Pengarang
: Qutubuddin ahmad bin Abdurrahim bin Wajihuddin
al-Umriy ad-Dahlawi
I’dad : Hizbullah Zein
Keberangaman dan perbedaan pendapat adalah
sesuatu yang niscaya. Hal ini telah di isyaratkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala
dalam Alqur’an “wahai sekalian manusia, sesungguhnya kami telah menciptkan
kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikanmu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal.”[1]
Tanggung jawab manusia sebagai khalifah di muka bumi adalah mengelola dan
menjaga keharmonisan dalam keberangaman
dan perbedaan.
Perbedaan akan selalu ada dalam setiap dimensi kehidupan. Sehingga,
memaksakan untuk meniadakan perbedaan adalah mustahil dan melawan sunnatullah.
Dalam tubuh social ummat Islam, keberangaman melahirkan banyak perbedaan termasuk
diantaranya dalam hal fiqhiyah. Tugas seorang muslim adalah mengelola keberangaman
tersebut sehingga melahirkan rahmat.
“Sesungguhnya orang iman bersaudara, karena perbaikilah hubungan
antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada agar kamu mendapat rahmat”[2]. Sebalikanya
ketidakmampuan mengelola perbedaan akan melahirkan perpecahan yang pada
Akhirnya akan melemahkan ummat ini. Sejarah pernah mencatat perpecahan
dikalangan ummat islam hanya akibat taklid yang berlebihan kepada sebuah
madzhab atau kepada seorang ulama. Hal ini menjadi perhatian salah seorang
ulama besar asal India syaikh waliyullah ad-Dahlawy dan menjadi sebab lahirnya
kitab Al-inshof fi bayan asbab al-ikhtilaf.
Addahlawi seorang ulama yang sangat aktif
memngikuti perkembangan social ummat islam. Melihat permasalah secara
menyeluruh. Mendiagnosa lalu memberi solusi. “Allah memberiku kesempatan dan
timbangan hingga saya mengetahui apa sebab tejadinya khilaf dalam Islam. Dan
saya mengatahui mana yang haq bagi Allah dan Rasulnya. Sehingga membuatku mampu
menjelaskan sedetail mungkin hingga tak ada lagi syubhat dan permasalahan.”
Ungkapan syaikh Ad-Dhalawi dalam muqaddimah Al Inshof fi bayani sabab al-Ikhtilaf
ini bukan sebuah bentuk kesombongan. Tapi hendak menjelaskan kepada ummat bahwa
ia telah mempelajari kondisi ummat Islam dan permasalahan yang menimpa ummat
Islam serta solusi untuk keluar dari permasalahan.
Sebab ikhtilaf sahabat dan tabi’in dalam masalah Furu’iayah
Di zaman Rasulullah fiqhi belum dibukukan
sebagaimana sekarang. Dan belum ada ijtihad fuqaha seperti saat ini. karena
semua permasalahan jelas. Para sahabat benar-benar memperhatikan Rasulullah secara
detail. Tak ada orang yang segala urusannya diperhatikan selain rasulullah. Segala
gerak gerik Rasulullah diawasi oleh sahabat bahkan hingga pada hal kecil
sekalipun seperti keluar masuk WC. Sahabat memperhatikan langkahnya saat masuk
dan keluar mesjid, cara bersisir, dsb. Ketika
muncul permasalahan dalam hukum para sahabat segera bertanya kepada Rasulullah sallahu
alaihi wasalla. Terkait pertanyaan sahabat tentang kepada Rasulullah Ibnu
Abbas berkata. “aku tidak melihat kaum yang lebih baik dari sahabat Rasulullah.
Mereka tidak bertanya kepadanya kecuali tentang 13 perkara dan semua jawabanya
dijelskan dalam Al-quran. As-Suyuti mengatakan 14 pertanyaan yang duanya
tentang ruh dan tentang Dzulkarnain tapi pertanyaan itu dari orang musyrik Mekah
dan Yahudi yang ditanyakan kepada sahabat lalu ditanyakan kepada Rasul.
Ketika wilayah Islam semakin meluas. Para sahabat ditugaskan
di berbagai wilayah, mereka tersebar ke wilayah-wilayah yang ditaklukkan.
Semakin banyak masalah dan semakin beragam kondisi yang di hadapi oleh ummat Islam. Orang-orang pun meminta
fatwa kepada Sahabat. Maka mereka menjawab sesuai yang mereka hafalkan dan
saksikan dari Rasulullah. Jika tidak mendapatkan dari al-quran dan hadis atau
belum pernah menyaksikan Rasulullah memutuskan hukum terkait permasalahan maka
mereka berijtihad berdasar kepada kemaslahatan ummat.
Sebab ikhtilaf para sahabat diantaranya karena.
1.
Sebagian
sahabat mendengar hukum atau fatwa dari Rasulullah dalam sebuah permasalah
sementara yang lainyanya tidak.
2.
Para
sahabat melihat Rasulullah melakukan suatu perbuatan namun sebagian mereka
menggap hal itu ibadah dan yang lainnya mengangap hanya sebagai sesuatu yang
dibolehkan.
3.
Berbeda
dalam menyimpulkan sesuatu
4.
Perbedaan
akibat lupa
5.
Perbedaan
dalam memahami sebab hukum.
Adapun di zaman tabi’in mereka mengambil pendapat
dari para sahabat yang paling mudah dan paling benar. Saad bin Musayyab
mengaggap ahlul haramain lebih kuat dalam masalah fiqih. Maka ia mengmbil pendapat Umar, Usman, Aisyah,
Abdullah bin Umar, dan ulama-ulama haramain lalu mengumpulkannya. jika terdapat
perbedaan pendapat diantara mereka maka ia memilih yang paling benar.
Kondisi Ummat sebelum dan setelah abad ke4
Pada abad kedua orang-orang belum mengenal taqlid
terhadap mazhab tertentu. Ummat islam terbagi menjadi dua Ulama dan orang
biasa. Mereka mempelajari wudhu, solat dan sebagainya langsung dari dari orang
tua mereka atau kepada ulama di wilayah mereka. Jika terdapat sebuah
permasalahan maka mereka bertanya kepada ulama siapa saja tanpa pandang mazhab.
Seperti yang dikatakan ibnu Hamam “mereka meminta fatwa kepada seorang ulama
dan di lain waktu meminta fatwa kepada ulama lain tanpa mengkhususkan pada
seorang ulama saja.” Adapun para ulama berijtihad sesuai ilmu mereka dan
pengetahuan terhadap sebuah permasalah yang terjadi.
Setelah abad ke empat orang mulai memperdebatkan
masalah fiqhi. meninggalkan cabang-cabang ilmu yang lain lalu sibuk berdebat.
Masalah perdebatan pada hal hal furu’iayah semakin meruncing dengan munculnya
pemuka-pemuka kaum yang tidak paham tentang tafsir dan hadis dan ushul tapi
berani memberi fatwa.
Pada akhirnya perdebatan mereka tak lagi untuk
mencari mana yang benar dan salah dan bukan untuk menarik sebuah kesimpulan
tapi untuk mempertahankan pendapat ulama mereka tanpa peduli mana yang pendapat
yang kuat dan lemah. perdebatan semacam ini tidak menguatkan ummat tapi justru
semakin melemahkan.
Taqlid terhadap Mazhab Al Arba’a
Bagi syaikh Ad-Dahlawi tidak boleh mengambil semua pendapat dari
salah satu imam mazhab lantas menolak semua pendapat imam mazhab yang lain.
Sebab imam empat sendiri melarang untuk taklid terhadap mereka. dan tidak
pernah memerintahkan siapapun untuk bertaqlid kepadanya. Bahkan sebaliknya
meminta kaum muslimin untuk meniggalkan pendapat mereka jika salah dan
mengambil yang lebih benar “dan siapa yang menjadikin mereka (imam empat) lebih
utama untuk bertaqlid kepada mereka dari pada Umar bin Khattab atau Ibnu Abbas,
atau Aisyah ummul mu’minin ridwanullahi ta’ala alaihim. Sekiranya boleh
bertaqlid maka mereka lebih berhak untuk diiukuti dari pada yang lain (hal 99)
Tapi pada kenyataannya banyak dari ummat Islam yang bertaqlid
kepada para imam mazhab secara berlebih dan menjadikan para imam seolah Nabi
dan Rasul yang setiap ucapanya wajib diterima dan haram ditolak. Sikap
berlebihan seperti ini dipandang oleh syaikh ad-Dahlawi jauh dari kebenaran dan
tidak disetujui oleh orang-orang berilmu. Imam Ahmad bin Hambal mengingatkan
salah seorang murindnya agar tidak bertaqlid kepadanya, tidak kepada raja dan
tidak kepada siapa pun tapi hendaknya mengambil hukum dari alquran dan sunnah. Imam
syafi’I mengatakan bahwa “mazhabku adalah Alquran dan sunnah maka jika
pendapatku betentangan dengan Al Quran dan sunnah maka tolaklah pendapatku dan
ambil Alquran dan sunnah”. Selanjutnya syaikh Ad-Dakhlawi tidak membelohkan
seseorang menyampaikan hukum tanpa tau sumber istimbat seorang faqih sehingga
menetapkan suatu hokum. mengutip
perkataan imam Abu yusuf “haram bagi seseorang berfatwa dengan pendapat kami
tanpa mengatahui dari mana sumber fatwa kami’
Ibnu Hazm, dia mengatakan “Allah melarang seseorang merujuk ucapan
seseorang selain al-Qur’an dan as-Sunnah ketika berselisih pendapat. Demikian
itu haram”. Terkait hal ini, ad-Dahlawi mrngtakan itu ditujukan kepada orang
yang telah mampu berijtihad, meskipun hanya dalam satu masalah. Atau kepada
orang bodoh yang bertaqlid kepada pakar ulama tertentu, dengan keyakinan ulama
tersebut tidak mungkin salah. Dan apa yang diucapkannya pasti benar, serta
tidak akan meninggalkan pendapat sang ulama meskipun ada dalil kuat yang
jelas-jelas bertentangan.
Taqlid juga berlaku bagi
seseorang yang tidak mengetahui Hadis dan tidak tahu cara mengkompromikan
Hadis-hadis yang bertentangan atau tidak mengetahui cara menggali hukum dari
Hadis tersebut. Maka tidak ada cara lain kecuali mengikut kepada ulama yang di
anggap lebih tepat dan benar ucapan serta fatwanya mengikuti Sunnah Rasulullah.
Hal itu akan lebih selamat. I’tiba’ kepada merupakan salah satu jalan agar
tidak jatuh kepada kesembronoan dan
pendangkalan syariat bagi orang awam yang tidak mampu menggali hukum langsung
dari sumber syariat.
Bagi Ad-Dahlawi pintu ijti’hat terbuka bagi yang memenuhi syarat
ijtihad. Dan mengikuti pendapat ulama adalah sebuah solusi alternatif bagi umat
Islam yang tidak mampu mencari dalil langsung dalam al-Qur’an dan al-Hadis
namun ia tak boleh berlebihan lantas menyalahkan pendapat imam yang lain.
No comments:
Post a Comment