Oleh : Muhammad Taufiq
A. Pendahuluan
Seperti mana yang kita ketahui
bahwa kaidah-kaidah Fiqhiyah yang non asasiyah untuk dasar dalam istinbath
hukum2 islam ada yang telah disepakati dan ada juga yang diperselisihkan
(kontroversial).
Kaidah
non asasiyah yang disepakati ada 40 kaidah dalam Al-Asyba’ wan Nadzoir
(Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi) dan ditambah 68 kaidah dalam Al-Majallatul
Ahkamil Adliyah (semula merupakan RUU di Syiria, dan telah disempurnakan oleh
Al-Ustadz Mushtafa Ahmad Az-Zargo dalam bukunya Al Fiqhul Islamy fi Tsaubil
Jadid .
Kaidah-kaidah
non asasiyah ini, walaupun kedudukannya bukan kaidah asasiyah, namun
keabsahannya dapat diakui, dan tiada jumhur ulama mengingkarinya walaupun terdapat
sebagian ulama yang tidak sepakat.
Sedangkan
kaidah yang mukhtalafah ini banyaknya ada duapuluh kaidah. Menurut al
suyuthi, kedua puluh kaidah tersebut tidak dapat ditarjih (diunggulkan) salah
satunya. Hal ini dikarenakan kedua puluh kaidah tersebut mempunyai dasar hukum
masing – masing. Berikut akan dijelaskan mengenai kedua puluh kaidah
tersebut.
B. Macam-Macam
Kaidah Ghoiru Asasiyah yang Mukhtalaf Fiha beserta contohnya
Menurut
Abdurrahman as-suyuthi dalam “Al_Asybah Wa Nadhoir” menyebutkan 20 (dua puluh)
kaidah yang diperselisihkan, yaitu:
Kaidah
pertama
الجمعة ظهر مقصورة او صلاة على حالها
“salat
jum’at merupakan salat zuhur yang dipersingkat, ataukah salat sebgaimana
mestinya.” (as_suyuthi. TT:109).
Menaggapi
kaidah tersebut ada dua macam pendapat:
1. Salat
jum’at sebagai salat dzuhur yang diringkas, karena itu orang yang sedang
bepergian boleh menjamak jum’at dengan ashar, baik jama’ taqdim maupun jama’
ta’khir.
2. Salat
jum’at sebagai keadaan salat jum’at sendiri bukan merupakan salat yang lain,
karena itu niatnya harus niat salat jum’at bukan salat dzuhur.
Apabila
salat jum’at diniati dengan salat dzuhur yang diringkas, maka menurut
hakikatnya sudah sah, tetapi menurut fungsinya tidak sah, karena niat itulah
sebenarnya yang membedakan setiap amalan.
Kaidah
Kedua
الصلاة خلف المحدث المجهول الحال اذا قلنا بالصحة هل هي صلاة جماعة
اوانفراد
“salat
(makmum) dibelakanga imam yang berhadas dan tidak diketahui kondisi itu, jika
salatnya diketahui sah, apakah sahnya itu karena salat jamaah ataukah karena
salat sendirian.”(as_suyuthi.TT:110).
Jika
seorang imam menjadi imam dalam salat dan jumlah jamaah sudah cukup walaupun
dikurangi imam, sedang imam dalam keadaan berhadas, maka salat jamahnya
dianggap sah, karena itu mereka semua mendapat pahala jamaah. Jika imam lupa
bahwa ia berhadas atau makmumnya lupa bahwa imamnya berhadas, kemudian dalam
salat itu ia ingat dan memisahkan diri dari jamaah sebelum salam, jika makmum
menginginkansalat jamaah maka ia harus sujud sahwi karena lupanya imam, bukan
karena kelupaan dirinya.
Kaidah
Ketiga
من اتى بما ينا فى الفرض دون النفل فى اول فرض اواثناءه بطل فرضه وهل
تبقى صلاته نفلا اوتبطل
“Barangsiapa
yang melakukan perbuatan dengan membatalkan perbuatan fardu, bukan
perbuatan sunnat, diawal atau ditengah-tengah perbuatan fardu, maka perbuatan
fardunya menjadi batal, tetapi apakah perbuatan itu menjadi perbuatan sunnat
ataukah batal secara keseluruhan.” (as_suyuthi. TT:110).
Kaidah
tersebut menimbulkan dua pendapat, yaitu:
1. Bila
seorang melakukan salat fardu sendirian, kemudian ada salat jamaah dan karena
ingin mengikuti salat jamaah, maka ia salam setelah dua rakaat, maka salatnya
tetap sah, dan salatnya berstatus salat sunnah.
2. Bila
seorang telah melakukan takbiratul ihram untuk salat fardu sebelum masuknya
waktu atau karena ia membatalkan salat fardunya untuk ditukarkan kepada fardu
yang lain, tau untuk berpindah kepada salat sunnah tanpa sebab, maka salatnya
dianggap tidak sah.
Kaidah
Keempat
النذر هل يسلك به مسلك الواجب اوالجائز
“Realisasi
nazar, apakah apakah dilakukan seperti mengerjakan pekerjaan wajib, ataukah
pekerjaan jaiz.” (as_suyuthi.TT:110).
Kaidah
tersebut menimbulkan dua pendapat, yaitu:
1. Dilaksanakan
seperti pelaksanaan ibadah wajib, misalnya; nazar salat, puasa maupun kurban,
maka salat , puasa, ataupun kurban itu harus dilakukan sebagaimana pekerjaan
wajib. Kalau salat harus berdiri, tidak boleh duduk bila kuasa, puasanya harus
berniat dimalam hari, tidak boleh siang hari seperti puasa sunnat, sedang
kurbanya harus hewan yang cukup umur serta tidak cacat.
2. Dilaksanakan
seperti pelaksanaan ibadah jaiz, seperti memerdekakan budak, sehingga boleh
memerdekakan budak kafir atau budak cacat.
Kaidah
Kelima
هل العبرة بصيغ العقود او بمعانيها
“Apakah
ungkapan itu yang dianggap bentuk akadnya tau maknanya.” (as_suyuthi.TT:111).
Misalnya
ada orang yang mengadakan transaksi dengan berkata “saya beli bajumu dengan
syarat-syarat demikian dengan harga sekian” kemudian penjual menjawab “iya
jadi”, jika melihat akadnya bentuknya jual beli, namun jiak melihat maknanya
merupaakan akad salam (pesanan). Demikian juga jika orang berkata “saya jual
bajuku padamu” tanpa menyebutkan harganya. Bila dilihat dari maknanya berarti
hibah, tetapi sudut lafalnya berarti jual beli. Bila hibah maka diperbolehkan
tetapi jika dipandang jual beli, maka merupakan jual beli
yang fasid (rusak).
Kaidah
Keenam
العين المستعارة للرهن هل المغلب فيها جانب الضمان او جانب العارية
“Barang
yang dipinjam untuk gadai, apakah layak sebagai jaminan ataukah sebagai pinjaman.”(as_suyuthi.TT:113).
Barang
pinjaman untuk jaminan gadai dipegang oleh pemberi gadai, apakah yang mempunyai
barang tersebut boleh meminta kembali? Kalau barang tersebut dianggap sebagai
pinjaman, maka dapat kembaliatau diambil, sedaang jika sebagai jaminan maka
tidak dapat diminta kembali kecuali sudah dilunasi utangnya. Demikian juga,
jika barang itu rusak, maka pihak gadai harus mengganti, jika sebagai pinjaman,
tetapi tidak wajib mengganti, jika sebagai jaminan.
Kaidah
Ketujuh
الحوالة هل هي بيع او استيفاء
“Apakah hiwalah (pemindahan
utang) itu merupakan jual beli ataukah kewajiban yang
dipenuhi”.(as_suyuthi.TT:114).
Jika
hiwalah merupakan kewajiban yang harus dipenuhi, maka tidak ada khiyar baginya
(pilihan untuk ditangguhkan), namun bila dianggap jual beli maka ia berlaku
persyaratan-persyaratan sebagaimana jual beli , yakni bila ada cacatnya dapat
dikembalikan, atau bila tidak senang dapat dikembalikan kembali (khiyar
majlis), namun apabila sebagai istifa’ maka tidak ada persyaratan
tersebut.
Kaidah
Kedelapan
الإبراء هل هو إسقاط او تمليك
“Pembebasan
utang, apakah sebagai pengguguran utang, ataukah merupakan pemberian untuk
dimiliki.”(as_suyuthi.TT:115).
Pembebasan
utang yang tidak diketahui jumlah utangnya oleh orang yang membebaskan, maka
yang lebih sah adalah pemberian untuk dimiliki dan tidak sah pengguguranya,
sedanfkan kalau pemberi membebaskan dengan mengetahui jumlah uangnya, maka yang
lebih sah dengan isqoth (pengguguran). Demikian juga pembebasan utang dari
salah satu orang, maka yang lebih sah adalah pemberian untuk
dimiliki (tamlik) dan jika ibro’nya dikaitakan dengan sesuatu
(tempat,keadaan) maka yang sah adalah tamlik, kalu disyaratkan adanya qobul
maka yang sah dengan isqoth (pengguguran), sedang tamlik tidak disyaratkan
adanya qobul.
Kaidah
Kesembilan
الإقالة هل هي فسخ او بيع
“iqolah (pencabutan
jual-beli terhadap orang yang menyesal) adakah itu merupakan pembatalan
jual-beli ataukah merupakan jual-beli (keduakalinya)”. (as_suyuthi, TT:115).
Misalnya
seseorang membeli budak kafir dari penjual kafir, kemudian budak tersebut
menjadi muslim dan penjual menghendaki iqalah. Kalau iqalah itu dipandang
sebagai jual-beli maka dianggap sah seperti mengembalikan barang pembelian
karena adanya cacat. Sedangkan kalau iqalah dianggap sebagai fasah (pembatalan)
maka tidak perlu adanya ijab qabul, sedangkan jika dianggap jual beli maka
memerlukan ijab qabul baru.
Kaidah
Kesepuluh
الصداق المعين في يد الزوج قبل القبض مضمون ضمان عقد او ضمان يد
“Maskawin
yang sudah ditentukan dan masih dalam genggaman suami yang belum diterima oleh
istri, hal itu merupakan barang yang di jamin oleh suami berdasrkan akad
ataukah dijamin sebagai barang yang diambil dari tangan istri
(as_suyuthi,TT:116).
Artinya,
maskawin kalau dianggap sebagai barang yang dijamin akad maka tidak sah untuk
dijual sebelum diterima, sedangkan kalau dianggap hak milik istri maka boleh
dijual walaupun barangnya masih disuaminya. Demikian juga jika maskawin yang
ditangan suami itu rusak atau hilang, maka harus diganti sesuai dengan maskawin
misil istri, karena jaminan berdasarkan akad. Tetapi kalau dianggap sebagai
barang yang diambil dari tangan istri maka harus diganti persis seperti wujud
semula atau seharga mahar itu.
Kaidah
Kesebelas
الطلاق الرجعي هل يقطع النكاح اولا
“Thalaq
raj’i apakah itu merupakan pemutusan nikah atai tidak.” (as_suyuthi,TT:116).
Seandainya
suami menggauli istri dalam masa iddahnya, kemudian baru merujuknya, maka wajib
membayar mahar menurut pendapat yang menyatakan rujuk termasuk memutus
pernikahan, dan kalau suami meninggal, istri tidak boleh memandikanya menurut
pendapat yang absah, tetapi menurut pendapat yang kedua boleh memandikanya
sebagaimana masih suami istri. Bila hal itu dianggap putus maka berakibat haram
melihat aurat, dan bergaul dengan istri, namun jika dianggap tidk putus, maka
berkaibat wajib memberi nafkah, mempunyai hak waris. Menilai kaidah tersebut,
maka muncul pndapat ketiga, yaitu talak Raj’i masih mauquf sampai habis masa
iddahnya.
Kaidah
Kedua belas
الظهار هل المغلب فيه مشابهة الطلاق اومشابهة اليمين
“Dhihar
itu apakah selayaknya serupa dengan talak, ataukah serupa dengan sumpah.”
Misalnya
ada seorang yang mendhihar (menyamakan punggung istri dengan punggung ibunya)
empat istrinya dengan satu kalimat. Misalnya “engkau semua seperti punggung
ibuku.” Jika ia ingin kembali pada istrinya ia harus membayar empat kafarat
karena diserupakan dnegan talak, tetapi jika lebih diserupakan dengan sumpah
maka cukup membayar satu kafarat, yakni kafarat sumpah. Jika diserupakan dengan
talak maka boleh dengan lisan atau tulisan, tetapi jika dengan sumpah maka
harus dengan lisan.
Kaidah
Ketiga belas
فرض الكفاية هل يتعين بالشروع او لا
“Fardu
kifayah, apakah menjadi fardu ‘ain setelah dilaksanakan atau masih tetap
sebagai fardu kifayah “.)as_suyuthu,TT:117).
Pendapat
yang lebih syah adalah bahwa shalat jenazah apabila sesorang telah memulai
menegrjakan maka haram baginya untuk meninggalkan, karena hal itu bagai fardu
‘ain, demikian pula kasus jihad. Diharamkan meninggalkan bila sudah memulai
berjihad (berperang), bahkan sangat dibenci jika hal itu dilakukan, karena hal
itu merupakan kemunafikan. Bagi al-Ghazali menyatakan bahwa pendapat itu khusus
fardu kifayah shalat jenazah dan jihad, selainya tidak mengubah status fardu
kifayah.
Kaidah
Keempat belas
الزائل العائد هل هو كالذي لم يزل او كالذي لم يعد
“Suatu
yang hilang kemudian kembali, apakah hukumnya seperti tidak hilang sebagaimana
sedia kala ataukah sebagai barang baru”. (as_suyuthi.TT:118).
Kaidah
tersebut menimbulkan dua pendapat , yaitu:
1.Dianggap
sebagaiamana sedia kala, misalnya wanita yang telah ditalak sebelum digauli,
maka hilang kemilikanya atas mahar, kalau suamianya kemabali maka kembali pula
hak pemilikanya terhadap mahar seperti mahar semula. Harta yang pada ahir tahun
perlu dizakati kemudian hilang ditengah tahun yang kemudian kembali maka tetap
pada ahir tahun dizakati seperti tidak hilang, dan juga orang memukul orang
lain hingga rusak penglihatan, kemudian penglihatan kembali maka gugur hukum
qashas atas orang itu.
2.Dianggap
sebagaimana barang baru, mislanya hakim gila atau hilang keahlianya, kemudian
sembuh atau kembali keahlianya maka tidak kembali kekuasaan hakimnya.
Kaidah
Kelima belas
هل العبرة بالحال اوبالمال
“Apakah
ungkapan itu menurut keadaan atau menurut bendanya”. (as_suyuthi,TT:119).
Kaidah
tersebut menimbulkan kaidah sebagai berikut:
ماقارب الشيء هل يعطي حكمه
“Yang
dekat dengan sesuatu adakah diberi hukumya.”
المشرف الزوال هل يعطي حكم الزائل
“Sesuatu
yang hampir hilang, apakah diberikan hukum sebgaimana sesuatu yang hilang”
(as_suyuthi,TT:119).
المتوقع هل يجعل كالواقع
“Apa
yang akan terjadi apakah dijadikan seperti yang terjadi.” (as_suyuthi, TT:119).
Misalnya
ada seorang menjadi imam dengan berpakaian yang menutup aurat, tetapi ketika
ruku’ pakianya robek. Pendapat yang kuat adalah bahwa apa yang akan terjadi itu
tidak dijadikan seperti apa yang terjadi, jadi makmum tetap sah dengan niat
infirod (memisahkan diri dari shalat jamaah) ketika robek pakaian imam.
Kaidah
Keenam belas
اذا بطل الخصوص هل يبقى العموم
“Apabila
kekhususanya batal maka masih tetap keumumanya”. (as_suyuthi, TT:121).
Misalnya
seseorang telah melakukan takbiratul ihram pad shalat yang belum masuk
waktunya, mka batallah kekhususanya (niat shalat wajib itu) tetapi menurut
pendapat yang absah masih dianggap berlaku keumuman takbir itu untuk shalat
sunnah. Demikian juga orang yang bertayamum untuk shalat wajib sebelum
waktunya, maka batal tayamumnya untuk digunakan shalat wajib (sebab kebolehan
tayamum adalah menunggu waktu shalat wajib tiba) serta tidak boleh digunakan
sholat sunnat, lain lagi jika niyatnya untuk tayamum sholat sunnat maka
diperbolehkan.
Kaidah
Ketuju belas
الحمل هل يعطي حكم المعلوم اوالمجهول
“Anak
yang masih dalam kandungan, apakah dihukumi seperti sesuatu yang telah
diketahui ataukah sebagai sesuatu yang belum diketahui”.(as_suyuthi, TT:121).
Misalnya
mengenai penjualan biantang yang bunting “hamil” menurut pendapat yang absah
hal itu tidak diperkenankan, karena yang dalam kandungan itu masih majhul tidak
tidak diketahui kriterianya, demikian juga tidak sah menjual binatang dalam
perut induknya karena hal itu tidak diketahui, sedang dalam masalah waisat pada
anak dalam kandungan itu diperbolehkan, karen ahak itu sudah jelas. Tetapi
dalam hal waris-mewarisi, maka anak dalam kandungan dianggap laki-laki saja,
sebab dengan begitu maka ketika ia lahir laki-laki maka bagianya sebgaimana
mestinya, tetapi jika wanita maka uang warisan yang lebih dapat dibagikan lagi
pada yang lain.
Kaidah
Kedelapan belas
النادر هل يلحق بجنسه اوبنفسه
“Sesuatu
yang jarang terjadi, apakah dikaitkan dengan jenisnya ataukah menurut keadaanya
sendiri”.(as_suyuthi,TT:122)
Misalnya
hukum menyentuh penis laki-laki yang telah putus, menurut pendapat yang lebih
kuat adalah membatalkan wudlu, karena secara hakiki adalah menyentuh alat
kelamin. Sedangkan jika menyentuh anggota tubuh wanita yang telah terputus dari
induknya maka tidak membatalkan, karena hal itu tidak menyentuh wanita lagi.
Demikian juga orang yang mempunyai anggota badan lebih, misalnya jarinya 6
(enam), maka wajib juga dibasuh saat berwudlu.
Kaidah
Kesembilan belas
القادر على اليقين هل له الاجتهاد والأخذ بالظن
“Orang
yang kuasa menuju yang yakin bolehkah baginya berijtihad berdasarkan
perkiraan”.(as_suyuthi,TT:123)
Secara
umum seorang mujtahid tidak boleh berijtihad jika mendapatkan nash, karena nash
merupakan suatu keyakinan dan dia tidak boleh mengabaikan nash tersebut,
sedangkan ijtihad merupakan keputusan dhon dibanding nash. Misalnya seseorang
mempunyai dua baju, yang stau suci, sedang yang lain najis, maka dia boleh
meneliti (berijtihad) mana yang suci untk dipergunakan walaupun ia dapat
berganti dengan pakaianya lain yang jelas suci. Namun seseorang tidak sah
shalat menghadap hijr ismail, karena yang yakin jelas diketahui, yakni
menghadap ka’bah.
Kaidah
keduapuluh
المانع الطارئ هل هو كالمقارن
“Halangan
yang datang kemudian, apakah ia seperti bercampur”. (as_suyuthi,TT:123).
Kaidah
tersebut ada dua pendapat , sebagian menganggap seperti bercampur seperti
menambah air sehingga menjadi banyak yang semua jenis. Selesainya orang yang
istihadloh ditengah-tengah menjalankan sholat. Murtadnya seseorang yang sedang
ihram, serta perubahan niat yang buruk yang semula baik dalam bepergian, maka
kasus tersebut hukum airnya menjadi suci, sholatnya menjadi batal, dan ihramnya
juga batal dan tidak ada rukhsoh baginya.
Dari
beberapa kaidah diatas, dapat diamati bahwa kaidah-kaidah yang diperselisihkan
sebenarnya bukan pada kaidah itu sendiri tetapi lebih mengarah pada kondisi
yang mempengaruhi kaidh itu tercipta, sehingga keberlakuan kaidah tersebut
menurut kondisi yang melatar belakanginya.
C. Penutup
Qawaidul fiqhiyyah terbagi
dalam kaidah – kaidah asasi dan ghairu asasi. Qawaid
fiqhiyyah ghairu asasiyyah dibagi menjadi dua bagian, yaitu kaidah
ghairu asasiah muttafaq ‘alaih ( yang tidak dipertentangkan ),
dan kaidah ghairu asasiah mukhtalafah fiha ( yang dipertentangkan ).
Adapun kaidah ghairu asasiah yang tidak dipertentangkan banyaknya ada
empat puluh kaidah. Kaidah ini disebut sebagai kaidah kulliah (
kaidah universal ). Sedangkan kaidah yang mukhtalafah ini banyaknya
ada duapuluh kaidah. Kedua puluh kaidah tersebut tidak dapat ditarjih
(diunggulkan) salah satunya.