Monday, 23 May 2016

Fatwa Ulama Seputar Puasa di Negara Dengan Durasi Siang yang Panjang


Oleh: Firman Arifandi, LLB

Menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan dengan kondisi cuaca yang mendukung, temperatur udara yang bersahabat, serta durasi waktu yang stabil sudah menjadi perihal yang lumrah bagi muslimin di Indonesia. Namun di belahan bumi lain, terlebih di negara yang mempunyai empat musim, akan menimbulkan sejumlah pertanyaan besar bagi mereka. Yakni tatkala bulan puasa berbarengan dengan musim panas yang ekstrim, dimana daylight bisa berdurasi delapan belas jam bahkan lebih, serta menyisakan malam yang sangat pendek sekali. Dalam hal ini timbul pertanyaan, bagaiamanakah muslimin di sana harusnya berpuasa? Bagaiamanakah penentuan waktu shalatnya, mengingat jarak antara maghrib, isya, dan subuh sangat berdekatan sekali bahkan jam 03.00 pagi kadang sudah nampak seperti pukul 06.00 WIB. Hal ini menimbulkan dilema dan galau religi tersendiri bagi muslim dan WNI di negara tersebut, mengingat sejumlah dalil bersifat spesifik tentang penentuan waktu-waktu shalat dan puasa sudah sangat jelas, namun di sisi lain fakta menyeret mereka kepada ketidak-mampuan dalam menjalankannya.

Dalam surat Al-baqoroh dikatakan :
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَن كَانَ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُواْ الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ اللّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
 (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.(Al-Baqarah: 185)

Hukum Taklif Eksis Pada Kondisi yang Stabil
            Istilah galau religi sebenarnya tidak akan berlaku jika kita membaca lebih detail tentang ketentuan pembebanan dalam suatu hukum yang tertera dalam nushus. Pada ayat di atas tadi, Allah menegaskan mutlaknya berpuasa setelah melihat hilal, kemudian disebutkan kondisi dimana muslim diberikan keringanan dari kewajiban puasa saat sakit dan perjalanan jauh. Lalu tak lepas pula di sana disebutkan bahwa Allah menghendaki kemudahan bagi hambaNya.

 Dalam hal kemudahan inilah, sejumlah ulama ushul dan ulama fiqih menegaskan bahwa dalil dari nushus pada umumnya berlaku pada kondisi yang stabil serta umum, bahkan tidak bisa diberlakukan pada kondisi yang jarang terjadi.
Imam al Qarrafi menegaskan dalam Al furuq:
1.   والقاعدة أن الدائر بين الغالب والنادر إضافته إلى الغالب أولى
“Kaidah atau aturan bahwa bila terjadi konflik antara hal yang sering terjadi dan yang langka, maka diutamakan rujukan hukumnya pada yang sering terjadi[1]”.
2.   والشرع إنما يبني أحكامه على الغالب
“Dan syariat itu hukum-hukumnya dibangun berlandaskan keumuman yang terjadi[2]

Begitupula imam Ibnu Hajar Al-Asqolani mengatakan dalam Fathul Bari :
الأحكام إنما تناط بالغالب لا بالصورة النادرة
“Sesungguhnya hukum-hukum itu berlaku pada mayoritas yang terjadi, bukan pada kejadian yang jarang[3]”.
            Pada titik inilah kita merasakan fleksibilitas syariat Islam, dimana hukum yang sifatnya mutlak sekalipun tidak bisa dimaknai secara tekstual.


Fatwa Ulama
Berangkat dari ketentuan di atas, para ulama datang dengan sejumlah pertimbangan dalam kitab-kitabnya terkait kasus puasa di tempat dengan durasi siang yang lebih panjang.
Menyikapi teks dalam surat Al-Baqarah ayat 185, dalam tafsir Al-Mannar disebutkan bahwa:

Allah menyerukan kepada seluruh ummat manusia untuk melakukan segala perintahNya sesuai kemampuan mereka. Tatkala Allah menekankan perintah Shalat, dan Rasulullah menjelaskan waktunya, maka itu semua disesuaikan dengan keadaan tempat yang kondisinya stabil. Sementara negara yang memiliki waktu siang yang sangat lama dari pada waktu malam, maka waktu shalatnya bisa diperkirakan dengan ijtihad mereka. Begitupula dalam masalah puasa, puasa Ramadhan belum diwajibkan kecuali setelah melihat hilal. Bila suatu daerah tidak ada hilalnya, maka diperbolehkkan bagi penghuninya untuk melakukan analogi. Di kalangan ahli fiqih sendiri, setelah mengetahui ada sebagian daerah yang memiliki malam yang sangat panjang dan siang yang sangat pendek atau sebaliknya, mereka berselisih pendapat dalam masalah standar dalam menyesuaikan waktunya. Apakah penentuan waktu disesuaikan dengan daerah normal yang paling dekat, ataukah mengikuti waktu Mekkah dan Madinah? Dua kemungkinan itu bisa saja dipilih karena hal itu hanyalah masalah ijtihad yang kasusnya tidak terkandung dalam teks nusus[4].

Selanjutnya, dalam kitab Al hawi lil fatawi, imam jalaluddin As-Suyuthi menukil fatwa dari Al-Fazary dan imam Zarkasyi dari kitab al-Khodim ketika ditanya tentang shalat dan puasanya orang di tempat dengan durasi malam yang sangat pendek. Dikatakan di sana bahwa meskipun sinar merah di ufuk barat tidak bisa ditemukan, tetap wajib baginya shalat isya’ dan tetap berlaku baginya menjalankan puasa, muslim di daerah tersebut boleh makan ketika malam dan memulai puasanya dengan menyamakan durasi seperti tempat terdekat yang siang dan malamnya normal[5].

Adapun dalil yang dipakai adalah Qiyas terhadap hadist kedatangan dajjal di muka bumi, Diriwayatkan oleh imam Muslim, para sahabat bertanya kepada Rasulullah perihal lamanya Dajjal di muka bumi, maka Rasulullah menjawab: “Masa Dajjal hanya 40 hari, hari pertama seperti satu tahun, hari kedua seperti satu bulan, hari ketiga seperti satu minggu, lalu hari berikutnya seperti hari-hari kalian (24 jam). Kami lalu bertanya, “ya Rasulullah, apakah satu hari seperti satu tahun lamanya cukup bagi kami mengerjakan shalat satu hari saja ( shalat 5 kali dalam setahun)? Nabi Menjawab, “Tidak, akan tetapi ukurlah sesuai waktu shalat kalian dalam hari-hari biasa[6]. (HR. Muslim)

Dari redaksi hadist yang menyatakan sehari seperti setahun dan perintah melakukan analogi waktu sebagaimana hari-hari normal, para ulama seperti imam Suyuthi dan imam Zarkasyi kemudian berpendapat agar melakukan shalat dan puasa dengan mengikuti waktu negara terdekat yang memiliki durasi siang dan malam yang stabil.

Adapun pendapat ke dua adalah agar muslim di negara dengan kondisi siang yang panjang mengikuti waktu shalat dan puasa di Makkah. Pendapat ini banyak diikuti oleh lembaga fatwa seperti darul Ifta Mesir ( fatwa nomor 4777. 09/07/2013 dan fatwa nomor 3740 tanggal 31/07/2011). Adapun alasannya adalah karena ketidak mungkinan melakukan analogi terhadap negara terdekat mengingat secara letak geografis akan mengalami musim yang sama, maka dipusatkan kepada Mekah dengan laqob Ummul Quro tersebut.
Maka dalam kasus ini, terdapat dua pendapat yakni mengikuti waktu daerah terdekat dengan kondisi waktu yang stabil, atau mengikuti waktu di Mekah. Sementara dalam teknisnya, kedua pendapat tersebut tidak berbeda. Mereka boleh makan pada malam hari sampai terbitnya Fajar di tempatnya, dan harus menahan diri dari hal yang membatalkan pada siang hari sampai terbenamnya matahari sebagaimana waktu daerah yang diikuti, baik tempat terdekat menurut pendapat pertama, atau mengikuti durasi di Mekah seperti pendapat kedua. Maka jika puasa dimulai pukul 03.00 pagi hari, dan di Mekah atau tempat terdekat melakukan puasa sepanjang 15 jam, muslim tersebut boleh berbuka pada pukul 16.00 waktu setempat.

Batas Maksimal Durasi Siang yang dibolehkan Mengikuti Fatwa
Ternyata fatwa-fatwa di atas tidak berlaku bagi semua negara dengan empat musim dan summer yang ekstrim. Ada batas maksimal durasi siang dimana muslim boleh mengikuti fatwa tersebut, yakni negara dengan durasi siang tak kurang dari 18 Jam dan malam tak lebih dari 6 jam. Pertimbangannya bukan hanya pada penentuan waktu shalat maghrib hingga subuh, tapi juga pada segi kesehatan.

Maka dengan merujuk kepada kedua fatwa tersebut, atau jika ada fatwa baru dari ulama-ulama setempat, tidak ada lagi keraguan alias galau religi bagi muslimin terutama WNI di negara dengan durasi siang yang panjang untuk beribadah all out.
Wallahu a’lam bisshowab




[1] Al-Qarrafi, Abu-l-‘abbas Syihabuddin. Al-furuq. ‘alamul kutub. Juz 1 / h.208
[2] Ibid. Juz 4/ h.102
[3] Al-Asqollani, Ahmad bin Ali Bin Hajar. Fathul bari syarhu sohihil bukhori. Darul Ma’rifah. Beirut. 1379. Juz 2 / h. 199
[4] Ridha, Rasyid bin Ali. Tafsir Al Mannar. Al-Hay’ah Al-Ammah lil kitab. Mesir. 1990. Juz 2/ h. 131
[5] Suyuthi, jalaluddin. Al-hawi lil fatawi. Darul fikr. Lebanon. 2004. juz 2/ h 384
[6] Hadist Riwayat Muslim No. 2936, bab dajjal, sifat, dan perihal kedatanganya.

Tuesday, 10 May 2016

Harmonisasi Antara Tradisi dan Hukum Syari'at Dalam Konteks Qowa'id Fiqhiyyah


Oleh :  Eris Rismatulloh

PENDAHULUAN
Dalam sejarah agama-agama, konsep tradisi sangat berperan penting dalam pembentukan model dan bentuk dari agama yang bersangkutan, dan tidak dapat dipungkiri peran dari tradisi ini sangat besar pengaruhnya dalam pembentukan hukum yang ada dalam agama tersebut. Kenyataan sosial semacam ini dalam Islam diatur berdasarkan ketentuan yang baku atas sandaran Al-Qur’an dan Hadits. Pengaturan yang selektif dan proporsional dalam Islam menjadikan realitas dalam masyarakat menjadi penunjang dalam hukum-hukum Syar’i bukan menjadikan Islam sebagai Agama yang Tradisionil.   
Untuk mengatur Tradisi dan Hukum Syar’i, Ilmu fiqh menjadi hal yang sangat penting keberadaannya untuk mengatur hal tersebut, lebih spesifik lagi dalam Qowa’id Fiqhiyyah ditemukan formulasi khusus yang mengatur tradisi atau adat yaitu dalam salah satu Kaidah Asasiyah yang lima; العادة محكمة (adat atau kebiasaan bisa menjadi hukum). Tentu saja tanpa melupakan kaidah yang lain yang telah disampaikan sebelumnya, segala perkara tergantung tujuannya; Kemadharatan harus dihilangkan; Yakin tidak bisa dihilangkan oleh  keraguan dan Kesulitan dapat menarik kemudahan[1].

1.1 Latar Belakang
Dengan memahami Kaidah Asasiyah ini, kita dapat menjadi lebih bijak dalam menyikapi berbagai problematika yang muncul dalam kehidupan bermasyarakat, serta lebih mudah dalam mencari solusi bagi masalah-masalah yang muncul dan berkembang dalam masyarakat. Khususnya yang berkenaan dengan kehidupan kita sehari-hari atau yang sering kita jumpai atau adat keseharian dengan kaidah yang kelima Al-‘Aadah Muhakkamah dengan arti adat atau kebiasaan itu dapat menjadi dasar dalam penetapan hukum.

1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang makalah ini dapat diambil beberapa poin yang dianggap penting dalam pengenalan terhadap salah satu kaidah ini,
1.      Pengertian Kaidah Al-‘aadah Muhakkamah
2.      Dasar-dasar Nash dari kaidah Al-‘aadah Muhakkamah
3.      Syarat diberlakukannya kaidah ini
4.      Kaidah-kaidah fiqhiyyah yang berhubungan dengan Kaidah Al’aadah Muhakkamah

1.3 Tujuan
            Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.      Memahami arti dari Kaidah Al-‘aadah Muhakkamah
2.      Mengetahui dasar-dasar dalil dari kaidah Al’Aadah muhakkamah
3.      Mengetahui kapan Al-‘aadah ini menjadi hukum
4.      Mengetahui secar terperinci kaidah-kaidah fiqhiyyah yang berhubungan dengan kaidah Al’aadah Muhakkamah.

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dari kaidah Al-‘aadah Muhakkamah
Yang dimaksud dengan kaidah ini bahwa di suatu keadaan, adat bisa dijadikan pijakan untuk mencetuskan hukum ketika tidak ada dalil dari syari’. Namun, tidak semua adat bisa dijadikan pijakan hukum.
Dan pada dasarnya atau asal mula kaidah ini ada, diambil dari realita sosial kemasyarakatan bahwa semua cara hidup dan kehidupan itu dibentuk oleh nilai-nilai yang diyakini sebagai norma yang sudah berjalan sejak lama sehingga mereka memiliki pola hidup dan kehidupan sendiri secara khusus berdasarkan nilai-nilai yang sudah dihayati bersama. Jika ditemukan suatu masyarakat meninggalkan suatu amaliyah yang selama ini sudah biasa dilakukan, maka mereka sudah dianggap telah mengalami pergeseran nilai. Nilai-nilai seperti inilah yang dikenal dengan sebutan ‘adah (adat atau kebiasaan), budaya, tradisi dan sebagainya. Dan Islam dalam berbagai ajaran yang didalamnya menganggap adat sebagai pendamping dan elemen yang bisa diadopsi secara selektif dan proposional, sehingga bisa dijadikan sebagai salah satu alat penunjang hukum-hukum syara’.[2]
Dalam pengertian dan subtansi yang sama, terdapat istilah lain dari al-'adah, yaitu al-'urf, yang secara bahasa berarti suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya.sedangkan al-‘urf secara istilah yaitu:
العرف هو ما تعا رف عليه الناس واعتده فى اقوالهم وافعالهم حتى صار ذالك مطردا اوغا لبا
'Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan mengulang-ngulangnya dalam ucapannya dan perbuatannya sampai hal tersebut menjadi biasa dan berlaku umum".
Sedangkan arti dari kata “muhakkamah” dalam ilmu hukum Islam adalah putusan hakim dalam pengadilan dalam menyelesaikan sengketa, artinya adat juga bisa menjadi rujukan hakim dalam memutus persoalan sengketa yang diajukan ke meja hijau.
Para ahli fiqh mengatakan hal yang mashur yang berhubungan dengan kaidah ini,
كل ما ورد به الشرع مطلقا بلا ضابط منه و لا من اللغة يرجع فيه إلى العرف
“ semua yang datang dari syara’, secara mutlak, tidak ada ketentuannya dalam agama dan tidak ada dalam bahasa, maka dikembalikan kepada urf’.”[3]
Demikianlah maka semua kebiasaan yang bermanfaat dan tidak bertentangan dengan syara dalam muammalah seperti dalam jual beli,  sewa menyewa, kerja samanya pemilik sawah dengan penggarap dan sebagainya adalah merupakan dasar hukum, sehingga seandainya terjadi perselisihan diantara mereka, maka penyelesaiannya harus dikembalikan pada adat kebiasaan atau urf’ yang berlaku.

2.2 Dasar-dasar Nash dari kaidah Al-‘aadah Muhakkamah
Dasar hukum didalam Al-Qur’an yaitu:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“Dan suruhlah orang-orang mengerjakan yang makruf serta berpalinglah dari orang-orang bodoh”.(QS. Al-A’raf: 199).
 ....وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ      ....
“Dan pergaulilah mereka secara patut”. (QS. An-Nisa: 19).
Dasar hukum didalam Hadits yaitu:
مَا رَءَاهُ اْلمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَءَاهُ المُسْلِمُوْنَ سَيْئًا فَهُوَ عِنْدَااللهِ سَيْءٌ
“Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam maka baik pula di sisi Allah, dan apa saja yang dipandang buruk oleh orang Islam maka menurut Allah pun digolongkan sebagai perkara yang buruk”(HR. Ahmad, Bazar, Thabrani dalam Kitab Al-Kabiir dari Ibnu Mas'ud).[4]

2.3 Syarat diberlakukannya kaidah Al-‘aadah Muhakkamah
Al-‘aadah yang bisa dipertimbangkan dalam penetapan hukum adalah al’adah as-shahihah, bukan al-‘adah al-fasidah. Oleh karena itu, kaidah tersebut tidak bisa digunakan apabila:
1. Al-‘adah bertentangan dengan nash Al-qur’an dan hadis, seperti: puasa sehari semalam, kebiasaan menanam kepala hewan kurban waktu membuat jembatan. Kebiasaan memelihara babi, dan lain sebagainya.
2. Al-‘adah tersebut menyebabkan kemafsadatan atau menghilangkan kemashlahatan termasuk di dalamnya tidak mengakibatkan kesulitan atau kerusakan, seperti: menghambur-hamburkan harta, hura-hura dalam perayaan dan lain-lain.
3. Al-‘adah berlaku umumya dikaum muslimin, dalam arti bukan hanya yang bisa dilakukan oleh beberapa orang saja. Bila dilakukan oleh beberapa orang saja maka tidak dianggap adat.
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa ibadah mahdhah tidak dilakukan kecuali yang disyari’atkan Allah dan al-‘adah tidak diharamkan kecuali yang diharamkan Allah.
Sering terjadi benturan antara nilai islam dan tata nilai masyarakat dalam pelaksanaannya. Misalnya; masyarakat indonesia menganut tata nilai kekeluargaan, islam pun menganut tata nilai persaudaraan dan kekeluargaan. Dalam masyarakat semacam ini, aspek-aspek kelahiran, pernikahan, dan kematian sudah menjadi adat kebiasaan memperingatinya atau merayakannya. Apabila kita dekati masalah ini dari sisi kaidah fikih, maka kaidah fikih asasi yang lima tersebut diatas juga harus diperhatikan dan dijadikan pisau analisis terhadap kasus tersebut. Tidak cukup hanya dengan menggunakan kaidah al-‘adah muhakkamah tetapi juga kaidah-kaidah asasi lainnya:  al-‘umuru bi maqoshidiha, al-yaqin la yuzal bisy- syakk, al-masyaqqah tajlibut taisir, dan adlororu yuzal.

2.4 Kaidah-kaidah fiqhiyyah yang berhubungan dengan Kaidah Al’aadah Muhakkamah
1)      اِسْتِعْمَالُ النَّاسِ حُجَّةٌ يَجِبُ العَمَلُ بِهَا        
Apa yang biasa diperbuat orang banyak adalah hujjah (alasan/argument/dalil) yang wajib diamalkan”
Maksud kaidah ini adalah apa yang sudah menjadi adat kebiasaan di masyarakat, menjadi pegangan, dalam arti setiap anggota masyarakat menaatinya.
Contoh: Apabila tidak ada perjanjian antara sopir truk dan kuli mengenai menaikkan dan menurunkan batu bata, maka sopir diharuskan membayar ongkos sebesar kebiasaan yang berlaku.
2)       اِنَّمَا تُعْتَبَرُ العَادَةُ اِذَا اضْطَرَدَتْ اَو غَلَبَتْ
Adat yang dianggap (sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah adat yang terus-menerus berlaku atau berlaku umum”
Dalam masyarakat suatu perbuatan atau perkataan yang dapat diterima sebagai adat kebiasaan, apabila perbuatan atau perkataan tersebut sering berlakunya, atau dengan kata lain sering berlakunya itu sebagai suatu syarat (salah satu syarat) bagi suatu adat untuk dapat dijadikan sebagai dasar hukum.
 Contoh: Apabila seorang yang berlangganan koran selalu diantar ke rumahnya, ketika koran tersebut tidak di antar ke rumahnya, maka orang tersebut dapat menuntut kepada pihak pengusaha koran tersebut.
3)       العِبْرَةُ للِغَالِبِ الشَّا ئِعِ لاَ لِلنَّادِرِ
Adat yang diakui adalah yang umumnya terjadi yang dikenal oleh manusia bukan dengan yang jarang terjadi”
Ibnu Rusydi menggunakan ungkapan lain, yaitu:
الحُكْمُ بِالمعْتَادِ لاَ بِا النَّادِرِ
Hukum itu dengan yang biasa terjadi bukan dengan yang jarang terjadi”
Contoh: Menetapkan hukum mahar dalam perkawinan namun tidak ada kejelasan berapa banyak ketentuan mahar, maka ketentuan mahar berdasarkan pada kebiasaan.
4)       المَعْرُوْفُ عُرْفَا كَالْمَشْرُوْطِ شَرْطًا
Sesuatu yang telah dikenal ‘urf seperti yang disyaratkan dengan suatu syarat”
Maksudnya adat kebiasaan dalam bermuamalah mempunyai daya ikat seperti suatu syarat yang dibuat.
Contoh: Menjual buah di pohon tidak boleh karena tidak jelas jumlahnya, tetapi karena sudah menjadi kebiasaan maka para ulama membolehkannya.
5)       الْمَعْرُوْفُ بَيْنَ تُجَّارِ كَالْمَشْرُوْطِ بَيْنَهُمْ
Sesuatu yang telah dikenal di antara pedagang berlaku sebagai syarat di antara mereka”
Sesuatu yang menjadi adat di antara pedagang, seperti disyaratkan dalam transaksi.
Contoh: Transaksi jual beli batu bata, bagi penjual untuk menyediakan angkutan sampai kerumah pembeli. Biasanya harga batu bata yang dibeli sudah termasuk biaya angkutan ke lokasi pembeli.
6)       التَّعْيِيْنُ باِلْعُرْفِ كَالتَّعْيِيْنِ بِالنَّص
Ketentuan berdasarkan ‘urf seperti ketentuan berdasarkan nash”
Penetapan suatu hukum tertentu yang didasarkan pada ‘urf dan telah memenuhi syarat-syarat sebagai dasar hukum, maka kedudukannya sama dengan penetapan suatu hukum yang didasarkan pada nash.
Contoh: Apabila orang memelihara sapi orang lain, maka upah memeliharanya adalah anak dari sapi itu dengan perhitungan, anak pertama untuk yang memelihara dan anak yang kedua utuk yang punya, begitulah selanjutnya secara beganti-ganti.
7)       الممْتَنَعُ عَادَةً كَالْمُمْتَنَعِ حَقِيْقَةً
 “Sesuatu yang tidak berlaku berdasarkan adat kebiasaan seperti yang tidak berlaku dalam kenyataan”
Maksud kaidah ini adalah apabila tidak mungkin terjadi berdasarkan adat kebiasaan secara rasional, maka tidak mungkin terjadi dalam kenyataannya.
Contoh: Seseorang mengaku bahwa tanah yang ada pada orang itu miliknya, tetapi dia tidak bisa menjelaskan dari mana asal-usul tanah tersebut.
8)       الحَقِيْقَةُ تُتْرَكُ بِدَلاَلَةِ العَادَةِ
Arti hakiki (yang sebenarnya) ditinggalkan karena ada petunjuk arti menurut adat”
Contoh: Apabila seseorang membeli batu bata sudah menyerahkan uang muka, maka berdasarkan adat kebiasaan akad jual beli telah terjadi, maka seorang penjual batu bata tidak bisa membatalkan jual belinya meskipun harga batu bata naik.
9)       الاِذْنُ العُرْفِ كَالاِذْنِ اللَفْظِى
Pemberian izin menurut adat kebiasaan adalah sama dengan pemberian izin menurut ucapan”
Contoh: Apabila tuan rumah menghidangkan makanan untuk tamu tetapi tuan rumah tidak mempersilahkan, maka tamu boleh memakannya, sebab menurut kebiasaan bahwa dengan menghidangkan berarti mempersilahkannya.

 PENUTUP
Bahwasannya Kaidah fikih asasi kelima adalah tentang adat atau kebiasaan, dalam bahasa Arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-‘adat dan al-‘urf. al-‘adah atau al-‘urf  adalah Apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.
Istilah adat dan al-’Urf memang berbeda jika ditinjau dari dua aspek yang berbeda pula. Perbedaannya, istilah adat hanya menekankan pada aspek pengulangan pekerjaan. Sementara al-’Urf hanya melihat pelakunya. Di samping itu adat bisa dilakukan oleh pribadi maupun kelompok, sementara al-’Urf harus harus dijalani oleh komunitas tertentu. Sederhananya, adat hanya melihat aspek pekerjaan, sedangkan al-’Urf lebih menekankan aspek pelakunya. persamaannya, adat dan al-’Urf  adalah sebuah pekerjaan yang sudah diterima akal sehat, tertanam dalam hati, dilakukan berulang-ulang dan sesuai dengan karakter pelakunya. Hukum yang didasarkan pada adat akan berubah seiring perubahan waktu dan tempat dalam arti bahwa hukum-hukum fiqh yang tadinya di bentuk berdasarkan adat istiadat yang baik itu akan berubah bilamana adat istiadat itu berubah.

REFERENSI
As-suyuthi, Jalaluddin. Al-asybah wan-nadzoir. Darul Kutub Ilmiah. 1990.
Muchlis Usman. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, pedoman dasar dalam istinbath       hukum. PT Raja Grafindo persada.1999. Jakarta.
Tamrin Dahlan, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah), Malang. UIN Maliki Press.  2010.





[1] As-suyuthi, Jalaluddin. Al-asybah wan-nadzoir. Darul Kutub Ilmiah. 1990. Hal 7
[2] Dahlan, Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah), Malang. UIN Maliki Press. 2010. Hal.203 
[3] As-suyuthi, Jalaluddin. Al-asybah wan-nadzoir. Darul Kutub Ilmiah. 1990. Hal 196
[4] Dahlan, Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah), Malang, UIN Maliki Press2010. Hal 209

Monday, 9 May 2016

Rasionalisasi Kemudahan Dalam Lingkup Qowa'id Fiqhiyyah



Oleh: Ikmal Toha Kamaluzzaman

PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
Pokok pembahasan terkait kaidah kemudahan dalam syariat islam sangat penting sekali , karena erat kaitannya dengan dinamika kehidupan manusia baik dalam skala individu maupun bermasyarakat, yang mana dalam hidup bersosialisasi selalu bergelut dengan beragam peristiwa baik itu yang sisebabkan dari dalam diri ataupun dari luar, adakalanya senang, sedih, gembira, aman, takut, khawatir dan lainnya.
Merupakan kasih sayang Allah SWT terhadap hamba-Nya yang mana syariat yang Dia turunkan tidak berupa paksaan tanpa memberikan keringanan, karena sesungguhnya maksud dan tujuan dari diturunkannya syariat tiada lain untuk menghilangkan kesusahan dan mencari kemudahan.  [1]
Sebagai agama yang memiliki misi kemaslahatan universal (rahmatan lil ‘alamin), Islam sangat memperhatikan unsur-unsur kesulitan yang dialami umatnya. Kaidah  Almasyaqqoh tajlibu attaisir merupakan kontruksi dasar fiqih yang menunjukan bahwa Islam memberikan perhatian besar pada kesulitan yang dihadapi kaum muslimin dalam menjalani syariat, baik dalam konstruksi ritual (ibadah) maupun sosial (muamalah), jika dalam menjalankan sebuah kewajiban mengalami kendala, maka di titik inilah Islam memberikan toleransi dengan segala kemudahannya.

B.       Rumusan Masalah
Pembahasan terkait judul diatas dibagi menjadi lima, yaitu:
1.      Definisi kaidah Almasyaqqotu tajlibu attaysir dari segi etimologis dan terminologis
2.      Dasar pengambilan kaidah
3.      Karakter dan kualifikasi Masyaqqoh
4.      Rukhsoh, yang meliputi:
-          definisi rukhshah dan ‘azimah,
-          Hukum-hukum rukhshah,
-          Bentuk-bentuk rukhshah,
-          Obyek-obyek atau faktor penyebab adanya rukhshah
5.      Kaidah turunan dari kaidah asas Almasyaqqoh
C.       TUJUAN
Supaya pembaca mengetahui definisi kaidah Almasyaqqotu tajlibu Attaisir, mengetahui macam-macam kesulitan yang bisa mendapatkan keringanan, bagaimana karakternya, bagaimana bentuk-bentuk rukhshah, apa saja yang menyebabkan seseorang mendapat rukhshah serta permasalahan-permasalahan lain yang berkenaan dengan masyaqqah (kesulitan) dan rukhshah (keringanan hukum) serat qoidah-qoidah turunan dari Qo’idah Almasyaqqotu tajlibu Attaisir  sehingga bisa pengetahuannya bisa diamalkan dalam kehidupannya sehari-hari.

PEMBAHASAN
A.       Definisi Kaidah
Al-masyaqqah secara etimologis berarti al-ta’ab yaitu kelelahan, kepayahan, kesulitan, dan kesukaran, sebagaimana yang terdapat dalam QS. Al-Nahl ayat 7:
وَتَحْمِلُ أَثْقَالَكُمْ إِلَى بَلَدٍ لَمْ تَكُونُوا بَالِغِيهِ إِلَّا بِشِقِّ الْأَنْفُسِ
“Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri.”
Sedangkan al-taysir secara etimologis berarti kemudahan, seperti di dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim disebutkan:
إِنَّ الدِيْنَ يُسْرٌ
“Agama itu mudah, tidak memberatkan.”
Adapun makna terminologi kaidah asasi ketiga di atas adalah:
إن الأحكام التى ينشأ عن تطبيقها حرج على المكلف ومشقة فى نفسه أو ماله فالشريعة تخففهما بما يقع تحت قدرة المكلف دون عسر أو حرج.
“Hukum yang praktiknya menyulitkan mukallaf; dan pada diri dan sekitarnya terdapat kesulitan, maka syari’at meringankannya sehingga beban tersebut berada di bawah kemampuan mukallaf tanpa kesulitan dan kesusahan.”[2]
Jadi makna kaidah tersebut adalah kesulitan menyebabkan adanya kemudahan. Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf , maka syari’ah meringankannya sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran[3].

B.       Dasar Kaidah
1.      Al-Qur'an
-       Surat Al-Baqarah: 185
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 185)
-       Surat al-Hajj ayat: 78
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”[4].
2.      Al-Hadits
Banyak sekali hadits Nabi SAW yang menjadi dasar terbentuknya kaidah ini, di antaranya adalah:
الدّيْنُ يُسْرٌ اَحَبُّ الدِّيْنِ إِلَى اللهِ الْحَنِيْفِيَّةُ السَّمْحَةُ (أخرجه البخارى عن أبى هريرة(
“Agama itu adalah mudah, agama yang disenangi Allah adalah agama yang benar dan mudah”.
يَسِّرُوْا وَلاَ تُعَسِّرُوْا (أخرجه البخارى عن أنس(
“Mudahkanlah dan jangan mempersukar”.
إِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِيْنَ وَلَمْ تُبْعَثُوْا مُعَسِّرِيْنَ (رواه الشيخان(
“Kalian semua (kaum muslimin dengan perantara Nabi SAW) diutus untuk memberi kemudahan; tidak untuk menyulitkan”. (HR. Bukhari dan Muslim)
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ دِيْنَ اللهِ يُسْرٌ، ثَلاَثًا
“Rasulullah SAW bersabda: ‘Sesungguhnya agama Allah adalah agama yang mudah’. (Kata-kata itu) diucapkan tiga kali.” (HR. Ahmad)
مَا خُيِّرَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلاَّ اخْتاَرُ أَيْسَرُهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا
“Tidaklah Rasulullah diberi pilihan di antara dua perkara, kecuali beliau memilih yang lebih mudah atau ringan, selama yang lebih mudah itu bukan perbuatan dosa.” (HR. Bukhari dan Muslim)
يَسِّرُوْا وَلاَ تُعَسِّرُوْا
“Permudahlah dan jangan mempersulit.”
Dan masih banyak dalil lainnya. Imam asy-Syathibi mengatakan: “Dalil-dalil tentang kemudahan bagi umat ini telah mencapai derajat yang pasti[5]
Dari akumulasi dalil qur’an dan hadits diatas bisa disimpulkan bahwa dalam menjalani agama itu mudah dan tercetuslah satu kaidah asas fiqih al masyaqqah tajlib al-taysir . namun tentunya yang dimaksud kemudahan-kemudahan yang allah SWT berikan bukan tanpa aturan sehingga menjadi mempermudah agama, ada sebab dan batasan yang harus dipenuhi sehingga kemudahan itu bisa diperoleh.

C.       Kemudahan dalam islam ada dua, yaitu:
1.        Kemudahan asli
Semua syari’at dan hukum Islam, semuanya adalah mudah. Inilah yang biasa dimaksud dalam banyak dalil. Imam Ibnu Hazm berkata: “Semua perintah Allah kepada kita adalah mudah dan tidak berat. Dan tidak ada kemudahan yang lebih daripada sesuatu yang mengantarkan manusia menuju surga dan menjauhkan mereka dari neraka”.
2.        Kemudahan karena ada sebab
Semua syari’at pada asalnya mudah, sekalipun demikian bila ada sebab maka Allah menambah kemudahan lagi, seperti orang safar diberikan keringanan untuk qoshor dan jama’, orang tidak bisa berwudhu diberi keriganan untuk tayammum dan seterusnya[6].

D.       Karakter Kesulitan (Al-Masyaqqoh)
Dalam kitabnnya Al-Asybah wa An-nadzoir, Imam As-suyuthi membagi kesulitan sesuai karakternya kedalam dua pembagian pokok:
1.    مشقة لا تنفك عنها العبادة غالبا
Kesulitan yang tidak dapat menggugurkan kewajiban (ibadah). Misalnya rasa lelah ketika melakukan perjalanan haji, tidak secara otomatis menggugurkan kewajiban haji. Rasa capek dan takut dalam peperangan, tidak dapat menggugurkan kewajiban jihad. Masalahnya, masyaqqah semacam itu sudah merupakan tabi’at dasar dan konsekuensi logis dari jenis pekerjaan yang sedang dilakukan.
2.    مشقة تنفك عنها العبادة غالبا
Kesulitan yang dapat menggugurkan kewajiban, dan terbagi menjadi tiga tingkatan:
a.    مشقة عظيمة فادحة  yaitu kesulitan yang sangat berat dan sulit ditanggung. Seperti rasa khawatir akan keselamatan jiwa, harta, keturunan, organ tubuh, dan hal-hal mendasar lainnya. Pada taraf inilah syari’at memberlakukan keringanan hukum (rukhshah). Sebab, pemeliharaan jiwa dan raga untuk menjalankan kewajiban-kewajiban syari’at lebih diutamakan dari pada tidak melakukan sama sekali.
b.    مشقة خفيفة لا وقع لها   yaitu kesulitan yang ringan. Seperti pegal-pegal, pilek, pusing, dan lain sebagainya. Pada strata ini, tidak ada sama sekali legitimasi syari’at untuk memberi rukhshah. Sebab ke-maslahat-an ibadah masih lebih penting dari pada menghindari mafsadah (kerusakan) yang timbul dari masyaqqah kategori ini.
c.    متوسطة بين هاتين المرتبتين  yaitu kesulitan sedang yang berada di antara dua bagian sebelumnya. Jenis masyaqqah yang terakhir ini bisa mendapat rukhshah, jika telah mendekati kadar masyaqqah pada urutan yang tertinggi. Dan sebaliknya apabila lebih dekat pada kategori masyaqqah yang paling ringan maka ia tidak dapat menyebabkan rukhshah.[7]

E.        Rukhsoh
1.        Definisi Rukhshah dan ‘Azimah
Rukhshah adalah sebuah kodifikasi hukum yang diberikan syari’at bagi mukallaf yang mengalami kesulitan dalam melaksanakan taklif yang dibebankan kepadanya. Dengan kata lain, rukhshah adalah sebuah formulasi hukum yang telah berubah dari bentuk asalnya, karena mempertimbangkan obyek hukum, situasi, kondisi, dan tempat tertentu. Bisa pula dimaknai sebagai diperbolehkannya sesuatu yang asalnya dilarang, beserta wujudnya dalil yang melarang. [8]
Sebaliknya, jika formulasi hukum syari’at tidak mengalami perubahan, maka ia dinamakan ‘azimah. Atau dapat dikatakan, ‘azimah adalah suatu formulasi hukum-hukum dasar syari’at yang bersifat umum dan tidak terbatas pada obyek, situasi, kondisi, dan orang tertentu.[9]

2.        Hukum-Hukum Rukhshah
Bila ditilik dari sisi hukumnya, rukhshah terbagi menjadi lima:
a.       Rukhshah wajib. Contohnya memakan bangkai bagi orang yang sedang kelaparan, atau minum arak (khamr) bagi seseorang yang tenggorokannya tersumbat hingga tak bisa bernafas.
b.      Rukhshah sunnah. Misalnya shalat qashar bagi seorang musafir yang telah melakukan perjalanan sepanjang dua marhalah atau lebih, dan berbuka puasa bagi orang yang sakit atau musafir yang mengalami masyaqqah bila melaksanakan puasa.
c.       Rukhshah mubah. Contohnya seperti transaksi pesan-memesan (salam) dan sewa-menyewa (ijarah).
d.      Rukhshah khilaf al-awla (lebih utama ditinggalkan). Seperti membilas bagian luar sepatu kulit menjama’ shalat atau berbuka puasa bagi seorang musafir yang tidak mengalami masyaqqah bila harus mengerjakannya. Begitu pula tayamum bagi orang yang telah mendapat air, tapi harus dibeli dengan nilai di atas harga standar, sementara dia sebenarnya memiliki uang (mampu) untuk membelinya.
e.       Rukhshah makruh. Contohnya menqashar shalat dalam perjalanan yang belum mencapai tiga marhalah.

3.        Bentuk-Bentuk Rukhshah
Berdasarkan bentuknya, rukhshah terbagi menjadi enam:
a.       تخفيف إسقاط : Rukhshah yang berbentuk pengguguran kewajiban. Seperti uzur shalat jum’at, haji, umrah, dan jihad. Jika semua pekerjaan itu tidak dapat terlaksana akibat adanya uzur dengan ketentuan-ketentuan tertentu.
b.       تخفيف تنقيص: Rukhshah yang berupa pengurangan kuantitas pekerjaan. Seperti diperbolehkannya qashar bagi musafir.
c.        تخفيف إبدال: Rukhshah berbentuk penggantian. Contohnya mandi dan wudhu boleh diganti dengan tayamum. Kewajiban berdiri dalam shalat yang dapat diganti duduk, duduk yang dapat diganti dengan shalat berbaring miring (idhthija’) dan idhthija’ diganti dengan isyarat.
d.       تخفيف تقديم: Rukhshah dengan mendahulukan. Misalnya dalam jama’ taqdim, di mana shalat ashar boleh didahulukan pada waktu zhuhur, mendahulukan membayar zakat sebelum hawl, membayar kafarah sumpah sebelum pelanggaran sumpahnya dilakukan.
e.        تخفيف تأخير: Rukhshah berupa penundaan aktivitas. Seperti shalat jama’ ta’khir. Shalat zhuhur boleh ditunda atau dilaksanakan pada waktu ashar, puasa Ramadhan boleh dilakukan pada bulan-bulan sesudahnya bagi orang yang sakit atau musafir.
f.        تخفيف ترخيص: Rukhshah berbentuk peringanan. Seperti diperbolehkannya memakan bangkai saat kelaparan, berobat dengan obat-obatan atau makanan yang najis atau haram, dan minum arak (khamr) untuk melegakan lubang tenggorokan yang tersumbat.
Selain enam pemilahan di atas, al-‘Ala’i menambahkan lagi bentuk rukhshah yang diberi nama rukhshah تخفيف تغيير(rukhshah keringanan-perubahan). Seperti perubahan runtutan gerak dalam shalat saat situasi yang menakutkan (shalat al-khawf), semisal shalat dalam masa peperangan, namun sebagian ulama berpendapat bahwa kasus seperti ini masuk kedalam kelompok no 2.[10]

4.        Obyek – Obyek Rukhshah
Seperti sudah dijelaskan di pendahuluan, bahwa keringanan dalam beragama yang diberikan oleh Allah SWT tidak serta merta kita mempermudah agama tanpa aturan. Ada tujuh sebab jatuhnya rukhsoh:
a.         Ikrah (pemaksaan)
Misalnya memakan bangkai atau makanan haram, mengucapkan kekafiran dengan meneguhkan hatinya. Firman Allah SWT dalam surat An-nahl : 106:
barangsiapa yang kufur kepada Allah setelah mempercayainya (dia mendapatkan kemurkaan dari-Nya), kecuali bagi orang yang dipaksa, padahal dalam hatinya tetap tenang dalam keimanannya”[11]
b.        Nis-yan (lupa)
Secara terminologis, nis-yan adalah hilangnya daya ingat terhadap hal-hal yang sudah diketahui (ma’lum). Untuk mengingatnya kembali dibutuhkan usaha dari awal lagi. Berbeda dengan sahwu (lalai) yang hanya berupa keadaan lupa yang bersifat temporal (sementara).
c.         Jahl (ketidaktahuan)
Syari’at membagi ketidaktahuan yang bisa mendapat rukhshah dalam dua kategori berikut:
1.      Ketidaktahuan hukum syari’at karena baru masuk Islam. Dalam kondisi ini, Islam memberikan toleransi yang sangat rasional dan manusiawi.
2.      Ketidaktahuan karena keberadaan situasi dan kondisi yang memang tidak memungkinkan. Seperti seorang muslim yang hidup di daerah terpencil, di hutan belantara, ataupun di sebuah komunitas besar yang antara mereka tidak ada yang mengetahui hukum-hukum agama. [12]
d.        Al-‘Usr (kesulitan)
Yaitu kesulitan yang umum dan sukit untuk dihindari, seperti percikan air yang bercampur lumpur najis seringkali mengenai pakaian. Sementara kita sangat sulit menghindari hal itu. Sebab lumpur-lumpur najis itu begitu banyak dan nyaris memenuhi badan jalan. Contoh lain adalah darah bisul, darah jerawat, darah orang lain, kotoran lalat, dan kotoran burung. [13]
e.         Safar (bepergian).
Menurut Imam An-nawawi ada delapan kemudahan yang didapatkan oleh orang yang bepergian, yang dikelompokan menjadi empat kelompok, yaitu:
1.        Rukhshah yang dikhususkan dengan perjalanan jauh, yakni telah mencapai dua marhalah:
·         Meringkas shalat
·         Membatalkan puasa bulan ramadhan
·         Membasuh khuff
2.        Rukhsosh yang tidak dikhususkan untuk perjalanan jauh saja, seperti
·           Meninggalkan shalat jum’at
·           Memakan bangkai
3.        Rukhsoh yang masih dalam perselisihan para ulama, yang paling benar adalah adanya pengkhususan untuk perjalanan jauh, yaitu:
·         Jama’ shalat. Untuk menjama’ shalat
4.        Rukhsoh yang masih dalam perselisihan para ulama, yang paling benar adalah tidak adanya pengkhususan untuk perjalanan jauh, yaitu:
·         Gugurnya kewajiban shalat yang bersuci dengan cara tayamum.
·         Shalat diatas kendaraan
f.         Maradh (sakit).
Penyakit yang bisa mendapatkan rukhsoh yaitu penyakit yang menimbulkan dampak yang membahayakan apabila memaksakan melakukan suatu ibadah. Seperti dibolehkannya tayammum bagi yang sakit, shalat sambil tidur, duduk maupun isyarah.
g.         Nilai Minus (Naqish).
Yang dimaksud dengan minus adalah yang bersifat insting-psikologis (tabiat kejiwaan) seperti wanita, orang gila, anak-anak, idiot, hamba sahaya dan orang sakit. Dengan alasan hipotesa tersebut, syari’at memberikan keringanan hukum bagi mereka. perempuan mendapat beban taklif lebih ringan dibanding laki-laki, seperti tidak wajib shalat Jumat, tidak wajib jihad, tidak wajib membayar diyat (denda) dan jizyah, boleh memakai kain sutra dan perhiasan dari emas, termasuk hakikat dibolehkannya berpoligami dan lain sebagainya. [14]

F.        Kaidah-Kaidah Turunan Yang Senada
Kaidah-kaidah cabang dari kaidah dasar Almasyaqqoh tajlibu al taysir, yaitu:
1.      ذَا ضَاقَ اْلأَمْرُ اتَّسَعَإ
“Ketika sesuatu menjadi sempit, maka hukumnya menjadi luas (ringan)”
Dengan kata lain, keringanan hukum akan diperoleh disebabkan kondisi sulit dan sempit. Contohnya sebagaimana nasib seorang gadis yang tidak memiliki wali, atau berada jauh dari rumahnya. Pada saat yang sama ia bertemu seorang laki-laki idaman yang akan mau menikahinya. Dalam kondisi seperti ini, wanita yang notabene menghadapi kesulitan diperbolehkan “mengangkat” orang lain (yang bukan mahram) untuk menjadi walinya (muhakkam).
Contoh lain seperti fenomena yang sering terjadi di musim kemarau, di mana lalat-lalat banyak bertebaran membawa najis di kakinya. Jika lalat-lalat nakal itu hinggap di tubuh kita, maka najis-najis di kaki mereka hukumnya ma’fu. Sebab, kita sangat sulit menghindar. Dengan kata lain, najis yang mengenai tubuh saat kondisi sulit (dhaqa), akan membuat hukum menjadi ringan (ittasa’a) berupa di-ma’fu-nya najis-najis tersebut.
2.  إِذَا اتَّسَعَ اْلأَمْرُ ضَاقَ
“Ketika keadaan lapang, maka hukumnya menjadi sempit (ketat).”
Contohnya, ketika melaksanakan shalat, kita tidak diperbolehkan melakukan gerakan. Sebab kondisi kita saat itu tidak menuntut dilakukannya suatu gerakan. Akan tetapi, jika gerakan itu dilakukan untuk menghindari serangan ular berbisa, kalajengking, dan binatang berbisa lainnya, maka pergerakan tersebut diperbolehkan.
3.  كُلُّ مَا تَجَاوَزَ عَنْ حَدِّهِ انْعَكَسَ إِلَى ضِدِّهِ
“Setiap sesuatu yang sudah melewati batas kewajaran, memiliki hukum yang sebaliknya”
Kaidah yang ketiga ini adalah hasil sintesa dua kaidah sebelumnya. Artinya, kaidah ini memandang, sempit dan luasnya suatu keadaan akan berakibat timbulnya hukum kebalikannya; ketika kondisi sulit berarti hukumnya ringan; saat keadaan lapang akan membuat hukum menjadi ketat. Al-Ghazali-lah yang melakukan upaya sintetik tersebut, yakni melalui perpaduan dua kaidah cabang sebelumnya, yang jika dilihat sepintas agaknya saling bertolak belakang, padahal kenyataannya mempunyai substansi yang senada.
4.   إِذَا تَعَزَّرَ اْلأَصْلُ يُصَارُ إِلَى اْلبَدَلِ
“Apabila yang asli sukar dikerjakan maka berpindah kepada penggantinya”
Contohnya: Tayamum sebagai ganti wudhu.
5.  مَا لاَ يُمْكِنُ التَّحَرُزُ مِنْهُ مَعْفُوْ عَنْهُ
“Apa yang tidak mungkin menjaganya (menghindarkannya), maka hal itu dimaafkan”
Contohnya: Pada waktu sedang shaum, kita berkumur-kumur, maka tidak mungkin terhindar dari rasa air di mulut atau masih ada sisa-sisa
6.  الرُّخْصُ لاَ تُنَاطُ بِالْمَعَاصِى
“Keringanan itu tidak dikaitkan dengan kemaksiatan”
Contohnya: Orang bepergian dengan tujuan melakukan maksiat, misalnya untuk membunuh orang atau untuk berjudi atau berdagang barang-barang yang diharamkan, maka orang semacam ini tidak boleh menggunakan keringanan-keringanan di dalam hukum Islam.
7.  ذَا تَعَزَّرَتِ الْحَقِيْقَةُ يُصَارُ إِلَى الْمَجَاِزإ
“Apabila suatu kata sulit diartikan dengan arti yang sesungguhnya, maka kata tersebut berpindah artinya kepada arti kiasannya”.
8.  إِذَا تَعَزَّرَ إِعْمَالُ الْكَلاَمِ يُهْمَلُ
“Apabila sulit mengamalkan suatu perkataan, maka perkataan tersebut ditinggalkan”.
Contohnya : Seseorang yang menuntut warisan dan dia mengaku saudara sekandung dari si mayit, kemudian setelah di teliti dari kartu keluarga, ternyata si mayit tidak memiliki saudara. Maka perkataan orang tersebut ditinggalkan dalam arti tidak diakui perkataannya.
9.  يُغْتَفَرُ فِى الدَّوَامِ مَا لاَ يُغْتَفَرُ فِى اْلإِبْتِدَاءِ
“Bisa dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak bisa dimaafkan pada permulaannya”.
  Contoh : Haji Syarkawi berkata “Saya wakafkan tanah saya kepada anak Haji Ishaq”. Padahal semua orang mengetahui bahwa anak Haji Ishaq sudah lama meninggal, yang ada adalah hanyalah cucunya bernama Sarifudin. Maka dalam hal ini, kata anak harus diartikan cucunya, yaitu kata kiasannya, bukan kata sesungguhnya. Sebab, tidak mungkin mewakafkan harta kepada orang yang sudah meninggal.
10.                   يُغْتَفَرُ فِى اْلإِبْتِدَاءِ مَا لاَ يُغْتَفَرُ فِى الدَّوَامِ
“Dimaafkan pada permulaan tapi tidak dimaafkan pada kelanjutannya”.
Contohnya : Seseorang yang baru masuk Islam dan tidak tahu bahwa judi, berzinah atau minuman keras itu dilarang atau haram, maka orang tersebut dimaafkan untuk permulaannya karena ketidaktahuannya. Selanjutnya, setelah dia mengetahui bahwa judi, berzinah atau minuman keras hukumnya haram, maka ia harus menghentikan perbuatan haram tersebut.
11.                   يُغْتَفَرُ فِى التَّوَابِعِ مَا لاَ يُغْتَفَرُ فِى غَيْرِهَا
“Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada yang lainnya”.
Contohnya : Pedagang membeli bawang 5 karung di sebuah agen, kemudian bawang tersebut dipisahkan dari karung, karena karung tersebut mengikuti kepada bawang yang dijual, dan maksud tidak dimaafkan pada yang lain seperti cincin emas yang didapatkan dari bawang tersebut dan diketahui pula adalah kepunyaan pemilik agen.[15]


PENUTUP
Kelonggaran dan kemudahan dalam menjalani syariat menunjukan ke-universal-an islam, tidak kaku, fleksible, dan sesuai dengan tempat dimanapun dan jaman kapanpun. Mengingat hukum Islam yang belum atau tidak dijelaskan secara langsung oleh Al-Qur’an dan Al-Hadits dan baru bisa diketahui setelah terjadi penggalian lewat ijtihad, maka dikenallah sebutan dalam fiqih suatu istilah hukum dzanni atau hukum ijtihad sehingga berpengaruh pada penerapan hukumnya (تطبيق الأحكام) yang harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi, bahkan harus sejalan dengan tuntutan zaman beserta kemaslahatan-kemaslahatannya yang menjadi prinsip utama disyari’atkannya syari’ah (maqashid al-syari’ah) dalam menyelesaikan permasalahn hukum yang dijalani oleh mukallaf. Kesukaran dan kesulitan yang menjadi problematika dan dilema yang terjadi pada mukallaf menuntut adanya penetapan hukum untuk mencapai kemaslahatan dan kepastian hukum guna menjawab permasalah yang terjadi. 

REFERENSI
Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman. Al-asybah wa An-Nadzhair fi qawa’id wa furu fiqh syafi’i. Darul Kutub Ilmiyah Beirut 1983
Asy-syatibi, Ibrahim bin Musa Abu Ishaq. Al-muwafaqot fi Ushul As-syari’ah. Darul Kitab Al-Arabi Beirut 2012.
Al-bahisin, Ya’qub bin Abdu-l-wahhab. Qo’idah Al-masyaqqoh Tajlib At-taysir Dirasatan Nadzriyyatan Tathbiqiyyatan . Maktabah Ar-rusyd Riyad 2003
Al-Khadimi, Nur-d-din Mukhtar. Al-qawa’id Al-fiqhiyah. Jami’at Tunis Al-Iftirodliyyah UVT 2007
Al-Zuhaili, Wahbah. Ushul Al-fiqh Al-Islami. Dar-el-Fikr Damaskus 1986
 Az-Zarqo, Ahmad bin Muhammad. Syarhu Al-Qowa’id Al-Fiqhiyyah. Dar-el-Qolam Damaskus 1989




[1] Al-bahisin, Ya’qub bin Abdu-l-wahhab. Qo’idah Al-masyaqqoh Tajlib At-taysir Dirasatan Nadzriyyatan Tathbiqiyyatan . Maktabah Ar-rusyd Riyad 2003 hal.120
[2] Al-Khadimi, Nur-d-din Mukhtar. Al-qawa’id Al-fiqhiyah. Jami’at Tunis Al-Iftirodliyyah UVT 2007
[3] http://ushulfikih.blogspot.com/2012/05/kaidah-asasiyah-tentang-al-masyaqqah.html
[4] Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman. Al-asybah wa An-Nadzhair fi qawa’id wa furu fiqh syafi’i. Darul Kutub Ilmiyah Beirut 1983 hal.129
[5] Asy-syatibi, Ibrahim bin Musa Abu Ishaq. Al-muwafaqot fi Ushul As-syari’ah. Darul Kitab Al-Arabi Beirut 2012. Hal.168
[6] Al-Ihkam 2/176
[7] Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman. Al-asybah wa An-Nadzhair fi qawa’id wa furu fiqh syafi’i. Darul Kutub Ilmiyah Beirut 1983 hal.137
[8] Al-Zuhaili, Wahbah. Ushul Al-fiqh Al-Islami. Dar-el-Fikr Damaskus 1986
[9] Asy-syatibi, Ibrahim bin Musa Abu Ishaq. Al-muwafaqot fi Ushul As-syari’ah. Darul Kitab Al-Arabi Beirut 2012. Hal.168
[10] Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman. Al-asybah wa An-Nadzhair fi qawa’id wa furu fiqh syafi’i. Darul Kutub Ilmiyah Beirut 1983 hal.138
[11] ibid
[12] Az-Zarqo, Ahmad bin Muhammad. Syarhu Al-Qowa’id Al-Fiqhiyyah. Dar-el-Qolam Damaskus 1989 hal.159
[13] http://ushulfikih.blogspot.com/2012/05/kaidah-asasiyah-tentang-al-masyaqqah.html
[14] Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman. Al-asybah wa An-Nadzhair fi qawa’id wa furu fiqh syafi’i. Darul Kutub Ilmiyah Beirut 1983 hal.136
[15] http://ahmadzarkasyi-blog.blogspot.com/2014/07/kaidah-asasiyyah-tentang-al-masyaqqah.html