Tuesday, 10 May 2016

Harmonisasi Antara Tradisi dan Hukum Syari'at Dalam Konteks Qowa'id Fiqhiyyah


Oleh :  Eris Rismatulloh

PENDAHULUAN
Dalam sejarah agama-agama, konsep tradisi sangat berperan penting dalam pembentukan model dan bentuk dari agama yang bersangkutan, dan tidak dapat dipungkiri peran dari tradisi ini sangat besar pengaruhnya dalam pembentukan hukum yang ada dalam agama tersebut. Kenyataan sosial semacam ini dalam Islam diatur berdasarkan ketentuan yang baku atas sandaran Al-Qur’an dan Hadits. Pengaturan yang selektif dan proporsional dalam Islam menjadikan realitas dalam masyarakat menjadi penunjang dalam hukum-hukum Syar’i bukan menjadikan Islam sebagai Agama yang Tradisionil.   
Untuk mengatur Tradisi dan Hukum Syar’i, Ilmu fiqh menjadi hal yang sangat penting keberadaannya untuk mengatur hal tersebut, lebih spesifik lagi dalam Qowa’id Fiqhiyyah ditemukan formulasi khusus yang mengatur tradisi atau adat yaitu dalam salah satu Kaidah Asasiyah yang lima; العادة محكمة (adat atau kebiasaan bisa menjadi hukum). Tentu saja tanpa melupakan kaidah yang lain yang telah disampaikan sebelumnya, segala perkara tergantung tujuannya; Kemadharatan harus dihilangkan; Yakin tidak bisa dihilangkan oleh  keraguan dan Kesulitan dapat menarik kemudahan[1].

1.1 Latar Belakang
Dengan memahami Kaidah Asasiyah ini, kita dapat menjadi lebih bijak dalam menyikapi berbagai problematika yang muncul dalam kehidupan bermasyarakat, serta lebih mudah dalam mencari solusi bagi masalah-masalah yang muncul dan berkembang dalam masyarakat. Khususnya yang berkenaan dengan kehidupan kita sehari-hari atau yang sering kita jumpai atau adat keseharian dengan kaidah yang kelima Al-‘Aadah Muhakkamah dengan arti adat atau kebiasaan itu dapat menjadi dasar dalam penetapan hukum.

1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang makalah ini dapat diambil beberapa poin yang dianggap penting dalam pengenalan terhadap salah satu kaidah ini,
1.      Pengertian Kaidah Al-‘aadah Muhakkamah
2.      Dasar-dasar Nash dari kaidah Al-‘aadah Muhakkamah
3.      Syarat diberlakukannya kaidah ini
4.      Kaidah-kaidah fiqhiyyah yang berhubungan dengan Kaidah Al’aadah Muhakkamah

1.3 Tujuan
            Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.      Memahami arti dari Kaidah Al-‘aadah Muhakkamah
2.      Mengetahui dasar-dasar dalil dari kaidah Al’Aadah muhakkamah
3.      Mengetahui kapan Al-‘aadah ini menjadi hukum
4.      Mengetahui secar terperinci kaidah-kaidah fiqhiyyah yang berhubungan dengan kaidah Al’aadah Muhakkamah.

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dari kaidah Al-‘aadah Muhakkamah
Yang dimaksud dengan kaidah ini bahwa di suatu keadaan, adat bisa dijadikan pijakan untuk mencetuskan hukum ketika tidak ada dalil dari syari’. Namun, tidak semua adat bisa dijadikan pijakan hukum.
Dan pada dasarnya atau asal mula kaidah ini ada, diambil dari realita sosial kemasyarakatan bahwa semua cara hidup dan kehidupan itu dibentuk oleh nilai-nilai yang diyakini sebagai norma yang sudah berjalan sejak lama sehingga mereka memiliki pola hidup dan kehidupan sendiri secara khusus berdasarkan nilai-nilai yang sudah dihayati bersama. Jika ditemukan suatu masyarakat meninggalkan suatu amaliyah yang selama ini sudah biasa dilakukan, maka mereka sudah dianggap telah mengalami pergeseran nilai. Nilai-nilai seperti inilah yang dikenal dengan sebutan ‘adah (adat atau kebiasaan), budaya, tradisi dan sebagainya. Dan Islam dalam berbagai ajaran yang didalamnya menganggap adat sebagai pendamping dan elemen yang bisa diadopsi secara selektif dan proposional, sehingga bisa dijadikan sebagai salah satu alat penunjang hukum-hukum syara’.[2]
Dalam pengertian dan subtansi yang sama, terdapat istilah lain dari al-'adah, yaitu al-'urf, yang secara bahasa berarti suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya.sedangkan al-‘urf secara istilah yaitu:
العرف هو ما تعا رف عليه الناس واعتده فى اقوالهم وافعالهم حتى صار ذالك مطردا اوغا لبا
'Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan mengulang-ngulangnya dalam ucapannya dan perbuatannya sampai hal tersebut menjadi biasa dan berlaku umum".
Sedangkan arti dari kata “muhakkamah” dalam ilmu hukum Islam adalah putusan hakim dalam pengadilan dalam menyelesaikan sengketa, artinya adat juga bisa menjadi rujukan hakim dalam memutus persoalan sengketa yang diajukan ke meja hijau.
Para ahli fiqh mengatakan hal yang mashur yang berhubungan dengan kaidah ini,
كل ما ورد به الشرع مطلقا بلا ضابط منه و لا من اللغة يرجع فيه إلى العرف
“ semua yang datang dari syara’, secara mutlak, tidak ada ketentuannya dalam agama dan tidak ada dalam bahasa, maka dikembalikan kepada urf’.”[3]
Demikianlah maka semua kebiasaan yang bermanfaat dan tidak bertentangan dengan syara dalam muammalah seperti dalam jual beli,  sewa menyewa, kerja samanya pemilik sawah dengan penggarap dan sebagainya adalah merupakan dasar hukum, sehingga seandainya terjadi perselisihan diantara mereka, maka penyelesaiannya harus dikembalikan pada adat kebiasaan atau urf’ yang berlaku.

2.2 Dasar-dasar Nash dari kaidah Al-‘aadah Muhakkamah
Dasar hukum didalam Al-Qur’an yaitu:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“Dan suruhlah orang-orang mengerjakan yang makruf serta berpalinglah dari orang-orang bodoh”.(QS. Al-A’raf: 199).
 ....وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ      ....
“Dan pergaulilah mereka secara patut”. (QS. An-Nisa: 19).
Dasar hukum didalam Hadits yaitu:
مَا رَءَاهُ اْلمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَءَاهُ المُسْلِمُوْنَ سَيْئًا فَهُوَ عِنْدَااللهِ سَيْءٌ
“Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam maka baik pula di sisi Allah, dan apa saja yang dipandang buruk oleh orang Islam maka menurut Allah pun digolongkan sebagai perkara yang buruk”(HR. Ahmad, Bazar, Thabrani dalam Kitab Al-Kabiir dari Ibnu Mas'ud).[4]

2.3 Syarat diberlakukannya kaidah Al-‘aadah Muhakkamah
Al-‘aadah yang bisa dipertimbangkan dalam penetapan hukum adalah al’adah as-shahihah, bukan al-‘adah al-fasidah. Oleh karena itu, kaidah tersebut tidak bisa digunakan apabila:
1. Al-‘adah bertentangan dengan nash Al-qur’an dan hadis, seperti: puasa sehari semalam, kebiasaan menanam kepala hewan kurban waktu membuat jembatan. Kebiasaan memelihara babi, dan lain sebagainya.
2. Al-‘adah tersebut menyebabkan kemafsadatan atau menghilangkan kemashlahatan termasuk di dalamnya tidak mengakibatkan kesulitan atau kerusakan, seperti: menghambur-hamburkan harta, hura-hura dalam perayaan dan lain-lain.
3. Al-‘adah berlaku umumya dikaum muslimin, dalam arti bukan hanya yang bisa dilakukan oleh beberapa orang saja. Bila dilakukan oleh beberapa orang saja maka tidak dianggap adat.
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa ibadah mahdhah tidak dilakukan kecuali yang disyari’atkan Allah dan al-‘adah tidak diharamkan kecuali yang diharamkan Allah.
Sering terjadi benturan antara nilai islam dan tata nilai masyarakat dalam pelaksanaannya. Misalnya; masyarakat indonesia menganut tata nilai kekeluargaan, islam pun menganut tata nilai persaudaraan dan kekeluargaan. Dalam masyarakat semacam ini, aspek-aspek kelahiran, pernikahan, dan kematian sudah menjadi adat kebiasaan memperingatinya atau merayakannya. Apabila kita dekati masalah ini dari sisi kaidah fikih, maka kaidah fikih asasi yang lima tersebut diatas juga harus diperhatikan dan dijadikan pisau analisis terhadap kasus tersebut. Tidak cukup hanya dengan menggunakan kaidah al-‘adah muhakkamah tetapi juga kaidah-kaidah asasi lainnya:  al-‘umuru bi maqoshidiha, al-yaqin la yuzal bisy- syakk, al-masyaqqah tajlibut taisir, dan adlororu yuzal.

2.4 Kaidah-kaidah fiqhiyyah yang berhubungan dengan Kaidah Al’aadah Muhakkamah
1)      اِسْتِعْمَالُ النَّاسِ حُجَّةٌ يَجِبُ العَمَلُ بِهَا        
Apa yang biasa diperbuat orang banyak adalah hujjah (alasan/argument/dalil) yang wajib diamalkan”
Maksud kaidah ini adalah apa yang sudah menjadi adat kebiasaan di masyarakat, menjadi pegangan, dalam arti setiap anggota masyarakat menaatinya.
Contoh: Apabila tidak ada perjanjian antara sopir truk dan kuli mengenai menaikkan dan menurunkan batu bata, maka sopir diharuskan membayar ongkos sebesar kebiasaan yang berlaku.
2)       اِنَّمَا تُعْتَبَرُ العَادَةُ اِذَا اضْطَرَدَتْ اَو غَلَبَتْ
Adat yang dianggap (sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah adat yang terus-menerus berlaku atau berlaku umum”
Dalam masyarakat suatu perbuatan atau perkataan yang dapat diterima sebagai adat kebiasaan, apabila perbuatan atau perkataan tersebut sering berlakunya, atau dengan kata lain sering berlakunya itu sebagai suatu syarat (salah satu syarat) bagi suatu adat untuk dapat dijadikan sebagai dasar hukum.
 Contoh: Apabila seorang yang berlangganan koran selalu diantar ke rumahnya, ketika koran tersebut tidak di antar ke rumahnya, maka orang tersebut dapat menuntut kepada pihak pengusaha koran tersebut.
3)       العِبْرَةُ للِغَالِبِ الشَّا ئِعِ لاَ لِلنَّادِرِ
Adat yang diakui adalah yang umumnya terjadi yang dikenal oleh manusia bukan dengan yang jarang terjadi”
Ibnu Rusydi menggunakan ungkapan lain, yaitu:
الحُكْمُ بِالمعْتَادِ لاَ بِا النَّادِرِ
Hukum itu dengan yang biasa terjadi bukan dengan yang jarang terjadi”
Contoh: Menetapkan hukum mahar dalam perkawinan namun tidak ada kejelasan berapa banyak ketentuan mahar, maka ketentuan mahar berdasarkan pada kebiasaan.
4)       المَعْرُوْفُ عُرْفَا كَالْمَشْرُوْطِ شَرْطًا
Sesuatu yang telah dikenal ‘urf seperti yang disyaratkan dengan suatu syarat”
Maksudnya adat kebiasaan dalam bermuamalah mempunyai daya ikat seperti suatu syarat yang dibuat.
Contoh: Menjual buah di pohon tidak boleh karena tidak jelas jumlahnya, tetapi karena sudah menjadi kebiasaan maka para ulama membolehkannya.
5)       الْمَعْرُوْفُ بَيْنَ تُجَّارِ كَالْمَشْرُوْطِ بَيْنَهُمْ
Sesuatu yang telah dikenal di antara pedagang berlaku sebagai syarat di antara mereka”
Sesuatu yang menjadi adat di antara pedagang, seperti disyaratkan dalam transaksi.
Contoh: Transaksi jual beli batu bata, bagi penjual untuk menyediakan angkutan sampai kerumah pembeli. Biasanya harga batu bata yang dibeli sudah termasuk biaya angkutan ke lokasi pembeli.
6)       التَّعْيِيْنُ باِلْعُرْفِ كَالتَّعْيِيْنِ بِالنَّص
Ketentuan berdasarkan ‘urf seperti ketentuan berdasarkan nash”
Penetapan suatu hukum tertentu yang didasarkan pada ‘urf dan telah memenuhi syarat-syarat sebagai dasar hukum, maka kedudukannya sama dengan penetapan suatu hukum yang didasarkan pada nash.
Contoh: Apabila orang memelihara sapi orang lain, maka upah memeliharanya adalah anak dari sapi itu dengan perhitungan, anak pertama untuk yang memelihara dan anak yang kedua utuk yang punya, begitulah selanjutnya secara beganti-ganti.
7)       الممْتَنَعُ عَادَةً كَالْمُمْتَنَعِ حَقِيْقَةً
 “Sesuatu yang tidak berlaku berdasarkan adat kebiasaan seperti yang tidak berlaku dalam kenyataan”
Maksud kaidah ini adalah apabila tidak mungkin terjadi berdasarkan adat kebiasaan secara rasional, maka tidak mungkin terjadi dalam kenyataannya.
Contoh: Seseorang mengaku bahwa tanah yang ada pada orang itu miliknya, tetapi dia tidak bisa menjelaskan dari mana asal-usul tanah tersebut.
8)       الحَقِيْقَةُ تُتْرَكُ بِدَلاَلَةِ العَادَةِ
Arti hakiki (yang sebenarnya) ditinggalkan karena ada petunjuk arti menurut adat”
Contoh: Apabila seseorang membeli batu bata sudah menyerahkan uang muka, maka berdasarkan adat kebiasaan akad jual beli telah terjadi, maka seorang penjual batu bata tidak bisa membatalkan jual belinya meskipun harga batu bata naik.
9)       الاِذْنُ العُرْفِ كَالاِذْنِ اللَفْظِى
Pemberian izin menurut adat kebiasaan adalah sama dengan pemberian izin menurut ucapan”
Contoh: Apabila tuan rumah menghidangkan makanan untuk tamu tetapi tuan rumah tidak mempersilahkan, maka tamu boleh memakannya, sebab menurut kebiasaan bahwa dengan menghidangkan berarti mempersilahkannya.

 PENUTUP
Bahwasannya Kaidah fikih asasi kelima adalah tentang adat atau kebiasaan, dalam bahasa Arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-‘adat dan al-‘urf. al-‘adah atau al-‘urf  adalah Apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.
Istilah adat dan al-’Urf memang berbeda jika ditinjau dari dua aspek yang berbeda pula. Perbedaannya, istilah adat hanya menekankan pada aspek pengulangan pekerjaan. Sementara al-’Urf hanya melihat pelakunya. Di samping itu adat bisa dilakukan oleh pribadi maupun kelompok, sementara al-’Urf harus harus dijalani oleh komunitas tertentu. Sederhananya, adat hanya melihat aspek pekerjaan, sedangkan al-’Urf lebih menekankan aspek pelakunya. persamaannya, adat dan al-’Urf  adalah sebuah pekerjaan yang sudah diterima akal sehat, tertanam dalam hati, dilakukan berulang-ulang dan sesuai dengan karakter pelakunya. Hukum yang didasarkan pada adat akan berubah seiring perubahan waktu dan tempat dalam arti bahwa hukum-hukum fiqh yang tadinya di bentuk berdasarkan adat istiadat yang baik itu akan berubah bilamana adat istiadat itu berubah.

REFERENSI
As-suyuthi, Jalaluddin. Al-asybah wan-nadzoir. Darul Kutub Ilmiah. 1990.
Muchlis Usman. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, pedoman dasar dalam istinbath       hukum. PT Raja Grafindo persada.1999. Jakarta.
Tamrin Dahlan, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah), Malang. UIN Maliki Press.  2010.





[1] As-suyuthi, Jalaluddin. Al-asybah wan-nadzoir. Darul Kutub Ilmiah. 1990. Hal 7
[2] Dahlan, Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah), Malang. UIN Maliki Press. 2010. Hal.203 
[3] As-suyuthi, Jalaluddin. Al-asybah wan-nadzoir. Darul Kutub Ilmiah. 1990. Hal 196
[4] Dahlan, Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah), Malang, UIN Maliki Press2010. Hal 209

No comments:

Post a Comment