفَرْضُ اَفْضَلُ مِنَ
النَفْلِ
“Fardhu
lebih utama daripada yang sunnah.”
Maksudnya
agar mendahulukan pekerjaan yang wajib daripada pekerjaan yang sunnah atau
tidak wajib. Misalnya seseorang yang mempunyai tanggungan qadha puasa ramadhan
hendaknya melaksanakan qadha puasanya daripada melakukan puasa sunnah.
٢٢-الفَضِيْلَة
المُتَعَلِّقَة بِنَفْسِ العِبَادَةِ اَوْلَى مِنَ المتعلقة بِمَكَانِهَا
“Keutamaan
yang dikaitkan dengan ibadahnya sendiri lebih baik daripada yang dikaitkan
dengan tempatnya.”
Contohnya:
shalat berjama’ah di luar masjid lebih baik daripada shalat sendirian di
masjid.
٢٣-الوَاجِبُ لَايُتْرَكُ
اِلَّا لِوَاجِبٍ
“Sesuatu
yang wajib hukumnya tidak boleh ditinggalkan kecuali ada sesuatu yang wajib lagi.”
Contohnya:
manusia wajib dihormati hartanya, darahnya, dan kehormatannya, kecuali apabila dia
melakukan kejahatan, maka kewajiban tadi ditinggalkan karena ada kewajiban lain yaitu melaksanakan hukum.
Contoh
lainnya: seorang istri berpuasa senin dan kamis, namun suaminya di rumah yang
tidak menginginkan atas puasanya tersebut, maka seorang istri harus
meninggalkan atau membatalkan puasanya untuk memenuhi kebutuhan suaminya,
karena taat kepada suami lebih penting daripada puasa sunat.
٢٤-مَا اَوْجَبَ اَعْظَمَ
الاَمْرَيْنِ بِخُصُوْصِهِ لَايُوْجِبُ اَدْوَنَهُمَا بِعُمُوْمِهِ
“Apabila
yang mewajibkan yang lebih besar dari dua perkara karena kekhususannya,
tiadalah diwajibkan yang lebih ringan dari keduanya kerena keumumannya.”
Maksud
dari kaidah ini adanya dua perkara yang saling berlainan dalam melahirkan suatu
hukum. Yang satu merupakan perkara umum dan melahirkan hukum ringan. Sedangkan
satunya lagi perkara khusus dan melahirkan hukum berat.
Contohnya:
memasuki rumah orang lain tanpa izin itu dilarang dan dapat dituntut lalu
dihukum meski hukumannya ringan. Sedangkan apabila seseorang memasuki rumah
tersebut lalu mencuri barang-barangnya, maka yang dituntut hanyalah hukum
mencurinya saja.
٢٥-مَا ثَبَتَ بِالشَرْعِ
مُقَدَّمٌ عَلَى مَا وَجَبَ بِالشَرْطِ
“Apa
yang ditetapkan menurut syara’ lebih didahulukan daripada sesuatu yang wajib
menurut syarat.”
Maksud
di sini adalah ketetapan yang ada di dalam syara’ itu harus diutamakan daripada
undang-undang yang ditetapkan manusia. Misalnya seseorang bernadzar apabila ia
sukses dalam ujian maka akan melakukan shalat subuh. Bernadzar seperti ini
tidak diperkenankan sebab mengerjakan shalat subuh itu memang ketentuan syara’
yang harus dikerjakan dan lebih diutamakan bukan mengerjakan karena terpenuhi
syarat yang ia buat.
٢٦-مَا حَرُمَ
اِسْتِعْمَالُهُ حَرُمَ اِتِّخَاذُهُ
“Apa
yang haram digunakannya, haram pula didapatkannya.”
Maksudnya
adalah apa yang haram digunakan, baik haram dimakan, diminum, atau dipakai, maka
haram pula mendapatkannya. Contohnya: khamar dan barang-barang yang memabukkan seperti
narkoba adalah haram, maka haram pula membuatnya, membelinya, membawanya,
menyimpannya, dan harga penjualannya pun haram.
٢٧-مَا حَرُمَ اَخْذُهُ
حَرُمَ اِعْطَاؤُهُ
“Apa
yang haram mengambilnya, haram pula memberikannya.”
Atas
ketentuan kaidah di atas, maka haram memberikan uang hasil korupsi, atau hasilsuap.
Sebab perbuatan demikian bisa diartikan tolong-menolong dalam dosa. (QS
Al-Maidah: 3)
٢٨-المَشْغُوْلُ لَايَشْغَلُ
“Sesuatu
yang sedang dijadikan objek perbuatan tertentu, maka tidak boleh dijadikan objek
perbuatan lainnya.”
Contohnya:
apabila seseorang telah menggadaikan hartanya pada suatu bank, maka dia tidak bisa
menggadaikannya pada bank lain. Meminang wanita yang sudah dipinang orang lain.
٢٩-المُكَبَّرُ لَايُكَبَّرُ
“Yang
sudah dibesarkan, tidak dibesarkan lagi.”
Contohnya:
membasuh sesuatu dari kotoran atau najis disunnahkan mengulang tiga kali. Namun
apabila kotoran tersebut ialah jilatan anjing maka tidak disunnahkan lagi
mengulangi tiga kali sebab sudah diperbesar dengan diharuskan mengulang
sebanyak tujuh kali.
٣٠-مَنِ اسْتَعْجَلَ شَيْئًا
قَبْلَ اَوَانِهِ عُوْقِبَ بِحِرْمَانِهِ
“Barangsiapa
yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya maka menanggung akibat tidak
mendapatkan sesuatu tersebut.”
Contohnya:
belum waktu shalat lalu shalat atau belum berbuka lalu berbuka, maka baik
shalat maupun puasanya menjadi batal.
Contoh
lainnya: Seorang ahli waris yang membunuh sang pemberi warisan.
٣١-النَفْلُ اَوْسَعُ مِنَ
الْفَرْضِ
“Sunnah
lebih luas daripada fardhu.”
Misalnya
niat dalam puasa sunnah boleh dilakukan pada pagi harinya sedangkan puasa wajib
harus malam harinya.
٣٢-الوِلَايَة الخَاصَّة
اَقْوَى من الولاية العامّة
“Kekuasaan
yang khusus lebih kuat (kedudukannya) daripada kekusaan yang umum.”
Contohnya
camat lebih kuat kekuasaannya dalam wilayahnya daripada gubernur. Maksud kaidah
di atas adalah lembaga-lembaga yang khusus lebih kuat kekuasaannya daripada
lembaga yang umum.
٣٣-لَاعِبْرَةَ بِالظَنِّ
الْبَيِّنِ خَطَؤُهُ
“Tidak
dianggap (diakui), persangkaan yang jelas salahnya.”
Apabila
seorang debitor telah membayar utangnya kepada kreditor, kemudian wakil debitor
atau penanggungjawabnya membayar uang debitor atas sangkaan bahwa utang belum
dibayar oleh debitor, maka wakil debitor berhak meminta dikembalikan uang yang
dibayarkannya, karena pebayarannya dilakukan atas dasar persangkaan yang jelas
salahnya, yaitu menyangka utang belum dibayar debitor. Kaidah ini oleh Qadhi
Abd al-Wahab al-Maliki dimasukkan dalam kaidah cabang “al-Yaqin La Yuzal bi
al-Syakk.”
٣٤-الاِشْتِغَالُ بِغَيْرِ
المقصود إِعْرَاضٌ عن المقصود
“Berbuat
yang tidak dimaksud berarti berpaling dari yang dimaksud.”
Ada
yang memasukkan kaidah ini dalam cabangan al-Umur bi Maqashidiha. Contohnya
apabila ada seseorang yang bersumpah untuk tidak diam dan menetap di rumah,
maka seketika itu harusnya ia keluar dari rumah. Sebab yang dimaksud dari
sumpahnya adalah keluar dari rumah.
٣٥-لَايُنْكَرُ المُخْتَلَفُ
فيه وانما يُنْكَرُ المُجْمَعُ عليه
“Masalah
yang masih diperselisihkan tidak harus diingkari, sedangkan yang harus diingkari
adalah yang disepakati.”
Maksud
kaidah di atas adalah segala sesuatu yang disepakati tentang keharamannya maka
harus benar-benar dijauhi. Misalnya tentang keharaman khamar maka kita harus
menjauhi khamar. Berbeda dengan menyemir rambut yang masih terdapat perbedaan
pendapat, maka kita tidak mengingkarinya.
٣٦-يَدْخُلُ القَوِيُّ عَلَى
الضَعِيْفِ وَلَا عَكْسُهُ
“Yang
kuat mencakup yang lemah dan tidak sebaliknya.”
Contohnya:
dibolehkannya melakukan ibadah hajisekaligus umrah, tapi tidak sebaliknya. Dalam
hukum pidana disebut dengan teori al-tadakhul (teori absorpi/penyerapan
hukuman).
٣٧-يُغْتَفَرُ فِي
الوَسَائِلِ مَالَايُغْتَفَرُ في المَقَاصِد
“Dapat
dimaafkan karena sebagai sarana, namun tidak dapat dimaafkan pada maksud yang
dituju.”
Maksudnya
adalah sesuatu yang harus ada pada apa yang menjadi maksud haruslah dipenuhi,
sedangkan sarana yang digunakan untuk mencapai msksud dapat dimaafkan atau
dilonggarkan dengan menghilangkan atau menguranginya, karena itu niat dalam
wudhu tidak harus ada, walaupun hal itu disyaratkan, karena wudhu hanya sebagai
sarana shalat, sedangkan niat dalam shalat diwajibkan dan harus ada, karena
shalat merupakan tujuan syarat, bukan sarana syarat.
٣٨-المَيْسُوْرُ لَايَسْقُطُ
بِالمَعْسُوْرِ
“Suatu
perbuatan yang mudah dijalankan, tidak menggugurkan yang sukar dijalankan.”
Maksud
kaidah ini adalah suatu perbuatan yang diperintahkan untuk dilakukan, harus dilakukan
sedapat mungkin yang kita sanggup lakukan. Contohnya: apabila seseorang tidak dapat
sujud dalam shalat, maka shalat tetap harus dilakukan meskipun sujudnya hanya dengan
membungkuk. Tidak berarti karena tidak bisa sujud, lalu dia tidak shalat. Apabila
tidak ada pemimpin yang betul-betul memenuhi syarat maka pilihlah pemimpin meskipun
tidak sempurna syaratnya. Kaidah ini mirip dengan kaidah:
ما
لايدرك كله لايترك كله
“Apa
yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya.”
٣٩-مَالَايَقْبَلُ
التَبْعِيْضُ فَاخْتِيَارُ بَعْضِهِ كَاخْتِيِارِ كُلِّهِ وَاِسْقَاطُ
بَعْضِهِكَإِسْقَاطِ كُلِّهِ
“Sesuatu
yang tidak dapat dibagi, maka mengusahakan sebagiannya seperti mengusahakan seluruhnya.
Demikian juga menggugurkan sebagiannya seperti menggugurkan seluruhnya.”
Redaksi
lain dari kaidah ini adalah
ذكر
البعض مالايتجزء كذكر كله
“Menyebutkan
sesuatu yang tidak bisa dibagi, seperti menyebutkan keseluruhannya.”
Contohnya:
apabila seseorang menyebutkan setengah talak kepada istrinya, maka hukumnya
sama saja dengan menjatuhkan satu talak.
٤٠-اذَا اجْتَمَعَ السَبَبُ
وَالغُرُوْرُ وَالمُبَاشَرَةُ قُدِمَتْ المباشرةُ
“Apabila
berkumpul antara sebab, tipuan, dan pelaksanaan, maka pelaksanaan didahulukan.”
Maksud
kaidah suatu kasus itu terdapat tiga faktor. Pertama, sebab terjadinya kasus.
Kedua, adanya penipuan yang membantu terjadinya kasus. Ketiga, perbuatan
langsung yang mengakibatkan kasus. Dari ketiga faktor di atas, maka yang
pertama kali diminta pertanggungjawaban adalah perbuatan yang langsung menimbulkan
kasus.
Contoh:
ahmad menjual pisau kepada budi. Kemudian oleh budi, pisau tersebut digunakan untuk
membunuh. Dalam contoh ini yang terkena tuntutan hukuman adalah budi sebab dialah
pelaksananya. Namun bila ahmad adalah penjual alat-alat pembunuhan maka dia
bisa dituntut juga.
C. PENUTUP
Qawaid
al-fiqhiyyah ghairu asasiyyah berarti kaidah-kaidah umum fikih yang bukan kaidah
asasiyyah. Kaidah ini adalah kaidah-kaidah umum yang ruang lingkup dan
cakupannya luas yaitu mencakup berbagai cabang hukum fikih. Misalnya dalam bidang muamalah, peradilan,
jinayah dan hukum keluarga. Kaidah-kaidah fikih ini, walaupun bukan kaidah asasiyah
namun sangat bermanfaat dalam ilmu fikih. Salah satu manfaatnya yaitu dengan
memperhatikan kaidah-kaidah fikih ini, akan lebih mudah menetapkan hukum bagi
masalah-masalah yang dihadapi dengan disesuaikan menurut waktu dan tempat
penerapan hukum (fikih) yang berbeda-beda.
D. REFERENSI
Az-Zarqo, Ahmad bin Muhammad. Syarhu Al-Qowa’id
Al-Fiqhiyyah. Dar-el-Qolam Damaskus 1989
Anshari,
Zakariyya. Hasyiyatul jumal ala syahil manhaj. Darul Ihya’i Turats Al-‘Arabi
Dzajuli, Ahmad. Kaidah-kaidah Fiqih. Tri Cipta Press Semarang 1998
Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman. Al-asybah wa
An-Nadzhair fi qawa’id wa furu fiqh syafi’i. Darul Kutub Ilmiyah Beirut
1983
Usman, Muchlis. Kaidah-kaidah ushuliyyah dan
fiqhiyyah pedoman dasar dalam Istinbath hukum Islam. PT. Raja grafindo
persada 1999. Jakarta
[1] Az-Zarqo, Ahmad
bin Muhammad. Syarhu Al-Qowa’id Al-Fiqhiyyah. Dar-el-Qolam Damaskus 1989
hal.243
[2] Muslih Usman, Kaidah-kaidah Usuliyyah dan Fiqhiyyah, ,
Rajawali Press, Jakarta 1999 hal. 144
[3] Muslih Usman, Kaidah-kaidah
Usuliyyah dan Fiqhiyyah, Rajawali Press, Jakarta 1999 hal. 144
[5] Suyuti,
Jalaluddin Abdurrahman. Al-asybah wa An-Nadzhair fi qawa’id wa furu fiqh
syafi’i. Darul Kutub Ilmiyah Beirut 1983 hal.101