Monday 9 May 2016

Rasionalisasi Kemudahan Dalam Lingkup Qowa'id Fiqhiyyah



Oleh: Ikmal Toha Kamaluzzaman

PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
Pokok pembahasan terkait kaidah kemudahan dalam syariat islam sangat penting sekali , karena erat kaitannya dengan dinamika kehidupan manusia baik dalam skala individu maupun bermasyarakat, yang mana dalam hidup bersosialisasi selalu bergelut dengan beragam peristiwa baik itu yang sisebabkan dari dalam diri ataupun dari luar, adakalanya senang, sedih, gembira, aman, takut, khawatir dan lainnya.
Merupakan kasih sayang Allah SWT terhadap hamba-Nya yang mana syariat yang Dia turunkan tidak berupa paksaan tanpa memberikan keringanan, karena sesungguhnya maksud dan tujuan dari diturunkannya syariat tiada lain untuk menghilangkan kesusahan dan mencari kemudahan.  [1]
Sebagai agama yang memiliki misi kemaslahatan universal (rahmatan lil ‘alamin), Islam sangat memperhatikan unsur-unsur kesulitan yang dialami umatnya. Kaidah  Almasyaqqoh tajlibu attaisir merupakan kontruksi dasar fiqih yang menunjukan bahwa Islam memberikan perhatian besar pada kesulitan yang dihadapi kaum muslimin dalam menjalani syariat, baik dalam konstruksi ritual (ibadah) maupun sosial (muamalah), jika dalam menjalankan sebuah kewajiban mengalami kendala, maka di titik inilah Islam memberikan toleransi dengan segala kemudahannya.

B.       Rumusan Masalah
Pembahasan terkait judul diatas dibagi menjadi lima, yaitu:
1.      Definisi kaidah Almasyaqqotu tajlibu attaysir dari segi etimologis dan terminologis
2.      Dasar pengambilan kaidah
3.      Karakter dan kualifikasi Masyaqqoh
4.      Rukhsoh, yang meliputi:
-          definisi rukhshah dan ‘azimah,
-          Hukum-hukum rukhshah,
-          Bentuk-bentuk rukhshah,
-          Obyek-obyek atau faktor penyebab adanya rukhshah
5.      Kaidah turunan dari kaidah asas Almasyaqqoh
C.       TUJUAN
Supaya pembaca mengetahui definisi kaidah Almasyaqqotu tajlibu Attaisir, mengetahui macam-macam kesulitan yang bisa mendapatkan keringanan, bagaimana karakternya, bagaimana bentuk-bentuk rukhshah, apa saja yang menyebabkan seseorang mendapat rukhshah serta permasalahan-permasalahan lain yang berkenaan dengan masyaqqah (kesulitan) dan rukhshah (keringanan hukum) serat qoidah-qoidah turunan dari Qo’idah Almasyaqqotu tajlibu Attaisir  sehingga bisa pengetahuannya bisa diamalkan dalam kehidupannya sehari-hari.

PEMBAHASAN
A.       Definisi Kaidah
Al-masyaqqah secara etimologis berarti al-ta’ab yaitu kelelahan, kepayahan, kesulitan, dan kesukaran, sebagaimana yang terdapat dalam QS. Al-Nahl ayat 7:
وَتَحْمِلُ أَثْقَالَكُمْ إِلَى بَلَدٍ لَمْ تَكُونُوا بَالِغِيهِ إِلَّا بِشِقِّ الْأَنْفُسِ
“Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri.”
Sedangkan al-taysir secara etimologis berarti kemudahan, seperti di dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim disebutkan:
إِنَّ الدِيْنَ يُسْرٌ
“Agama itu mudah, tidak memberatkan.”
Adapun makna terminologi kaidah asasi ketiga di atas adalah:
إن الأحكام التى ينشأ عن تطبيقها حرج على المكلف ومشقة فى نفسه أو ماله فالشريعة تخففهما بما يقع تحت قدرة المكلف دون عسر أو حرج.
“Hukum yang praktiknya menyulitkan mukallaf; dan pada diri dan sekitarnya terdapat kesulitan, maka syari’at meringankannya sehingga beban tersebut berada di bawah kemampuan mukallaf tanpa kesulitan dan kesusahan.”[2]
Jadi makna kaidah tersebut adalah kesulitan menyebabkan adanya kemudahan. Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf , maka syari’ah meringankannya sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran[3].

B.       Dasar Kaidah
1.      Al-Qur'an
-       Surat Al-Baqarah: 185
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 185)
-       Surat al-Hajj ayat: 78
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”[4].
2.      Al-Hadits
Banyak sekali hadits Nabi SAW yang menjadi dasar terbentuknya kaidah ini, di antaranya adalah:
الدّيْنُ يُسْرٌ اَحَبُّ الدِّيْنِ إِلَى اللهِ الْحَنِيْفِيَّةُ السَّمْحَةُ (أخرجه البخارى عن أبى هريرة(
“Agama itu adalah mudah, agama yang disenangi Allah adalah agama yang benar dan mudah”.
يَسِّرُوْا وَلاَ تُعَسِّرُوْا (أخرجه البخارى عن أنس(
“Mudahkanlah dan jangan mempersukar”.
إِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِيْنَ وَلَمْ تُبْعَثُوْا مُعَسِّرِيْنَ (رواه الشيخان(
“Kalian semua (kaum muslimin dengan perantara Nabi SAW) diutus untuk memberi kemudahan; tidak untuk menyulitkan”. (HR. Bukhari dan Muslim)
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ دِيْنَ اللهِ يُسْرٌ، ثَلاَثًا
“Rasulullah SAW bersabda: ‘Sesungguhnya agama Allah adalah agama yang mudah’. (Kata-kata itu) diucapkan tiga kali.” (HR. Ahmad)
مَا خُيِّرَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلاَّ اخْتاَرُ أَيْسَرُهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا
“Tidaklah Rasulullah diberi pilihan di antara dua perkara, kecuali beliau memilih yang lebih mudah atau ringan, selama yang lebih mudah itu bukan perbuatan dosa.” (HR. Bukhari dan Muslim)
يَسِّرُوْا وَلاَ تُعَسِّرُوْا
“Permudahlah dan jangan mempersulit.”
Dan masih banyak dalil lainnya. Imam asy-Syathibi mengatakan: “Dalil-dalil tentang kemudahan bagi umat ini telah mencapai derajat yang pasti[5]
Dari akumulasi dalil qur’an dan hadits diatas bisa disimpulkan bahwa dalam menjalani agama itu mudah dan tercetuslah satu kaidah asas fiqih al masyaqqah tajlib al-taysir . namun tentunya yang dimaksud kemudahan-kemudahan yang allah SWT berikan bukan tanpa aturan sehingga menjadi mempermudah agama, ada sebab dan batasan yang harus dipenuhi sehingga kemudahan itu bisa diperoleh.

C.       Kemudahan dalam islam ada dua, yaitu:
1.        Kemudahan asli
Semua syari’at dan hukum Islam, semuanya adalah mudah. Inilah yang biasa dimaksud dalam banyak dalil. Imam Ibnu Hazm berkata: “Semua perintah Allah kepada kita adalah mudah dan tidak berat. Dan tidak ada kemudahan yang lebih daripada sesuatu yang mengantarkan manusia menuju surga dan menjauhkan mereka dari neraka”.
2.        Kemudahan karena ada sebab
Semua syari’at pada asalnya mudah, sekalipun demikian bila ada sebab maka Allah menambah kemudahan lagi, seperti orang safar diberikan keringanan untuk qoshor dan jama’, orang tidak bisa berwudhu diberi keriganan untuk tayammum dan seterusnya[6].

D.       Karakter Kesulitan (Al-Masyaqqoh)
Dalam kitabnnya Al-Asybah wa An-nadzoir, Imam As-suyuthi membagi kesulitan sesuai karakternya kedalam dua pembagian pokok:
1.    مشقة لا تنفك عنها العبادة غالبا
Kesulitan yang tidak dapat menggugurkan kewajiban (ibadah). Misalnya rasa lelah ketika melakukan perjalanan haji, tidak secara otomatis menggugurkan kewajiban haji. Rasa capek dan takut dalam peperangan, tidak dapat menggugurkan kewajiban jihad. Masalahnya, masyaqqah semacam itu sudah merupakan tabi’at dasar dan konsekuensi logis dari jenis pekerjaan yang sedang dilakukan.
2.    مشقة تنفك عنها العبادة غالبا
Kesulitan yang dapat menggugurkan kewajiban, dan terbagi menjadi tiga tingkatan:
a.    مشقة عظيمة فادحة  yaitu kesulitan yang sangat berat dan sulit ditanggung. Seperti rasa khawatir akan keselamatan jiwa, harta, keturunan, organ tubuh, dan hal-hal mendasar lainnya. Pada taraf inilah syari’at memberlakukan keringanan hukum (rukhshah). Sebab, pemeliharaan jiwa dan raga untuk menjalankan kewajiban-kewajiban syari’at lebih diutamakan dari pada tidak melakukan sama sekali.
b.    مشقة خفيفة لا وقع لها   yaitu kesulitan yang ringan. Seperti pegal-pegal, pilek, pusing, dan lain sebagainya. Pada strata ini, tidak ada sama sekali legitimasi syari’at untuk memberi rukhshah. Sebab ke-maslahat-an ibadah masih lebih penting dari pada menghindari mafsadah (kerusakan) yang timbul dari masyaqqah kategori ini.
c.    متوسطة بين هاتين المرتبتين  yaitu kesulitan sedang yang berada di antara dua bagian sebelumnya. Jenis masyaqqah yang terakhir ini bisa mendapat rukhshah, jika telah mendekati kadar masyaqqah pada urutan yang tertinggi. Dan sebaliknya apabila lebih dekat pada kategori masyaqqah yang paling ringan maka ia tidak dapat menyebabkan rukhshah.[7]

E.        Rukhsoh
1.        Definisi Rukhshah dan ‘Azimah
Rukhshah adalah sebuah kodifikasi hukum yang diberikan syari’at bagi mukallaf yang mengalami kesulitan dalam melaksanakan taklif yang dibebankan kepadanya. Dengan kata lain, rukhshah adalah sebuah formulasi hukum yang telah berubah dari bentuk asalnya, karena mempertimbangkan obyek hukum, situasi, kondisi, dan tempat tertentu. Bisa pula dimaknai sebagai diperbolehkannya sesuatu yang asalnya dilarang, beserta wujudnya dalil yang melarang. [8]
Sebaliknya, jika formulasi hukum syari’at tidak mengalami perubahan, maka ia dinamakan ‘azimah. Atau dapat dikatakan, ‘azimah adalah suatu formulasi hukum-hukum dasar syari’at yang bersifat umum dan tidak terbatas pada obyek, situasi, kondisi, dan orang tertentu.[9]

2.        Hukum-Hukum Rukhshah
Bila ditilik dari sisi hukumnya, rukhshah terbagi menjadi lima:
a.       Rukhshah wajib. Contohnya memakan bangkai bagi orang yang sedang kelaparan, atau minum arak (khamr) bagi seseorang yang tenggorokannya tersumbat hingga tak bisa bernafas.
b.      Rukhshah sunnah. Misalnya shalat qashar bagi seorang musafir yang telah melakukan perjalanan sepanjang dua marhalah atau lebih, dan berbuka puasa bagi orang yang sakit atau musafir yang mengalami masyaqqah bila melaksanakan puasa.
c.       Rukhshah mubah. Contohnya seperti transaksi pesan-memesan (salam) dan sewa-menyewa (ijarah).
d.      Rukhshah khilaf al-awla (lebih utama ditinggalkan). Seperti membilas bagian luar sepatu kulit menjama’ shalat atau berbuka puasa bagi seorang musafir yang tidak mengalami masyaqqah bila harus mengerjakannya. Begitu pula tayamum bagi orang yang telah mendapat air, tapi harus dibeli dengan nilai di atas harga standar, sementara dia sebenarnya memiliki uang (mampu) untuk membelinya.
e.       Rukhshah makruh. Contohnya menqashar shalat dalam perjalanan yang belum mencapai tiga marhalah.

3.        Bentuk-Bentuk Rukhshah
Berdasarkan bentuknya, rukhshah terbagi menjadi enam:
a.       تخفيف إسقاط : Rukhshah yang berbentuk pengguguran kewajiban. Seperti uzur shalat jum’at, haji, umrah, dan jihad. Jika semua pekerjaan itu tidak dapat terlaksana akibat adanya uzur dengan ketentuan-ketentuan tertentu.
b.       تخفيف تنقيص: Rukhshah yang berupa pengurangan kuantitas pekerjaan. Seperti diperbolehkannya qashar bagi musafir.
c.        تخفيف إبدال: Rukhshah berbentuk penggantian. Contohnya mandi dan wudhu boleh diganti dengan tayamum. Kewajiban berdiri dalam shalat yang dapat diganti duduk, duduk yang dapat diganti dengan shalat berbaring miring (idhthija’) dan idhthija’ diganti dengan isyarat.
d.       تخفيف تقديم: Rukhshah dengan mendahulukan. Misalnya dalam jama’ taqdim, di mana shalat ashar boleh didahulukan pada waktu zhuhur, mendahulukan membayar zakat sebelum hawl, membayar kafarah sumpah sebelum pelanggaran sumpahnya dilakukan.
e.        تخفيف تأخير: Rukhshah berupa penundaan aktivitas. Seperti shalat jama’ ta’khir. Shalat zhuhur boleh ditunda atau dilaksanakan pada waktu ashar, puasa Ramadhan boleh dilakukan pada bulan-bulan sesudahnya bagi orang yang sakit atau musafir.
f.        تخفيف ترخيص: Rukhshah berbentuk peringanan. Seperti diperbolehkannya memakan bangkai saat kelaparan, berobat dengan obat-obatan atau makanan yang najis atau haram, dan minum arak (khamr) untuk melegakan lubang tenggorokan yang tersumbat.
Selain enam pemilahan di atas, al-‘Ala’i menambahkan lagi bentuk rukhshah yang diberi nama rukhshah تخفيف تغيير(rukhshah keringanan-perubahan). Seperti perubahan runtutan gerak dalam shalat saat situasi yang menakutkan (shalat al-khawf), semisal shalat dalam masa peperangan, namun sebagian ulama berpendapat bahwa kasus seperti ini masuk kedalam kelompok no 2.[10]

4.        Obyek – Obyek Rukhshah
Seperti sudah dijelaskan di pendahuluan, bahwa keringanan dalam beragama yang diberikan oleh Allah SWT tidak serta merta kita mempermudah agama tanpa aturan. Ada tujuh sebab jatuhnya rukhsoh:
a.         Ikrah (pemaksaan)
Misalnya memakan bangkai atau makanan haram, mengucapkan kekafiran dengan meneguhkan hatinya. Firman Allah SWT dalam surat An-nahl : 106:
barangsiapa yang kufur kepada Allah setelah mempercayainya (dia mendapatkan kemurkaan dari-Nya), kecuali bagi orang yang dipaksa, padahal dalam hatinya tetap tenang dalam keimanannya”[11]
b.        Nis-yan (lupa)
Secara terminologis, nis-yan adalah hilangnya daya ingat terhadap hal-hal yang sudah diketahui (ma’lum). Untuk mengingatnya kembali dibutuhkan usaha dari awal lagi. Berbeda dengan sahwu (lalai) yang hanya berupa keadaan lupa yang bersifat temporal (sementara).
c.         Jahl (ketidaktahuan)
Syari’at membagi ketidaktahuan yang bisa mendapat rukhshah dalam dua kategori berikut:
1.      Ketidaktahuan hukum syari’at karena baru masuk Islam. Dalam kondisi ini, Islam memberikan toleransi yang sangat rasional dan manusiawi.
2.      Ketidaktahuan karena keberadaan situasi dan kondisi yang memang tidak memungkinkan. Seperti seorang muslim yang hidup di daerah terpencil, di hutan belantara, ataupun di sebuah komunitas besar yang antara mereka tidak ada yang mengetahui hukum-hukum agama. [12]
d.        Al-‘Usr (kesulitan)
Yaitu kesulitan yang umum dan sukit untuk dihindari, seperti percikan air yang bercampur lumpur najis seringkali mengenai pakaian. Sementara kita sangat sulit menghindari hal itu. Sebab lumpur-lumpur najis itu begitu banyak dan nyaris memenuhi badan jalan. Contoh lain adalah darah bisul, darah jerawat, darah orang lain, kotoran lalat, dan kotoran burung. [13]
e.         Safar (bepergian).
Menurut Imam An-nawawi ada delapan kemudahan yang didapatkan oleh orang yang bepergian, yang dikelompokan menjadi empat kelompok, yaitu:
1.        Rukhshah yang dikhususkan dengan perjalanan jauh, yakni telah mencapai dua marhalah:
·         Meringkas shalat
·         Membatalkan puasa bulan ramadhan
·         Membasuh khuff
2.        Rukhsosh yang tidak dikhususkan untuk perjalanan jauh saja, seperti
·           Meninggalkan shalat jum’at
·           Memakan bangkai
3.        Rukhsoh yang masih dalam perselisihan para ulama, yang paling benar adalah adanya pengkhususan untuk perjalanan jauh, yaitu:
·         Jama’ shalat. Untuk menjama’ shalat
4.        Rukhsoh yang masih dalam perselisihan para ulama, yang paling benar adalah tidak adanya pengkhususan untuk perjalanan jauh, yaitu:
·         Gugurnya kewajiban shalat yang bersuci dengan cara tayamum.
·         Shalat diatas kendaraan
f.         Maradh (sakit).
Penyakit yang bisa mendapatkan rukhsoh yaitu penyakit yang menimbulkan dampak yang membahayakan apabila memaksakan melakukan suatu ibadah. Seperti dibolehkannya tayammum bagi yang sakit, shalat sambil tidur, duduk maupun isyarah.
g.         Nilai Minus (Naqish).
Yang dimaksud dengan minus adalah yang bersifat insting-psikologis (tabiat kejiwaan) seperti wanita, orang gila, anak-anak, idiot, hamba sahaya dan orang sakit. Dengan alasan hipotesa tersebut, syari’at memberikan keringanan hukum bagi mereka. perempuan mendapat beban taklif lebih ringan dibanding laki-laki, seperti tidak wajib shalat Jumat, tidak wajib jihad, tidak wajib membayar diyat (denda) dan jizyah, boleh memakai kain sutra dan perhiasan dari emas, termasuk hakikat dibolehkannya berpoligami dan lain sebagainya. [14]

F.        Kaidah-Kaidah Turunan Yang Senada
Kaidah-kaidah cabang dari kaidah dasar Almasyaqqoh tajlibu al taysir, yaitu:
1.      ذَا ضَاقَ اْلأَمْرُ اتَّسَعَإ
“Ketika sesuatu menjadi sempit, maka hukumnya menjadi luas (ringan)”
Dengan kata lain, keringanan hukum akan diperoleh disebabkan kondisi sulit dan sempit. Contohnya sebagaimana nasib seorang gadis yang tidak memiliki wali, atau berada jauh dari rumahnya. Pada saat yang sama ia bertemu seorang laki-laki idaman yang akan mau menikahinya. Dalam kondisi seperti ini, wanita yang notabene menghadapi kesulitan diperbolehkan “mengangkat” orang lain (yang bukan mahram) untuk menjadi walinya (muhakkam).
Contoh lain seperti fenomena yang sering terjadi di musim kemarau, di mana lalat-lalat banyak bertebaran membawa najis di kakinya. Jika lalat-lalat nakal itu hinggap di tubuh kita, maka najis-najis di kaki mereka hukumnya ma’fu. Sebab, kita sangat sulit menghindar. Dengan kata lain, najis yang mengenai tubuh saat kondisi sulit (dhaqa), akan membuat hukum menjadi ringan (ittasa’a) berupa di-ma’fu-nya najis-najis tersebut.
2.  إِذَا اتَّسَعَ اْلأَمْرُ ضَاقَ
“Ketika keadaan lapang, maka hukumnya menjadi sempit (ketat).”
Contohnya, ketika melaksanakan shalat, kita tidak diperbolehkan melakukan gerakan. Sebab kondisi kita saat itu tidak menuntut dilakukannya suatu gerakan. Akan tetapi, jika gerakan itu dilakukan untuk menghindari serangan ular berbisa, kalajengking, dan binatang berbisa lainnya, maka pergerakan tersebut diperbolehkan.
3.  كُلُّ مَا تَجَاوَزَ عَنْ حَدِّهِ انْعَكَسَ إِلَى ضِدِّهِ
“Setiap sesuatu yang sudah melewati batas kewajaran, memiliki hukum yang sebaliknya”
Kaidah yang ketiga ini adalah hasil sintesa dua kaidah sebelumnya. Artinya, kaidah ini memandang, sempit dan luasnya suatu keadaan akan berakibat timbulnya hukum kebalikannya; ketika kondisi sulit berarti hukumnya ringan; saat keadaan lapang akan membuat hukum menjadi ketat. Al-Ghazali-lah yang melakukan upaya sintetik tersebut, yakni melalui perpaduan dua kaidah cabang sebelumnya, yang jika dilihat sepintas agaknya saling bertolak belakang, padahal kenyataannya mempunyai substansi yang senada.
4.   إِذَا تَعَزَّرَ اْلأَصْلُ يُصَارُ إِلَى اْلبَدَلِ
“Apabila yang asli sukar dikerjakan maka berpindah kepada penggantinya”
Contohnya: Tayamum sebagai ganti wudhu.
5.  مَا لاَ يُمْكِنُ التَّحَرُزُ مِنْهُ مَعْفُوْ عَنْهُ
“Apa yang tidak mungkin menjaganya (menghindarkannya), maka hal itu dimaafkan”
Contohnya: Pada waktu sedang shaum, kita berkumur-kumur, maka tidak mungkin terhindar dari rasa air di mulut atau masih ada sisa-sisa
6.  الرُّخْصُ لاَ تُنَاطُ بِالْمَعَاصِى
“Keringanan itu tidak dikaitkan dengan kemaksiatan”
Contohnya: Orang bepergian dengan tujuan melakukan maksiat, misalnya untuk membunuh orang atau untuk berjudi atau berdagang barang-barang yang diharamkan, maka orang semacam ini tidak boleh menggunakan keringanan-keringanan di dalam hukum Islam.
7.  ذَا تَعَزَّرَتِ الْحَقِيْقَةُ يُصَارُ إِلَى الْمَجَاِزإ
“Apabila suatu kata sulit diartikan dengan arti yang sesungguhnya, maka kata tersebut berpindah artinya kepada arti kiasannya”.
8.  إِذَا تَعَزَّرَ إِعْمَالُ الْكَلاَمِ يُهْمَلُ
“Apabila sulit mengamalkan suatu perkataan, maka perkataan tersebut ditinggalkan”.
Contohnya : Seseorang yang menuntut warisan dan dia mengaku saudara sekandung dari si mayit, kemudian setelah di teliti dari kartu keluarga, ternyata si mayit tidak memiliki saudara. Maka perkataan orang tersebut ditinggalkan dalam arti tidak diakui perkataannya.
9.  يُغْتَفَرُ فِى الدَّوَامِ مَا لاَ يُغْتَفَرُ فِى اْلإِبْتِدَاءِ
“Bisa dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak bisa dimaafkan pada permulaannya”.
  Contoh : Haji Syarkawi berkata “Saya wakafkan tanah saya kepada anak Haji Ishaq”. Padahal semua orang mengetahui bahwa anak Haji Ishaq sudah lama meninggal, yang ada adalah hanyalah cucunya bernama Sarifudin. Maka dalam hal ini, kata anak harus diartikan cucunya, yaitu kata kiasannya, bukan kata sesungguhnya. Sebab, tidak mungkin mewakafkan harta kepada orang yang sudah meninggal.
10.                   يُغْتَفَرُ فِى اْلإِبْتِدَاءِ مَا لاَ يُغْتَفَرُ فِى الدَّوَامِ
“Dimaafkan pada permulaan tapi tidak dimaafkan pada kelanjutannya”.
Contohnya : Seseorang yang baru masuk Islam dan tidak tahu bahwa judi, berzinah atau minuman keras itu dilarang atau haram, maka orang tersebut dimaafkan untuk permulaannya karena ketidaktahuannya. Selanjutnya, setelah dia mengetahui bahwa judi, berzinah atau minuman keras hukumnya haram, maka ia harus menghentikan perbuatan haram tersebut.
11.                   يُغْتَفَرُ فِى التَّوَابِعِ مَا لاَ يُغْتَفَرُ فِى غَيْرِهَا
“Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada yang lainnya”.
Contohnya : Pedagang membeli bawang 5 karung di sebuah agen, kemudian bawang tersebut dipisahkan dari karung, karena karung tersebut mengikuti kepada bawang yang dijual, dan maksud tidak dimaafkan pada yang lain seperti cincin emas yang didapatkan dari bawang tersebut dan diketahui pula adalah kepunyaan pemilik agen.[15]


PENUTUP
Kelonggaran dan kemudahan dalam menjalani syariat menunjukan ke-universal-an islam, tidak kaku, fleksible, dan sesuai dengan tempat dimanapun dan jaman kapanpun. Mengingat hukum Islam yang belum atau tidak dijelaskan secara langsung oleh Al-Qur’an dan Al-Hadits dan baru bisa diketahui setelah terjadi penggalian lewat ijtihad, maka dikenallah sebutan dalam fiqih suatu istilah hukum dzanni atau hukum ijtihad sehingga berpengaruh pada penerapan hukumnya (تطبيق الأحكام) yang harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi, bahkan harus sejalan dengan tuntutan zaman beserta kemaslahatan-kemaslahatannya yang menjadi prinsip utama disyari’atkannya syari’ah (maqashid al-syari’ah) dalam menyelesaikan permasalahn hukum yang dijalani oleh mukallaf. Kesukaran dan kesulitan yang menjadi problematika dan dilema yang terjadi pada mukallaf menuntut adanya penetapan hukum untuk mencapai kemaslahatan dan kepastian hukum guna menjawab permasalah yang terjadi. 

REFERENSI
Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman. Al-asybah wa An-Nadzhair fi qawa’id wa furu fiqh syafi’i. Darul Kutub Ilmiyah Beirut 1983
Asy-syatibi, Ibrahim bin Musa Abu Ishaq. Al-muwafaqot fi Ushul As-syari’ah. Darul Kitab Al-Arabi Beirut 2012.
Al-bahisin, Ya’qub bin Abdu-l-wahhab. Qo’idah Al-masyaqqoh Tajlib At-taysir Dirasatan Nadzriyyatan Tathbiqiyyatan . Maktabah Ar-rusyd Riyad 2003
Al-Khadimi, Nur-d-din Mukhtar. Al-qawa’id Al-fiqhiyah. Jami’at Tunis Al-Iftirodliyyah UVT 2007
Al-Zuhaili, Wahbah. Ushul Al-fiqh Al-Islami. Dar-el-Fikr Damaskus 1986
 Az-Zarqo, Ahmad bin Muhammad. Syarhu Al-Qowa’id Al-Fiqhiyyah. Dar-el-Qolam Damaskus 1989




[1] Al-bahisin, Ya’qub bin Abdu-l-wahhab. Qo’idah Al-masyaqqoh Tajlib At-taysir Dirasatan Nadzriyyatan Tathbiqiyyatan . Maktabah Ar-rusyd Riyad 2003 hal.120
[2] Al-Khadimi, Nur-d-din Mukhtar. Al-qawa’id Al-fiqhiyah. Jami’at Tunis Al-Iftirodliyyah UVT 2007
[3] http://ushulfikih.blogspot.com/2012/05/kaidah-asasiyah-tentang-al-masyaqqah.html
[4] Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman. Al-asybah wa An-Nadzhair fi qawa’id wa furu fiqh syafi’i. Darul Kutub Ilmiyah Beirut 1983 hal.129
[5] Asy-syatibi, Ibrahim bin Musa Abu Ishaq. Al-muwafaqot fi Ushul As-syari’ah. Darul Kitab Al-Arabi Beirut 2012. Hal.168
[6] Al-Ihkam 2/176
[7] Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman. Al-asybah wa An-Nadzhair fi qawa’id wa furu fiqh syafi’i. Darul Kutub Ilmiyah Beirut 1983 hal.137
[8] Al-Zuhaili, Wahbah. Ushul Al-fiqh Al-Islami. Dar-el-Fikr Damaskus 1986
[9] Asy-syatibi, Ibrahim bin Musa Abu Ishaq. Al-muwafaqot fi Ushul As-syari’ah. Darul Kitab Al-Arabi Beirut 2012. Hal.168
[10] Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman. Al-asybah wa An-Nadzhair fi qawa’id wa furu fiqh syafi’i. Darul Kutub Ilmiyah Beirut 1983 hal.138
[11] ibid
[12] Az-Zarqo, Ahmad bin Muhammad. Syarhu Al-Qowa’id Al-Fiqhiyyah. Dar-el-Qolam Damaskus 1989 hal.159
[13] http://ushulfikih.blogspot.com/2012/05/kaidah-asasiyah-tentang-al-masyaqqah.html
[14] Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman. Al-asybah wa An-Nadzhair fi qawa’id wa furu fiqh syafi’i. Darul Kutub Ilmiyah Beirut 1983 hal.136
[15] http://ahmadzarkasyi-blog.blogspot.com/2014/07/kaidah-asasiyyah-tentang-al-masyaqqah.html

No comments:

Post a Comment