Oleh: Choirul Anwar, S.Th.I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Qawaidul fiqhiyah
(kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua khususnya bagi yg
ingin memahami fiqh secara mendalam. Banyak dari kita yang kurang mengerti
bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu Qawaidul fiqhiyah.
Dengan menguasai
kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqh,
karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih
arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus,
adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di
dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan diharapkan
mampu mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang
dalam masyarakat.
Pada kaidah keempat, ad-Dhararu yuzaalu yang
berarti kemadlaratan harus dihilangkan. Kita sebagai umat muslim tidak boleh
membuat kerusakan di muka bumi ini, sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan. Pada kaidah ini terdapat banyak masalah
hukum fiqh yang menyangkut didalamnya baik itu didalam muamalat, pada bagian
jinayat maupun pada bagian munakahat. Untuk itu kemadlorotan itu membolehkan
terhadap hal hal yang dilarang namun ada batasan-batasan sendiri yang perlu
diperhatikan. Sehingga manusia mempunyai takaran atau batasan dalam memutuskan
sesuatu hal disertai dengan kaidah hukumnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa teks kaidah dan
dasar-dasar nash yang berhubungan dengan kondisi madlarat?
2. Apa perbedaan
antara masyaqqah dan madlarat ?
3. Apa yang termasuk
dalam kaidah-kaidah mengenai kondisi madlarat ?
C. Tujuan
1.Untuk
mengetahui kaidah kubro dan dasar-dasar nash yang berhubungan dengan
kondisi madlarat.
2. Untuk mengetahui
perbedaan antara masyaqqah dan madlarat
3. Untuk
mengetahui kaidah-kaidah cabang mengenai kondisi madlarat.
PEMBAHASAN
1.
Teks Kaidah, Dasar-Dasar Nash
Ad-Dhararu
Yuzalu, kemadlarata
harus dihilangkan. Maksud dari kaidah “ad-Dhararu
Yuzalu” adalah kemudharatan/bahaya harus dihilangkan.
Jadi konsepsi kaidah ini memberikan pengertian bahwa manusia harus dijauhkan
dari idhrar (tindak menyakiti), baik oleh dirinya maupun orang
lain, dan tidak semestinya ia menimbulkan bahaya (menyakiti) pada orang lain.
Dharar secara etimologi adalah berasal dari kalimat
"adh Dharar" yang berarti sesuatu yang turun tanpa ada yang dapat
menahannya. Sedangkan Dharar secara terminologi menurut para ulama ada beberapa
pengertian diantaranya adalah:
1. Dharar ialah
posisi seseorang pada suatu batas dimana kalau tidak mau melanggar sesuatu yang
dilarang maka ia dalam bahaya. hal seperti ini memperbolehkan ia melanggarkan
sesuatu yang diharamkan dengan batas batas tertentu.
2. Abu Bakar Al
Jashas, mengatakan “Makna Dharar disini adalah ketakutan seseorang pada bahaya
yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota badannya karena ia tidak makan”.
3. Menurut
Ad Dardiri, “Dharar ialah menjaga diri dari kematian atau dari kesusahan yang
teramat sangat”.
4. Menurut
sebagian ulama dari Madzhab Maliki, “Dharar ialah mengkhawatirkan diri dari
kematian berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan”.
5. Menurut Asy
Suyuti, “Dharar adalah posisi seseorang pada sebuah batas dimana kalau ia tidak
melakukan sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau nyaris binasa.
Jadi, Dharar
disini menjaga jiwa dari kehancuran atau
posisi yang sangat mudharat sekali, maka dalam keadaan seperti ini kemudaratan
itu membolehkan sesuatu yang dilarang.
Berdasarkan
pendapat para ulama di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Dharar adalah
kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak
diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan
manusia.
Kaidah ini
menunjukkan bahwa kemadharatan itu telah terjadi atau akan terjadi, dengan demikian
setiap kemadharatan memang harus dihilangkan.
Dasar
dari kaidah ini adalah firman Allah dalam surat al-A’raf ayat 7: 56
قال تعالى: وَلاَ تُفْسِدُواْ فِي الأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا
وَادْعُوهُ خَوْفاً وَطَمَعاً إِنَّ رَحْمَتَ اللّهِ قَرِيبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِين
56.
dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah)
memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima)
dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada
orang-orang yang berbuat baik.
Surat al-Qashash ayat 77:
قال تعالى: وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ
الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
77.
dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan)
duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat
baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
لا ضرر ولا ضرار tidak boleh membuat
kerusakan pada diri sendiri serta membuat kerusakan pada orang lain (HR. Ahmad
dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas).[1]
Masalah-masalah yang dapat mempergunakan kaidah ini banyak sekali,
diantaranya: khiyar, hudud, kafarat, memilih pemimpin, dan lain sebagainya.[2]
2. Perbedaan antara
masyaqqah dan madlarat.
1. Masyaqqah adalah suatu kesulitan yang menghendaki adanya kebutuhan
(hajat) tentang sesuatu, dan jika tidak terpenuhi tidak akan mempengaruhi
eksistensi manusia, sedang madlarat adalah kesulitan yang sangat menentukan
eksistensi manusia, karena jika tidak terselesaikan akan mengancam agama, jiwa,
nasab, harta, serta kehormatan manusia.
2. Masyaqqat waktu terjadinya relative lama dan bias terjadi
terus-menerus, sedangkan madlarat relative singkat
3. Masyaqqat solusi
alternativenya banyak, sedangkan madlarat
hanya ada satu
4. Dengan adanya Masyaqqat akan mendatangkan kemudahan dan adanya madlarat akan ada penghapusan hukum.
Dengan demikian adanya Rukhsoh (keringanan) dan penghapusan Dharar akan
mendatangkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia, dan dalam konteks ini
keduanya tidak mempunyai perbedaan.[3]
3.
Kaidah-kaidah mengenai
kondisi madlarat.
i.
الضرورات
تبيح المحظورات “Kemadlaratan-kemadlaratan itu dapat memperbolehkan
keharaman.
قال تعالى: وَمَا لَكُمْ أَلَّا تَأْكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ ۗ وَإِنَّ كَثِيرًا لَيُضِلُّونَ بِأَهْوَائِهِمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِالْمُعْتَدِينَ
119. mengapa
kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah
ketika menyembelihnya, Padahal Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu
apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. dan
Sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang
lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih
mengetahui orang-orang yang melampaui batas.[4]
قال
تعالى: إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ
وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ ۖ فَمَنِ
اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
173.
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan
binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. tetapi
Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.[5]
Melihat ayat diatas, tidak semua keterpaksaan itu membolehkan yang
haram, akan tetapi terdapat batasan-batasan tertentu. Pembolehan terhadap
larangan ini dilakukan karena ditakutkan jika tidak dilakukan akan mengancam
eksistensi manusia yang terkait dengan panca tujuan, yaitu memelihara agama,
jiwa,akal,keturunan dan kehormatan atau harta.[6]
Beberapa contoh dalam kasus ini seperti memakan bangkai, minum
khamr,kufur untuk berbohong. Akan tetapi tetapi untuk mayat para nabi tetap
tidak diperbolehkan dengan alasan menjaga kehormatan para nabi lebih utama
dalam syariat dibandingkan kebutuhan menghilangkan madlarat.[7]
ii.
ما أبيح للضرورة يقدر بقدرها “ Apa yang diperbolehkan karena darurat maka diukur
menurut kadar kemadlaratannya”
Contoh, kebolehan memakan bangkai bagi
seseorang hanya sekadar dalam ukuran untuk mempertahankan hidup, tidak boleh
melebihi.[8] Dalam
hubungannya dengan kaidah ini, perlu dijelaskan lebih lanjut bahwa kebutuhan
seseorang itu ada 5 (tingkat),[9]
yaitu :
1. Tingkat darurat, tidak boleh tidak, seperti orang yang sudah sangat
lapar, dia tidak boleh tidak harus memakan apa yang dapat dimakan, sebab kalau tidak,
dia akan mati atau hampir mati.
2. Tingkat hajat, seperti orang yang lapar,. Dia harus makan, sebab
kalau dia tidak makan dia akan payah, walaupun tidak membahayakan hidupnya.
3. Tingkat manfaat, seperti kebutuhan makan yang bergizi dan memberikan
kekuatan, sehingga dapat hidup wajar.
4. Tingkat zienah, untuk keindahan dan kemewahan hidup seperti makan
makanan yang lezat, pakaian yang indah, perhiasan dan sebagainya
5. Tingkat fudlul, berlebih-lebihan, misalnya banyak makanan yang
syubhat atay yang haram dan sebagainya.
iii.
ما جاز لعذر بطل بزواله “Apa yang dizinkan karena adanya uzur, maka
keizinan itu hilang dengan hilangnya uzur. Misal diperbolehkannya tayamum bagi
yang sakit, maka ketika sembuh kebolehan itu hilang, atau karena tidak ada air,
maka kebolehan itu hilang jika menemukan air.[10]
iv.
الميسورة لا يسقط بالمعسور “ Kemudahan itu tidak dapat digugurkan dengan
kesulitan” Kaidah tersebut menurut
Ibnu Subki diambil dari sabda Nabi SAW.
إذا أمرتكم بأمر
فأتوا منه ماستطعتم
Apabila aku perintahkan kalian dengan sesuatu maka lakukanlah perintah
itu semampumu” misal seorang yang buntung maka cara wudlunya cukup membasuh apa
yang ada.[11]
v.
الاضطرار لا يبطل حق الغبر “ Keterpaksaan itu dapat membatalkan hak
orang lain”
Misalnya
seorang dalam keadaan lapar, dan dia akan mati jika tidak makan, dan jalan
satu-satunya adalah mencuri, maka dalam perkara ini tidak diperbolehkan karena
pengguguran terhadap keterpaksaan ini menganggu hak orang lain.
vi.
. درءالمفاسد اولى من جلب المصالح فاذاتعارض مفسدة ومصلحة قدم دفع
المفسدة غالبا
“Menolak
kerusakan lebih diutamakan daripada mendapatkan kemaslahatan, dan apabila
berlawanan antara mafsadah dan maslahah maka yang didahulukan adalah menolak
mafsadahnya” (as-Suyuthi, TT:62)
Kaidah tersebut
diilhami oleh hadits nabi SAW:
اذاامرتكم بامرفأ توا مااستطعتم واذانهيتكم عن شئ فاجتنبوه
“Apabila aku
telah memerintahkanmu dengan
suatu perintah maka kerjakanlah perintah itu semampumu, tetapi jika aku telah
melarang padamu tentang sesuatu maka jauhilah”.(HR. Bukhari-Muslim dari Abu
Hurairah)"
Misalnya
seseorang diprintahkan shalat dalam keadaan berdiri, namun ia tidak mampu
melaksanakannya, maka shalat itu dapat dikerjakan dengan duduk atau berbaring.
Menolak madharat didahulukan karena kerusakan akan berakibat pada hilangnya manfaat.
Misalnya minum khomr itu disamping ada madharatnya merusak akal dan
menghambur-hamburkan uang sedang manfaatnya untuk menguatkan badan , walaupun
demikian maka yang dimenangkan adalah menolak kerusakannya.[12]
vii.
الضرار لايزال بالضرر “kemadharatan itu tidak bisa dihilangkan
dengan kemadhratan yang lain”
Maksud kaedah
itu adalah kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan cara melakukan
kemudharatan lain yang sebanding keadaannya. Misalnya, seseorang debitor tidak
mau membayar utangnya padahal waktu pembayaran sudah habis. Maka dalam hal ini
tidak boleh kreditor mencuri barang debitor sebagai pelunasan terhadap
hutangnya. Contoh lain
seorang dokter tidak boleh melakukan donor darah dari satu orang ke orang lain
jika hal itu menyebabkan si pendonor menderita sakit lebih parah dari yang
menerima donor.[13]
viii.
اذا تعارض مفسدتان روعى اعظمهما ضررا بارتكاب
اخفِّهما“Apabila
dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar madharatnya
dengan memilih yang lebih ringan madharatnya”
Misalnya diperbolehkan mengadakan pembedahan perut
wanita yang mati jika dimungkinkan bayi yang dikandungnya dapat diselamatkan.
Demikian juga boleh shalat denga bugil jika tidak ada alat penutup sama sekali.[14]
ix.
الحاجة العا مة اوالخاصة تنزل منزلة الضرورة“Kebutuhan
umum atau khusus dapat menduduki tempat Dharar” Kaidah ini menunjukkkan bahwa
keringanan itu tidak hanya berlaku bagi kemadharatan, baik kebutuhan umum
maupun khusus, sehingga dapat dikatakan bahwa keringanan itu diperbolehkan
karena kebutuhan sebagaimana kebolehan keringanan atas kemadharatan, karena itu
hajat itu hampir sama kedudukannya dengan mudharat.
Misalnya, pada dasarnya transaksi jual beli diharuskan terpenuhi semua
rukun dan syaratnya, namun untuk mempermudah transaksi tersebut maka
diperbolehkan akad salam (pesanan) walaupun pada dasarnya hal itu tidak
mengikuti hukum asal.
PENUTUP
Dari penjelasan diatas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa
pemberlakuan kaidah fiqhiyah yang berkenaan dengan kemadlaratan hanya bisa
dilakukan jika kemadlaratan tersebut menyangkut lima hal, yaitu; agama, jiwa,
akal, keturunan, kehormatan/harta, sehingga tidak disalah gunakan hanya sekedar
mencari kemudahan. Dengan memahami fungsi dari kaidah tersebut kita tidak hanya
memberikan hukum larangan tapi juga mencoba memberikan solusi yang dapat
memberikan manfaat dan mengurangi kemadlaratannya.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. H.Abdul
mudjib. Kaidah-kaidah ilmu fiqh. Jakarta pusat.: Kalam mulia,1996.
Ibnu Nujaim, Al-Ashbah wan Nadlair,
Beirut, Darul Kutub Al-ilmiyah,1999.
Muchlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah, Jakarta:
PT RajaGrafindo persada, 2002
Abdul hamid hakim, as-Sullam, juz II, Jakarta: maktabah
as-sa’diyah putra.
No comments:
Post a Comment