Tuesday 17 November 2015

Al-Inshof fi bayani asbab Ikhtilaf*


Pengarang : Qutubuddin ahmad bin Abdurrahim bin Wajihuddin al-Umriy ad-Dahlawi
I’dad : Hizbullah Zein
Keberangaman dan perbedaan pendapat adalah sesuatu yang niscaya. Hal ini telah di isyaratkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam Alqur’an “wahai sekalian manusia, sesungguhnya kami telah menciptkan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikanmu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal.”[1] Tanggung jawab manusia sebagai khalifah di muka bumi adalah mengelola dan menjaga keharmonisan dalam  keberangaman dan perbedaan.

Perbedaan akan selalu ada dalam setiap dimensi kehidupan. Sehingga, memaksakan untuk meniadakan perbedaan adalah mustahil dan melawan sunnatullah. Dalam tubuh social ummat Islam, keberangaman melahirkan banyak perbedaan termasuk diantaranya dalam hal fiqhiyah. Tugas seorang muslim adalah mengelola keberangaman tersebut sehingga melahirkan rahmat.
“Sesungguhnya orang iman bersaudara, karena perbaikilah hubungan antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada agar kamu mendapat rahmat”[2]. Sebalikanya ketidakmampuan mengelola perbedaan akan melahirkan perpecahan yang pada Akhirnya akan melemahkan ummat ini. Sejarah pernah mencatat perpecahan dikalangan ummat islam hanya akibat taklid yang berlebihan kepada sebuah madzhab atau kepada seorang ulama. Hal ini menjadi perhatian salah seorang ulama besar asal India syaikh waliyullah ad-Dahlawy dan menjadi sebab lahirnya kitab Al-inshof fi bayan asbab al-ikhtilaf.
Addahlawi seorang ulama yang sangat aktif memngikuti perkembangan social ummat islam. Melihat permasalah secara menyeluruh. Mendiagnosa lalu memberi solusi. “Allah memberiku kesempatan dan timbangan hingga saya mengetahui apa sebab tejadinya khilaf dalam Islam. Dan saya mengatahui mana yang haq bagi Allah dan Rasulnya. Sehingga membuatku mampu menjelaskan sedetail mungkin hingga tak ada lagi syubhat dan permasalahan.” Ungkapan syaikh Ad-Dhalawi dalam muqaddimah Al Inshof fi bayani sabab al-Ikhtilaf ini bukan sebuah bentuk kesombongan. Tapi hendak menjelaskan kepada ummat bahwa ia telah mempelajari kondisi ummat Islam dan permasalahan yang menimpa ummat Islam serta solusi untuk keluar dari permasalahan.
Sebab ikhtilaf sahabat dan tabi’in dalam masalah Furu’iayah
Di zaman Rasulullah fiqhi belum dibukukan sebagaimana sekarang. Dan belum ada ijtihad fuqaha seperti saat ini. karena semua permasalahan jelas. Para sahabat benar-benar memperhatikan Rasulullah secara detail. Tak ada orang yang segala urusannya diperhatikan selain rasulullah. Segala gerak gerik Rasulullah diawasi oleh sahabat bahkan hingga pada hal kecil sekalipun seperti keluar masuk WC. Sahabat memperhatikan langkahnya saat masuk dan keluar mesjid, cara bersisir, dsb.  Ketika muncul permasalahan dalam hukum para sahabat segera bertanya kepada Rasulullah sallahu alaihi wasalla. Terkait pertanyaan sahabat tentang kepada Rasulullah Ibnu Abbas berkata. “aku tidak melihat kaum yang lebih baik dari sahabat Rasulullah. Mereka tidak bertanya kepadanya kecuali tentang 13 perkara dan semua jawabanya dijelskan dalam Al-quran. As-Suyuti mengatakan 14 pertanyaan yang duanya tentang ruh dan tentang Dzulkarnain tapi pertanyaan itu dari orang musyrik Mekah dan Yahudi yang ditanyakan kepada sahabat lalu ditanyakan kepada Rasul.
Ketika wilayah Islam semakin meluas. Para sahabat ditugaskan di berbagai wilayah, mereka tersebar ke wilayah-wilayah yang ditaklukkan. Semakin banyak masalah dan semakin beragam kondisi yang di hadapi  oleh ummat Islam. Orang-orang pun meminta fatwa kepada Sahabat. Maka mereka menjawab sesuai yang mereka hafalkan dan saksikan dari Rasulullah. Jika tidak mendapatkan dari al-quran dan hadis atau belum pernah menyaksikan Rasulullah memutuskan hukum terkait permasalahan maka mereka berijtihad berdasar kepada kemaslahatan ummat.
Sebab ikhtilaf para sahabat diantaranya karena.
1.    Sebagian sahabat mendengar hukum atau fatwa dari Rasulullah dalam sebuah permasalah sementara yang lainyanya tidak.
2.    Para sahabat melihat Rasulullah melakukan suatu perbuatan namun sebagian mereka menggap hal itu ibadah dan yang lainnya mengangap hanya sebagai sesuatu yang dibolehkan.
3.    Berbeda dalam menyimpulkan sesuatu
4.    Perbedaan akibat lupa
5.    Perbedaan dalam memahami sebab hukum.
Adapun di zaman tabi’in mereka mengambil pendapat dari para sahabat yang paling mudah dan paling benar. Saad bin Musayyab mengaggap ahlul haramain lebih kuat dalam masalah fiqih. Maka ia  mengmbil pendapat Umar, Usman, Aisyah, Abdullah bin Umar, dan ulama-ulama haramain lalu mengumpulkannya. jika terdapat perbedaan pendapat diantara mereka maka ia memilih  yang paling benar.
Kondisi Ummat sebelum dan setelah abad ke4
Pada abad kedua orang-orang belum mengenal taqlid terhadap mazhab tertentu. Ummat islam terbagi menjadi dua Ulama dan orang biasa. Mereka mempelajari wudhu, solat dan sebagainya langsung dari dari orang tua mereka atau kepada ulama di wilayah mereka. Jika terdapat sebuah permasalahan maka mereka bertanya kepada ulama siapa saja tanpa pandang mazhab. Seperti yang dikatakan ibnu Hamam “mereka meminta fatwa kepada seorang ulama dan di lain waktu meminta fatwa kepada ulama lain tanpa mengkhususkan pada seorang ulama saja.” Adapun para ulama berijtihad sesuai ilmu mereka dan pengetahuan terhadap sebuah permasalah yang terjadi.
Setelah abad ke empat orang mulai memperdebatkan masalah fiqhi. meninggalkan cabang-cabang ilmu yang lain lalu sibuk berdebat. Masalah perdebatan pada hal hal furu’iayah semakin meruncing dengan munculnya pemuka-pemuka kaum yang tidak paham tentang tafsir dan hadis dan ushul tapi berani memberi fatwa.
Pada akhirnya perdebatan mereka tak lagi untuk mencari mana yang benar dan salah dan bukan untuk menarik sebuah kesimpulan tapi untuk mempertahankan pendapat ulama mereka tanpa peduli mana yang pendapat yang kuat dan lemah. perdebatan semacam ini tidak menguatkan ummat tapi justru semakin melemahkan.
Taqlid terhadap Mazhab Al Arba’a
Bagi syaikh Ad-Dahlawi tidak boleh mengambil semua pendapat dari salah satu imam mazhab lantas menolak semua pendapat imam mazhab yang lain. Sebab imam empat sendiri melarang untuk taklid terhadap mereka. dan tidak pernah memerintahkan siapapun untuk bertaqlid kepadanya. Bahkan sebaliknya meminta kaum muslimin untuk meniggalkan pendapat mereka jika salah dan mengambil yang lebih benar “dan siapa yang menjadikin mereka (imam empat) lebih utama untuk bertaqlid kepada mereka dari pada Umar bin Khattab atau Ibnu Abbas, atau Aisyah ummul mu’minin ridwanullahi ta’ala alaihim. Sekiranya boleh bertaqlid maka mereka lebih berhak untuk diiukuti dari pada yang lain (hal 99)
Tapi pada kenyataannya banyak dari ummat Islam yang bertaqlid kepada para imam mazhab secara berlebih dan menjadikan para imam seolah Nabi dan Rasul yang setiap ucapanya wajib diterima dan haram ditolak. Sikap berlebihan seperti ini dipandang oleh syaikh ad-Dahlawi jauh dari kebenaran dan tidak disetujui oleh orang-orang berilmu. Imam Ahmad bin Hambal mengingatkan salah seorang murindnya agar tidak bertaqlid kepadanya, tidak kepada raja dan tidak kepada siapa pun tapi hendaknya mengambil hukum dari alquran dan sunnah. Imam syafi’I mengatakan bahwa “mazhabku adalah Alquran dan sunnah maka jika pendapatku betentangan dengan Al Quran dan sunnah maka tolaklah pendapatku dan ambil Alquran dan sunnah”. Selanjutnya syaikh Ad-Dakhlawi tidak membelohkan seseorang menyampaikan hukum tanpa tau sumber istimbat seorang faqih sehingga menetapkan  suatu hokum. mengutip perkataan imam Abu yusuf “haram bagi seseorang berfatwa dengan pendapat kami tanpa mengatahui dari mana sumber fatwa kami’
Ibnu Hazm, dia mengatakan “Allah melarang seseorang merujuk ucapan seseorang selain al-Qur’an dan as-Sunnah ketika berselisih pendapat. Demikian itu haram”. Terkait hal ini, ad-Dahlawi mrngtakan itu ditujukan kepada orang yang telah mampu berijtihad, meskipun hanya dalam satu masalah. Atau kepada orang bodoh yang bertaqlid kepada pakar ulama tertentu, dengan keyakinan ulama tersebut tidak mungkin salah. Dan apa yang diucapkannya pasti benar, serta tidak akan meninggalkan pendapat sang ulama meskipun ada dalil kuat yang jelas-jelas bertentangan.
 Taqlid juga berlaku bagi seseorang yang tidak mengetahui Hadis dan tidak tahu cara mengkompromikan Hadis-hadis yang bertentangan atau tidak mengetahui cara menggali hukum dari Hadis tersebut. Maka tidak ada cara lain kecuali mengikut kepada ulama yang di anggap lebih tepat dan benar ucapan serta fatwanya mengikuti Sunnah Rasulullah. Hal itu akan lebih selamat. I’tiba’ kepada merupakan salah satu jalan agar tidak jatuh kepada  kesembronoan dan pendangkalan syariat bagi orang awam yang tidak mampu menggali hukum langsung dari sumber syariat.
Bagi Ad-Dahlawi pintu ijti’hat terbuka bagi yang memenuhi syarat ijtihad. Dan mengikuti pendapat ulama adalah sebuah solusi alternatif bagi umat Islam yang tidak mampu mencari dalil langsung dalam al-Qur’an dan al-Hadis namun ia tak boleh berlebihan lantas menyalahkan pendapat imam yang lain.



[1] Q.S Al- Hujurat: 13
[2] Q.S Al- Hujurat: 10

No comments:

Post a Comment