Oleh: Hendro Risbiyantoro
Pendahuluan
1.1
Latar Belakang Masalah
Banyak
permasalahan muncul di dalam kehidupan sehari-hari dengan berbagai macam
jenisnya. Dengan adanya permasalahan-permasalahan tersebut, tentunya menuntut
kita untuk mencari jalan ke luar untuk menyelesaikannya. Seperti kita ketahui
adanya kaidah fiqih (qawaid fiqhiyyah) merupakan kaidah yang bersifat umum dan
biasa untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang bersifat praktis dalam
kehidupan sehari-hari. Di dalam pembahasan kali ini, penulis mengkhususkan
pembahasan tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan kaidah fiqih sebagai
jalan keluarnya. Namun tentunya tidak semua kaidah fiqih akan dibahas dalam
makalah ini melainkan salah satu dari kaidah-kaidah yang ada. Makalah ini
ditulis untuk meneruskan pembahasan-pembahasan yang telah dilakukan sebelumnya.
Sebagaimana kita ketahui, ada lima (panca) kaidah yang telah dirumuskan oleh
ulama’-ulama’ ushul. Yaitu “الأمور بمقاصدها” (segala sesuatu tergantung pada
tujuannya), “اليقين لا يزال بالشك” (yakin itu tidak dapat dihiangkan dengan
adanya keraguan), “المشقة تجلب التيسير” (kesulitan itu dapat
menarik kemudahan), “الضرر يزال” (kemudharatan itu harus dihilangkan”, “العادة
محكمة” (adat atau kebiasaan
itu bisa dijadikan hukum.
Salah satu
masalah yang sering muncul dalam kehidupan kita adalah masalah yang berkenaan
dengan keyakinan dan keraguan di dalam memutuskan sesuatu. Sebagai contohnya
adalah ketika kita sedang dalam keadaan berwudlu dalam jangka waktu yang cukup
lama, sehingga kita lupa apakah sudah batal wudlu kita atau belum, makan di
situ ada kaidah fiqhiyyah yang bisa kita pakai. Contoh lain misalkan kita
sedang berada dalam sholat, lantas kita lupa jumlah rekaat shalat pada waktu itu,
apa yang harus kita lakukan? Tentunya apa yang akan kita lakukan harus berdasar
kepada sebuah dalil agar shalat kita tetap sah. Dari sinilah kita akan tahu
akan pentingnya kaidah kedua dari qawaid fiqhiyyah, yaitu “اليقنن لا يزال بالشك”. (yakin itu tidak dapat
dihilangkan dengan adanya keraguan). Lalu bagaimanakan peran kaidah fiqih
tersebut dalam konteks keraguan yang sering terjadi di masyarakat muslim? Kita
akan mengetahuinya dalam pembahasan selanjutnya.
Kaidah-kaidah
fiqih yang ada dalam khazanah keilmuan (qawaid fiqhiyyah) pada dasarnya terbagi
dalam dua kategori. Pertama adalah kaidah fiqih yang hanya diperuntukkan untuk
masalah individu dan masalah ibadah dalam arti hubungan vertikal antara setiap
individu dengan Alla SWT. Kedua, kaidah fiqih yang memang sengaja dimunculkan
untuk menyelesaikan masalah terkait hubungan yang bersifat horizontal antar
manusia itu sendiri selain memang di dalamnya terdapat hubungan vertikal karena
beberapa objek yang menjadi kajian adalah hukum Islam yang tentu saja itu semua
bersumber dari-Nya. Menurut hemat penulis, bahwa kaidah ini sangat penting
untuk dibahas karena merupakan kaidah yang berisi tentang al-yaqin dan
asy-syakk. Imam As-Suyuthi menyatakan: “kaidah ini mencakup semua pembahasan
dalam Fiqih, dan masalah-masalah yang berkaitan dengannya mencapai ¾ dari
subyek pembahasan fiqih”.[1]
Imam Al-Qarafi menambahkan: “dalam kaidah ini seluruh ulama sudah bersepakat
dalam mengamalkannya dan kita harus selalu mempelajarinya”.
Dalam kaitannya
dengan apa yang menjadi pembahasan kita, Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ
النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ
الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ
كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ
لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ،
كَالرَّاعِي يَرْعىَ حَوْلَ الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ، أَلاَ
وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ أَلاَ
وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ
كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ[2]
Yang artinya
adalah: Dari Abu Abdillah Nu’man bin Basyir radhiallahuanhu dia berkata: Saya
mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya yang
halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Diantara keduanya terdapat
perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh orang
banyak. Maka siapa yang takut terhadap syubhat berarti dia telah menyelamatkan
agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka
akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana penggembala yang
menggembalakan hewan gembalaannya disekitar (ladang) yang dilarang untuk
memasukinya, maka lambat laun dia akan memasukinya. Ketahuilah bahwa setiap
raja memiliki larangan dan larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan.
Ketahuilah bahwa dalam diri ini terdapat segumpal daging, jika dia baik maka
baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh,
ketahuilah bahwa dia adalah hati.
Kemudian para
ulama’ mengisyaratkan kepada setiap umat Islam untuk mengerjakan sesuatu yang
sudah pasti dan membuang keragu-raguan, sehingga seakan-akan ulama telah
sepakat tentang keberadaan kaidah, akan tetapi mereka tidak bersepakat dalam
prosedur tata laksana kaidah ini. Kaidah ini menghantarkan kepada kita kepada
konsep kemudahan demi menghilangkan kesulitan yang kadang kala menimpa kepada
kita, dengan cara menetapkan sebuah kepastian hukum dengan menolak
keragu-raguan. Dan telah diketahui akibat dari keragu-raguan adalah adanya
beban dan kesulitan, maka kita diperintahkan untuk mengetahui hukum secara
benar dan pasti sehingga terasa mudah dan ringan dalam menjalankan perintah
Allah dan menjauhi larangan-Nya. Termasuk didalamnya adalah aqidah dan ibadah.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian di atas maka penulis akan membahas kaidah “اليقين
لا يزال بالشك” (Yakin itu tidak dapat
dihilangkan dengan adanya keraguan) menjadi tiga poin sebagai berikut:
1.
Apa yang dimaksud dengan kaidah “اليقين
لا يزال بالشك” (Yakin itu tidak dapat dihilangkan
dengan adanya keraguan)?
2.
Apakah dasar hukum dari kaidah “ اليقين
لا يزال بالشك” (Yakin itu tidak dapat
dihilangkan dengan adanya keraguan)?
3.
Apa sajakah kaidah turunan yang timbul dari kaidah “ اليقين
لا يزال بالشك” (Yakin itu tidak dapat
dihilangkan dengan adanya keraguan)?
1.3
Tujuan
Adapun tujuan
dari penulisan makalah ini adalah:
1.
Pembaca dapat mengetahui secara detail apa yang dimaksud dengan
kaidah “اليقين لا يزال بالشك” (Yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan
adanya keraguan).
2.
Pembaca mengerti dasar hukum dari kaidah “اليقين
لا يزال بالشك” (Yakin itu tidak dapat
dihilangkan dengan adanya keraguan).
3.
Pembaca mengetahui kaidah-kaidah terkait dengan kaidah “اليقين
لا يزال بالشك” (Yakin itu tidak dapat
dihilangkan dengan adanya keraguan).
Pembahasan
2.1 Kaidah
Fiqih Tentang Keyakianan dan Keraguan
Keyakinan dan
keraguan merupakan dua hal yang berbeda, bahkan bisa dikatakan saling
berlawanan. Hanya saja, besarnya keyakinan dan keraguan akan bervariasi
tergantung lemah-kuatnya tarikan yang satu dangan yang lain. Sebelum
menjelaskan kaidah Al Yaqinu la Yuzalu Bi al-Syak ini penulis akan menjelaskan
terlebih dahulu makna Al Yaqinu la Yuzalu Bi al-Syak dari segi bahasa dan dari
segi istilah.
1.
اليقين
(Keyakinan)
Menurut
Bahasa berarti: pengetahuan dan tidak ada keraguan didalamnya.[3]
Ulama sepakat dalam mengartikan Al-Yaqin yang artinya pengetahuan dan merupakan
anonim dari Asy-Syakk.
Sedangkan
menurut istilah ada beberapa pendapat. Menurut Imam Al-Jurjani, Al-Yaqin adalah meyakini sesuatu bahwasanya
“begini” dengan berkeyakinan bahwa tidak mungkin ada kecuali dengan ”begini”
cocok dengan realita yang ada, tanpa ada kemungkinan untuk menghilangkannya”.[4]
As-Suyuthi menyatakan Al-Yaqin adalah ”sesuatu yang tetap dan pasti yang dapat
dibuktikan melalui penelitian dan menyertakan bukti-bukti yang mendukungnya”.[5]
Menurut ulama yang lain, Al-yaqin adalah ”pengetahuan yang bersifat tetap dan
pasti dan dibenarkan oleh hati dengan menyebutkan sebab-sebab tertentu dan
tidak menerima sesuatu yang tidak bersifat pasti”.
2.
الشك
(Keraguan)
Menurut bahasa, as-syak bisa juga dikatakan anonim
dari al-yaqin. Juga bisa diartikan sesuatu yang membingungkan.
Sedangkan menurut istilah ada beberapa pendapat. Menurut
Imam Al-Maqarri Asy-Syakk adalah ”sesuatu yang tidak menentu (meragukan) antara
ada atau tidak ada.[6] Menurut
Imam Al-Jurjani Asy-Syakk adalah ”sesuatu yang tidak menentu (meragukan) antara
sesuatu yang saling berlawanan, tanpa dapat dimenangkan salah satunya”.
Dari
uraian diatas maka dapat diperoleh pengertian secara jelas bahwa sesuatu yang
bersifat tetap dan pasti tidak dapat dihapus kedudukannya oleh keraguan. Sehingga
al-yaqin bukan termasuk sesuatu yang terbebankan. Dan apabila ada sebuah dalil
yang memberikan pembebanan kepada al-yaqin, maka harus sesuai dengan sendi
agama. Contoh: hukum asal air adalah suci, baik air hujan, sungai, laut,
sumber, danau. Hukum asal air telah pasti suci dan tidak ada sesuatu yang
meragukan hukum asal air tersebut.
2.2
Dasar Hukum Kaidah “ اليقين
لا يزال بالشك”
Dasar-dasar
kaidah tentang keyakinan dan keraguan berdasarkan kepada Al-Qur-an, Hadits Nabi
Muhammad saw, Ijma para Sahabat, dan dalil Aqli yang disepakati jumhur Ulama.
Berikut adalah penjelasannya :
Firman
Allah SWT :
وَإِن تُطِعْ
أَكْثَرَ مَن فِي الأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللّهِ إِن يَتَّبِعُونَ إِلاَّ
الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلاَّ يَخْرُصُونَ
Dan
jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka
akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti
persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).
Dusta
mereka di sini adalah seperti menghalalkan memakan apa-apa yang telah
diharamkan Allah dan mengharamkan apa-apa yang telah Dihalalkan Allah,
menyatakan bahwa Allah mempunyai anak.
وَمَا
يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّاإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا إِنَّ
اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ
[7]
Artinya: Dan kebanyakan mereka tidak
mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak
sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
apa yang mereka kerjakan.
Di sini dijelaskan bahwa
sesuatu yang diperoleh dengan prasangkaan sama sekali tidak bisa mengantikan
sesuatu yang diperoleh dengan keyakinan.
Hadits
Rasulullah SAW:
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا
وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ
شَيْءٌ أَمْ لَا فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ
يَجِدَ رِيحًا[8]
“Apabila
salah seorang diantara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu dia
kesulitan menetukan apakah sudah keluar sesuatu (kentut) ataukah belum, maka
jangan ia keluar dari masjid (membatalkan sholatnya) sampai dia mendengar suara
atau mencium bau.”
Menurut
al-Nawawi, hadis ini merupakan salah satu landasan dasar yurisprudensi Islam
yang kemudian dijadikan fundamen terbangunnya kaidah-kaidah fiqh. Dari hadis
ini pula terbangun konsep serta metodologi-analitis mengenai status objek,
yakni dengan cara melihat status hukum asalnya yang tidak akan berubah hingga
ada unsur eksternal yang valid dan mampu mempengaruhi keasliannya. Secara
eksplisit, hadis ini memang berbicara dalam konteks seseorang yang ragu apakah
telah merasakan keluarnya angin (kentut) atau tidak. Dalam hal ini, Nabi
menegaskan, keraguan yang baru timbul itu tidak dapat mempengaruhistatus
wudhunya. Kecuali jika memang telah benar-benar mendengar bunyi atau mencium
bau angin tersebut.
Dalam
hadits lain dinyatakan:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ
الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا
شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلَاثًا أَمْ
أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ
سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلَاتَهُ
وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا لِأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَان[9]
“Apabila salah
seorang diantara kalian ragu dalam shalatnya, apakah dia telah mencapai tiga
atau empat rakaat? Maka hendaklah dia membuang jauh-jauh keraguan itu dan
berpeganglah pada keyakinannya, kemudian sujud (sujud sahwi)-lah dua kali
sebelum salam. Jika (kenyataannya) dia shalat sampai lima raka’at, maka
shalatnya akan akan genaplah shalatnya. Namun bila –ternyata- empat rakaat,
maka dua sujudnya akan membuat malu setan”
Hadis
ini berbicara mengenai keraguan yang terjadi pada jumlah bilangan rakaat.
Apabila dalam shalat timbul keraguan mengenai jumlah bilangan raka’at, maka
yang di jadikan pedoman adalah bilangan minimal. Sebab bilangan inilah yang di
yakini. Karena apabila yang dipilih adalah bilangan yang lebih besar , maka ada
kemungkinan akan salah perhitungan. Tapi jika jumlah minimal yang menjadi
pilihan sebagai landasan untuk meneruskan shalat, kemungkinan salahnya tipis.
2.3
Kaidah-kaidah Terkait dengan Kaidah “اليقين لا يزال بالشك”
Muhammad
Shidqi Ibn Ahmad al-Burnu menjelaskan bahwa kaidah al-yaqin la yazalu bi
al-syak adalah bersumber dari Abu Hanifah. Zaid al-Dabusi dalam kitab Ta’sis
al-Nazhar menyatakan bahwa: “Menurut Abu Hanifah, sesuatu yang ditetapkan dengan.
cara penelitian dari segala segi dan meyakinkan dari seluruh seginya, hukumnya
ditetapkan berdasarkan penelitian tersebut sebelum terdapat bukti kuat yang
mengingkarinya.” Adapun kaidah-kaidah terkait dengan kaidah “اليقين
لا يزال بالشك” adalah:
1.
الأصل بقاء ما كان على ماكان “Hukum asal adalah tetapya
apa yang telah ada atas apa yang telah ada”. Contohnya: Jika ada dua orang yang
mengadakan utang piutang, dan keduanya berselisih apakah hutangnya sudah
dibayar apa belum sedangkan pemberi hutang itu bersumpah bahwa hutang belum
dilunasi, maka sumpah pemberi hutang itu akan dimenangkan karena yang demikian
itu yang benar menurut kaidah di atas. Hal demikian itu bisa berubah jika orang
yang berhutang mampu memberikan bukti berupa kwitansi atau catatan lainnya.
2.
الأصل براءة الذمة “Hukum yang asal adalah bebasnya seseorang dari segala
tanggungan”. Contohnya: Jika terjadi pertengkaran antara tertuduh dan penuduh,
selama penuduh tidak ada bukti, maka yang dimenangkan adalah pengakuan tertuduh
karena pada dasarnya ia bebas dari segala beban atau tanggungjawab.
3.
من شك أفعل شيأ أم لا فالأصل أنه لم يفعله “Barangsiapa
yang ragu-ragu apakah ia telah melakukan sesuatu atau belum, maka hukum yang
terkuat adalah ia belum melakukannya”. Contohnya: Ada seseorang bingung dan
ragu terkait masalah wudlu, apakah dia sudah berwudlu atau belum. Maka dalam
hal ini, dia dianggap belum berwudlu, karena belum wudlu merupakan hukum asal.
4.
من تيقن الفعل وشك في القليل أو الكثير حمل على القليل
لأنه المتيقن “Barangsiapa yang yakin melakukan pekerjaan
tetapi ragu-ragu tentang sedikit banyaknya perbuatan, maka yang dianggap adalah
yang sedikit karena hal itu yang meyakinkan”. Contohnya: Ada seseorang yang
shalat, dia lupa sudah mengerjakan 3 rekaat apa 4 rerkaat dalam shalatnya, maka
yang dianggap adalah yang 3, karena yang 3 itulah yang diyakini sudah
dilaksanakan sedangkan 4 belum tentu.
5.
إن ما ثبت بيقين لا يرتفع إلا بيفين “Sesungguhnya sesuatu yang berdasar pada
keyakinan, tidak dapat dihilangkan kecuali dengan yang yakin pula”.
Contohnya: Jika ada imam yang ragu dalam
blangan rekaatnya, sudah sampai 3 atau 4. Ketika dia yakin baru sampai 3 dan
ingin berdiri, akan tetapi makmum mengingatkan dengan kalimat tasbih, maka yang
dianggap adalah yang empat, karena sudah ada dalil atau bukti dari makmum yang
lebih banyak.
6.
الأصل العدم
“Asal dari segala hukum adalah tidak adanya beban”. Contohnya: ketika terjadi
perselisihan antara penjual dan pembeli tentang kerusakan barang, dalam hal ini
penjual dimenangkan, karena barang dagangan dijual dalam keadaan baik atau
telah dicoba sebelumnya oleh pembeli.
7.
الأصل في كل حادث تقديره بأقرب زمن “Asal dari kasus mengenai
perkiraan waktu adalah dilihat dari yang terdekat waktunya”. Contohnya: Ada
seseorang wudlu dengan air sumur dan melaksanakan shalat. Setelah shalat ia
melihat ada bangkai kambing di dalam sumur itu. Maka dia tidak wajib mengkada’
shalatnya. Karena yang diyakini adalah dia berwudlu dengan air suci. Masa ia
berwudlu dan masa ia melihat bangkai kambing lebih dekat masa ia berwudlu.
8.
الأصل في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم “Hukum asal sesuatu adalah kebolehan,
sehingga terdapat bukti/ dalil yang mengharamkan”. Contohnya: Apa saja yang ada
di bumu ini adalah halal, sampai adanya dalil yang menunjukkan akan
keharamannya, maka dia akan menjadi haram.
9.
الأصل في العبادات التوفيق والإتباع “Hukum asal dari ibadah adalah mengikuti
ajaran yang ditetapkan”. Contohnya: Jumlah rekaat dalam shalat maghrib itu 3,
maka tidak diperbolehkan menambahnya menjadi empat.
10.
الأصل في الإبضاء التحريم “Hukum asal tentang seks adalah haram”. Pernyataan ini
tentunya akan menjadi halal ketika adanya jalan yang bisa menjadikannya halal,
yaitu dengan menikah.
11. الأصل في
الكلام الحقيقة “Hukum asal dalam memahami kalimat adalah
hakikat”. Cotohnya: Ada orang tua yang sebelum meninggal ia mengatakan ingin
memberikan hadiah kepada seseorang, maka hal tersebut bukan dianggap wasiat,
karena makna yang asal adalah hakikat pemberian, bukan arti dibalik
pemberiannya itu.[10]
Penutup
Keyakinan dan
keraguan merupakan dua hal yang berbeda, bahkan bisa dikatakan saling
berlawanan. Hanya saja, besarnya keyakinan dan keraguan akan bervariasi
tergantung lemah-kuatnya tarikan yang satu dangan yang lain. Dalil ‘aqli (akal)
bagi kaidah keyakinan dan keraguan adalah bahwa keyakinan lebih kuat dari pada
keraguan, karena dalam keyakinan terdapat hukum qath’i yang meyakinkan. Atas
dasar petimbangan itulah bisa dikatakan bahwa keyakinan tidak boleh dirusak
oleh keraguan. Dari pembahasan tentang kaidah keyakinan tidak bisa hilang
dengan adanya keraguan ini, oleh karenanya pemakalah mengambil kesimpulan bahwa
apabila kita telah yakin terhadap sesuatu dalam hati, maka hal itu lah yang
berlaku, kecuali memang ada dalil atau bukti lain yang lebih kuat atau
meyakinkan sehingga dapat membatalkan keyakinan kita itu. Karena sesuai dengan
maknanya yakin itu adalah kemantapan hati atas sesuatu. Intinya rasa ragu itu
tidak bisa menghapuskan keyakinan kita.
Referensi
Al-qur’an al-karim dan
terjemahannya.
As-Suyuthi,
Jalaluddin Abdurrahman. Al-Asybah Wa An-Nadzair fi qawaid wa furu’ fiqh
Asy-Syafi’iyyah, Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, t.th.
Asjmuni
A. Rahman, Kaidah-kaidah Fiqih (Qawai’idul Fiqhiyyah), Jakarta: Bulan Bintang,
1976.
Hadits
Digital (online) 9 imam
Internet:
http://semuaberbagiilmu.blogspot.com/2014/09/qawaid-fiqhiyyah-keyakinan.html
Mandzur,
Ibnu, Lisanul Arob, Beirut: Darulkhottob, 2005.
M.
Ab Husain, Ya’qub Abdulwahhab. Kaidah Al-Yaqin La Yuzalu Bi Asy-Syakk. Riyadh:
Maktabah Ar-Rasyd, t.th.
Usman,
Mukhlis. Kaidah-kaidah Ushuliyyah dan Fiqhiyyah Pedoman Dasar dalam Istimbath
hukum Islam. Jakarta: Raja Grafindo. 1999.
[1]
Assuyuti, Al-asybah Wan Nadzair, hal.55
[2]
Hadits riwayat Imam Bukhari, Shahih Bukhari, juz 1, hal 28
[3]
Ibnu Mandzur, Lisanul ‘Arab, juz 13 hal. 457
[5]
As-Suyuthi, Al-Asybah Wa An-Nadzair, hal. 58
[6]
Al-Maqarri, Al-misbah Al-munir, juz 1, hal. 320
[7]
Surat Yunus, ayat 36
[8]
Hadits riwayat Muslim no 362
[9]
Hadits riwayat Muslim, no. 571
[10]
Muslih Usman, Kaidah-kaidah Usuliyyah dan Fiqhiyyah, hal. 122
No comments:
Post a Comment