Monday, 23 May 2016

Fatwa Ulama Seputar Puasa di Negara Dengan Durasi Siang yang Panjang


Oleh: Firman Arifandi, LLB

Menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan dengan kondisi cuaca yang mendukung, temperatur udara yang bersahabat, serta durasi waktu yang stabil sudah menjadi perihal yang lumrah bagi muslimin di Indonesia. Namun di belahan bumi lain, terlebih di negara yang mempunyai empat musim, akan menimbulkan sejumlah pertanyaan besar bagi mereka. Yakni tatkala bulan puasa berbarengan dengan musim panas yang ekstrim, dimana daylight bisa berdurasi delapan belas jam bahkan lebih, serta menyisakan malam yang sangat pendek sekali. Dalam hal ini timbul pertanyaan, bagaiamanakah muslimin di sana harusnya berpuasa? Bagaiamanakah penentuan waktu shalatnya, mengingat jarak antara maghrib, isya, dan subuh sangat berdekatan sekali bahkan jam 03.00 pagi kadang sudah nampak seperti pukul 06.00 WIB. Hal ini menimbulkan dilema dan galau religi tersendiri bagi muslim dan WNI di negara tersebut, mengingat sejumlah dalil bersifat spesifik tentang penentuan waktu-waktu shalat dan puasa sudah sangat jelas, namun di sisi lain fakta menyeret mereka kepada ketidak-mampuan dalam menjalankannya.

Dalam surat Al-baqoroh dikatakan :
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَن كَانَ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُواْ الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ اللّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
 (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.(Al-Baqarah: 185)

Hukum Taklif Eksis Pada Kondisi yang Stabil
            Istilah galau religi sebenarnya tidak akan berlaku jika kita membaca lebih detail tentang ketentuan pembebanan dalam suatu hukum yang tertera dalam nushus. Pada ayat di atas tadi, Allah menegaskan mutlaknya berpuasa setelah melihat hilal, kemudian disebutkan kondisi dimana muslim diberikan keringanan dari kewajiban puasa saat sakit dan perjalanan jauh. Lalu tak lepas pula di sana disebutkan bahwa Allah menghendaki kemudahan bagi hambaNya.

 Dalam hal kemudahan inilah, sejumlah ulama ushul dan ulama fiqih menegaskan bahwa dalil dari nushus pada umumnya berlaku pada kondisi yang stabil serta umum, bahkan tidak bisa diberlakukan pada kondisi yang jarang terjadi.
Imam al Qarrafi menegaskan dalam Al furuq:
1.   والقاعدة أن الدائر بين الغالب والنادر إضافته إلى الغالب أولى
“Kaidah atau aturan bahwa bila terjadi konflik antara hal yang sering terjadi dan yang langka, maka diutamakan rujukan hukumnya pada yang sering terjadi[1]”.
2.   والشرع إنما يبني أحكامه على الغالب
“Dan syariat itu hukum-hukumnya dibangun berlandaskan keumuman yang terjadi[2]

Begitupula imam Ibnu Hajar Al-Asqolani mengatakan dalam Fathul Bari :
الأحكام إنما تناط بالغالب لا بالصورة النادرة
“Sesungguhnya hukum-hukum itu berlaku pada mayoritas yang terjadi, bukan pada kejadian yang jarang[3]”.
            Pada titik inilah kita merasakan fleksibilitas syariat Islam, dimana hukum yang sifatnya mutlak sekalipun tidak bisa dimaknai secara tekstual.


Fatwa Ulama
Berangkat dari ketentuan di atas, para ulama datang dengan sejumlah pertimbangan dalam kitab-kitabnya terkait kasus puasa di tempat dengan durasi siang yang lebih panjang.
Menyikapi teks dalam surat Al-Baqarah ayat 185, dalam tafsir Al-Mannar disebutkan bahwa:

Allah menyerukan kepada seluruh ummat manusia untuk melakukan segala perintahNya sesuai kemampuan mereka. Tatkala Allah menekankan perintah Shalat, dan Rasulullah menjelaskan waktunya, maka itu semua disesuaikan dengan keadaan tempat yang kondisinya stabil. Sementara negara yang memiliki waktu siang yang sangat lama dari pada waktu malam, maka waktu shalatnya bisa diperkirakan dengan ijtihad mereka. Begitupula dalam masalah puasa, puasa Ramadhan belum diwajibkan kecuali setelah melihat hilal. Bila suatu daerah tidak ada hilalnya, maka diperbolehkkan bagi penghuninya untuk melakukan analogi. Di kalangan ahli fiqih sendiri, setelah mengetahui ada sebagian daerah yang memiliki malam yang sangat panjang dan siang yang sangat pendek atau sebaliknya, mereka berselisih pendapat dalam masalah standar dalam menyesuaikan waktunya. Apakah penentuan waktu disesuaikan dengan daerah normal yang paling dekat, ataukah mengikuti waktu Mekkah dan Madinah? Dua kemungkinan itu bisa saja dipilih karena hal itu hanyalah masalah ijtihad yang kasusnya tidak terkandung dalam teks nusus[4].

Selanjutnya, dalam kitab Al hawi lil fatawi, imam jalaluddin As-Suyuthi menukil fatwa dari Al-Fazary dan imam Zarkasyi dari kitab al-Khodim ketika ditanya tentang shalat dan puasanya orang di tempat dengan durasi malam yang sangat pendek. Dikatakan di sana bahwa meskipun sinar merah di ufuk barat tidak bisa ditemukan, tetap wajib baginya shalat isya’ dan tetap berlaku baginya menjalankan puasa, muslim di daerah tersebut boleh makan ketika malam dan memulai puasanya dengan menyamakan durasi seperti tempat terdekat yang siang dan malamnya normal[5].

Adapun dalil yang dipakai adalah Qiyas terhadap hadist kedatangan dajjal di muka bumi, Diriwayatkan oleh imam Muslim, para sahabat bertanya kepada Rasulullah perihal lamanya Dajjal di muka bumi, maka Rasulullah menjawab: “Masa Dajjal hanya 40 hari, hari pertama seperti satu tahun, hari kedua seperti satu bulan, hari ketiga seperti satu minggu, lalu hari berikutnya seperti hari-hari kalian (24 jam). Kami lalu bertanya, “ya Rasulullah, apakah satu hari seperti satu tahun lamanya cukup bagi kami mengerjakan shalat satu hari saja ( shalat 5 kali dalam setahun)? Nabi Menjawab, “Tidak, akan tetapi ukurlah sesuai waktu shalat kalian dalam hari-hari biasa[6]. (HR. Muslim)

Dari redaksi hadist yang menyatakan sehari seperti setahun dan perintah melakukan analogi waktu sebagaimana hari-hari normal, para ulama seperti imam Suyuthi dan imam Zarkasyi kemudian berpendapat agar melakukan shalat dan puasa dengan mengikuti waktu negara terdekat yang memiliki durasi siang dan malam yang stabil.

Adapun pendapat ke dua adalah agar muslim di negara dengan kondisi siang yang panjang mengikuti waktu shalat dan puasa di Makkah. Pendapat ini banyak diikuti oleh lembaga fatwa seperti darul Ifta Mesir ( fatwa nomor 4777. 09/07/2013 dan fatwa nomor 3740 tanggal 31/07/2011). Adapun alasannya adalah karena ketidak mungkinan melakukan analogi terhadap negara terdekat mengingat secara letak geografis akan mengalami musim yang sama, maka dipusatkan kepada Mekah dengan laqob Ummul Quro tersebut.
Maka dalam kasus ini, terdapat dua pendapat yakni mengikuti waktu daerah terdekat dengan kondisi waktu yang stabil, atau mengikuti waktu di Mekah. Sementara dalam teknisnya, kedua pendapat tersebut tidak berbeda. Mereka boleh makan pada malam hari sampai terbitnya Fajar di tempatnya, dan harus menahan diri dari hal yang membatalkan pada siang hari sampai terbenamnya matahari sebagaimana waktu daerah yang diikuti, baik tempat terdekat menurut pendapat pertama, atau mengikuti durasi di Mekah seperti pendapat kedua. Maka jika puasa dimulai pukul 03.00 pagi hari, dan di Mekah atau tempat terdekat melakukan puasa sepanjang 15 jam, muslim tersebut boleh berbuka pada pukul 16.00 waktu setempat.

Batas Maksimal Durasi Siang yang dibolehkan Mengikuti Fatwa
Ternyata fatwa-fatwa di atas tidak berlaku bagi semua negara dengan empat musim dan summer yang ekstrim. Ada batas maksimal durasi siang dimana muslim boleh mengikuti fatwa tersebut, yakni negara dengan durasi siang tak kurang dari 18 Jam dan malam tak lebih dari 6 jam. Pertimbangannya bukan hanya pada penentuan waktu shalat maghrib hingga subuh, tapi juga pada segi kesehatan.

Maka dengan merujuk kepada kedua fatwa tersebut, atau jika ada fatwa baru dari ulama-ulama setempat, tidak ada lagi keraguan alias galau religi bagi muslimin terutama WNI di negara dengan durasi siang yang panjang untuk beribadah all out.
Wallahu a’lam bisshowab




[1] Al-Qarrafi, Abu-l-‘abbas Syihabuddin. Al-furuq. ‘alamul kutub. Juz 1 / h.208
[2] Ibid. Juz 4/ h.102
[3] Al-Asqollani, Ahmad bin Ali Bin Hajar. Fathul bari syarhu sohihil bukhori. Darul Ma’rifah. Beirut. 1379. Juz 2 / h. 199
[4] Ridha, Rasyid bin Ali. Tafsir Al Mannar. Al-Hay’ah Al-Ammah lil kitab. Mesir. 1990. Juz 2/ h. 131
[5] Suyuthi, jalaluddin. Al-hawi lil fatawi. Darul fikr. Lebanon. 2004. juz 2/ h 384
[6] Hadist Riwayat Muslim No. 2936, bab dajjal, sifat, dan perihal kedatanganya.

No comments:

Post a Comment