Oleh: Ikmal Toha Kamaluzzaman
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pokok pembahasan terkait kaidah kemudahan dalam syariat islam sangat
penting sekali , karena erat kaitannya dengan dinamika kehidupan manusia baik
dalam skala individu maupun bermasyarakat, yang mana dalam hidup bersosialisasi
selalu bergelut dengan beragam peristiwa baik itu yang sisebabkan dari dalam
diri ataupun dari luar, adakalanya senang, sedih, gembira, aman, takut,
khawatir dan lainnya.
Merupakan kasih sayang Allah SWT terhadap hamba-Nya yang mana syariat yang
Dia turunkan tidak berupa paksaan tanpa memberikan keringanan, karena
sesungguhnya maksud dan tujuan dari diturunkannya syariat tiada lain untuk
menghilangkan kesusahan dan mencari kemudahan. [1]
Sebagai
agama yang memiliki misi kemaslahatan
universal (rahmatan lil ‘alamin), Islam sangat
memperhatikan unsur-unsur kesulitan yang dialami umatnya. Kaidah Almasyaqqoh tajlibu
attaisir merupakan kontruksi dasar fiqih yang menunjukan bahwa Islam
memberikan perhatian besar pada kesulitan yang dihadapi kaum muslimin dalam
menjalani syariat, baik dalam konstruksi ritual (ibadah) maupun sosial
(muamalah), jika dalam menjalankan sebuah kewajiban mengalami kendala, maka di
titik inilah Islam memberikan toleransi dengan segala kemudahannya.
B.
Rumusan Masalah
Pembahasan
terkait judul diatas dibagi menjadi lima, yaitu:
1.
Definisi kaidah Almasyaqqotu tajlibu attaysir dari segi etimologis
dan terminologis
2.
Dasar pengambilan kaidah
3.
Karakter dan kualifikasi Masyaqqoh
4.
Rukhsoh, yang meliputi:
-
definisi rukhshah dan ‘azimah,
-
Hukum-hukum rukhshah,
-
Bentuk-bentuk rukhshah,
-
Obyek-obyek atau faktor penyebab adanya rukhshah
5.
Kaidah turunan dari kaidah asas Almasyaqqoh
C.
TUJUAN
Supaya pembaca mengetahui definisi kaidah Almasyaqqotu tajlibu Attaisir,
mengetahui macam-macam kesulitan yang bisa mendapatkan keringanan,
bagaimana karakternya, bagaimana bentuk-bentuk rukhshah, apa saja yang
menyebabkan seseorang mendapat rukhshah serta permasalahan-permasalahan lain
yang berkenaan dengan masyaqqah (kesulitan) dan rukhshah (keringanan hukum)
serat qoidah-qoidah turunan dari Qo’idah Almasyaqqotu tajlibu Attaisir sehingga bisa pengetahuannya bisa diamalkan
dalam kehidupannya sehari-hari.
PEMBAHASAN
A.
Definisi Kaidah
Al-masyaqqah secara etimologis berarti al-ta’ab
yaitu kelelahan, kepayahan, kesulitan, dan kesukaran, sebagaimana yang terdapat
dalam QS. Al-Nahl ayat 7:
وَتَحْمِلُ أَثْقَالَكُمْ إِلَى بَلَدٍ لَمْ تَكُونُوا بَالِغِيهِ
إِلَّا بِشِقِّ الْأَنْفُسِ
“Dan ia memikul
beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya,
melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri.”
Sedangkan al-taysir
secara etimologis berarti kemudahan, seperti di dalam hadits Nabi yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim disebutkan:
إِنَّ الدِيْنَ يُسْرٌ
“Agama itu
mudah, tidak memberatkan.”
Adapun makna
terminologi kaidah asasi ketiga di atas adalah:
إن الأحكام التى ينشأ عن تطبيقها حرج على المكلف ومشقة فى نفسه أو
ماله فالشريعة تخففهما بما يقع تحت قدرة المكلف دون عسر أو حرج.
“Hukum yang
praktiknya menyulitkan mukallaf; dan pada diri dan sekitarnya terdapat
kesulitan, maka syari’at meringankannya sehingga beban tersebut berada di bawah
kemampuan mukallaf tanpa kesulitan dan kesusahan.”[2]
Jadi
makna kaidah tersebut adalah kesulitan menyebabkan adanya kemudahan. Maksudnya
adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan
kesukaran bagi mukallaf , maka syari’ah meringankannya
sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran[3].
B.
Dasar Kaidah
1.
Al-Qur'an
- Surat Al-Baqarah: 185
يُرِيدُ اللَّهُ
بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 185)
- Surat al-Hajj ayat: 78
وَمَا جَعَلَ
عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan”[4].
2.
Al-Hadits
Banyak sekali hadits Nabi SAW yang menjadi dasar terbentuknya
kaidah ini, di antaranya adalah:
الدّيْنُ
يُسْرٌ اَحَبُّ الدِّيْنِ إِلَى اللهِ الْحَنِيْفِيَّةُ السَّمْحَةُ (أخرجه
البخارى عن أبى هريرة(
“Agama itu adalah mudah, agama yang disenangi Allah adalah agama
yang benar dan mudah”.
يَسِّرُوْا
وَلاَ تُعَسِّرُوْا (أخرجه البخارى عن أنس(
“Mudahkanlah dan jangan mempersukar”.
إِنَّمَا
بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِيْنَ وَلَمْ تُبْعَثُوْا مُعَسِّرِيْنَ (رواه الشيخان(
“Kalian semua (kaum muslimin dengan perantara Nabi SAW) diutus
untuk memberi kemudahan; tidak untuk menyulitkan”. (HR. Bukhari dan Muslim)
قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ دِيْنَ اللهِ يُسْرٌ،
ثَلاَثًا
“Rasulullah SAW bersabda: ‘Sesungguhnya agama Allah adalah agama
yang mudah’. (Kata-kata itu) diucapkan tiga kali.” (HR. Ahmad)
مَا
خُيِّرَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلاَّ
اخْتاَرُ أَيْسَرُهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا
“Tidaklah Rasulullah diberi pilihan di antara dua perkara, kecuali
beliau memilih yang lebih mudah atau ringan, selama yang lebih mudah itu bukan
perbuatan dosa.” (HR. Bukhari dan Muslim)
يَسِّرُوْا
وَلاَ تُعَسِّرُوْا
“Permudahlah dan jangan mempersulit.”
Dan masih
banyak dalil lainnya. Imam
asy-Syathibi mengatakan: “Dalil-dalil tentang kemudahan bagi umat ini
telah mencapai derajat yang pasti”[5]
Dari akumulasi dalil qur’an dan hadits diatas bisa disimpulkan bahwa dalam
menjalani agama itu mudah dan tercetuslah satu kaidah asas fiqih al
masyaqqah tajlib al-taysir . namun tentunya yang dimaksud
kemudahan-kemudahan yang allah SWT berikan bukan tanpa aturan sehingga menjadi
mempermudah agama, ada sebab dan batasan yang harus dipenuhi sehingga kemudahan
itu bisa diperoleh.
C.
Kemudahan dalam islam ada dua,
yaitu:
1.
Kemudahan asli
Semua
syari’at dan hukum Islam, semuanya adalah mudah. Inilah yang biasa dimaksud
dalam banyak dalil. Imam Ibnu Hazm berkata: “Semua perintah Allah kepada kita
adalah mudah dan tidak berat. Dan tidak ada kemudahan yang lebih daripada
sesuatu yang mengantarkan manusia menuju surga dan menjauhkan mereka dari
neraka”.
2.
Kemudahan karena ada sebab
Semua
syari’at pada asalnya mudah, sekalipun demikian bila ada sebab maka Allah
menambah kemudahan lagi, seperti orang safar diberikan keringanan untuk qoshor
dan jama’, orang tidak bisa berwudhu diberi keriganan untuk tayammum dan
seterusnya[6].
D.
Karakter Kesulitan (Al-Masyaqqoh)
Dalam kitabnnya Al-Asybah wa An-nadzoir, Imam As-suyuthi membagi kesulitan
sesuai karakternya kedalam dua pembagian pokok:
1.
مشقة لا تنفك عنها العبادة غالبا
Kesulitan yang tidak dapat menggugurkan kewajiban (ibadah).
Misalnya rasa lelah ketika melakukan perjalanan haji, tidak secara otomatis
menggugurkan kewajiban haji. Rasa capek dan takut dalam peperangan, tidak dapat
menggugurkan kewajiban jihad. Masalahnya, masyaqqah semacam itu sudah merupakan
tabi’at dasar dan konsekuensi logis dari jenis pekerjaan yang sedang dilakukan.
2.
مشقة تنفك عنها العبادة غالبا
Kesulitan yang dapat menggugurkan kewajiban, dan terbagi menjadi
tiga tingkatan:
a.
مشقة عظيمة فادحة yaitu kesulitan yang sangat berat dan sulit
ditanggung. Seperti rasa khawatir akan keselamatan jiwa, harta, keturunan,
organ tubuh, dan hal-hal mendasar lainnya. Pada taraf inilah syari’at
memberlakukan keringanan hukum (rukhshah). Sebab, pemeliharaan jiwa dan raga
untuk menjalankan kewajiban-kewajiban syari’at lebih diutamakan dari pada tidak
melakukan sama sekali.
b.
مشقة خفيفة لا وقع لها yaitu kesulitan yang ringan. Seperti
pegal-pegal, pilek, pusing, dan lain sebagainya. Pada strata ini, tidak ada
sama sekali legitimasi syari’at untuk memberi rukhshah. Sebab ke-maslahat-an
ibadah masih lebih penting dari pada menghindari mafsadah (kerusakan) yang
timbul dari masyaqqah kategori ini.
c.
متوسطة بين هاتين المرتبتين yaitu kesulitan sedang yang berada di antara
dua bagian sebelumnya. Jenis masyaqqah yang terakhir ini bisa mendapat
rukhshah, jika telah mendekati kadar masyaqqah pada urutan yang tertinggi. Dan
sebaliknya apabila lebih dekat pada kategori masyaqqah yang paling ringan maka
ia tidak dapat menyebabkan rukhshah.[7]
E.
Rukhsoh
1.
Definisi
Rukhshah dan ‘Azimah
Rukhshah
adalah sebuah kodifikasi hukum yang diberikan syari’at bagi mukallaf yang
mengalami kesulitan dalam melaksanakan taklif yang dibebankan kepadanya. Dengan
kata lain, rukhshah adalah sebuah formulasi hukum yang telah berubah dari
bentuk asalnya, karena mempertimbangkan obyek hukum, situasi, kondisi, dan
tempat tertentu. Bisa pula dimaknai sebagai diperbolehkannya sesuatu yang
asalnya dilarang, beserta wujudnya dalil yang melarang. [8]
Sebaliknya,
jika formulasi hukum syari’at tidak mengalami perubahan, maka ia dinamakan
‘azimah. Atau dapat dikatakan, ‘azimah adalah suatu formulasi hukum-hukum dasar
syari’at yang bersifat umum dan tidak terbatas pada obyek, situasi, kondisi,
dan orang tertentu.[9]
2.
Hukum-Hukum
Rukhshah
Bila
ditilik dari sisi hukumnya, rukhshah terbagi menjadi lima:
a.
Rukhshah wajib.
Contohnya memakan bangkai bagi orang yang sedang kelaparan, atau minum arak
(khamr) bagi seseorang yang tenggorokannya tersumbat hingga tak bisa bernafas.
b.
Rukhshah
sunnah. Misalnya shalat qashar bagi seorang musafir yang telah melakukan
perjalanan sepanjang dua marhalah atau lebih, dan berbuka puasa bagi orang yang
sakit atau musafir yang mengalami masyaqqah bila melaksanakan puasa.
c.
Rukhshah mubah.
Contohnya seperti transaksi pesan-memesan (salam) dan sewa-menyewa (ijarah).
d.
Rukhshah khilaf
al-awla (lebih utama ditinggalkan). Seperti membilas bagian luar sepatu kulit
menjama’ shalat atau berbuka puasa bagi seorang musafir yang tidak mengalami
masyaqqah bila harus mengerjakannya. Begitu pula tayamum bagi orang yang telah
mendapat air, tapi harus dibeli dengan nilai di atas harga standar, sementara
dia sebenarnya memiliki uang (mampu) untuk membelinya.
e.
Rukhshah
makruh. Contohnya menqashar shalat dalam perjalanan yang belum mencapai tiga
marhalah.
3.
Bentuk-Bentuk
Rukhshah
Berdasarkan
bentuknya, rukhshah terbagi menjadi enam:
a.
تخفيف إسقاط : Rukhshah yang
berbentuk pengguguran kewajiban. Seperti uzur shalat jum’at, haji, umrah, dan
jihad. Jika semua pekerjaan itu tidak dapat terlaksana akibat adanya uzur
dengan ketentuan-ketentuan tertentu.
b.
تخفيف تنقيص: Rukhshah yang berupa pengurangan
kuantitas pekerjaan. Seperti diperbolehkannya qashar bagi musafir.
c.
تخفيف إبدال: Rukhshah berbentuk penggantian. Contohnya
mandi dan wudhu boleh diganti dengan tayamum. Kewajiban berdiri dalam shalat
yang dapat diganti duduk, duduk yang dapat diganti dengan shalat berbaring
miring (idhthija’) dan idhthija’ diganti dengan isyarat.
d.
تخفيف تقديم: Rukhshah dengan mendahulukan. Misalnya
dalam jama’ taqdim, di mana shalat ashar boleh didahulukan pada waktu zhuhur,
mendahulukan membayar zakat sebelum hawl, membayar kafarah sumpah sebelum
pelanggaran sumpahnya dilakukan.
e.
تخفيف تأخير: Rukhshah berupa penundaan aktivitas. Seperti
shalat jama’ ta’khir. Shalat zhuhur boleh ditunda atau dilaksanakan pada waktu
ashar, puasa Ramadhan boleh dilakukan pada bulan-bulan sesudahnya bagi orang
yang sakit atau musafir.
f.
تخفيف ترخيص: Rukhshah berbentuk peringanan. Seperti
diperbolehkannya memakan bangkai saat kelaparan, berobat dengan obat-obatan
atau makanan yang najis atau haram, dan minum arak (khamr) untuk melegakan
lubang tenggorokan yang tersumbat.
Selain
enam pemilahan di atas, al-‘Ala’i menambahkan lagi bentuk rukhshah yang diberi
nama rukhshah تخفيف
تغيير(rukhshah keringanan-perubahan). Seperti perubahan runtutan
gerak dalam shalat saat situasi yang menakutkan (shalat al-khawf), semisal
shalat dalam masa peperangan, namun sebagian ulama berpendapat bahwa kasus
seperti ini masuk kedalam kelompok no 2.[10]
4.
Obyek – Obyek
Rukhshah
Seperti
sudah dijelaskan di pendahuluan, bahwa keringanan dalam beragama yang diberikan
oleh Allah SWT tidak serta merta kita mempermudah agama tanpa aturan. Ada tujuh
sebab jatuhnya rukhsoh:
a.
Ikrah
(pemaksaan)
Misalnya memakan bangkai atau makanan haram,
mengucapkan kekafiran dengan meneguhkan hatinya. Firman Allah SWT dalam surat
An-nahl : 106:
“barangsiapa yang kufur kepada Allah
setelah mempercayainya (dia mendapatkan kemurkaan dari-Nya), kecuali bagi orang
yang dipaksa, padahal dalam hatinya tetap tenang dalam keimanannya”[11]
b.
Nis-yan (lupa)
Secara
terminologis, nis-yan adalah hilangnya daya ingat terhadap hal-hal yang sudah
diketahui (ma’lum). Untuk mengingatnya kembali dibutuhkan usaha dari awal lagi.
Berbeda dengan sahwu (lalai) yang hanya berupa keadaan lupa yang bersifat
temporal (sementara).
c.
Jahl
(ketidaktahuan)
Syari’at
membagi ketidaktahuan yang bisa mendapat rukhshah dalam dua kategori berikut:
1.
Ketidaktahuan hukum
syari’at karena baru masuk Islam. Dalam kondisi ini, Islam memberikan toleransi
yang sangat rasional dan manusiawi.
2.
Ketidaktahuan
karena keberadaan situasi dan kondisi yang memang tidak memungkinkan. Seperti
seorang muslim yang hidup di daerah terpencil, di hutan belantara, ataupun di
sebuah komunitas besar yang antara mereka tidak ada yang mengetahui hukum-hukum
agama. [12]
d.
Al-‘Usr
(kesulitan)
Yaitu
kesulitan yang umum dan sukit untuk dihindari, seperti percikan air yang
bercampur lumpur najis seringkali mengenai pakaian. Sementara kita sangat sulit
menghindari hal itu. Sebab lumpur-lumpur najis itu begitu banyak dan nyaris
memenuhi badan jalan. Contoh lain adalah darah bisul, darah jerawat, darah
orang lain, kotoran lalat, dan kotoran burung. [13]
e.
Safar
(bepergian).
Menurut
Imam An-nawawi ada delapan kemudahan yang didapatkan oleh orang yang bepergian,
yang dikelompokan menjadi empat kelompok, yaitu:
1.
Rukhshah yang
dikhususkan dengan perjalanan jauh, yakni telah mencapai dua marhalah:
·
Meringkas
shalat
·
Membatalkan
puasa bulan ramadhan
·
Membasuh khuff
2.
Rukhsosh yang
tidak dikhususkan untuk perjalanan jauh saja, seperti
·
Meninggalkan
shalat jum’at
·
Memakan bangkai
3.
Rukhsoh yang
masih dalam perselisihan para ulama, yang paling benar adalah adanya
pengkhususan untuk perjalanan jauh, yaitu:
·
Jama’ shalat.
Untuk menjama’ shalat
4.
Rukhsoh yang
masih dalam perselisihan para ulama, yang paling benar adalah tidak adanya
pengkhususan untuk perjalanan jauh, yaitu:
·
Gugurnya
kewajiban shalat yang bersuci dengan cara tayamum.
·
Shalat diatas
kendaraan
f.
Maradh (sakit).
Penyakit
yang bisa mendapatkan rukhsoh yaitu penyakit yang menimbulkan dampak yang
membahayakan apabila memaksakan melakukan suatu ibadah. Seperti dibolehkannya
tayammum bagi yang sakit, shalat sambil tidur, duduk maupun isyarah.
g.
Nilai Minus
(Naqish).
Yang
dimaksud dengan minus adalah yang bersifat insting-psikologis (tabiat kejiwaan)
seperti wanita, orang gila, anak-anak, idiot, hamba sahaya dan orang sakit.
Dengan alasan hipotesa tersebut, syari’at memberikan keringanan hukum bagi
mereka. perempuan mendapat beban taklif lebih ringan dibanding laki-laki,
seperti tidak wajib shalat Jumat, tidak wajib jihad, tidak wajib membayar diyat
(denda) dan jizyah, boleh memakai kain sutra dan perhiasan dari emas, termasuk
hakikat dibolehkannya berpoligami dan lain sebagainya. [14]
F.
Kaidah-Kaidah
Turunan Yang Senada
Kaidah-kaidah
cabang dari kaidah dasar Almasyaqqoh tajlibu al taysir, yaitu:
1.
ذَا ضَاقَ اْلأَمْرُ اتَّسَعَ إ
“Ketika sesuatu
menjadi sempit, maka hukumnya menjadi luas (ringan)”
Dengan
kata lain, keringanan hukum akan diperoleh disebabkan kondisi sulit dan sempit.
Contohnya sebagaimana nasib seorang gadis yang tidak memiliki wali, atau berada
jauh dari rumahnya. Pada saat yang sama ia bertemu seorang laki-laki idaman
yang akan mau menikahinya. Dalam kondisi seperti ini, wanita yang notabene
menghadapi kesulitan diperbolehkan “mengangkat” orang lain (yang bukan mahram)
untuk menjadi walinya (muhakkam).
Contoh
lain seperti fenomena yang sering terjadi di musim kemarau, di mana lalat-lalat
banyak bertebaran membawa najis di kakinya. Jika lalat-lalat nakal itu hinggap
di tubuh kita, maka najis-najis di kaki mereka hukumnya ma’fu. Sebab, kita
sangat sulit menghindar. Dengan kata lain, najis yang mengenai tubuh saat
kondisi sulit (dhaqa), akan membuat hukum menjadi ringan (ittasa’a) berupa
di-ma’fu-nya najis-najis tersebut.
2.
إِذَا اتَّسَعَ اْلأَمْرُ ضَاقَ
“Ketika keadaan
lapang, maka hukumnya menjadi sempit (ketat).”
Contohnya,
ketika melaksanakan shalat, kita tidak diperbolehkan melakukan gerakan. Sebab
kondisi kita saat itu tidak menuntut dilakukannya suatu gerakan. Akan tetapi,
jika gerakan itu dilakukan untuk menghindari serangan ular berbisa,
kalajengking, dan binatang berbisa lainnya, maka pergerakan tersebut
diperbolehkan.
3.
كُلُّ مَا تَجَاوَزَ عَنْ حَدِّهِ انْعَكَسَ إِلَى ضِدِّهِ
“Setiap sesuatu
yang sudah melewati batas kewajaran, memiliki
hukum yang sebaliknya”
Kaidah
yang ketiga ini adalah hasil sintesa dua kaidah sebelumnya. Artinya, kaidah ini
memandang, sempit dan luasnya suatu keadaan akan berakibat timbulnya hukum
kebalikannya; ketika kondisi sulit berarti hukumnya ringan; saat keadaan lapang
akan membuat hukum menjadi ketat. Al-Ghazali-lah yang melakukan upaya sintetik
tersebut, yakni melalui perpaduan dua kaidah cabang sebelumnya, yang jika
dilihat sepintas agaknya saling bertolak belakang, padahal kenyataannya mempunyai
substansi yang senada.
4.
إِذَا تَعَزَّرَ اْلأَصْلُ يُصَارُ إِلَى اْلبَدَلِ
“Apabila yang
asli sukar dikerjakan maka berpindah kepada penggantinya”
Contohnya:
Tayamum sebagai ganti wudhu.
5.
مَا لاَ يُمْكِنُ التَّحَرُزُ مِنْهُ مَعْفُوْ عَنْهُ
“Apa yang tidak
mungkin menjaganya (menghindarkannya), maka hal itu dimaafkan”
Contohnya: Pada
waktu sedang shaum, kita berkumur-kumur, maka tidak mungkin terhindar dari rasa
air di mulut atau masih ada sisa-sisa
6.
الرُّخْصُ لاَ تُنَاطُ بِالْمَعَاصِى
“Keringanan itu
tidak dikaitkan dengan kemaksiatan”
Contohnya:
Orang bepergian dengan tujuan melakukan maksiat, misalnya untuk membunuh orang
atau untuk berjudi atau berdagang barang-barang yang diharamkan, maka orang
semacam ini tidak boleh menggunakan keringanan-keringanan di dalam hukum Islam.
7.
ذَا تَعَزَّرَتِ الْحَقِيْقَةُ يُصَارُ إِلَى الْمَجَاِزإ
“Apabila suatu
kata sulit diartikan dengan arti yang sesungguhnya, maka kata tersebut
berpindah artinya kepada arti kiasannya”.
8.
إِذَا تَعَزَّرَ إِعْمَالُ الْكَلاَمِ يُهْمَلُ
“Apabila sulit
mengamalkan suatu perkataan, maka perkataan tersebut ditinggalkan”.
Contohnya : Seseorang yang menuntut
warisan dan dia mengaku saudara sekandung dari si mayit, kemudian setelah di
teliti dari kartu keluarga, ternyata si mayit tidak memiliki saudara. Maka
perkataan orang tersebut ditinggalkan dalam arti tidak diakui perkataannya.
9.
يُغْتَفَرُ
فِى الدَّوَامِ مَا لاَ يُغْتَفَرُ فِى اْلإِبْتِدَاءِ
“Bisa
dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak bisa dimaafkan pada
permulaannya”.
Contoh : Haji Syarkawi berkata “Saya wakafkan tanah saya
kepada anak Haji Ishaq”. Padahal semua orang mengetahui bahwa anak Haji Ishaq
sudah lama meninggal, yang ada adalah hanyalah cucunya bernama Sarifudin. Maka
dalam hal ini, kata anak harus diartikan cucunya, yaitu kata kiasannya, bukan
kata sesungguhnya. Sebab, tidak mungkin mewakafkan harta kepada orang yang
sudah meninggal.
10.
يُغْتَفَرُ
فِى اْلإِبْتِدَاءِ مَا لاَ يُغْتَفَرُ فِى الدَّوَامِ
“Dimaafkan
pada permulaan tapi tidak dimaafkan pada kelanjutannya”.
Contohnya : Seseorang yang baru masuk Islam dan tidak tahu
bahwa judi, berzinah atau minuman keras itu dilarang atau haram, maka orang tersebut
dimaafkan untuk permulaannya karena ketidaktahuannya. Selanjutnya, setelah dia
mengetahui bahwa judi, berzinah atau minuman keras hukumnya haram, maka ia harus menghentikan
perbuatan haram tersebut.
11.
يُغْتَفَرُ فِى التَّوَابِعِ مَا لاَ يُغْتَفَرُ فِى غَيْرِهَا
“Dapat
dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada yang lainnya”.
Contohnya : Pedagang membeli bawang 5
karung di sebuah agen, kemudian bawang tersebut dipisahkan dari karung, karena
karung tersebut mengikuti kepada bawang yang dijual, dan maksud tidak dimaafkan
pada yang lain seperti cincin emas yang didapatkan dari bawang tersebut dan
diketahui pula adalah kepunyaan pemilik agen.[15]
PENUTUP
Kelonggaran
dan kemudahan dalam menjalani syariat menunjukan ke-universal-an islam, tidak
kaku, fleksible, dan sesuai dengan tempat dimanapun dan jaman kapanpun. Mengingat hukum Islam yang belum atau tidak dijelaskan
secara langsung oleh Al-Qur’an dan Al-Hadits dan baru bisa diketahui setelah
terjadi penggalian lewat ijtihad, maka dikenallah sebutan dalam fiqih suatu
istilah hukum dzanni atau hukum ijtihad sehingga berpengaruh pada penerapan
hukumnya (تطبيق
الأحكام) yang harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi, bahkan
harus sejalan dengan tuntutan zaman beserta kemaslahatan-kemaslahatannya yang
menjadi prinsip utama disyari’atkannya syari’ah (maqashid al-syari’ah) dalam
menyelesaikan permasalahn hukum yang dijalani oleh mukallaf. Kesukaran dan
kesulitan yang menjadi problematika dan dilema yang terjadi pada mukallaf menuntut
adanya penetapan hukum untuk mencapai kemaslahatan dan kepastian hukum guna
menjawab permasalah yang terjadi.
REFERENSI
Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman. Al-asybah wa
An-Nadzhair fi qawa’id wa furu fiqh syafi’i. Darul Kutub Ilmiyah Beirut
1983
Asy-syatibi, Ibrahim bin Musa Abu Ishaq. Al-muwafaqot fi Ushul
As-syari’ah. Darul Kitab Al-Arabi Beirut 2012.
Al-bahisin, Ya’qub bin Abdu-l-wahhab. Qo’idah Al-masyaqqoh Tajlib
At-taysir Dirasatan Nadzriyyatan Tathbiqiyyatan . Maktabah Ar-rusyd Riyad
2003
Al-Khadimi,
Nur-d-din Mukhtar. Al-qawa’id Al-fiqhiyah. Jami’at Tunis
Al-Iftirodliyyah UVT 2007
Al-Zuhaili,
Wahbah. Ushul Al-fiqh Al-Islami. Dar-el-Fikr
Damaskus 1986
Az-Zarqo, Ahmad bin Muhammad. Syarhu
Al-Qowa’id Al-Fiqhiyyah. Dar-el-Qolam Damaskus 1989
[1] Al-bahisin, Ya’qub bin
Abdu-l-wahhab. Qo’idah Al-masyaqqoh Tajlib At-taysir Dirasatan Nadzriyyatan
Tathbiqiyyatan . Maktabah Ar-rusyd Riyad 2003 hal.120
[3]
http://ushulfikih.blogspot.com/2012/05/kaidah-asasiyah-tentang-al-masyaqqah.html
[4] Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman. Al-asybah
wa An-Nadzhair fi qawa’id wa furu fiqh syafi’i. Darul Kutub Ilmiyah Beirut
1983 hal.129
[5] Asy-syatibi,
Ibrahim bin Musa Abu Ishaq. Al-muwafaqot fi Ushul As-syari’ah. Darul
Kitab Al-Arabi Beirut 2012. Hal.168
[7] Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman. Al-asybah wa An-Nadzhair fi qawa’id wa
furu fiqh syafi’i. Darul Kutub Ilmiyah Beirut 1983 hal.137
[9] Asy-syatibi, Ibrahim bin Musa Abu Ishaq. Al-muwafaqot fi Ushul
As-syari’ah. Darul Kitab Al-Arabi Beirut 2012. Hal.168
[10] Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman. Al-asybah wa An-Nadzhair fi qawa’id wa
furu fiqh syafi’i. Darul Kutub Ilmiyah Beirut 1983 hal.138
[12] Az-Zarqo, Ahmad bin Muhammad. Syarhu Al-Qowa’id
Al-Fiqhiyyah. Dar-el-Qolam Damaskus 1989 hal.159
[13]
http://ushulfikih.blogspot.com/2012/05/kaidah-asasiyah-tentang-al-masyaqqah.html
[14] Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman. Al-asybah wa An-Nadzhair fi qawa’id wa
furu fiqh syafi’i. Darul Kutub Ilmiyah Beirut 1983 hal.136
[15] http://ahmadzarkasyi-blog.blogspot.com/2014/07/kaidah-asasiyyah-tentang-al-masyaqqah.html
No comments:
Post a Comment