Wednesday 20 April 2016

Eksistensi Niat dan Korelasinya Dengan Islamic Legal Maxim[1]


Oleh: Ahmad Dzikri Alhikam[2]

PENDAHULUAN
            Keinginan hati untuk melakukan suatu pekerjaan, itulah makna singkat dari pada niat. Niat merupakan suatu hal yang amat krusial dalam manjalankan sebuah pekerjaan, bahkan dalam setiap pembahasan yang berkenaan dengan ibadah, baik itu dalam bermu’amalah kepada Allah SWT maupun mu’amalah dengan sesama manusia, niat selalu diikut sertakan meskipun sesungguhnya niat itu sendiri merupakan hal yang abstrak yang mana hanya orang yang mengerjakannya dialah yang mengetahui serta mengontrol niat dan maksud dari pekerjaan atau ibadah yang ia lakukan. Sampai-sampai Rasulullah SAW mengabarkan bahwa segala amal perbuatan itu tergantung pada niat si pelaku. Maka diterima dan ditolaknya suatu pekerjaan oleh Allah SWT semua tergantung pada niat pelakunya. Tidak sedikit juga orang-orang yang berselisih dalam suatu permasalahan karena ada kesalah fahaman antara niat dan tingkah laku dalam bermu’amalah dengan sesama manusia. Oleh karena itu Islam memberikan perhatian yang khusus terhadap masalah ini dan juga tidak sedikit para ulama baik salaf maupun kholaf yang memberikan perhatian cukup besar terhadap perkara niat ini. Sebut saja Imam Abu-l-‘Abbas Ahmad bin Idris Al-Qorrofiy, beliau telah mengarang kitab khusus yang bernama Al-Umniyyah fi Idraaki An-Niyyah, ini menunjukan bahwa niat tidak bisa dipandang sebelah mata. Dan seseorang akan menyadari urgensi niat bila ia mengerti betapa besar fungsi dari pada niat ini.
            Niat memiliki hubungan yang sangat erat khusunya dalam menjalankan ibadah dalam keseharian kita. Mengingat urgensinya banyak ulama yang mengawali berbagai buku serta karangannya dengan hadits mengenai niat. Bisa kita lihat Imam Bukhari menempatkan hadits tentang niat di awal kitab shahihnya, Imam Nawawi menempatkan hadits tentang niat pada urutan pertama dalam 3 karangannya yaitu Riyadlus Shalihin, Al-Adzkar, dan Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Hadits tentang niat sebagaimana yang dikatakan Ibnu Daqiq al-Ied dalam syarh Al-Arba’in juz 1 halaman 9 : “Hadits ini merupakan setangah dari ajaran Islam, karena agama bertumpu pada dua hal lahiriah (amal pekerjaa) dan bathiniyah (niat)”. Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Syafi’i berkata, “Hadits ini mencakup sepertiga ilmu, karena perbuatan manusia terkait dengan tiga hal: hati, lisan, dan anggota badan, sedangkan niat dalam hati merupakan satu diantara tiga hal tersebut”. Maka sudah jelas jika bab niat menjadi salah satu pembahasan pokok dan menjadi salah satu kaidah dari pada panca kaidah asasiyyah dan dapat menghimpun beberapa kaidah fiqhiyyah yang berada dibawahnya. Hal ini telah dikodifikasikan oleh para ulama ushul menjadi salah satu kaidah yang baku bernama Al-Umuru bi Maqashidiha. Para ulama ushul melalui metode istinbathnya semula menamakan panca kaidah asasiyyah dengan kaidah ushul, yakni kaidah pokok dari segala kaidah fiqhiyyah yang ada. Setiap permasalahan furu’iyyah dapat diselesaikan dengan kalimat kaidah tersebut walaupun seorang mujtahid belum sempat memperhatikan dasar-dasar hukum secara tafshili.

1.1  Latar Belakang
            Islamic legal maxim atau yang akrab disebut dengan al-Qawaid al-Fiqhiyyah memiliki lima kaidah asasiyyah (panca kaidah) sebagaimana para ulama ushul telah membaginya, kaidah-kaidah berkenaan dengan niat dan tujuan, kaidah yang berkenaan dengan keyakinan (al-yaqin), kaidah-kaidah yang berkenaan dengan kondisi menyulitkan (al-masyaqqoh), kaidah-kaidah yang berkenaan dengan kondisi madharat (al-mahdzurat), dan kaidah-kaidah yang berkenaan dengan adat, tradisi dan kebiasaan.
            Salah satu pembahasan dalam al-qawaid al-asasiyyah adalah hal yang berkenaan dengan niat (al-umuuru bimaqashidihaa) sebagaimana dikatan oleh Imam al-‘Ala’i :

وقاعدة : " الأمور بمقاصدها " واحدة من القواعد الفقهية الخمس التي يرجع إليها أكثر مسائل الفقه
                        “Dan kaidah al-umuuru bimaqashidihaa merupakan salah satu kaidah fiqhiyyah yang mana kebanyakan masalah fiqih kembali dan merujuk kepadanya


[3]
            Maka pada makalah ini penulis akan membahas kaidah pertama dari kaidah asasiyyah yang mana dibawahnya telah bercabang kaidah-kaidah fiqhiyyah berserta dasar-dasar nash yang berkaitan dengan masalah ini, eksistensi niat dalam kehidupan sehari hari, dan urgensinya.

1.2  Rumusan Masalah
      Pada makalah ini penulis meringkas beberapa poin untuk memberikan gambaran secara ringkas dan memfokuskan kepada beberapa pokok permasalahan sebagai berikut :
1.      Dasar-dasar nash (dalil) tentang niat.
2.      Eksistensi niat dan urgensinya dalam kehidupan sehari-hari.
3.      Salah satu kaidah asasiyyah (al-umuuru bimaqaashidiha).
A.    Makna kaidah al-umuuru bimaqaashidiha.
B.     Korelasinya dengan hadits Innamal ‘amaalu bi anniyyat.
C.     Kedudukannya dalam pandangan para fuqoha.
D.    Hikmah disyari’atkannya niat.
4.      Kaidah-kaidah fiqhiyyah yang terhimpun dibawah kaidah al-umuuru bimaqaashidih).

1.3  Tujuan
      Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penulisan makalah ini memiliki tujuan sebagaimana uraian dibawah ini:
1.         Pembaca dapat mengetahui dasar-dasar nash (dalil) yang berkenaan dengan niat.
2.         Pembaca memahami eksistensi niat dan urgensinya.
3.        Pembaca dapat mengerti salah satu dari kaidah asasiyah (al-umuuru bimaqaashidiha)  berserta hal-hal yang bersangkutan dengannya.
4.        Pembaca dapat mengetahui kaidah-kaidah fiqhiyyah yang terbentuk dari salah satu kaidah asasiyyah ini.

BAB II PEMBAHASAN

2.1  Dasar-dasar nash (dalil) tentang niat
            Dalam Al-Qur’an telah banyak disebutkan nash (dalil) yang menyinggung perkara niat diantaranya adalah Firman Allah SWT :
وماأمروا إلا ليعبد الله مخلصين له الدين حنفاء (البينة : 5)
”Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah SWT dengan memurnikan kepada-Nya dalam agama yang lurus. (Q.S Al-Bayyinah : 5)”

و من يرد ثواب الدنيا نؤته منها و من يرد ثواب الآخرة نؤته منها (ال عمران : 145)
”Barang siapa yang menghendaki pahala dunia niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa yang menghendaki pahala akhirat niscaya Kami berikan pula pahala akhirat itu. (Q.S Ali ‘Imran : 145)”
      Adapun dari hadits nabi Muhammad SAW adalah sebagai berikut:
عن عمر بن الخطاب، قال : سمعت رسول الله يقول: "إنما الأعمال بالنياتِ، وإنما لكل امرئٍ ما نوى، فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله، و من كانت هجرته إلى دنيا يصيبها، أو امرأة يتزوجها، فهجرته إلى ما هاجر إليه"[4]

Dari Umar bin Khattab telah berkata: saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: ”Sesungguhnya segala sesuatu itu tergantung pada niat, dan seseorang akan mendapatkan seseuatu apa yang ia niatkan, maka barangsiapa hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa hijrahnya agar mendapatkan dunia, atau supaya bisa menikahi wanita, maka hijrahnya (akan bernilai) seperti apa yang ia niatkan”

نيّة المؤمن خيْرٌ منْ عَمَلِهِ[5]
“Niat seorang mu’min itu lebih baik dari pada berbuatan (orang kafir)”
 وعند البيهقي في سننه : لا عمل لمن لا نية له (رواه أنس بن مالك)
Dalam sunan Al-Baihaqi :“Tiada (pahala) bagi perbuatan yang tidak ada niat  (H.R Anas)

2.2  Eksistensi Niat dan Urgensinya Dalam Kehidupan Sehari-hari
            Para ahli fiqih (fuqoha) berbeda pendapat dalam memposisikan niat. Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal mendudukan niat sebagai syarat perbuatan. Sedangkan Imam Syafi’i memposisikan niat sebagai rukun perbuatan. Sebagaimana kita ketahui syarat adalah ketentuan yang harus dilakukan oleh mukallaf sebelum mengerjakan perbuatan sedangkan rukun adalah ketentuan yang harus dilakukan bersamaan dengan perbuatan.
           
            Akibat dari perselisihan ini, maka membawa dampak hukum. Misalnya hukum melafalkan niat (talaffudz) atau yang kerap kita dengar yaitu membaca usholli dalam sholat bagi Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad menyatakan bid’ah bacaan itu. Karena nabi Muhammad SAW tidak pernah mengerjakan itu dan setiap amalan ibadah harus berdasarkan dalil, bila tidak ada maka ditolak, karena juga talaffudz niat tersebut sudah termasuk rangkaian shalat. Berbeda dengan sebelumnya Imam Syafi’i menyatakan sunnah dalam membacanya sebab niat merupakan rukun shalat dan bertalaffudz (membaca usholli) tidak termasuk dari rangkaian sholat, oleh karena itu fungsi talaffudz niat adalah untuk menambah kemantapan ketika akan memulai sholat[6].
           
            Imam Suyuti mengemukakan bahwa waktu niat adalah di permulaan ibadah, sedangkan tempatnya didalam hati (amaliyah qalbiyyah) yang bersamaan dengan perbuatan (amaliyyah fi’liyyah). Sedangkan Imam Al-Baidlowi menyatakan : bahwa niat merupakan ungkapan yang membangkitkan kehendak hati tentang apa yang ia lihat yang bertujuan untuk menarik manfaat dan menolak kerusakan serta semata-mata hanya untuk mencari ridlo Allah atas hikmah memenuhi perintah-Nya. Sebagaimana yang telah dikatakan dalam kitabnya :

محلها القلب في كلّ موضع, لأنّ حقيقتها القصد مطلقاً. و قيل المقارن للفعل: و ذلك عبارة عن فعل القلب. قال البيضاوي : النية عبارة عن انبعاث القلب نحو ما يراه موافقاً من جلب نفعٍ أو دفع ضرٍّ حالاً أو مالاً, و الشرع خصصه بالإرادة المتوجهة نحو الفعل لابتغاء رضا الله تعالى و امتثال حكمه[7]
            Pada dasarnya, ibadah itu ada yang membutuhkan niat dan ada pula yang tidak membutuhkannya. Ibadah yang membutuhkan niat adalah ibadah amaliyah yang membutuhkan penjelasan (ta’yin) secara khusus, misalnya niat shalat, apakah shalat wajib atau sunnat?, apakah shalat ashar atau maghrib?, dan sebagainya. Sedangkan ibadah yang tidak membutuhkan niat karena bukan ibadah amaliyah yang diperintahkan secara adat, misalnya iman kepada Allah cukup dilakukan dengan bacaan Syahadatain, dan hal seperti itu tidak perlu melakukan niat setiap hari bila beriman kepada Allah SWT.

            Niat seseorang kadang-kadang dilihat dari qarinah-qarinah yang dapat dijadikan alat untuk mengetahui macam niat tersebut. Misalnya orang yang berburu dan berniat untuk menembak binatang buruan di hutan, yang kemudian ternyata mengenai tukang pencari kayu. Kasus seperti ini tidak dapat dikategorikan kepada qotilul ‘amad (pembunuh yang sengaja) karena adanya hitam yang menjadi penghalang bagi penglihatan terhadap binatang yang ia buru yang mengakibatkan kesalahan (ini dikatakan sebagai qorinah), oleh karena itu dia digolongkan kepada pembunuh yang tidak sengaja (qotilul khoto), yang tentunya hukuman bagi pembunuh yang sengaja dan tidak sengaja akan berbeda.

2.3  Salah Satu Kaidah Asasiyyah (al-Umuuru bimaqashidihaa)

A.      Makna Kaidah Al-Umuuru Bimaqaashidiha
            Secara etimologi kaidah Al-Umuru bimaqaashidihaa  terdiri dari dua kata yaitu Al-umuru dan al-maqaashid, al-umuuru bentuk plural atau jamak dari al-amru yang artinya tasharrufat (tingkah laku( seorang mukallaf yang meliputi perkataan, perbuatan dan keyakinan. Maqashid adalah bentuk jamak dari maqshid yang sama seperti mashdarnya al-qosdu yang artinya niat[8]
            Adapun secara terminologi para ahli fiqih seperti Imam Al-Qarrafi mengartikan sebagai berikut :
"هي قصد الإنسان بقلبه ما يريده بفعله"
“Niat seseorang dengan hatinya atas apa-apa yang ingin ia kerjakan”[9]

Tidak jauh berbeda dengan Imam Al-Qarrafi Sebagian ulama syafi’i juga menjelaskan makna maqashid sebagai berikut:
قصد الشيء مقترناً بفعله
“Niat dalam melakukan sesuatu yang disertai dengan pekerjaan[10]
Maka yang dimaksud dengan maqashid diatas ialah maksud (niat) para mukallaf dan bukan maqashid as-syaari’ atau tujuan Allah sebagai yang sang pemberi syari’at dalam mensyari’atkan suatu perkara.

B.       Korelasinya Dengan Hadits Innamal ‘Amaalu Bi Anniyyat
            Sebagaimana telah disebutkan landasan dalil dari sunnah diatas, bahwasanya kaidah ini memiliki kaitannya dengan hadits Innamal ‘Amaalu bi Anniyyat sesungguhnya hadits ini merupakan bibit sebelum diformulasikan menjadi sebuah kaidah yang paten yang mana para fuqoha telah menyepakatinya.Bahkan kaidah al-umuuru bimaqashidihaa ini sesuai dengan mantuq dan mafhum dari hadits tersebut.
            Akan tetapi para ulama mengubah shigoh dari hadits tersebut kepada shigoh al-umuuru bimaqaashidihaa hal ini disebabkan karena dua alasan sebagai berikut[11] :
1.      Sesungguhnya lafadz umuur dan lafadz ‘amaal Meskipun memiliki keumuman yang sama dalam segi bahasa yaitu segala segala tingkah laku yang meliputi perkataan dan perbuatan. Akan tetapi sebagian ulama berpendapat bahwasanya lafadz ‘amaal lebih spesifik menunjukkan kepada perbuatan saja dan tidak masuk kedalamnya perkataan, sedangkan lafadz umurr tidak mengkhususkan kepada pekerjaan saja tanpa perkataan.
2.      Bahwasanya para ulama mensyaratkan dalam berniat beberapa syarat yang berbeda-beda yang menjadikan niat itu lebih terlihat khusus dari maksud. Oleh karenanya lafadz niat dirubah menjadi lafadz qosdu (maksud) sehingga terlihat lebih general dari niat dalam pandangan sebagian ulama.
Maka jika intisari dari dua poin diatas sebagaimana yang telah disebutkan oleh Dr. Ya’qub bahwasanya ta’bir (ungkapan) dari kaidah al-umuuru bimaqaashidihaa memberikan gambaran lebih umum dari pada penggunaan kalimat Innamal ‘Amaalu bi Anniyyat.

C.      Kedudukannya Dalam Pandangan Para Fuqoha
            Tidak diragukan lagi niat memiliki posisi yang penting didalam setiap perbuatan sebagaimana telah disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an maupun Hadits, maka para fuqoha juga memandang hal yang sama. Imam Syafi’i pernah berkata :
يدخل في هذا الحديث ثلث العلم
“Hadits ini mencakup sepertiga ilmu”

            Ibnu Taimiyyah menjelaskan akan urgensinya hadits ini dalam majmu’ fatawanya yang menyebutkan :
"المعنى الذي دل عليه هذا الحديث، أصل عظيم من أصول الدين، بل هو أصل كل عمل"
“Makna yang terdapat dalam hadits ini menunjukan pada satu asas yang sangat agung dari pada asas-asas agama, bahkan ia merupakan asas dalam setiap pekerjaan”

            Murid Ibnu Taymiyyah, Ibnu qayyim al-jauzi memberikan komentar juga dalam karangan fenomenalnya ‘ilamul muwaqqi’iin sebaga berikut:
"فأما النية فهي رأس الأمر وعموده وأساسه وأصله الذي عليه يبنى، فإنها روح العمل وقائده وسائقه، والعمل تابع لها، يبنى عليها ويصح بصحتها ويفسد بفسادها، وبها يستجلب التوفيق، وبعدها يحصل الخذلان، وبحسبها تتفاوت الدرجات في الدنيا والآخرة"
“Adapun niat merupakan pangkal dari setiap perkara, tiangnya, asasnya, dan pondasi yang mana diatasnya dibangun (segala pekerjaan), maka sesungguhnya niat adalah ruh dari setiap amal, pemimpinnya dan pengemudinya dan amal itu akan mengikutinya (niat), yang diatasnya dibangun (segala pekerjaan) benar dan salahnya pekerjaan bergantung kepada niat dan dengannya akan tercapai taufiq-Nya juga dengannya kekecewaan terjadi, dan karenanya derajat seseorang akan naik baik di dunia maupun di akhirat.
D.      Hikmah Disyari’atkannya Niat
            Imam Al-Qarrafi menyebutkan dalam kitabnya Al-Umniyyah fi idraaki An-Niyyah ada dua sebab disyari’atkannya niat, hal itu kembali kepada dua hikmah yang terserat didalamnya yaitu :
1.      Hikmah yang pertama adalah At-tamyiz untuk membedakan.
            Supaya seseorang dapat membedakan antara perkara ibadah dan adat kebiasaan, sebagaimana membedakan antara mandi wajib (jinabah) dan mandi yang hanya sekedar untuk menyegarkan badan, sama halnya dalam membedakan antara duduk di mesjid untuk beristirahat dan ‘itikaf.
            Agar dapat memebedakan tingkatan-tingkatan ibadah, seperti membedakan antara shalat fardlu dan shalat nafilah (sunnah), membedakan antara sedekah dan hadiah,  membayar kaffarat dan sedekah dll.
            Untuk membedakan arti dari suatu perkatan serta dalalahnya (hal yang menunjukan) misalnya seseorang yang berkata: “kembalilah ke keluargamu!” apabila ia berniat untuk mejatuhkan talak kepada istrinya maka jatuhlah talak, namun jika ia tidak bermaksud maka talak tidak jatuh.
2.      Hikmah yang ke dua yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
            Karena dengan niat seseorang dinilai oleh Allah SWT apakah pekerjaan dan ibadah yang ia lakukan itu hanya semata-mata karena mengharap ridlo Allah? Atau karena hanya ingin riya dan dinilai baik oleh manusia. Maka apabila niat ikhlas yang seyogyanya berada dalam setiap pekerjaan seorang muslim itu hilang niscaya pahala yang Allah berikan akan hilang juga sehingga amalannya sia-sia.

2.4  Kaidah-kaidah Fiqhiyyah Yang Terhimpun di Bawah al-Umuuru bimaqashidihaa.
            Ada 7 kaidah yang menginduk dibawah kaidah asasiyyah al-Umuuru bimaqashidihaa sebagai berikut :
A.    Kaidah pertama :
ما لا يشترط التعرض له جملةً و تفصيلاً إذا عينه و أخطأ لم يضر
“Hal yang tidak disyaratkan untuk dijelaskan baik secara global maupun terperinci, apabila ditentukan (dijelaskan) ternyata salah, maka kesalahnya tidak membahayakannya (membatalkannya)”.
Contonya dalam shalat berjama’ah Imam tidak disyariatkan untuk menentukan niat kepada siapa bermakmum apabila seseorang imam berniat untuk bermakmum kepada Haidar ternyata sang makmum adalah Chairil Anwar maka kesalahannya tidak membatalkan sholatnya atau shalatnya tetap sah. Hal demikian karena tidak disyaratkan niat ketika menjadi imam dalam menentukan makmum.

B.     Kaidah kedua :
وما يشترط فيه التعرضّ فالخطأ فيه مبطل
“Suatu (amalan) yang disyaratkan untuk dijelaskan, maka kesalahannya akan membatalkan pekerjaannya”.
            Hal ini dikarenakan jenis ibadah itu bermacam-macam dan banyak jenisnya, kadang menyerupai pekerjaannya antara satu dengan yang lainnya. Maka diwajibkan untuk berniat dengan benar. Misalnya seseorang yang berpuasa untuk membayar kafarat dengan niatan puasa sunnah arafah maka puasan kafaratya tidak sah.

C.    Kaidah ketiga
وما يجب التعرض له جملةً ولا يشترط تعيينه تفصيلاً إذا عينه فأخطأ ضرّ
“Suatu (amalan) yang harus dijelaskan secara global dan tidak disyaratkan untuk terperinci, kemudian disebutkan secara detail dan ternyata salah maka hal itu membahayakannya (membatalkannya)”.
            Seperti kesalahan dalam sholat jenazah. Seandainya seseorang berniat untuk menyolati jenazah laki laki ternyata si mayit adalah perempuan maka shalatnya tidak sah, hal demikian karena tidak disyariatkan untuk menentukan apakah jenazah itu laki-laki atau perempuan, akan tetapi cukup baginya untuk berniat menyolati jenazah saja tanpa menyebutkan secara terperinci[12].

D.    Kaidah keempat
النية في اليمين تخصص اللفظ العام ولا تعمم الخاص
“Niat dalam bersumpah mengkhususkan lafal umum dan tidak menjadikan umum pada lafadz yang khusus”.
            Disebutkan oleh Imam Ar-Rofi’i dalam Ar-Raudloh: contonya orang yang bersumpah tidak akan berbicara dengan seseorang tetapi orang yang dimaksud adalah orang tertentu yaitu Ahmad, maka sumpahnya hanya berlaku pada ahmad.

E.     Kaidah kelima
مقاصد اللفظ على نية اللافظ إلا في موضع واحدٍ و هو اليمين عند القاضي فإنها على نية القاضي
“Maksud dari suatu lafadz bergantung kepada niat orang yang mengucapkannya, kecuali dalam satu tempat (keadaan) yaitu dalam sumpah dihadapan qodli, maka dalam keadaan demikian maksud dari suatu lafadz menurut niat qodli”.
Hal tersebut sesuai dengan kaidah Nabi Muhammad SAW :
اليمين على نيّة المستخلف (رواه مسلم عن أبي هريرة)
“Sumpah itu (maksudnya) menurut niat orang yang menyumpah” (diriwayatkan oleh muslim dari Abu Hurairoh).
            Contoh: jika nama dari seorang istri adalah tholiq, kemudia ia memanggilnya apabila ia berniat untuk menjatuhkan talak kepada istrinya maka jatuhlah talak, namun apabila ia berniat hanya untuk memenggilnya maka tidak terjadi talak.


F.     Kaidah keenam
العبرة في العقود للمقاصد و المعاني لا لألفاظ المباني
“Yang dimaksud dalam sebuah akad adalah maksud atau makna, bukan lafal atau bentuk perkataan”.
            Jika terjadi perbedaan dalam suatu akad antara maksud (niat) si pembuat dengan lafadz yang diucapkan, maka yang dianggap akad adalah niat dan maksudnya. Selama yang demikian itu masih diketahui. Misalnya ada dua orang yang bertransaksi dengan lafadz memberi barangnya tetapi dengan syarat adanya pembayaran harga untuk barang yang diberikannya. Maka transaksi itu yang dianggap yaitu sebagai akad jual beli bukan akan pemberian (hadiah) karena transaksi yang dimaksud dari makna si pembuat transaksi dan tidak berarti akad pemberian sebagaimana yang dikehendaki oeh lafadznya.

G.    Kaidah ketujuh
المنقطع عن العبادة لعذرٍ من أعذارِهاَ إذا نوى حضورها لو لا العذر حصل له ثوابه
“Seseorang yang berhalangan untuk melaksanakan ibadah karena suatu udzur, padahal ia berniat untuk melakukannya jika tiada halangan, maka ia akan mendapatkan pahala”
Kaidah ini berkaitan dengan sabda Nabi Muhammad SAW :
إذا مرض العبد أو سافر كتب له من العمل ما كان صحيحاً مقيماً [13]
“Apabila seseorang sakit atau berpergian maka dicacatkan baginya amal perbuatan sebagaimana ia dalam keadaan sehat atau tetap di rumah (tidak bepergian).

PENUTUP
            Kaidah al-umuuru bimaqaashidihaa merupakan salah satu kaidah dari lima panca kaidah asasiyyah yang dirumuskan oleh para fuqoha dan menjadi rujukan dalam permasalahan fiqh yang berkenaan dengan niat. Dengan mengetahui kaidah asasiyyah dan kaidah-kaidah fiqhiyyah yang bercabang di bawahnya serta mengimplementasikannya dalam setiap aspek peribadatan baik vertical maupun horizontal dapat menjadikan kita benar benar memahami esensi dari niat itu dan betapa besarnya hikmah yang telah Allah berikan untuk menjaga makhluqnya dari persesilihan dan pertikaian. Maka sudah seyogyanya kita mempelajari, memahami, dan mengamalkan satu qodliyyah yang amat penting ini.

REFERENSI
Al-‘Ala’I, Abu Sa’id sholahuddin Kholil Al-maj’mu al-muhaddzab fi qawa’id al-madzhab wizarotul awqof Kuait. 1994.
Al-Bukhari, Muhammad bin Isma’il. Shahih Bukhari. Daru Ibni Al-Jauzi. Kairo. 2010
At-Thabrani, Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub, Al-Mu’jam Al-Kabir. Maktabatu Ibni Taimiyyah Kairo
Usman, Muchlis. Kaidah-kaidah ushuliyyah dan fiqhiyyah pedoman dasar dalam Istinbath hukum Islam. PT. Raja grafindo persada 1999. Jakarta.
Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman. Al-Asybah wa An-Nadzhair fi qawa’id wa furu fiqh syafi’i. Darul Kutub Ilmiyah Beirut 1983.
Abu Hasan, Ahmad bin Faris bin Zakariyya. Mu’jam maqayis al-lughah Darul Fikri 1979.
Al-Qarrafi, Syihabuddin Ahmad bin Idris Ad-dukhairoh.
Anshari, Zakariyya. Hasyiyatul jumal ala syahil manhaj. Darul Ihya’i Turats Al-‘Arabi
Al-Bahisin, Ya’qub bin Abdul Wahhab qo’idatul umur bimaqaashidiha. Maktabatu Ar-Rusyd. Riyadh 1999
Al-’ied, Ibnu Daqiq Ihkamul Ahkam syarhu ‘umdatil ahkam. Mathba’ah Sunnah Muhammadiyyah 1953
Kulliyyatul Mu’allimin Al-Islamiyyah. Ushul fiqh wa qawa’id al-fiqhiyyah li shoffi ats-tsalits, Darussalam Press. Indonesia.




[1] Makalah ini dipresentasikan dalam kajian diskusi regular mingguan Lakpesdam-BM PCINU Pakistan pada tanggal 31/3/2016 di lesehan taman hostel 1 IIU Islamabad
[2] Pegiat PCINU Pakistan dan  juga mahasiswa tingkat 3 di fakultas ushuluddin IIUI Pakistan
[3] Al-‘Ala’I, Abu Sa’id sholahuddin Kholil Al-maj’mu al-muhaddzab fi qawa’id al-madzhab wizarotul awqof Kuait. 1994 halaman 35
[4]  Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam shahihnya kitab bad’ul wahyi hadits nomor 1 dan Imam Muslim dalam shahihnya kitabul imarah hadits nomor 4904
[5]  Hadits riwayat Thabrani dalam mu’jam Al-kabir dari Sahl Ibnu Sa’id
[6] Usman, Muchlis. Kaidah-kaidah ushuliyyah dan fiqhiyyah pedoman dasar dalam istinbath hukum islam. PT. Raja grafindo persada 1999. Jakarta. Hal: 109.
[7] Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman. Al-Asybah wa An-Nadzhair fi qawa’id wa furu fiqh syafi’i. Darul Kutub Ilmiyah 1983. Libanon. Hal. 30
[8] Abu Hasan, Ahmad bin Faris bin Zakariyya. Mu’jam maqayis al-lughah Darul Fikri 1979
[9] Al-Qarrafi, Syihabuddin Ahmad bin Idris Ad-dukhairoh
[10] Al-Anshari, Zakariyya. Hasyiyatul jumal ala syahil manhaj. Darul Ihya’i Turats Al-‘Arabi
[11] Lihat kaidah umur bimaqaashidiha karangan Dr. Ya’qub Al-bahisin hal 48-50 dan Ihkamul Ahkam Ibnu Daqiq Al’ied halaman 53
[12] Kulliyyatul Mu’allimin Al-Islamiyyah. Ushul fiqh wa qawa’id al-fiqhiyyah li shoffi ats-tsalits, Darussalam Press. Indonesia. Hal. 24
[13] Hadits riwayat bukhari dari Abu Musa Al-Asy’ari

No comments:

Post a Comment