Friday, 28 October 2016

Kaidah-kaidah Non Asasiyah Yang Ditolelir Islamic Legal Maxim

Oleh: Zulfikri Hasibuan
A.  PENDAHULUAN

A.1. Latar Belakang
Qawaidul Fiqhiyah atau biasa disebut kaidah-kaidah fikih adalah ketentuan-ketentuan yang bersifat kulli (menyeluruh atau umum) yang mencakup bagian-bagiannya. Bisa juga dikatakan sebagai ketentuan umum yang menghukumi beberapa bab pembahasan masalah fikih[[1]]. Terkait dengan hakikat dari kaidah fikih itu sendiri, dapat dilihat kembali pada pembahasan tentang hakikat dan urgensi qawaid fiqhiyah sebelumnya. Jelasnya, kaidah-kaidah fikih ini sangat penting dalam kehidupan manusia. Salah satu manfaatnya yaitu agar dapat mengetahui prinsip-prinsip umum fikih.
Dalam ilmu qawaidul fiqhiyah, kaidah-kaidah fikih ada yang disebut  qawaid al-fiqhiyah al-asasiyyah dan adapula yang disebut qawaid al-fiqhiyah ghairu asasiyyah atau yang disebut dengan kaidah-kaidah fikih yang bukan merupakan kaidah asasiyyah. Khususnya dalam makalah ini yang akan dibahas adalah kaidah-kaidah fikih yang bukan merupakan kaidah-kaidah dasar yang lima seperti yang dibahas oleh pemateri-pemateri sebelumnya seperti kaidah tentang al-Umuru bi Maqaashidiha, al-Yaqin laa Yuzalu bi asy-Syakk, al-masyaqqah tajlib at-taisir, adh-adhararu yuzal, dan kaidah al-’adah muhakkamah. Namun demikian, kaidah yang dibahas kali ini tetap disebut sebagai kaidah kulli (menyeluruh atau umum) sehingga berlaku pula untuk persoalan-persoalan hukum Islam (fikih) dalam berbagai bidang sesuai dengan bagiannya masing-masing[[2]].

A.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka penulis akan membahas tema di atas menjadi tiga poin sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan kaidah-kaidah ghoiru asasi?
2.      Apa sajakah pembagian kaidah ghoiru asasi?
3.      Apa sajakah kaidah-kaidah ghoiru asasi yang ditolelir dalam Islamic Legal Maxim?

A.3. Tujuan
1.      Pembaca dapat mengetahui secara detail apa yang dimaksud dengan kaidah ghoiru asasi.
2.      Pembaca mengetahui pembagian dari kaidah ghoiru asasi.
3.      Pembaca mengetahui apa saja kaidah-kaidah ghoiru asasi beserta contoh-contohnya yang ditolelir dalam Islamic Legal Maxim.
4.      Dengan mengetahui semua kaidah-kaidah ini pembaca dapat dengan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi dengan disesuaikan menurut waktu dan tempat penerapan hukum (fikih) yang berbeda-beda.

B.  PEMBAHASAN

B.1. Pengertian Kaidah Ghairu Asasi
Kaidah ghairu asasi termasuk dalam kategori kaidah fikih, bukan kaidah ushul. Kaidah fikih adalah kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fikih dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus yang baru timbul, yang tidak jelas hukumnya dalam nash[[3]]. Sebelum mengetahui apa makna atau arti dari kaidah ghairu asasi, perlu diketahui apa makna kaidah asasi itu sendiri. Kaidah Asasi atau yang terkenal juga dengan sebutan al-Qawaid al-Khamsah adalah lima kaidah yang mencakup hampir seluruh kaidah fikih.
Menurut penulis sendiri, Kaidah Ghairu Asasi adalah kaidah-kaidah yang bukan asasi. Dapat juga diartikan dengan kaidah-kaidah yang ruang lingkupnya di bawah kaidah asasi. Karena di bawah kaidah asasi, maka cakupan Kaidah ghairu asasi berkurang dan tentu jumlahnya lebih banyak daripada kaidah asasi. Karena tidak menginduk ke kaidah yang lebih umum.
B.2. Pembagian Kaidah Ghairu Asasi
Banyaknya kaidah ghairu asasi membuat para ahli qawaid membaginya beberapa macam pembagian. Menurut Djazuli dalam ‘Kaidah-Kaidah Fikih’, pembagian kaidah fikih berdasarkan ruang lingkup dan cakupannya bisa dibagi sebagai berikut[[4]]:
Pertama, kaidah inti yaitu meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan dengan meminjam istilah Izzudin ibnu Abd al-Salam, “Jalbu al-Mashalih wa Daf’u al-Mafasid.”
Kedua, kaidah-kaidah asasi, yaitu kaidah-kaidah fikih yang lima telah dijelaskan beserta cabang-cabangnya oleh para pemakalah lain sebelumnya (al-Qawaid al-Asasiyah).
Ketiga, kaidah-kaidah umum, yaitu kaidah-kaidah fikih yang ada di bawah kaidah-kaidah asasi yang lima. (al-Qawaid al-‘Ammah)
Keempat, kaidah-kaidah khusus, yaitu kaidah-kaidah yang khusus berlaku dalam bidang hukum tertentu seperti dalam ibadah mahdhah, muamalah, munakahat, dan jinayah. (al-Qawaid al-Khashshah)
Kelima, kaidah yang merupakan bagian dari kaidah yang disebut nomor empat, yaitu bagian dari ibadah, seperti tentang shalat saja, bisaa disebut al-Qawaid al-Tafshiliyah.
Jalaluddin al-Suyuthi dalam kitabnya al-Asybah wa-Nadzair, membagi kaidah fikih dalam tiga bagian: al-Qawaid al-Khamsah, Qawaid Kulliyah, dan al-Qawaid al-Mukhtalaf fiha.

B.3. Kaidah-kaidah Ghairu Asasi
Banyaknya jumlah kaidah ghairu asasi, membuat pemakalah memilih Qawaid Kulliyah dari kitab al-Suyuthi yang berjudul al-Asybah wa al-Nadzair yang jumlahnya mencapai 40 kaidah[[5]].
١-الاِجْتِهَادُ لَايُنْقَضُ بِالْاِجْتِهَادِ
“Ijtihad yang telah lalu tidak dibatalkan oleh ijtihad kemudian.”
Maksud kaidah ini adalah suatu ijtihad di masa lalu, tidak berubah karena hasil ijtihad baru dalam suatu kasus hukum. Alasannya karena hasil ijtihad yang kedua tidak berarti lebih kuat dari hasil ijtihad yang pertama. Apabila hasil ijtihad yang pertama harus dibatalkan oleh yang kedua maka akan menimbulkan ketidakadilan hukum. Contohnya: seorang hakim dengan ijtihadnya menjatuhkan hukuman kepada seorang pelaku kejahatan dengan hukuman tujuh tahun. Kemudian dalam kasus yang sama, datang lagi pelaku kejahatan, tetapi hakim menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup, karena ada pertimbangan-pertimbangan lain dari si hakim yang berbeda dengan pertimbangan pada pelaku pertama. Jadi bukan keadilannya yang berbeda, tetapi pertimbangan keadaan dan hukumnya berbeda, maka hasil ijtihadnya pun berubah, meskipun kasusnya sama, misalnya korupsi.
Sudah tentu kaidah ini ada pengecualiannya, yaitu apabila jelas-jelas ijtihadnya itu salah, karena menyalahi sumber hukum.
٢-إِذَا اجْتَمَعَ الْحَلَالُ وَالْحَرَامُ غُلِبَ الحرامُ
“Apabila berkumpul antara halal dan haram pada waktu yang sama maka dimenangkan yang haram.”
Artinya meninggalkan perbuatan yang haram harus dilakukan. Kaidah ini dilakukan misal dalam hal makanan yang terjadi percampuran antara yang halal dan haram, maka makanan tersebut dianggap haram.
٣-الإِيْثَارُ بِالْقُرْبِ مَكْرُوْهٌ وَفِيْ غَيْرِهَا مَحْبُوْبٌ
“Mengutamakan orang lain pada urusan ibadah adalah makruh dan dalam urusan selainnya adalah disenangi.”
Contohnya, mengutamakan orang lain pada shaf pertama dalam shalat adalah makruh. Juga mendahulukan orang lain dalam bersedekah daripada dirinya. Akan tetapi dalam masalah keduniaaan, mendahulukan orang lain daripada dirinya sendiri adalah disenangi. Misalnya, mendahulukan orang lain dalam membeli barang dagangan.
٤-التَابِعُ تَابِعٌ
“Pengikut itu hukumnya tetap sebagai pengikut yang mengikuti.”
Contoh dalam kaidah ini banyak sekali, di antaranya: apabila seseorang membeli kambing, maka termasuk dalam kambing tersebut kulitnya. Demikian juga, apabila kambingnya sedang bunting, maka anak yang dikandungnya termasuk yang dibeli. Apabila shalat berjamaah, maka makmum wajib mengikuti imam.
٥-تَصَرُّفُ الإمَامِ عَلَى الرَعْيَة مَنُوْطٌ بالمَصْلَحَة
“Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya harus bergantung kepada kemaslahatan.”
Kaidah ini menegaskan bahwa pemimpin harus berorientasi kepada kemaslahatan rakyat, bukan mengikuti keinginan hawa nafsunya, atau kelompoknya.
٦-الحُدُوْدُ تَسْقُطُ بالشُبْهَات
“Sanksi had gugur karena adanya syubhat.”
Ada tiga macam syubhat yang dapat menggugurkan sanksi had, yaitu: pertama, syubhat yang berhubungan dengan fa’il (pelaku) disebabkan salah sangkaan si pelaku, seperti mengambil harta orang lain yang dikira miliknya. Kedua, syubhat karena perbedaan ulama (fi al-jihah) seperti Imam Malik membolehkan nikah tanpa saksi tapi harus ada wali sedangkan Imam Abu Hanifah membolehkan nikah tanpa wali tapi harus ada saksi. Ketiga, syubhat karena fi al-mahal (tempat) seperti menyetubuhi istri yang sedang haidh.
٧-الحُرُّ لَايَدْخُلُ تَحْتَ اليَدِ
“Orang merdeka itu tidak masuk di bawah tangan atau kekuasaan.”
Kaidah ini maksudnya adalah bahwa orang yang merdeka itu tidak dikuasai oleh pihak mana pun, sebab ia tidak ada yang memiliki. Lain lagi dengan status hamba sahaya, maka dirinya di bawah kekuasaan tuannya. Dan berarti pula ia bisa dimiliki tuannya.
Misalnya seorang merdeka di penjara karena melakukan kesalahan, dan ketika di penjara mati terkena reruntuhan, maka kematiannya tersebut tidak mewajibkan ganti rugi bagi pihak keamanan, namun apabila yang mati tersebut seorang hamba sahaya maka pihak keamanan harus memberi ganti rugi pada tuannya.
٨-الحَرِيْمُ لَهُ حُكْمٌ مَاهُوَ حَرِيْمٌ لَهُ
“Yang menjaga sesuatu hukumnya sama dengan apa yang dijaga.”
Kaidah ini berhubungan dengan kehati-hatian untuk menjaga hal-hal yang syubhat agar tidak terjatuh kepada yang haram.
Al-Harim ini bisa masuk kepada wajib, haram maupun makruh. Contoh harim yang masuk wajib seperti membasuh tangan melampaui siku.
٩-اذا اجْتَمَعَ اَمْرَانِ مِنْ جِنْسٍ وَاحِدٍ وَلَمْ يَخْتَلِفْ مَقْصُوْدُهُمَا دَخَلَ اَحَدُهُمَا فِي الاَخَرِ غَالِبًا
“Apabila bersatu dua perkara dari satu jenis, dan maksudnya tidak berbeda, maka hukum salah satunya dimasukkan kepada hukum yang lain.”
Maksudnya apabila dua perkara itu, jenis dan tujuannya sama, maka cukup dengan melakukan salah satunya. Contohnya: apabila berkumpul antara bersuci karena haid dan bersuci karena ada hadas besar, maka cukup dengan sekali mandi. Demikian pula apabila berkumpul waktu Id dan jum’at, cukup sekali mandi, sunnah untuk keduanya.
١٠-اِعْمَالُ الكَلَامِ اَوْلَى مِنْ إِهْمَالِهِ
“Mengamalkan suatu kalimat lebih utama daripada mengabaikannya.”
Suatu kalimat adakalanya jelas dan adakanya tidak jelas. Untuk kalimat yang jelas tidak ada masalah. Tetapi untuk kalimat yang tidak jelas maksudnya, kalimat terebut tidak boleh diabaikan atau lebih baik mengamalkannya. Contohnya: apabila seseorang sedang sakit keras dan berwasiat bahwa harta warisannya akan diberikan kepada anaknya. Namun orang tersebut hanya mempunyai cucu karena anaknya telah meninggal, maka harta warisan itu milik cucunya.
١١- الَخرَاجُ بِالضَمَانِ
“Berhak medapatkan hasil disebabkan karena keharusan mengganti kerugian.”
Arti asal al-kharaj adalah sesuatu yang dikeluarkan baik manfaat benda maupun pekerjaan, seperti pohon mengeluarkan buah atau binatang mengeluarkan susu. Sedangkan al-dhaman adalah ganti rugi.
Contohnya, seekor binatang dikembalikan oleh pembelinya dengan alasan cacat. Si penjual tidak boleh meminta bayaran atas penggunaan binatang tadi. Sebab penggunaan binatang tadi sudah menjadi hak pembeli.
١٢- الخُرُوْجُ مِنَ الخِلَافِ مُسْتَحَبٌّ
“Keluar dari perbedaan pendapat adalah disenangi.”
Dalam kehidupan bersama sering terjadi perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat ini penting dalam memberi alternatif pemecahan masalah. Tetapi, kembali pada kesepakatan itu disenangi, setelah terjadi perbedaan pendapat agar kehidupan masyarakat menjadi tenang kembali.
١٣-الدَفْعُ اَقْوَى مِنَ الرَفْعِ
“Mencegah lebih kuat daripada mengangkat yang diperselisihkan.”
Artinya menolak agar tidak terjadi sesuatu (preventif) itu lebih kuat daripada mengembalikan seperti sebelum terjadi (rehabilitative). Misalnya air musta'mal apabila mencapai dua kulah, kembalinya menjadi suci diperselisihkan tetapi apabila sejak semula sudah dua kullah banyaknya maka disepakati kesuciannya. Bedanya kalua sudah banyak sejak semula berarti mencegah, dan banyak setelah musta'mal berarti mengangkat. Jadi mencegah lebih kuat daripada mengangkat.
١٤-الرُخَصُ لَاتُنَاطُ بِالمَعَاصِى
“Keringanan itu tidak dikaitkan dengan kemaksiatan.”
Kaidah ini digunakan untuk menjaga agar keringanan-keringanan dalam hukum tidak disalahgunakan untuk melakukan maksiat. Seperti orang bepergian dengan tujuan mencuri, maka tidak boleh menggunakan keringanan-keringanan dalam islam seperti mengqashar.
١٥-الرخص لاتناط بالشك
Keringanan itu tidak dikaitkan dengan keraguan.”
Misalnya ada seseorang yang pergi ke rumah pamannya di sebuah kota yang jaraknya tidak begitu jauh atau dengan kata lain belum mencapai batas jarak yang membolehkan jama’ qashar. Tetapi sebenarnya rumah kakeknya tidak sampai kota tapi masih di pedalaman. Sehingga terjadilah keraguan apakah jaraknya sudah mencapai ketentuan. Maka ia tidak boleh melakukan jama’ qashar.
١٦-الرِضَا بِالشَيْءِ رِضَى بِمَا يَتَوَلَّدُ مِنْهُ
“Ridha atas sesuatu berarti ridha pula dengan akibat yang muncul dari sesuatu tersebut.”
Maksudnya apabila orang telah ridha terhadap sesuatu, maka dia ridha menanggung segala risiko yang timbul dari hal tersebut. Contohnya: apabila ridha membeli rumah yang sudah rusak, maka ridha pula bila rumah tersebut runtuh. Apabla ridha beragama islam, maka harus ridha melaksanakan kewajibannya.
١٧-السُؤَالُ مُعَادٌ فِي الجَوَاب
“Pertanyaan itu diulangi di dalam jawaban.”
Maksud kaidah ini adalah hukum dari jawaban itu terletak pada soalnya. Misalnya seorang hakim bertanya kepada tergugat (dalam hal suami): apakah engkau telah menalak istrimu? Dijawab: Ya. Maka bagi istri telah berlaku hukum sebagai wanita yang ditalak.
١٨-لَايُنْسَبُ اِلَى سَاكِتٍ قَوْلٌ
“Perkataan tidak bisa disandarkan kepada yang diam.”
Dalam buku karya Djazuli berjudul ‘Kaidah-kaidah fikih’ ditambahkan lagi dengan
ولكن السكوت في معرض الحاجة الى البيان بيان
(tetapi sikap diam dalam hal membutuhkan keterangan adalah merupakan suatu keterangan). Kaidah ini menetapkan bahwa suatu keputusan hukum tidak bisa diambil dengan diamnya seseorang, kecuali ada qarinah, tanda-tanda, atau alasan yang menguatkannya, maka diamnya orang tersebut merupakan keterangan juga. Contohnya: apabila seseorang tergugat, ketika ditanya hakim, kemudian ia diam saja, maka diperlukan bukti-bukti lain yang menguatkan gugatan penggugat. Akan tetapi, apabila seorang perawan yang diminta izinnya untuk dinikahkan lalu diam saja tanpa ada perubahan apa-apa pada perangainya, maka diamnya itu menunjukkan persetujuan.
١٩-مَا كَانَ اَكْثَرُ فِعْلًا كَانَ اَكْثَرُ فَضْلًا
“Sesuatu yang lebih banyak pekerjaannya, maka lebih banyak keutamaannya.”
Misalnya, memisah witir itu lebih utama daripada menyambungnya untuk menambah niat, takbir, dan salam. Kaidah ini juga didasarkan hadits nabi kepada ‘Aisyah yang artinya “Pahalamu tergantng kadar keshalehanmu.”
٢٠-المُتَعَدِّى اَفْضَلُ مِنَ القَاصِرِ
“Perbuatan yang mencakup kepentingan orang lain lebih utama daripada kepentingan sendiri.”
Maksud kaidah di atas ialah suatu perbuatan yang dapat menghasilkan kemanfaatan lebih luas yakni dirasakan banyak orang lebih diutamakan daripada  perbuatan untuk kepentingan pribadi.
Berdasarkan kaidah di atas Abu Ishak berpendapat bahwa fardhu kifayah lebih utama daripada fardhu a'in, kerena fardhu kifayah bias membebaskan dosa orang lain sedang fardhu ain tidak lebih, hanya khusus untuk si pelaku sendiri.
٢١-الفَرْضُ اَفْضَلُ مِنَ النَفْلِ
“Fardhu lebih utama daripada yang sunnah.”
Maksudnya agar mendahulukan pekerjaan yang wajib daripada pekerjaan yang sunnah atau tidak wajib. Misalnya seseorang yang mempunyai tanggungan qadha puasa ramadhan hendaknya melaksanakan qadha puasanya daripada melakukan puasa sunnah.
٢٢-الفَضِيْلَة المُتَعَلِّقَة بِنَفْسِ العِبَادَةِ اَوْلَى مِنَ المتعلقة بِمَكَانِهَا
“Keutamaan yang dikaitkan dengan ibadahnya sendiri lebih baik daripada yang dikaitkan dengan tempatnya.”
Contohnya: shalat berjama’ah di luar masjid lebih baik daripada shalat sendirian di masjid.
٢٣-الوَاجِبُ لَايُتْرَكُ اِلَّا لِوَاجِبٍ
“Sesuatu yang wajib hukumnya tidak boleh ditinggalkan kecuali ada sesuatu yang wajib lagi.”
Contohnya: manusia wajib dihormati hartanya, darahnya, dan kehormatannya, kecuali apabila dia melakukan kejahatan, maka kewajiban tadi ditinggalkan karena ada kewajiban  lain yaitu melaksanakan hukum.
Contoh lainnya: seorang istri berpuasa senin dan kamis, namun suaminya di rumah yang tidak menginginkan atas puasanya tersebut, maka seorang istri harus meninggalkan atau membatalkan puasanya untuk memenuhi kebutuhan suaminya, karena taat kepada suami lebih penting daripada puasa sunat.
٢٤-مَا اَوْجَبَ اَعْظَمَ الاَمْرَيْنِ بِخُصُوْصِهِ لَايُوْجِبُ اَدْوَنَهُمَا بِعُمُوْمِهِ
“Apabila yang mewajibkan yang lebih besar dari dua perkara karena kekhususannya, tiadalah diwajibkan yang lebih ringan dari keduanya kerena keumumannya.”
Maksud dari kaidah ini adanya dua perkara yang saling berlainan dalam melahirkan suatu hukum. Yang satu merupakan perkara umum dan melahirkan hukum ringan. Sedangkan satunya lagi perkara khusus dan melahirkan hukum berat.
Contohnya: memasuki rumah orang lain tanpa izin itu dilarang dan dapat dituntut lalu dihukum meski hukumannya ringan. Sedangkan apabila seseorang memasuki rumah tersebut lalu mencuri barang-barangnya, maka yang dituntut hanyalah hukum mencurinya saja.
٢٥-مَا ثَبَتَ بِالشَرْعِ مُقَدَّمٌ عَلَى مَا وَجَبَ بِالشَرْطِ
“Apa yang ditetapkan menurut syara’ lebih didahulukan daripada sesuatu yang wajib menurut syarat.”
Maksud di sini adalah ketetapan yang ada di dalam syara’ itu harus diutamakan daripada undang-undang yang ditetapkan manusia. Misalnya seseorang bernadzar apabila ia sukses dalam ujian maka akan melakukan shalat subuh. Bernadzar seperti ini tidak diperkenankan sebab mengerjakan shalat subuh itu memang ketentuan syara’ yang harus dikerjakan dan lebih diutamakan bukan mengerjakan karena terpenuhi syarat yang ia buat.
٢٦-مَا حَرُمَ اِسْتِعْمَالُهُ حَرُمَ اِتِّخَاذُهُ
“Apa yang haram digunakannya, haram pula didapatkannya.”
Maksudnya adalah apa yang haram digunakan, baik haram dimakan, diminum, atau dipakai, maka haram pula mendapatkannya. Contohnya: khamar dan barang-barang yang memabukkan seperti narkoba adalah haram, maka haram pula membuatnya, membelinya, membawanya, menyimpannya, dan harga penjualannya pun haram.
٢٧-مَا حَرُمَ اَخْذُهُ حَرُمَ اِعْطَاؤُهُ
“Apa yang haram mengambilnya, haram pula memberikannya.”
Atas ketentuan kaidah di atas, maka haram memberikan uang hasil korupsi, atau hasilsuap. Sebab perbuatan demikian bisa diartikan tolong-menolong dalam dosa. (QS Al-Maidah: 3)
٢٨-المَشْغُوْلُ لَايَشْغَلُ
“Sesuatu yang sedang dijadikan objek perbuatan tertentu, maka tidak boleh dijadikan objek perbuatan lainnya.”
Contohnya: apabila seseorang telah menggadaikan hartanya pada suatu bank, maka dia tidak bisa menggadaikannya pada bank lain. Meminang wanita yang sudah dipinang orang lain.
٢٩-المُكَبَّرُ لَايُكَبَّرُ
“Yang sudah dibesarkan, tidak dibesarkan lagi.”
Contohnya: membasuh sesuatu dari kotoran atau najis disunnahkan mengulang tiga kali. Namun apabila kotoran tersebut ialah jilatan anjing maka tidak disunnahkan lagi mengulangi tiga kali sebab sudah diperbesar dengan diharuskan mengulang sebanyak tujuh kali.
٣٠-مَنِ اسْتَعْجَلَ شَيْئًا قَبْلَ اَوَانِهِ عُوْقِبَ بِحِرْمَانِهِ
“Barangsiapa yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya maka menanggung akibat tidak mendapatkan sesuatu tersebut.”
Contohnya: belum waktu shalat lalu shalat atau belum berbuka lalu berbuka, maka baik shalat maupun puasanya menjadi batal.
Contoh lainnya: Seorang ahli waris yang membunuh sang pemberi warisan.
٣١-النَفْلُ اَوْسَعُ مِنَ الْفَرْضِ
“Sunnah lebih luas daripada fardhu.”
Misalnya niat dalam puasa sunnah boleh dilakukan pada pagi harinya sedangkan puasa wajib harus malam harinya.
٣٢-الوِلَايَة الخَاصَّة اَقْوَى من الولاية العامّة
“Kekuasaan yang khusus lebih kuat (kedudukannya) daripada kekusaan yang umum.”
Contohnya camat lebih kuat kekuasaannya dalam wilayahnya daripada gubernur. Maksud kaidah di atas adalah lembaga-lembaga yang khusus lebih kuat kekuasaannya daripada lembaga yang umum.
٣٣-لَاعِبْرَةَ بِالظَنِّ الْبَيِّنِ خَطَؤُهُ
“Tidak dianggap (diakui), persangkaan yang jelas salahnya.”
Apabila seorang debitor telah membayar utangnya kepada kreditor, kemudian wakil debitor atau penanggungjawabnya membayar uang debitor atas sangkaan bahwa utang belum dibayar oleh debitor, maka wakil debitor berhak meminta dikembalikan uang yang dibayarkannya, karena pebayarannya dilakukan atas dasar persangkaan yang jelas salahnya, yaitu menyangka utang belum dibayar debitor. Kaidah ini oleh Qadhi Abd al-Wahab al-Maliki dimasukkan dalam kaidah cabang “al-Yaqin La Yuzal bi al-Syakk.”
٣٤-الاِشْتِغَالُ بِغَيْرِ المقصود إِعْرَاضٌ عن المقصود
“Berbuat yang tidak dimaksud berarti berpaling dari yang dimaksud.”
Ada yang memasukkan kaidah ini dalam cabangan al-Umur bi Maqashidiha. Contohnya apabila ada seseorang yang bersumpah untuk tidak diam dan menetap di rumah, maka seketika itu harusnya ia keluar dari rumah. Sebab yang dimaksud dari sumpahnya adalah keluar dari rumah.
٣٥-لَايُنْكَرُ المُخْتَلَفُ فيه وانما يُنْكَرُ المُجْمَعُ عليه
“Masalah yang masih diperselisihkan tidak harus diingkari, sedangkan yang harus diingkari adalah yang disepakati.”
Maksud kaidah di atas adalah segala sesuatu yang disepakati tentang keharamannya maka harus benar-benar dijauhi. Misalnya tentang keharaman khamar maka kita harus menjauhi khamar. Berbeda dengan menyemir rambut yang masih terdapat perbedaan pendapat, maka kita tidak mengingkarinya.
٣٦-يَدْخُلُ القَوِيُّ عَلَى الضَعِيْفِ وَلَا عَكْسُهُ
“Yang kuat mencakup yang lemah dan tidak sebaliknya.”
Contohnya: dibolehkannya melakukan ibadah hajisekaligus umrah, tapi tidak sebaliknya. Dalam hukum pidana disebut dengan teori al-tadakhul (teori absorpi/penyerapan hukuman).
٣٧-يُغْتَفَرُ فِي الوَسَائِلِ مَالَايُغْتَفَرُ في المَقَاصِد
“Dapat dimaafkan karena sebagai sarana, namun tidak dapat dimaafkan pada maksud yang dituju.”
Maksudnya adalah sesuatu yang harus ada pada apa yang menjadi maksud haruslah dipenuhi, sedangkan sarana yang digunakan untuk mencapai msksud dapat dimaafkan atau dilonggarkan dengan menghilangkan atau menguranginya, karena itu niat dalam wudhu tidak harus ada, walaupun hal itu disyaratkan, karena wudhu hanya sebagai sarana shalat, sedangkan niat dalam shalat diwajibkan dan harus ada, karena shalat merupakan tujuan syarat, bukan sarana syarat.
٣٨-المَيْسُوْرُ لَايَسْقُطُ بِالمَعْسُوْرِ
“Suatu perbuatan yang mudah dijalankan, tidak menggugurkan yang sukar dijalankan.”
Maksud kaidah ini adalah suatu perbuatan yang diperintahkan untuk dilakukan, harus dilakukan sedapat mungkin yang kita sanggup lakukan. Contohnya: apabila seseorang tidak dapat sujud dalam shalat, maka shalat tetap harus dilakukan meskipun sujudnya hanya dengan membungkuk. Tidak berarti karena tidak bisa sujud, lalu dia tidak shalat. Apabila tidak ada pemimpin yang betul-betul memenuhi syarat maka pilihlah pemimpin meskipun tidak sempurna syaratnya. Kaidah ini mirip dengan kaidah:
ما لايدرك كله لايترك كله
“Apa yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya.”
٣٩-مَالَايَقْبَلُ التَبْعِيْضُ فَاخْتِيَارُ بَعْضِهِ كَاخْتِيِارِ كُلِّهِ وَاِسْقَاطُ بَعْضِهِكَإِسْقَاطِ كُلِّهِ
“Sesuatu yang tidak dapat dibagi, maka mengusahakan sebagiannya seperti mengusahakan seluruhnya. Demikian juga menggugurkan sebagiannya seperti menggugurkan seluruhnya.”
Redaksi lain dari kaidah ini adalah
ذكر البعض مالايتجزء كذكر كله
“Menyebutkan sesuatu yang tidak bisa dibagi, seperti menyebutkan keseluruhannya.”
Contohnya: apabila seseorang menyebutkan setengah talak kepada istrinya, maka hukumnya sama saja dengan menjatuhkan satu talak.

٤٠-اذَا اجْتَمَعَ السَبَبُ وَالغُرُوْرُ وَالمُبَاشَرَةُ قُدِمَتْ المباشرةُ
“Apabila berkumpul antara sebab, tipuan, dan pelaksanaan, maka pelaksanaan didahulukan.”
Maksud kaidah suatu kasus itu terdapat tiga faktor. Pertama, sebab terjadinya kasus. Kedua, adanya penipuan yang membantu terjadinya kasus. Ketiga, perbuatan langsung yang mengakibatkan kasus. Dari ketiga faktor di atas, maka yang pertama kali diminta pertanggungjawaban adalah perbuatan yang langsung menimbulkan kasus.
Contoh: ahmad menjual pisau kepada budi. Kemudian oleh budi, pisau tersebut digunakan untuk membunuh. Dalam contoh ini yang terkena tuntutan hukuman adalah budi sebab dialah pelaksananya. Namun bila ahmad adalah penjual alat-alat pembunuhan maka dia bisa dituntut juga.

C.  PENUTUP
Qawaid al-fiqhiyyah ghairu asasiyyah berarti kaidah-kaidah umum fikih yang bukan kaidah asasiyyah. Kaidah ini adalah kaidah-kaidah umum yang ruang lingkup dan cakupannya luas yaitu mencakup berbagai cabang hukum fikih.  Misalnya dalam bidang muamalah, peradilan, jinayah dan hukum keluarga. Kaidah-kaidah fikih ini, walaupun bukan kaidah asasiyah namun sangat bermanfaat dalam ilmu fikih. Salah satu manfaatnya yaitu dengan memperhatikan kaidah-kaidah fikih ini, akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi dengan disesuaikan menurut waktu dan tempat penerapan hukum (fikih) yang berbeda-beda.

D.  REFERENSI
Az-Zarqo, Ahmad bin Muhammad. Syarhu Al-Qowa’id Al-Fiqhiyyah. Dar-el-Qolam Damaskus 1989
Anshari, Zakariyya. Hasyiyatul jumal ala syahil manhaj. Darul Ihya’i Turats Al-‘Arabi
Dzajuli, Ahmad. Kaidah-kaidah Fiqih. Tri Cipta Press Semarang 1998
Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman. Al-asybah wa An-Nadzhair fi qawa’id wa furu fiqh syafi’i. Darul Kutub Ilmiyah Beirut 1983
Usman, Muchlis. Kaidah-kaidah ushuliyyah dan fiqhiyyah pedoman dasar dalam Istinbath hukum Islam. PT. Raja grafindo persada 1999. Jakarta



[1] Az-Zarqo, Ahmad bin Muhammad. Syarhu Al-Qowa’id Al-Fiqhiyyah. Dar-el-Qolam Damaskus 1989 hal.243
[2] Muslih Usman, Kaidah-kaidah Usuliyyah dan Fiqhiyyah, , Rajawali Press, Jakarta 1999 hal. 144
[3] Muslih Usman, Kaidah-kaidah Usuliyyah dan Fiqhiyyah, Rajawali Press, Jakarta 1999 hal. 144
[4] Dzajuli, Ahmad, Kaidah-kaidah Fiqih. Tri Cipta Press Semarang 1998 hal.123
[5] Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman. Al-asybah wa An-Nadzhair fi qawa’id wa furu fiqh syafi’i. Darul Kutub Ilmiyah Beirut 1983 hal.101