Tuesday 26 April 2016

Implementasi Langkah Preventif Terhadap Mafsadah Dalam Perspektif Islamic Legal Maxim


Oleh: Choirul Anwar, S.Th.I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua khususnya bagi yg ingin memahami fiqh secara mendalam. Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu Qawaidul fiqhiyah.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan diharapkan mampu mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.
Pada kaidah keempat, ad-Dhararu yuzaalu yang berarti kemadlaratan harus dihilangkan. Kita sebagai umat muslim tidak boleh membuat kerusakan di muka bumi ini, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. Pada kaidah ini terdapat banyak masalah hukum fiqh yang menyangkut didalamnya baik itu didalam muamalat, pada bagian jinayat maupun pada bagian munakahat. Untuk itu kemadlorotan itu membolehkan terhadap hal hal yang dilarang namun ada batasan-batasan sendiri yang perlu diperhatikan. Sehingga manusia mempunyai takaran atau batasan dalam memutuskan sesuatu hal disertai dengan kaidah hukumnya.  
B. Rumusan Masalah
1. Apa teks kaidah dan dasar-dasar nash yang berhubungan dengan kondisi madlarat?
2. Apa perbedaan antara masyaqqah dan madlarat ?
3. Apa yang termasuk dalam kaidah-kaidah mengenai kondisi madlarat ?
C. Tujuan
1.Untuk mengetahui  kaidah kubro dan dasar-dasar nash yang berhubungan dengan kondisi madlarat.
2. Untuk mengetahui perbedaan antara masyaqqah dan madlarat
3. Untuk mengetahui  kaidah-kaidah cabang mengenai kondisi madlarat.


PEMBAHASAN
1.      Teks Kaidah, Dasar-Dasar Nash
Ad-Dhararu Yuzalu, kemadlarata harus dihilangkan. Maksud dari kaidah “ad-Dhararu Yuzalu” adalah kemudharatan/bahaya harus dihilangkan. Jadi konsepsi kaidah ini memberikan pengertian bahwa manusia harus dijauhkan dari idhrar (tindak menyakiti), baik oleh dirinya maupun orang lain, dan tidak semestinya ia menimbulkan bahaya (menyakiti) pada orang lain.
Dharar  secara etimologi adalah berasal dari kalimat "adh Dharar" yang berarti sesuatu yang turun tanpa ada yang dapat menahannya. Sedangkan Dharar secara terminologi menurut para ulama ada beberapa pengertian diantaranya adalah:
1. Dharar ialah posisi seseorang pada suatu batas dimana kalau tidak mau melanggar sesuatu yang dilarang maka ia dalam bahaya. hal seperti ini memperbolehkan ia melanggarkan sesuatu yang diharamkan dengan batas batas tertentu.
2. Abu Bakar Al Jashas, mengatakan “Makna Dharar disini adalah ketakutan seseorang pada bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota badannya karena ia tidak  makan”.
3. Menurut Ad Dardiri, “Dharar ialah menjaga diri dari kematian atau dari kesusahan yang teramat sangat”.
4. Menurut sebagian ulama dari Madzhab Maliki, “Dharar ialah mengkhawatirkan diri dari kematian berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan”.
5. Menurut Asy Suyuti, “Dharar adalah posisi seseorang pada sebuah batas dimana kalau ia tidak melakukan sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau nyaris binasa.
Jadi, Dharar disini  menjaga jiwa dari kehancuran atau posisi yang sangat mudharat sekali, maka dalam keadaan seperti ini kemudaratan itu membolehkan sesuatu yang dilarang.
Berdasarkan pendapat para ulama di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Dharar adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia.
Kaidah ini menunjukkan bahwa kemadharatan itu telah terjadi atau akan terjadi, dengan demikian setiap kemadharatan memang harus dihilangkan.
Dasar dari kaidah ini adalah firman Allah dalam surat al-A’raf ayat 7: 56
قال تعالى: وَلاَ تُفْسِدُواْ فِي الأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفاً وَطَمَعاً إِنَّ رَحْمَتَ اللّهِ قَرِيبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِين
56. dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.
Surat al-Qashash ayat 77:
قال تعالى: وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
77. dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
لا ضرر ولا ضرار tidak boleh membuat kerusakan pada diri sendiri serta membuat kerusakan pada orang lain (HR. Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas).[1]
Masalah-masalah yang dapat mempergunakan kaidah ini banyak sekali, diantaranya: khiyar, hudud, kafarat, memilih pemimpin, dan lain sebagainya.[2]

2. Perbedaan antara masyaqqah dan madlarat.
1. Masyaqqah adalah suatu kesulitan yang menghendaki adanya kebutuhan (hajat) tentang sesuatu, dan jika tidak terpenuhi tidak akan mempengaruhi eksistensi manusia, sedang madlarat adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika tidak terselesaikan akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta, serta kehormatan manusia.
2. Masyaqqat waktu terjadinya relative lama dan bias terjadi terus-menerus, sedangkan madlarat relative singkat
3.  Masyaqqat solusi alternativenya banyak, sedangkan madlarat  hanya ada satu
4. Dengan adanya Masyaqqat akan mendatangkan kemudahan dan adanya madlarat akan ada penghapusan hukum.
Dengan demikian adanya Rukhsoh (keringanan) dan penghapusan Dharar akan mendatangkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia, dan dalam konteks ini keduanya tidak mempunyai perbedaan.[3]

3.      Kaidah-kaidah mengenai kondisi madlarat.
          i.          الضرورات تبيح المحظورات “Kemadlaratan-kemadlaratan itu dapat memperbolehkan keharaman.

قال تعالى: وَمَا لَكُمْ أَلَّا تَأْكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ ۗ وَإِنَّ كَثِيرًا لَيُضِلُّونَ بِأَهْوَائِهِمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِالْمُعْتَدِينَ
119. mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, Padahal Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. dan Sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas.[4]
قال تعالى: إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ ۖ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
173. Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[5]

Melihat ayat diatas, tidak semua keterpaksaan itu membolehkan yang haram, akan tetapi terdapat batasan-batasan tertentu. Pembolehan terhadap larangan ini dilakukan karena ditakutkan jika tidak dilakukan akan mengancam eksistensi manusia yang terkait dengan panca tujuan, yaitu memelihara agama, jiwa,akal,keturunan dan kehormatan atau harta.[6]
Beberapa contoh dalam kasus ini seperti memakan bangkai, minum khamr,kufur untuk berbohong. Akan tetapi tetapi untuk mayat para nabi tetap tidak diperbolehkan dengan alasan menjaga kehormatan para nabi lebih utama dalam syariat dibandingkan kebutuhan menghilangkan madlarat.[7]

        ii.          ما أبيح للضرورة يقدر بقدرها  “ Apa yang diperbolehkan karena darurat maka diukur menurut kadar kemadlaratannya”
Contoh, kebolehan memakan bangkai bagi seseorang hanya sekadar dalam ukuran untuk mempertahankan hidup, tidak boleh melebihi.[8] Dalam hubungannya dengan kaidah ini, perlu dijelaskan lebih lanjut bahwa kebutuhan seseorang itu ada 5 (tingkat),[9] yaitu :
1. Tingkat darurat, tidak boleh tidak, seperti orang yang sudah sangat lapar, dia tidak boleh tidak harus memakan apa yang dapat dimakan, sebab kalau tidak, dia akan mati atau hampir mati.
2. Tingkat hajat, seperti orang yang lapar,. Dia harus makan, sebab kalau dia tidak makan dia akan payah, walaupun tidak membahayakan hidupnya.
3. Tingkat manfaat, seperti kebutuhan makan yang bergizi dan memberikan kekuatan, sehingga dapat hidup wajar.
4. Tingkat zienah, untuk keindahan dan kemewahan hidup seperti makan makanan yang lezat, pakaian yang indah, perhiasan dan sebagainya
5. Tingkat fudlul, berlebih-lebihan, misalnya banyak makanan yang syubhat atay yang haram dan sebagainya.

      iii.           ما جاز لعذر بطل بزواله “Apa yang dizinkan karena adanya uzur, maka keizinan itu hilang dengan hilangnya uzur. Misal diperbolehkannya tayamum bagi yang sakit, maka ketika sembuh kebolehan itu hilang, atau karena tidak ada air, maka kebolehan itu hilang jika menemukan air.[10]

      iv.          الميسورة لا يسقط بالمعسور  “ Kemudahan itu tidak dapat digugurkan dengan kesulitan”     Kaidah tersebut menurut Ibnu Subki diambil dari sabda Nabi SAW.
إذا أمرتكم بأمر فأتوا منه ماستطعتم
Apabila aku perintahkan kalian dengan sesuatu maka lakukanlah perintah itu semampumu” misal seorang yang buntung maka cara wudlunya cukup membasuh apa yang ada.[11]

        v.          الاضطرار لا يبطل حق الغبر “ Keterpaksaan itu dapat membatalkan hak orang lain”
Misalnya seorang dalam keadaan lapar, dan dia akan mati jika tidak makan, dan jalan satu-satunya adalah mencuri, maka dalam perkara ini tidak diperbolehkan karena pengguguran terhadap keterpaksaan ini menganggu hak orang lain.

      vi.          .      درءالمفاسد اولى من جلب المصالح فاذاتعارض مفسدة ومصلحة قدم دفع المفسدة غالبا
“Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada mendapatkan kemaslahatan, dan apabila berlawanan antara mafsadah dan maslahah maka yang didahulukan adalah menolak mafsadahnya” (as-Suyuthi, TT:62)
Kaidah tersebut diilhami oleh hadits nabi SAW:
 اذاامرتكم بامرفأ توا مااستطعتم واذانهيتكم عن شئ فاجتنبوه
“Apabila aku telah memerintahkanmu dengan suatu perintah maka kerjakanlah perintah itu semampumu, tetapi jika aku telah melarang padamu tentang sesuatu maka jauhilah”.(HR. Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah)"
Misalnya seseorang diprintahkan shalat dalam keadaan berdiri, namun ia tidak mampu melaksanakannya, maka shalat itu dapat dikerjakan dengan duduk atau berbaring. Menolak madharat didahulukan karena kerusakan akan berakibat pada hilangnya manfaat. Misalnya minum khomr itu disamping ada madharatnya merusak akal dan menghambur-hamburkan uang sedang manfaatnya untuk menguatkan badan , walaupun demikian maka yang dimenangkan adalah menolak kerusakannya.[12]

    vii.          الضرار لايزال بالضرر “kemadharatan itu tidak bisa dihilangkan dengan kemadhratan yang lain” 
Maksud kaedah itu adalah kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan cara melakukan kemudharatan lain yang sebanding keadaannya. Misalnya, seseorang debitor tidak mau membayar utangnya padahal waktu pembayaran sudah habis. Maka dalam hal ini tidak boleh kreditor mencuri barang debitor sebagai pelunasan terhadap hutangnya. Contoh lain seorang dokter tidak boleh melakukan donor darah dari satu orang ke orang lain jika hal itu menyebabkan si pendonor menderita sakit lebih parah dari yang menerima donor.[13]

  viii.           اذا تعارض مفسدتان روعى اعظمهما ضررا بارتكاب اخفِّهما“Apabila dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar madharatnya dengan memilih yang lebih ringan madharatnya”
Misalnya diperbolehkan mengadakan pembedahan perut wanita yang mati jika dimungkinkan bayi yang dikandungnya dapat diselamatkan. Demikian juga boleh shalat denga bugil jika tidak ada alat penutup sama sekali.[14]

      ix.           الحاجة العا مة اوالخاصة تنزل منزلة الضرورة“Kebutuhan umum atau khusus dapat menduduki tempat Dharar” Kaidah ini menunjukkkan bahwa keringanan itu tidak hanya berlaku bagi kemadharatan, baik kebutuhan umum maupun khusus, sehingga dapat dikatakan bahwa keringanan itu diperbolehkan karena kebutuhan sebagaimana kebolehan keringanan atas kemadharatan, karena itu hajat itu hampir sama kedudukannya dengan mudharat.
Misalnya, pada dasarnya transaksi jual beli diharuskan terpenuhi semua rukun dan syaratnya, namun untuk mempermudah transaksi tersebut maka diperbolehkan akad salam (pesanan) walaupun pada dasarnya hal itu tidak mengikuti hukum asal.

PENUTUP
Dari penjelasan diatas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa pemberlakuan kaidah fiqhiyah yang berkenaan dengan kemadlaratan hanya bisa dilakukan jika kemadlaratan tersebut menyangkut lima hal, yaitu; agama, jiwa, akal, keturunan, kehormatan/harta, sehingga tidak disalah gunakan hanya sekedar mencari kemudahan. Dengan memahami fungsi dari kaidah tersebut kita tidak hanya memberikan hukum larangan tapi juga mencoba memberikan solusi yang dapat memberikan manfaat dan mengurangi kemadlaratannya.

DAFTAR PUSTAKA
Drs. H.Abdul mudjib. Kaidah-kaidah ilmu fiqh. Jakarta pusat.: Kalam mulia,1996.
Ibnu Nujaim, Al-Ashbah wan Nadlair, Beirut, Darul Kutub Al-ilmiyah,1999.
Muchlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah, Jakarta: PT RajaGrafindo persada, 2002
Abdul hamid hakim, as-Sullam, juz II, Jakarta: maktabah as-sa’diyah putra.



[1] Muchlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah, (Jakarta: PT RajaGrafindo persada, 2002), hal.132
[2] Abdul hamid hakim, as-Sullam, juz II, Jakarta: maktabah as-sa’diyah putra, hlm 59
[3] Op.cit, Muchlis Usman. Hal 133.
[4] Al-An’am 119
[5] Al-Baqarah 173.
[6] Op.cit, Muchlis Usman. Hal 134.
[7] Ibnu Nujaim, Al-Ashbah wan Nadlair, Beirut, Darul Kutub Al-ilmiyah,1999, hal 73.
[8] Ibid, Ibnu Nujaim, hal 73.
[9] Drs. H.Abdul mudjib. Kaidah-kaidah ilmu fiqh. Jakarta pusat.: Kalam mulia. 1996.  Hal 43.
[10] Ibid, Ibnu Nujaim, hal 74.
[11] Op.cit, Muchlis Usman. hal 136.
[12] Op.cit, Muchlis Usman. hal 137.
[13] Op.cit, Muchlis Usman. hal 138.
[14] Op.cit, Muchlis Usman. hal 138.

No comments:

Post a Comment