Tuesday 5 April 2016

Pekerja Diskotik (DJ), Hukum dan Batasan-batasannya

Pada era globalisasi ini banyak sekali perkembangan-perkembangan pola hidup barat  yang mempengaruhi pola kehidupan masyarakat Indonesia,  khususnya yang berada di daerah perkotaan. Mereka lebih cepat terkontaminasi oleh gemerlap dan gaya dunia barat. Salah satu dari pengaruhnya ialah di daerah perkotaan banyak tempat – tempat yang menjadi titik central kehidupan yang cnta dunia yang dibawa oleh dunia barat. Hal ini pun dijadikan tempat lahan untuk memperkerjakan masyarakat lokal agar mendapatkan pekerjaan.
Walaupun tempat tersebut yang disebut dengan diskotik menjadi lahan pekerjaan bagi para pengangguran yang berada di daerah perkotaan, namun hal ini justru menjadi problem bagi umat muslim yang menjadi pengangguran kemudian mereka bekerja di tempat tersebut. Bagaimana hukumnya bekerja di tempat seperti itu yang menjadi pusat kemaksiatan.
Dari fenomena di atas ada juga dari sebagian golongan yang melakukan pekerjaan tersebut dengan dalih dalih sabda nabi Muhammad Saw yang artinya "Sesungguhnya Allah tidak melihat jasad dan rupa kalian, melainkan melihat hati kalian" mereka berargumen bahwasanya apapun pekerjaan boleh dijalankan, asalkan hatinya tetap baik, karena itulah yang Allah lihat. Di samping itu merekapun mengatakan bahwasanya segala sesuatu itu tergantung niatnya, sebagaimana hadist Nabi Muhammad SAW yang berbunyi "إنما الأعمال بالنيات"
PCI NU Pakistan dalam hal ini telah melakukan pembahasan mengenai hukum menjadi karyawan diskotik berdasarkan dalil-dalil yang bertentangan dengan argumen sebagian golongan yang menganggap bahwa menjadi seorang DJ (Pekerja Diskotik) itu adalah bagian dari pekerjaan yang lumrah untuk dijalankan.
Pertama mengenai hadist tentang keutamaan niat yang berbunyi:
عن عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّمَا الأعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.
“Setiap perbuatan itu tergantung kepada niatnya dan bagi setiap orang sesuai dengan niatnya. Barangsiapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya dan barangsiapa hijrahnya karena mengaharapkan kepentingan dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang dinikahinya.”(HR. Bukhari Muslim dari Umar bin Khathab)
Dalam hadist ini jelas, bahwasanya segala pekerjaan yang dilakukan oleh seorang hamba tergantung kepada niatnya. Tatkala seseorang bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, maka yang ia dapatkan hanya apa yang ia tuju, yaitu harta dan kekayaan, Beda halnya seseorang yang bekerja untuk menggapai keridhoan Allah swt, maka ia akan mendapatkan keberkahan dari segala yang ia kerjakan. Dalam hal ini kebanyakan dari orang hanya memenggal hadist sampai kata “tergantung kepada niatnya” ia tidak melanjutkan rahasia sebenarnya dari hadist ini, yaitu bekerja demi menggapai keridhoan Allah Swt.
Dengan perkembangan zaman seperti yang kita rasakan saat ini, terkadang banyak hal yang dirasa wajar, padahal hal tersebut melanggar perintah Allah Swt. Di dalam Al-Qur’an juga disebutkan:
أعوذ بالله من الشيطان الرجيم }وَعَادًا وَثَمُودَ وَقَدْ تَبَيَّنَ لَكُمْ مِنْ مَسَاكِنِهِمْ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ أَعْمَالَهُمْ فَصَدَّهُمْ عَنِ السَّبِيلِ وَكَانُوا مُسْتَبْصِرِينَ{
Potongan ayat "وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ" yang diartikan, dan syaitan memandang baik perbuatan-perbuatan mereka, lalu ia menghalangi mereka dari jalan (Allah), sedangkan mereka orang-orang yang perpandangan tajam. Di dalam ayat ini menjelaskan bahwa syatian telah menjadikan perbuatan yang buruk seakan-akan menjadi perbuatan yang baik, sehingga manusia menganggap bahwa ia telah mengerjakan perbuatan yang benar bagi dirinya.  Begitu juga di dalam surat Al-Baqorah ayat 42
أعوذ بالله من الشيطان الرجيم}وَلاَ تَلْبِسُواْ الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُواْ الْحَقَّ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ{
Yang artinya “Janganlah kamu campur-adukkan antara kebenaran dan kebatilan, dan kamu sembunyikan yang benar padahal kamu mengetahuinya” kaitan dua ayat di atas bahwa golongan  tersebut telah mencampur-adukan antara kebenaran dan kebatilan dan membenarkan argumen mereka bahwa yang mereka kerjakan adalah perbuatan yang benar, maka telah jelas bahwa hukum bekerja di diskotik dalam islam tidak bisa di bilang benar.
Syekh Yusuf Al-Qaradhawi dalam Fatwa-Fatwa Kontemporer menegaskan, Islam mengharamkan semua bentuk kerjasama atas dosa dan permusuhan, dan menganggap setiap orang yang membantu kemaksiatan bersekutu dalam dosanya bersama pelakunya, baik pertolongan itu dalam bentuk moril ataupun materil, perbuatan ataupun perkataan.
Tentang khamar (minuman keras, beralkohol) Nabi Saw bersabda:
عن ابْنِ عُمَرَ قال قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( لَعَنَ اللَّهُ الْخَمْرَ وَشَارِبَهَا وَسَاقِيَهَا وَبَائِعَهَا وَمُبْتَاعَهَا وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ )
“Dari Ibnu Umar Rasulallah SAW bersabda: “Allah melaknat khamar, peminumnya, penuangnya, pemerahnya, yang meminta diperahkan, pembawanya, dan yang dibawakannya.” (HR Abu Daud dan Ibnu Majah).

             Tentang suap, Abdullah Ibnu Umar Radhiallahu ‘anhu
berkata:
وَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عَمْرِوٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: ( لَعَنَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم اَلرَّاشِي وَالْمُرْتَشِيَ  والرائش ) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَاَلتِّرْمِذِيُّ
 “Rasulullah saw. melaknat orang yang menyuap, yang menerima suap, dan yang menjadi perantaranya.” (HR Ibnu Hibban dan Hakim)
Tentang riba, Jabir bin Abdillah r.a. meriwayatkan:
عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah melaknat pemakan riba, yang memberi makan dengan hasil riba, dan dua orang yang menjadi saksinya.” Dan beliau bersabda: “Mereka itu sama.”(HR Muslim).
Al-Qaradhawi juga menyebutkan kebutuhan  hidup  yang  oleh  para fuqaha diistilahkan telah mencapai “tingkatan darurat, terpaksa bekerja di tempat yang mengandung maksiat sebagai sarana mencari  rezeki, sebagaimana  firman Allah SWT:
أعوذ بالله من الشيطان الرجيم} إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ{
Dalam ayat ini kita ambil”…Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah:173).
Namun demikian tingkatan darurat di sini adalah keadaan yang sangat darurat. Dalam artian apabila dia tidak mengerjakan hal tersebut dia akan melanggar salah satu dari 5 kemaslahatan yang dhoruriyyat, semisal dia akan kehilangan nyawanya, karena kelaparan dll. Itupun hanya terbatas di waktu itu saja. Selanjutnya diharuskan baginya untuk mencari pekerjaan lain demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Karena sebagai seorang Mukmin sudah sepatutnya kita mencari nafkah dari pekerjaan yang halal, dan selalu mengingat bahwa Allah SWT Maha Pengatur dan Pemberi Rezeki, tugas kita adalah ikhtiar, berdoa, dan tawakal. Wallahu a’lam.*
*Hasil Bahtsul Masail PCI NU Pakistan, 18 Februari 2016



No comments:

Post a Comment