Oleh :
Eris Rismatulloh
PENDAHULUAN
Dalam sejarah agama-agama, konsep tradisi
sangat berperan penting dalam pembentukan model dan bentuk dari agama yang
bersangkutan, dan tidak dapat dipungkiri peran dari tradisi ini sangat besar
pengaruhnya dalam pembentukan hukum yang ada dalam agama tersebut. Kenyataan
sosial semacam ini dalam Islam diatur berdasarkan ketentuan yang baku atas
sandaran Al-Qur’an dan Hadits. Pengaturan yang selektif dan proporsional dalam
Islam menjadikan realitas dalam masyarakat menjadi penunjang dalam hukum-hukum
Syar’i bukan menjadikan Islam sebagai Agama yang Tradisionil.
Untuk mengatur Tradisi dan Hukum Syar’i, Ilmu
fiqh menjadi hal yang sangat penting keberadaannya untuk mengatur hal tersebut,
lebih spesifik lagi dalam Qowa’id Fiqhiyyah ditemukan formulasi khusus yang
mengatur tradisi atau adat yaitu dalam salah satu Kaidah Asasiyah yang lima; العادة محكمة (adat atau kebiasaan bisa
menjadi hukum). Tentu saja tanpa melupakan kaidah yang lain yang telah
disampaikan sebelumnya, segala perkara tergantung tujuannya; Kemadharatan harus
dihilangkan; Yakin tidak bisa dihilangkan oleh keraguan dan Kesulitan dapat menarik kemudahan[1].
1.1 Latar Belakang
Dengan memahami Kaidah Asasiyah ini, kita
dapat menjadi lebih bijak dalam menyikapi berbagai problematika yang muncul
dalam kehidupan bermasyarakat, serta lebih mudah dalam mencari solusi bagi
masalah-masalah yang muncul dan berkembang dalam masyarakat. Khususnya yang
berkenaan dengan kehidupan kita sehari-hari atau yang sering kita jumpai atau
adat keseharian dengan kaidah yang kelima Al-‘Aadah Muhakkamah dengan arti adat
atau kebiasaan itu dapat menjadi dasar dalam penetapan hukum.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang makalah ini dapat diambil
beberapa poin yang dianggap penting dalam pengenalan terhadap salah satu kaidah
ini,
1. Pengertian Kaidah Al-‘aadah Muhakkamah
2. Dasar-dasar Nash dari kaidah Al-‘aadah Muhakkamah
3. Syarat diberlakukannya kaidah ini
4. Kaidah-kaidah fiqhiyyah yang berhubungan dengan Kaidah Al’aadah Muhakkamah
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan
masalah diatas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Memahami arti dari Kaidah Al-‘aadah Muhakkamah
2. Mengetahui dasar-dasar dalil dari kaidah Al’Aadah muhakkamah
3. Mengetahui kapan Al-‘aadah ini menjadi hukum
4. Mengetahui secar terperinci kaidah-kaidah fiqhiyyah yang berhubungan dengan
kaidah Al’aadah Muhakkamah.
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian dari kaidah Al-‘aadah Muhakkamah
Yang dimaksud dengan kaidah ini bahwa di suatu
keadaan, adat bisa dijadikan pijakan untuk mencetuskan hukum ketika tidak ada
dalil dari syari’. Namun, tidak semua adat bisa dijadikan pijakan hukum.
Dan pada dasarnya atau asal mula kaidah ini
ada, diambil dari realita sosial kemasyarakatan bahwa semua cara hidup dan
kehidupan itu dibentuk oleh nilai-nilai yang diyakini sebagai norma yang sudah
berjalan sejak lama sehingga mereka memiliki pola hidup dan kehidupan sendiri
secara khusus berdasarkan nilai-nilai yang sudah dihayati bersama. Jika ditemukan
suatu masyarakat meninggalkan suatu amaliyah yang selama ini sudah biasa
dilakukan, maka mereka sudah dianggap telah mengalami pergeseran nilai.
Nilai-nilai seperti inilah yang dikenal dengan sebutan ‘adah (adat atau
kebiasaan), budaya, tradisi dan sebagainya. Dan Islam dalam berbagai ajaran
yang didalamnya menganggap adat sebagai pendamping dan elemen yang bisa
diadopsi secara selektif dan proposional, sehingga bisa dijadikan sebagai salah
satu alat penunjang hukum-hukum syara’.[2]
Dalam pengertian dan subtansi yang sama,
terdapat istilah lain dari al-'adah, yaitu al-'urf, yang secara bahasa berarti
suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang dikenal manusia dan telah
menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya.sedangkan al-‘urf secara
istilah yaitu:
العرف هو ما تعا رف عليه
الناس واعتده فى اقوالهم وافعالهم حتى صار ذالك مطردا اوغا لبا
'Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan
mengulang-ngulangnya dalam ucapannya dan perbuatannya sampai hal tersebut
menjadi biasa dan berlaku umum".
Sedangkan arti dari kata “muhakkamah” dalam
ilmu hukum Islam adalah putusan hakim dalam pengadilan dalam menyelesaikan
sengketa, artinya adat juga bisa menjadi rujukan hakim dalam memutus persoalan
sengketa yang diajukan ke meja hijau.
Para ahli fiqh mengatakan hal yang mashur yang
berhubungan dengan kaidah ini,
كل ما ورد به الشرع مطلقا بلا
ضابط منه و لا من اللغة يرجع فيه إلى العرف
“ semua yang datang dari syara’, secara mutlak, tidak ada
ketentuannya dalam agama dan tidak ada dalam bahasa, maka dikembalikan kepada
urf’.”[3]
Demikianlah maka semua kebiasaan yang
bermanfaat dan tidak bertentangan dengan syara dalam muammalah seperti dalam
jual beli, sewa menyewa, kerja samanya
pemilik sawah dengan penggarap dan sebagainya adalah merupakan dasar hukum,
sehingga seandainya terjadi perselisihan diantara mereka, maka penyelesaiannya
harus dikembalikan pada adat kebiasaan atau urf’ yang berlaku.
2.2 Dasar-dasar Nash dari kaidah Al-‘aadah Muhakkamah
Dasar hukum didalam Al-Qur’an yaitu:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ
بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“Dan suruhlah orang-orang mengerjakan yang makruf serta berpalinglah dari
orang-orang bodoh”.(QS. Al-A’raf: 199).
....وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ....
“Dan pergaulilah mereka secara patut”. (QS. An-Nisa: 19).
Dasar hukum didalam Hadits yaitu:
مَا رَءَاهُ اْلمُسْلِمُوْنَ
حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَءَاهُ المُسْلِمُوْنَ سَيْئًا فَهُوَ
عِنْدَااللهِ سَيْءٌ
“Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam maka baik
pula di sisi Allah, dan apa saja yang dipandang buruk oleh orang Islam maka
menurut Allah pun digolongkan sebagai perkara yang buruk”(HR. Ahmad, Bazar,
Thabrani dalam Kitab Al-Kabiir dari Ibnu Mas'ud).[4]
2.3 Syarat diberlakukannya kaidah Al-‘aadah Muhakkamah
Al-‘aadah yang bisa dipertimbangkan dalam
penetapan hukum adalah al’adah as-shahihah, bukan al-‘adah al-fasidah. Oleh
karena itu, kaidah tersebut tidak bisa digunakan apabila:
1. Al-‘adah bertentangan dengan nash Al-qur’an dan hadis,
seperti: puasa sehari semalam, kebiasaan menanam kepala hewan kurban waktu
membuat jembatan. Kebiasaan memelihara babi, dan lain sebagainya.
2. Al-‘adah tersebut menyebabkan kemafsadatan atau
menghilangkan kemashlahatan termasuk di dalamnya tidak mengakibatkan kesulitan
atau kerusakan, seperti: menghambur-hamburkan harta, hura-hura dalam perayaan
dan lain-lain.
3. Al-‘adah berlaku umumya dikaum muslimin, dalam arti
bukan hanya yang bisa dilakukan oleh beberapa orang saja. Bila dilakukan oleh
beberapa orang saja maka tidak dianggap adat.
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa ibadah mahdhah
tidak dilakukan kecuali yang disyari’atkan Allah dan al-‘adah tidak diharamkan
kecuali yang diharamkan Allah.
Sering terjadi benturan antara nilai islam dan
tata nilai masyarakat dalam pelaksanaannya. Misalnya; masyarakat indonesia
menganut tata nilai kekeluargaan, islam pun menganut tata nilai persaudaraan
dan kekeluargaan. Dalam masyarakat semacam ini, aspek-aspek kelahiran,
pernikahan, dan kematian sudah menjadi adat kebiasaan memperingatinya atau merayakannya.
Apabila kita dekati masalah ini dari sisi kaidah fikih, maka kaidah fikih asasi
yang lima tersebut diatas juga harus diperhatikan dan dijadikan pisau analisis
terhadap kasus tersebut. Tidak cukup hanya dengan menggunakan kaidah al-‘adah
muhakkamah tetapi juga kaidah-kaidah asasi lainnya: al-‘umuru bi maqoshidiha, al-yaqin la yuzal
bisy- syakk, al-masyaqqah tajlibut taisir, dan adlororu yuzal.
2.4 Kaidah-kaidah fiqhiyyah yang berhubungan dengan Kaidah Al’aadah
Muhakkamah
1) اِسْتِعْمَالُ النَّاسِ حُجَّةٌ يَجِبُ العَمَلُ بِهَا
“Apa yang biasa diperbuat orang banyak adalah hujjah
(alasan/argument/dalil) yang wajib diamalkan”
Maksud kaidah ini adalah apa yang sudah menjadi adat
kebiasaan di masyarakat, menjadi pegangan, dalam arti setiap anggota masyarakat
menaatinya.
Contoh: Apabila tidak ada perjanjian antara sopir truk
dan kuli mengenai menaikkan dan menurunkan batu bata, maka sopir diharuskan
membayar ongkos sebesar kebiasaan yang berlaku.
2) اِنَّمَا تُعْتَبَرُ العَادَةُ اِذَا اضْطَرَدَتْ اَو غَلَبَتْ
“Adat yang dianggap (sebagai pertimbangan hukum) itu
hanyalah adat yang terus-menerus berlaku atau berlaku umum”
Dalam masyarakat suatu perbuatan atau perkataan yang
dapat diterima sebagai adat kebiasaan, apabila perbuatan atau perkataan
tersebut sering berlakunya, atau dengan kata lain sering berlakunya itu sebagai
suatu syarat (salah satu syarat) bagi suatu adat untuk dapat dijadikan sebagai
dasar hukum.
Contoh: Apabila
seorang yang berlangganan koran selalu diantar ke rumahnya, ketika koran
tersebut tidak di antar ke rumahnya, maka orang tersebut dapat menuntut kepada
pihak pengusaha koran tersebut.
3) العِبْرَةُ للِغَالِبِ الشَّا ئِعِ لاَ لِلنَّادِرِ
“Adat yang diakui adalah yang umumnya terjadi yang dikenal
oleh manusia bukan dengan yang jarang terjadi”
Ibnu Rusydi menggunakan ungkapan lain, yaitu:
الحُكْمُ بِالمعْتَادِ
لاَ بِا النَّادِرِ
“Hukum itu dengan yang biasa terjadi bukan dengan yang
jarang terjadi”
Contoh: Menetapkan hukum mahar dalam perkawinan namun tidak
ada kejelasan berapa banyak ketentuan mahar, maka ketentuan mahar berdasarkan
pada kebiasaan.
4) المَعْرُوْفُ عُرْفَا كَالْمَشْرُوْطِ شَرْطًا
“Sesuatu yang telah dikenal ‘urf seperti yang disyaratkan
dengan suatu syarat”
Maksudnya adat kebiasaan dalam bermuamalah mempunyai daya
ikat seperti suatu syarat yang dibuat.
Contoh: Menjual buah di pohon tidak boleh karena tidak
jelas jumlahnya, tetapi karena sudah menjadi kebiasaan maka para ulama
membolehkannya.
5) الْمَعْرُوْفُ بَيْنَ تُجَّارِ كَالْمَشْرُوْطِ بَيْنَهُمْ
“Sesuatu yang telah dikenal di antara pedagang berlaku
sebagai syarat di antara mereka”
Sesuatu yang menjadi adat di antara pedagang, seperti
disyaratkan dalam transaksi.
Contoh: Transaksi jual beli batu bata, bagi penjual untuk
menyediakan angkutan sampai kerumah pembeli. Biasanya harga batu bata yang
dibeli sudah termasuk biaya angkutan ke lokasi pembeli.
6) التَّعْيِيْنُ باِلْعُرْفِ كَالتَّعْيِيْنِ بِالنَّص
“Ketentuan berdasarkan ‘urf seperti ketentuan berdasarkan
nash”
Penetapan suatu hukum tertentu yang didasarkan pada ‘urf
dan telah memenuhi syarat-syarat sebagai dasar hukum, maka kedudukannya sama
dengan penetapan suatu hukum yang didasarkan pada nash.
Contoh: Apabila orang memelihara sapi orang lain, maka
upah memeliharanya adalah anak dari sapi itu dengan perhitungan, anak pertama
untuk yang memelihara dan anak yang kedua utuk yang punya, begitulah
selanjutnya secara beganti-ganti.
7) الممْتَنَعُ عَادَةً كَالْمُمْتَنَعِ حَقِيْقَةً
“Sesuatu yang
tidak berlaku berdasarkan adat kebiasaan seperti yang tidak berlaku dalam
kenyataan”
Maksud kaidah ini adalah apabila tidak mungkin terjadi
berdasarkan adat kebiasaan secara rasional, maka tidak mungkin terjadi dalam
kenyataannya.
Contoh: Seseorang mengaku bahwa tanah yang ada pada orang
itu miliknya, tetapi dia tidak bisa menjelaskan dari mana asal-usul tanah
tersebut.
8) الحَقِيْقَةُ تُتْرَكُ بِدَلاَلَةِ العَادَةِ
“Arti hakiki (yang sebenarnya) ditinggalkan karena ada
petunjuk arti menurut adat”
Contoh: Apabila seseorang membeli batu bata sudah
menyerahkan uang muka, maka berdasarkan adat kebiasaan akad jual beli telah
terjadi, maka seorang penjual batu bata tidak bisa membatalkan jual belinya
meskipun harga batu bata naik.
9) الاِذْنُ العُرْفِ كَالاِذْنِ اللَفْظِى
“Pemberian izin menurut adat kebiasaan adalah sama dengan
pemberian izin menurut ucapan”
Contoh: Apabila tuan rumah menghidangkan makanan untuk
tamu tetapi tuan rumah tidak mempersilahkan, maka tamu boleh memakannya, sebab
menurut kebiasaan bahwa dengan menghidangkan berarti mempersilahkannya.
PENUTUP
Bahwasannya Kaidah fikih asasi kelima adalah tentang adat atau kebiasaan,
dalam bahasa Arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu
al-‘adat dan al-‘urf. al-‘adah atau al-‘urf adalah Apa yang dianggap baik dan benar oleh
manusia secara umum yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi
kebiasaan.
Istilah adat dan al-’Urf memang berbeda jika ditinjau dari dua aspek yang
berbeda pula. Perbedaannya, istilah adat hanya menekankan pada aspek
pengulangan pekerjaan. Sementara al-’Urf hanya melihat pelakunya. Di samping
itu adat bisa dilakukan oleh pribadi maupun kelompok, sementara al-’Urf harus
harus dijalani oleh komunitas tertentu. Sederhananya, adat hanya melihat aspek
pekerjaan, sedangkan al-’Urf lebih menekankan aspek pelakunya. persamaannya,
adat dan al-’Urf adalah sebuah pekerjaan
yang sudah diterima akal sehat, tertanam dalam hati, dilakukan berulang-ulang
dan sesuai dengan karakter pelakunya. Hukum yang didasarkan pada adat akan
berubah seiring perubahan waktu dan tempat dalam arti bahwa hukum-hukum fiqh
yang tadinya di bentuk berdasarkan adat istiadat yang baik itu akan berubah
bilamana adat istiadat itu berubah.
REFERENSI
As-suyuthi,
Jalaluddin. Al-asybah wan-nadzoir. Darul Kutub Ilmiah. 1990.
Muchlis
Usman. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, pedoman dasar dalam istinbath hukum.
PT Raja Grafindo persada.1999. Jakarta.
Tamrin Dahlan, Kaidah-kaidah
Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah), Malang. UIN Maliki Press. 2010.
No comments:
Post a Comment