Oleh:
Hasanuddin Tosimpak
Kehidupan
berbangsa dan bernegara di Indonesia saat ini sedang mengalami cobaan yang
besar juga berat, besar karena konflik ini telah melibatkan hampir seluruh
elemen anak bangsa, berat karena bangsa Indonesia belum bisa menemukan formula
yang tepat untuk menanggulangi konflik tersebut, bisa dikatakan ini penyakit
stadium tiga, satu tingkat diatasnya maka mungkin saja negara Indonesia tinggal
nama. Apakah baru kali ini masyarakat Indonesia mengalami konflik?, tentu
tidak, bangsa Indonesia sudah kenyang akan dinamika sejak orde lama hingga saat
ini, namun pekerjaan yang belum terselesaikan adalah mencari penawar penyakit
kambuhan tersebut.
Indonesia
merupakan salah satu negara yang memiliki kemajemukan tinggi di dunia, karena
kemajukan inilah maka Indonesia merupakan Negara yang sangat rentan dengan
terjadinya konflik, sejak awal kemerdekaan, bagaimana susahnya menyatukan pemuda-pemuda
yang memiliki perbedaan budaya, bahasa, warna kulit, hingga kemudian tonggak
sejarah itu diikrarkan pada 28 oktober 1928, dinamika tidak berhenti sampai
disitu, setelah merdeka sangat banyak hal yang merintangi persatuan dan
kesatuan yang ingin diwujudkan oleh bangsa Indonesia. Hingga yang apa yang
tersaji hari ini di depan kita, telah sampai pada titik nadir kehidupan
berbangsa dan bernegara, dan lagi-lagi bukannya mencari jalan keluar dari
permasalahan yang terjadi, namun membiarkan hal ini berlarut-larut,
menghabiskan energi setiap individu anak bangsa. Permasalahan yang awalnya
sederhana, sudah memiliki aturan hukum yang jelas namun dibiarkan menjadi bola
panas yang berlari kesana-kemari lalu membakar apa saja yang tersentuh olehnya,
polemik yang awalnya hanya terjadi di ibu kota sana, sekarang telah merambat ke
seluruh wilayah, salah siapa ini?, aparatur negara?, pihak berwenang?, tidak,
mereka semua cuci tangan, tidak mau disalahkan, maka perlu ada yang
dikambinghitamkan, lagi-lagi bangsa Indonesia tidak belajar dari
kesalahan-kesalah terdahulu.
Para pemeluk agama
yang meminta keadilan karena agamanya dihina, yang kemudian menghimpun kekuatan
karena permintaan mereka tidak digubris oleh pihak berwenang, dianggap akan
melakukan makar terhadap pemerintah, ingin menggulingkan presiden, maka
kemudian muncul pelarangan-pelarangan terhadap aksi-aksi yang akan dilakukan,
pelarangan ini semakin nyata karena pihak berwenang turun tangan langsung,
seperti pelarangan terhadap perusahaan transportasi yang akan mengangkut peserta aksi, juga
penyuluhan-penyuluhan yang dilakukan oleh aparat-aparat sektor kepada masyarakat
agar mengurungkan niat mereka berangkat ke ibu kota, maka kemudian timbul
anggapan bahwa aksi yang akan dilakukan adalah upaya untuk makar dan mengganggu
stabilitas nasional, apakah ini adalah bentuk tuduhan kepada ummat islam,
sebagai pihak yang telah membuat semua keributan ini?, apakah ummat islam ingin
berbuat makar?. Soal tuduhan makar, ummat islam indonesia sudah kenyang akan
dakwaan tersebut. [Sejak pengesahan undang-undang anti subversi[1]
yang diumumkan dengan resmi oleh Presiden Sukano pada tahun 1963 sebagai
Penetapan Presiden No. 11/1963 hingga kemudian undang-undang ini diberikan
pakaian baru pada era DPR orde baru dengan nama UU 11/PnPs/1963[2], dengan
adanya undang-undang pemberantasan kegiatan subversi, pihak keamanan ketika itu
dalam hal ini KOPKAMTIB dapat membawa siapa saja yang disinyalir dapat
membahayakan ideologi pancasila ke meja hijau berdasarkan undang-undang anti
subversi tersebut[3]].
Kemudian kasus Tanjung Priok yang jelas-jelas
merupakan usaha untuk menyudutkan ummat islam di Indonesia, tidak membuat ummat
islam melawan pemerintah, padahal sudah jelas bahwa ummat islam yang menjadi
korban tragedi itu berjumlah kurang lebih [400 orang[4]], [laporan
Far Eastern Economic pada tanggal 22 november 1984, menyebutkan bahwa
jumlah korban mencapai ratusan orang, , sementara orang yang selamat dalam
peristiwa tersebut menaksir jumlah yang meninggal mencapai enam ratus orang][5], [tokoh-tokoh
muslim seperti AM Fatwa[6], Salim
Qadir, Prof. Oesmany Al Hamidi, mereka diadili dibawah tekanan penguasa pada
saat itu, kemudian dijatuhi hukuman 18-20 tahun penjara][7].
Lalu apakah kemudian ummat islam melakukan perlawanan terhadap pemerintah?. Kemudian
penerapan asas tunggal pancasila yang dilakukan oleh orde baru, lalu memberikan
label “anti pancasila” kepada mereka yang tidak patuh, membuat puluhan bahkan
ratusan tokoh dan aktivis muslim berurusan dengan pihak berwajib, lagi-lagi
dengan alasan menjaga stabilitas nasional “perlu” dibuat musuh negara, dan itu
ditujukan kepada ummat islam.
Mungkin aparat
lupa dengan semangat jihad yang digelorakan oleh ummat islam ketika masa
perjuangan kemerdekaan melawan penjajah, mereka lupa dengan perjuangan para
santri yang gugur selama dekade revolusi bersenjata, nama mereka yang gugur
tidak pernah tercatat satu persatu di dalam buku sejarah, karena bisa jadi buku
sejarah akan butuh ratusan halaman untuk mencatat nama-nama mereka, dan mereka
pun tak minta nama mereka diabadikan, cukup Tuhan yang tahu bahwa mereka
berjuang untuk tanah air yang mereka cintai, sesuai dengan seruan para ulama pencetus
Resolusi Jihad, apa anda ingin tahu apa agama mereka?. Apa yang dipekikkan para
penghembus semangat perjuangan di setiap palagan yang terkenal, sebut saja
Sutomo alis Bung Tomo, pria yang membuat semangat anak-anak Surabaya tak
terbendung pada November 1948, apa yang diteriakkannya?, sehingga dengan
izin-Nya tentara inggris dengan senjatan modern dapat dipukul mundur oleh
tentara Indonesia dengan senjata ala kadarnya, seperti kisah para syuhada badar
dengan perlengkapan seadanya dengan izin Allah mampu mengalahkan pasukan
bersenjata lengkap pimpinan Abu Jahal. Bakti ummat islam untuk negara ini tidak
perlu dihitung, karena para pejuang pun tidak meminta agar perjuangan mereka
diganti dengan sanjungan, sekali lagi demi bakti kepada negara yang mereka
cintai, apapun itu akan diberikan. Dan masih banyak lagi kisah-kisah heroik
yang dipelopori ummat islam untuk kemerdekaan Indonesia, lalu masihkah anda
menganggap bahwa ummat islam ingin melakukan makar?.
Jika ingin
membentuk negara sendiri, mudah saja ummat islam melakukannya, NII, DI/TII bisa
dijadikan propaganda untuk mendirikan negara islam, tapi apakah itu dilakukan?,
bahkan mereka (NII, DI/TII) tidak mendapat simpati dari ummat islam mayoritas,
ummat islam di Indonesia sepakat bahwa NKRI adalah final, ummat islam bisa
menjalankan kewajiban mereka dengan tenang di negara ini, tanpa adanya
pelarangan-pelarangan ketika ummat islam akan melakukan ibadah. Lalu untuk apa
ummat islam makar???. Bukti lain dari sikap “mengalah”nya ummat islam di
Indonesia adalah penghapusan beberapa kata dalam sila pertama pancasila atas
tuntutan beberapa pihak, lalu dihapuslah kata-kata tersebut yang terkenal
dengan piagam Jakarta. Lalu apakah ummat islam melakukan makar, karena merasa
mayoritas lalu menindas minoritas, tidak…!!!, demi keutuhan bangsa dan negara,
ummat islam mengalah, jika ego yang didahulukan, “kami kan yang mayoritas,
kalian yang minoritas harus ikut kami”, tapi sikap itu pantang dilakukan ummat
islam, sikap mengayomi yang ditunjukkan ummat islam adalah untuk kemaslahatan
bersama.
Kembali kepada
aksi yang telah dan akan kembali dilakukan oleh ummat islam tidak serta merta
dengan turun ke jalan, hal tersebut tidak akan terjadi jika pemerintah dalam
hal ini pihak berwenang mengambil langkah cepat menangani kasus ini, jika sejak
awal kasus ini ditangani dengan baik, maka aksi tersebut mungkin saja tidak
terjadi, misalkan pun terjadi, hanya melibatkan ummat islam yang berada di
daerah Jakarta saja. Namun sekarang semua daerah datang ke Jakarta, dengan
massa yang sangat besar tersebut, maka muncul lagi slogan “demi menjaga
stabilitas keamanan nasional” yang dibuat oleh pihak keamanan, seakan-akan
mereka yang melakukan aksi tersebut telah mengganggu keamanan negara, apakah
benar seperti itu?. Lalu mengapa kasus ini dibiarkan berlarut-larut, sehingga
menimbulkan polemik yang serius. Fakta dan bukti yang nyata di depan mata para
penegak hukum, serta peraturan yang jelas yang dapat menjadi landasan bagi
mereka untuk mengambil kesimpulan, seperti buram bahkan tak nampak di hadapan
mereka, namun isu makar, yang hanya kabar angin, begitu cepat ditanggapi oleh
pemerintah. Anda bisa melihat bagaimana ummat islam sejak awal ikut aturan main
yang berlaku di Indonesia, mulai dari pelaporan kasus, perwakilan ummat islam
memperlihatkan i’tikad baik, ikut hukum tidak main hakim sendiri, namun seperti
ada pembiaran terhadap laporan tersebut, lalu ketika sekarang kasus ini menjadi
besar, timbul isu-isu miring yang entah ditiup oleh siapa bahwa ummat islam
anti ke-bhineka-an, apakah para pembuat isu itu sadar bahwa yang dituntut oleh
ummat islam adalah individu yang melakukan kesalahan tersebut, tanpa pernah
membawa-bawa latar belakangnya. Lalu kemudian muncul stigma negatif atas aksi
yang telah dan akan dilakukan, sebagai sebuah usaha makar kepada pemerintah, mengganggu
stabilitas keamanan nasional, sama dengan cara-cara yang dilakukan orde baru
untuk menyudutkan ummat islam, menjadikan ummat islam sebagai musuh negara.
Lagi-lagi mereka lupa dengan apa yang telah dikorbankan ummat islam untuk
negara ini, kemudian mempertanyakan nasionalisme ummat islam di Indonesia.
[1] Subversi:
kegiatan apa saja yang dapat merubah,menggeroroti kekuasaan negara, atau wibawa
pemerintah yang sah, atau aparat negara, atau yang dapat menyebarkan rasa
permusuhan, atau menimbulkan permusuhan, atau menyebabkan perpecahan,
perselisihan, kekacauan, kerusuahn, atau keresahan di kalangan penduduk. Tapol,
Islam Diadili; Mengungkap Tragedi Tanjung Priok, (Jakarta: Teplok Press,2002),
hal.105.
[2] UU
11/PnPs/1963 telah dicabut berdasarkan UU No. 29 Tahun 1999 tentang
Pencabutan Undang-Undang No 11/PnPs/Tahun 1963 Tentang
Pemberantasan Kegiatan Subversi
[3] Tapol, Islam
Diadili; Mengungkap Tragedi Tanjung Priok,……..hal.104.
[4]Berdasarkan data
dari Sontak (Solidaritas Untuk Peristiwa Tanjung Priok), sedang versi aparat
keamanan sebanyak 18 orang meninggal dan
53 orang luka-luka, https://indocropcircles.wordpress.com/2014/05/30/tragedi-tanjung-priok-1984-pembantaian-kaum-muslimin-oleh-abri/
[5] Tapol, Islam
Diadili; Mengungkap Tragedi Tanjung Priok,……..hal.49.
[6] Salah satu
dari 22 orang penanda tangan Lembaran Putih, Ibid,hal.254.
[7]
http://jejakislam.net/tragedi-tanjung-priok-1984-musibah-dalam-musibah/