Oleh: Ahmad Dzikri Alhikam[2]
PENDAHULUAN
Keinginan
hati untuk melakukan suatu pekerjaan, itulah makna singkat dari pada niat. Niat
merupakan suatu hal yang amat krusial dalam manjalankan sebuah pekerjaan,
bahkan dalam setiap pembahasan yang berkenaan dengan ibadah, baik itu dalam
bermu’amalah kepada Allah SWT maupun mu’amalah dengan sesama manusia, niat
selalu diikut sertakan meskipun sesungguhnya niat itu sendiri merupakan hal
yang abstrak yang mana hanya orang yang mengerjakannya dialah yang mengetahui
serta mengontrol niat dan maksud dari pekerjaan atau ibadah yang ia lakukan.
Sampai-sampai Rasulullah SAW mengabarkan bahwa segala amal perbuatan itu
tergantung pada niat si pelaku. Maka diterima dan ditolaknya suatu pekerjaan
oleh Allah SWT semua tergantung pada niat pelakunya. Tidak sedikit juga
orang-orang yang berselisih dalam suatu permasalahan karena ada kesalah fahaman
antara niat dan tingkah laku dalam bermu’amalah dengan sesama manusia. Oleh
karena itu Islam memberikan perhatian yang khusus terhadap masalah ini dan juga
tidak sedikit para ulama baik salaf maupun kholaf yang memberikan perhatian
cukup besar terhadap perkara niat ini. Sebut saja Imam Abu-l-‘Abbas Ahmad
bin Idris Al-Qorrofiy, beliau telah mengarang kitab khusus yang bernama Al-Umniyyah fi Idraaki
An-Niyyah, ini menunjukan bahwa niat tidak bisa dipandang sebelah mata. Dan
seseorang akan menyadari urgensi niat bila ia mengerti betapa besar fungsi dari
pada niat ini.
Niat
memiliki hubungan yang sangat erat khusunya dalam menjalankan ibadah dalam
keseharian kita. Mengingat urgensinya banyak ulama yang mengawali berbagai buku
serta karangannya dengan hadits mengenai niat. Bisa kita lihat Imam Bukhari
menempatkan hadits tentang niat di awal kitab shahihnya, Imam Nawawi
menempatkan hadits tentang niat pada urutan pertama dalam 3 karangannya yaitu Riyadlus
Shalihin, Al-Adzkar, dan Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Hadits tentang niat
sebagaimana yang dikatakan Ibnu Daqiq al-Ied dalam syarh Al-Arba’in juz 1
halaman 9 : “Hadits ini merupakan setangah dari ajaran Islam, karena agama
bertumpu pada dua hal lahiriah (amal pekerjaa) dan bathiniyah (niat)”. Imam
Ahmad bin Hanbal dan Imam Syafi’i berkata, “Hadits ini mencakup sepertiga ilmu,
karena perbuatan manusia terkait dengan tiga hal: hati, lisan, dan anggota
badan, sedangkan niat dalam hati merupakan satu diantara tiga hal tersebut”. Maka
sudah jelas jika bab niat menjadi salah satu pembahasan pokok dan menjadi salah
satu kaidah dari pada panca kaidah asasiyyah dan dapat menghimpun beberapa
kaidah fiqhiyyah yang berada dibawahnya. Hal ini telah dikodifikasikan oleh
para ulama ushul menjadi salah satu kaidah yang baku bernama Al-Umuru bi
Maqashidiha. Para ulama ushul melalui metode istinbathnya semula menamakan
panca kaidah asasiyyah dengan kaidah ushul, yakni kaidah pokok dari segala
kaidah fiqhiyyah yang ada. Setiap permasalahan furu’iyyah dapat diselesaikan
dengan kalimat kaidah tersebut walaupun seorang mujtahid belum sempat
memperhatikan dasar-dasar hukum secara tafshili.
1.1 Latar Belakang
Islamic
legal maxim atau yang akrab disebut dengan al-Qawaid al-Fiqhiyyah memiliki lima
kaidah asasiyyah (panca kaidah) sebagaimana para ulama ushul telah membaginya,
kaidah-kaidah berkenaan dengan niat dan tujuan, kaidah yang berkenaan dengan
keyakinan (al-yaqin), kaidah-kaidah yang berkenaan dengan kondisi
menyulitkan (al-masyaqqoh), kaidah-kaidah yang berkenaan dengan kondisi
madharat (al-mahdzurat), dan kaidah-kaidah yang berkenaan dengan adat, tradisi
dan kebiasaan.
Salah
satu pembahasan dalam al-qawaid al-asasiyyah adalah hal yang berkenaan dengan
niat (al-umuuru bimaqashidihaa) sebagaimana dikatan oleh Imam al-‘Ala’i
:
وقاعدة
: " الأمور بمقاصدها " واحدة من القواعد الفقهية الخمس التي يرجع إليها
أكثر مسائل الفقه
“Dan
kaidah al-umuuru bimaqashidihaa merupakan salah satu kaidah fiqhiyyah
yang mana kebanyakan masalah fiqih kembali dan merujuk kepadanya
[3]“
Maka
pada makalah ini penulis akan membahas kaidah pertama dari kaidah asasiyyah
yang mana dibawahnya telah bercabang kaidah-kaidah fiqhiyyah berserta
dasar-dasar nash yang berkaitan dengan masalah ini, eksistensi niat dalam
kehidupan sehari hari, dan urgensinya.
1.2 Rumusan Masalah
Pada makalah ini penulis meringkas beberapa
poin untuk memberikan gambaran secara ringkas dan memfokuskan kepada beberapa
pokok permasalahan sebagai berikut :
1.
Dasar-dasar nash (dalil) tentang niat.
2.
Eksistensi niat dan urgensinya dalam kehidupan
sehari-hari.
3.
Salah satu kaidah asasiyyah (al-umuuru
bimaqaashidiha).
A.
Makna kaidah al-umuuru bimaqaashidiha.
B.
Korelasinya dengan hadits Innamal ‘amaalu
bi anniyyat.
C.
Kedudukannya dalam pandangan para fuqoha.
D.
Hikmah disyari’atkannya niat.
4.
Kaidah-kaidah fiqhiyyah yang terhimpun dibawah
kaidah al-umuuru bimaqaashidih).
1.3 Tujuan
Berdasarkan
rumusan masalah diatas, maka penulisan makalah ini memiliki tujuan sebagaimana uraian
dibawah ini:
1.
Pembaca dapat mengetahui dasar-dasar nash
(dalil) yang berkenaan dengan niat.
2.
Pembaca memahami eksistensi niat dan
urgensinya.
3.
Pembaca dapat mengerti salah satu dari kaidah
asasiyah (al-umuuru bimaqaashidiha) berserta hal-hal yang bersangkutan dengannya.
4.
Pembaca dapat mengetahui kaidah-kaidah
fiqhiyyah yang terbentuk dari salah satu kaidah asasiyyah ini.
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Dasar-dasar nash (dalil) tentang niat
Dalam
Al-Qur’an telah banyak disebutkan nash (dalil) yang menyinggung perkara niat
diantaranya adalah Firman Allah SWT :
وماأمروا إلا ليعبد الله مخلصين له الدين حنفاء (البينة : 5)
”Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah SWT
dengan memurnikan kepada-Nya dalam agama yang lurus. (Q.S Al-Bayyinah : 5)”
و من يرد ثواب الدنيا نؤته منها و من يرد ثواب الآخرة نؤته منها (ال عمران
: 145)
”Barang siapa yang menghendaki
pahala dunia niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa
yang menghendaki pahala akhirat niscaya Kami berikan pula pahala akhirat itu.
(Q.S Ali ‘Imran : 145)”
Adapun
dari hadits nabi Muhammad SAW adalah sebagai berikut:
عن عمر بن
الخطاب، قال : سمعت رسول الله يقول: "إنما الأعمال بالنياتِ، وإنما لكل امرئٍ
ما نوى، فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله، و من كانت هجرته
إلى دنيا يصيبها، أو امرأة يتزوجها، فهجرته إلى ما هاجر إليه"[4]
Dari Umar bin Khattab telah berkata: saya mendengar
Rasulullah SAW bersabda: ”Sesungguhnya segala sesuatu itu tergantung pada
niat, dan seseorang akan mendapatkan seseuatu apa yang ia niatkan, maka barangsiapa
hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya,
dan barang siapa hijrahnya agar mendapatkan dunia, atau supaya bisa menikahi
wanita, maka hijrahnya (akan bernilai) seperti apa yang ia niatkan”
“Niat seorang mu’min itu lebih baik dari pada berbuatan (orang
kafir)”
وعند البيهقي في سننه : لا عمل لمن لا نية له (رواه أنس
بن مالك)
Dalam sunan Al-Baihaqi
:“Tiada (pahala) bagi perbuatan yang tidak ada niat (H.R Anas)
2.2 Eksistensi
Niat dan Urgensinya Dalam Kehidupan Sehari-hari
Para
ahli fiqih (fuqoha) berbeda pendapat dalam memposisikan niat. Imam Abu Hanifah
dan Imam Ahmad bin Hanbal mendudukan niat sebagai syarat perbuatan. Sedangkan
Imam Syafi’i memposisikan niat sebagai rukun perbuatan. Sebagaimana kita
ketahui syarat adalah ketentuan yang harus dilakukan oleh mukallaf sebelum
mengerjakan perbuatan sedangkan rukun adalah ketentuan yang harus dilakukan
bersamaan dengan perbuatan.
Akibat
dari perselisihan ini, maka membawa dampak hukum. Misalnya hukum melafalkan
niat (talaffudz) atau yang kerap kita dengar yaitu membaca usholli dalam sholat
bagi Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad menyatakan bid’ah bacaan itu. Karena nabi
Muhammad SAW tidak pernah mengerjakan itu dan setiap amalan ibadah harus
berdasarkan dalil, bila tidak ada maka ditolak, karena juga talaffudz niat
tersebut sudah termasuk rangkaian shalat. Berbeda dengan sebelumnya Imam
Syafi’i menyatakan sunnah dalam membacanya sebab niat merupakan rukun shalat
dan bertalaffudz (membaca usholli) tidak termasuk dari rangkaian sholat, oleh
karena itu fungsi talaffudz niat adalah untuk menambah kemantapan ketika akan
memulai sholat[6].
Imam
Suyuti mengemukakan bahwa waktu niat adalah di permulaan ibadah, sedangkan
tempatnya didalam hati (amaliyah qalbiyyah) yang bersamaan dengan perbuatan
(amaliyyah fi’liyyah). Sedangkan Imam Al-Baidlowi menyatakan : bahwa niat
merupakan ungkapan yang membangkitkan kehendak hati tentang apa yang ia lihat
yang bertujuan untuk menarik manfaat dan menolak kerusakan serta semata-mata
hanya untuk mencari ridlo Allah atas hikmah memenuhi perintah-Nya. Sebagaimana
yang telah dikatakan dalam kitabnya :
محلها القلب
في كلّ موضع, لأنّ حقيقتها القصد مطلقاً. و قيل المقارن للفعل: و ذلك عبارة عن فعل
القلب. قال البيضاوي : النية عبارة عن انبعاث القلب نحو ما يراه موافقاً من جلب
نفعٍ أو دفع ضرٍّ حالاً أو مالاً, و الشرع خصصه بالإرادة المتوجهة نحو الفعل
لابتغاء رضا الله تعالى و امتثال حكمه[7]
Pada
dasarnya, ibadah itu ada yang membutuhkan niat dan ada pula yang tidak
membutuhkannya. Ibadah yang membutuhkan niat adalah ibadah amaliyah yang
membutuhkan penjelasan (ta’yin) secara khusus, misalnya niat shalat, apakah
shalat wajib atau sunnat?, apakah shalat ashar atau maghrib?, dan sebagainya. Sedangkan
ibadah yang tidak membutuhkan niat karena bukan ibadah amaliyah yang
diperintahkan secara adat, misalnya iman kepada Allah cukup dilakukan dengan
bacaan Syahadatain, dan hal seperti itu tidak perlu melakukan niat setiap hari
bila beriman kepada Allah SWT.
Niat
seseorang kadang-kadang dilihat dari qarinah-qarinah yang dapat dijadikan alat
untuk mengetahui macam niat tersebut. Misalnya orang yang berburu dan berniat
untuk menembak binatang buruan di hutan, yang kemudian ternyata mengenai tukang
pencari kayu. Kasus seperti ini tidak dapat dikategorikan kepada qotilul ‘amad
(pembunuh yang sengaja) karena adanya hitam yang menjadi penghalang bagi
penglihatan terhadap binatang yang ia buru yang mengakibatkan kesalahan (ini
dikatakan sebagai qorinah), oleh karena itu dia digolongkan kepada pembunuh
yang tidak sengaja (qotilul khoto), yang tentunya hukuman bagi pembunuh yang
sengaja dan tidak sengaja akan berbeda.
2.3 Salah Satu
Kaidah Asasiyyah (al-Umuuru bimaqashidihaa)
A. Makna Kaidah Al-Umuuru Bimaqaashidiha
Secara etimologi kaidah Al-Umuru
bimaqaashidihaa terdiri dari dua
kata yaitu Al-umuru dan al-maqaashid, al-umuuru bentuk plural atau jamak dari al-amru
yang artinya tasharrufat (tingkah laku(
seorang mukallaf yang meliputi perkataan, perbuatan dan keyakinan. Maqashid
adalah bentuk jamak dari maqshid yang sama seperti mashdarnya al-qosdu yang
artinya niat[8]
Adapun
secara terminologi para ahli fiqih seperti Imam Al-Qarrafi mengartikan sebagai berikut
:
"هي
قصد الإنسان بقلبه ما يريده بفعله"
“Niat seseorang dengan hatinya atas apa-apa
yang ingin ia kerjakan”[9]
Tidak jauh berbeda dengan Imam Al-Qarrafi Sebagian
ulama syafi’i juga menjelaskan makna maqashid sebagai berikut:
“قصد
الشيء مقترناً بفعله”
“Niat dalam melakukan sesuatu yang disertai
dengan pekerjaan[10]”
Maka yang dimaksud dengan maqashid diatas
ialah maksud (niat) para mukallaf dan bukan maqashid as-syaari’ atau
tujuan Allah sebagai yang sang pemberi syari’at dalam mensyari’atkan suatu perkara.
B. Korelasinya Dengan Hadits Innamal ‘Amaalu Bi Anniyyat
Sebagaimana
telah disebutkan landasan dalil dari sunnah diatas, bahwasanya kaidah ini
memiliki kaitannya dengan hadits Innamal ‘Amaalu bi Anniyyat sesungguhnya hadits ini merupakan bibit sebelum diformulasikan menjadi
sebuah kaidah yang paten yang mana para fuqoha telah menyepakatinya.Bahkan
kaidah al-umuuru bimaqashidihaa ini sesuai dengan mantuq dan mafhum dari
hadits tersebut.
Akan
tetapi para ulama mengubah shigoh dari hadits tersebut kepada shigoh al-umuuru
bimaqaashidihaa hal ini disebabkan karena dua alasan sebagai berikut[11] :
1. Sesungguhnya lafadz umuur dan lafadz
‘amaal Meskipun memiliki keumuman yang sama dalam segi bahasa yaitu
segala segala tingkah laku yang meliputi perkataan dan perbuatan. Akan tetapi
sebagian ulama berpendapat bahwasanya lafadz ‘amaal lebih spesifik
menunjukkan kepada perbuatan saja dan tidak masuk kedalamnya perkataan,
sedangkan lafadz umurr tidak mengkhususkan kepada pekerjaan saja
tanpa perkataan.
2. Bahwasanya para
ulama mensyaratkan dalam berniat beberapa syarat yang berbeda-beda yang
menjadikan niat itu lebih terlihat khusus dari maksud. Oleh karenanya lafadz
niat dirubah menjadi lafadz qosdu (maksud) sehingga terlihat
lebih general dari niat dalam pandangan sebagian ulama.
Maka jika
intisari dari dua poin diatas sebagaimana yang telah disebutkan oleh Dr. Ya’qub
bahwasanya ta’bir (ungkapan) dari kaidah al-umuuru
bimaqaashidihaa memberikan gambaran lebih umum dari pada penggunaan kalimat Innamal ‘Amaalu bi Anniyyat.
C. Kedudukannya Dalam Pandangan Para Fuqoha
Tidak
diragukan lagi niat memiliki posisi yang penting didalam setiap perbuatan
sebagaimana telah disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an maupun Hadits, maka
para fuqoha juga memandang hal yang sama. Imam Syafi’i pernah berkata :
يدخل
في هذا الحديث ثلث العلم
“Hadits ini mencakup sepertiga ilmu”
Ibnu Taimiyyah
menjelaskan akan urgensinya hadits ini dalam majmu’ fatawanya yang menyebutkan
:
"المعنى الذي دل عليه هذا الحديث، أصل
عظيم من أصول الدين، بل هو أصل كل عمل"
“Makna yang terdapat dalam hadits ini menunjukan pada satu asas yang
sangat agung dari pada asas-asas agama, bahkan ia merupakan asas dalam setiap
pekerjaan”
Murid Ibnu Taymiyyah,
Ibnu qayyim al-jauzi memberikan komentar juga dalam karangan fenomenalnya ‘ilamul
muwaqqi’iin sebaga berikut:
"فأما النية فهي رأس الأمر وعموده
وأساسه وأصله الذي عليه يبنى، فإنها روح العمل وقائده وسائقه، والعمل تابع لها،
يبنى عليها ويصح بصحتها ويفسد بفسادها، وبها يستجلب التوفيق، وبعدها يحصل الخذلان،
وبحسبها تتفاوت الدرجات في الدنيا والآخرة"
“Adapun niat merupakan pangkal dari setiap perkara, tiangnya, asasnya,
dan pondasi yang mana diatasnya dibangun (segala pekerjaan), maka sesungguhnya
niat adalah ruh dari setiap amal, pemimpinnya dan pengemudinya dan amal itu
akan mengikutinya (niat), yang diatasnya dibangun (segala pekerjaan) benar dan
salahnya pekerjaan bergantung kepada niat dan dengannya akan tercapai
taufiq-Nya juga dengannya kekecewaan terjadi, dan karenanya derajat seseorang
akan naik baik di dunia maupun di akhirat.
D. Hikmah Disyari’atkannya Niat
Imam
Al-Qarrafi menyebutkan dalam kitabnya Al-Umniyyah fi idraaki An-Niyyah ada dua
sebab disyari’atkannya niat, hal itu kembali kepada dua hikmah yang terserat
didalamnya yaitu :
1. Hikmah yang pertama adalah At-tamyiz
untuk membedakan.
Supaya seseorang dapat
membedakan antara perkara ibadah dan adat kebiasaan, sebagaimana membedakan
antara mandi wajib (jinabah) dan mandi yang hanya sekedar untuk menyegarkan
badan, sama halnya dalam membedakan antara duduk di mesjid untuk beristirahat
dan ‘itikaf.
Agar dapat memebedakan
tingkatan-tingkatan ibadah, seperti membedakan antara shalat fardlu dan shalat
nafilah (sunnah), membedakan antara sedekah dan hadiah, membayar kaffarat dan sedekah dll.
Untuk membedakan arti
dari suatu perkatan serta dalalahnya (hal yang menunjukan) misalnya seseorang
yang berkata: “kembalilah ke keluargamu!” apabila ia berniat untuk mejatuhkan
talak kepada istrinya maka jatuhlah talak, namun jika ia tidak bermaksud maka
talak tidak jatuh.
2. Hikmah yang ke dua yaitu untuk mendekatkan
diri kepada Allah SWT.
Karena dengan niat
seseorang dinilai oleh Allah SWT apakah pekerjaan dan ibadah yang ia lakukan
itu hanya semata-mata karena mengharap ridlo Allah? Atau karena hanya ingin
riya dan dinilai baik oleh manusia. Maka apabila niat ikhlas yang seyogyanya
berada dalam setiap pekerjaan seorang muslim itu hilang niscaya pahala yang
Allah berikan akan hilang juga sehingga amalannya sia-sia.
2.4 Kaidah-kaidah
Fiqhiyyah Yang Terhimpun di Bawah al-Umuuru bimaqashidihaa.
Ada
7 kaidah yang menginduk dibawah kaidah asasiyyah al-Umuuru bimaqashidihaa sebagai
berikut :
A. Kaidah
pertama :
ما لا يشترط
التعرض له جملةً و تفصيلاً إذا عينه و أخطأ لم يضر
“Hal yang tidak disyaratkan untuk dijelaskan baik
secara global maupun terperinci, apabila ditentukan (dijelaskan) ternyata
salah, maka kesalahnya tidak membahayakannya (membatalkannya)”.
Contonya dalam shalat berjama’ah Imam tidak
disyariatkan untuk menentukan niat kepada siapa bermakmum apabila seseorang imam
berniat untuk bermakmum kepada Haidar ternyata sang makmum adalah Chairil Anwar
maka kesalahannya tidak membatalkan sholatnya atau shalatnya tetap sah. Hal
demikian karena tidak disyaratkan niat ketika menjadi imam dalam menentukan
makmum.
B. Kaidah kedua
:
وما يشترط فيه
التعرضّ فالخطأ فيه مبطل
“Suatu (amalan) yang disyaratkan untuk dijelaskan,
maka kesalahannya akan membatalkan pekerjaannya”.
Hal
ini dikarenakan jenis ibadah itu bermacam-macam dan banyak jenisnya, kadang
menyerupai pekerjaannya antara satu dengan yang lainnya. Maka diwajibkan untuk
berniat dengan benar. Misalnya seseorang yang berpuasa untuk membayar kafarat
dengan niatan puasa sunnah arafah maka puasan kafaratya tidak sah.
C. Kaidah
ketiga
وما يجب
التعرض له جملةً ولا يشترط تعيينه تفصيلاً إذا عينه فأخطأ ضرّ
“Suatu (amalan) yang harus dijelaskan secara global
dan tidak disyaratkan untuk terperinci, kemudian disebutkan secara detail dan
ternyata salah maka hal itu membahayakannya (membatalkannya)”.
Seperti
kesalahan dalam sholat jenazah. Seandainya seseorang berniat untuk menyolati
jenazah laki laki ternyata si mayit adalah perempuan maka shalatnya tidak sah,
hal demikian karena tidak disyariatkan untuk menentukan apakah jenazah itu
laki-laki atau perempuan, akan tetapi cukup baginya untuk berniat menyolati
jenazah saja tanpa menyebutkan secara terperinci[12].
D. Kaidah
keempat
النية في
اليمين تخصص اللفظ العام ولا تعمم الخاص
“Niat dalam bersumpah mengkhususkan lafal umum dan
tidak menjadikan umum pada lafadz yang khusus”.
Disebutkan
oleh Imam Ar-Rofi’i dalam Ar-Raudloh: contonya orang yang bersumpah tidak akan
berbicara dengan seseorang tetapi orang yang dimaksud adalah orang tertentu
yaitu Ahmad, maka sumpahnya hanya berlaku pada ahmad.
E. Kaidah
kelima
مقاصد اللفظ
على نية اللافظ إلا في موضع واحدٍ و هو اليمين عند القاضي فإنها على نية القاضي
“Maksud dari suatu lafadz bergantung kepada niat orang
yang mengucapkannya, kecuali dalam satu tempat (keadaan) yaitu dalam sumpah
dihadapan qodli, maka dalam keadaan demikian maksud dari suatu lafadz menurut
niat qodli”.
Hal tersebut sesuai dengan kaidah Nabi Muhammad SAW :
اليمين على
نيّة المستخلف (رواه مسلم عن أبي هريرة)
“Sumpah itu (maksudnya) menurut niat orang yang menyumpah”
(diriwayatkan oleh muslim dari Abu Hurairoh).
Contoh:
jika nama dari seorang istri adalah tholiq, kemudia ia memanggilnya apabila ia
berniat untuk menjatuhkan talak kepada istrinya maka jatuhlah talak, namun
apabila ia berniat hanya untuk memenggilnya maka tidak terjadi talak.
F.
Kaidah keenam
العبرة في
العقود للمقاصد و المعاني لا لألفاظ المباني
“Yang dimaksud dalam sebuah akad adalah maksud atau
makna, bukan lafal atau bentuk perkataan”.
Jika
terjadi perbedaan dalam suatu akad antara maksud (niat) si pembuat dengan
lafadz yang diucapkan, maka yang dianggap akad adalah niat dan maksudnya.
Selama yang demikian itu masih diketahui. Misalnya ada dua orang yang
bertransaksi dengan lafadz memberi barangnya tetapi dengan syarat adanya
pembayaran harga untuk barang yang diberikannya. Maka transaksi itu yang dianggap
yaitu sebagai akad jual beli bukan akan pemberian (hadiah) karena transaksi
yang dimaksud dari makna si pembuat transaksi dan tidak berarti akad pemberian
sebagaimana yang dikehendaki oeh lafadznya.
G. Kaidah
ketujuh
المنقطع عن
العبادة لعذرٍ من أعذارِهاَ إذا نوى حضورها لو لا العذر حصل له ثوابه
“Seseorang yang berhalangan untuk melaksanakan ibadah
karena suatu udzur, padahal ia berniat untuk melakukannya jika tiada halangan,
maka ia akan mendapatkan pahala”
Kaidah ini berkaitan dengan sabda Nabi Muhammad SAW :
إذا مرض العبد
أو سافر كتب له من العمل ما كان صحيحاً مقيماً [13]
“Apabila seseorang sakit atau
berpergian maka dicacatkan baginya amal perbuatan sebagaimana ia dalam keadaan
sehat atau tetap di rumah (tidak bepergian).
PENUTUP
Kaidah
al-umuuru bimaqaashidihaa merupakan salah satu kaidah dari lima panca
kaidah asasiyyah yang dirumuskan oleh para fuqoha dan menjadi rujukan dalam
permasalahan fiqh yang berkenaan dengan niat. Dengan mengetahui kaidah
asasiyyah dan kaidah-kaidah fiqhiyyah yang bercabang di bawahnya serta
mengimplementasikannya dalam setiap aspek peribadatan baik vertical maupun
horizontal dapat menjadikan kita benar benar memahami esensi dari niat itu dan
betapa besarnya hikmah yang telah Allah berikan untuk menjaga makhluqnya dari persesilihan
dan pertikaian. Maka sudah seyogyanya kita mempelajari, memahami, dan
mengamalkan satu qodliyyah yang amat penting ini.
REFERENSI
Al-‘Ala’I,
Abu Sa’id sholahuddin Kholil Al-maj’mu al-muhaddzab fi qawa’id al-madzhab
wizarotul awqof Kuait. 1994.
Al-Bukhari, Muhammad bin Isma’il. Shahih Bukhari.
Daru Ibni Al-Jauzi. Kairo. 2010
At-Thabrani, Sulaiman bin
Ahmad bin Ayyub, Al-Mu’jam Al-Kabir. Maktabatu Ibni Taimiyyah Kairo
Usman, Muchlis. Kaidah-kaidah ushuliyyah
dan fiqhiyyah pedoman dasar dalam Istinbath hukum Islam. PT. Raja grafindo
persada 1999. Jakarta.
Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman. Al-Asybah
wa An-Nadzhair fi qawa’id wa furu fiqh syafi’i. Darul Kutub Ilmiyah Beirut 1983.
Abu Hasan, Ahmad bin Faris bin Zakariyya. Mu’jam maqayis al-lughah Darul Fikri 1979.
Al-Qarrafi, Syihabuddin Ahmad bin Idris Ad-dukhairoh.
Anshari, Zakariyya. Hasyiyatul jumal ala syahil manhaj. Darul Ihya’i Turats Al-‘Arabi
Al-Bahisin, Ya’qub bin Abdul Wahhab qo’idatul umur
bimaqaashidiha. Maktabatu Ar-Rusyd. Riyadh 1999
Al-’ied, Ibnu Daqiq Ihkamul Ahkam syarhu ‘umdatil
ahkam. Mathba’ah Sunnah Muhammadiyyah 1953
Kulliyyatul Mu’allimin Al-Islamiyyah. Ushul fiqh wa qawa’id al-fiqhiyyah li shoffi ats-tsalits, Darussalam Press. Indonesia.
[1] Makalah ini dipresentasikan dalam kajian diskusi regular mingguan
Lakpesdam-BM PCINU Pakistan pada tanggal 31/3/2016 di lesehan taman hostel 1
IIU Islamabad
[3] Al-‘Ala’I, Abu Sa’id sholahuddin Kholil Al-maj’mu al-muhaddzab
fi qawa’id al-madzhab wizarotul awqof Kuait. 1994 halaman 35
[4] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam
shahihnya kitab bad’ul wahyi hadits nomor 1 dan Imam Muslim dalam
shahihnya kitabul imarah hadits nomor 4904
[6] Usman, Muchlis. Kaidah-kaidah ushuliyyah
dan fiqhiyyah pedoman dasar dalam istinbath hukum islam. PT. Raja grafindo
persada 1999. Jakarta. Hal: 109.
[7] Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman. Al-Asybah wa An-Nadzhair fi qawa’id wa
furu fiqh syafi’i. Darul Kutub Ilmiyah 1983. Libanon. Hal. 30
[11] Lihat kaidah umur bimaqaashidiha karangan
Dr. Ya’qub Al-bahisin hal 48-50 dan Ihkamul Ahkam Ibnu Daqiq Al’ied halaman 53
[12] Kulliyyatul Mu’allimin Al-Islamiyyah. Ushul
fiqh wa qawa’id al-fiqhiyyah li shoffi ats-tsalits, Darussalam
Press. Indonesia. Hal. 24
No comments:
Post a Comment