Tuesday, 17 November 2015

Pemahaman Hadis Prespektif Syeikh Muhamad Ghazali dalam karyanya “As Sunah Nabawiyah Bayna Ahl Fiqh wa Ahl Hadith”


oleh: Ahmad Badruddin.[2]


Hadis diyakini sebagai sumber otoritas kedua setelah Quran dalam pengambilan hukum, Disamping sebagai penjelas terhadap ayat-ayat yang masih umum dan samar. Hanya saja, pengambilan hadits sebagai dasar hukum tidaklah semudah membalikan telapak tangan, mengingat banyaknya persoalan yang terdapat dalam hadis itu sendiri. Disamping itu, pada perjalanannya, pemahaman para ulama terhadap hadits dikemudian hari tidaklah satu. Hal itu mempengaruhi pemahaman mereka yang berbeda beda terhadap istimbath al ahkâm. Penentuan shahîh dan dha’îf, penafsiran matan hadits, hingga pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari, merupakan perbincangan yang terus mewarnai studi ilmu hadits dalam dunia Islam. Salah satu ulama yang membahas tentang Kajian Hadis adalah Syeikh Muhammad Ghazali dalam buah karyanya “As Sunnah an Nabawiyyah baina Ahl al Fiqh wa Ahl al Hadits”

Coretan sederhana ini, tentu saja terlalu lebay, jika dikatakan untuk membedah pemikiran Syeikh Ghazali dan metode memahami hadis dalam karyanya tersebut. Oleh karenanya pemakalah hanya sekedar (cukup) bermaksud melakukan pembacaan ulang (review) dan pengenalan singkat tentang isi buku tanpa melakukan aksi apa apa terhadap buku ini. Sedangkan tujuan penulisan makalah ini adalah upaya menjawab rumusan beberapa pertanyaan berikut ini: Siapa dan bagaimana idenditas penulis buku tersebut? bagaimanakah pemikiran dan gagasan penulis tentang hadis?, bagaimana konsep analisis, metode dan pendekatan yang ditawarkan penulis berkaitan dengan pemahaman hadis dalam buku tersebut?.




Tentang catatan hidup sang penulis[3]
Tidak afdol rasanya menelaah pemikiran dan membedah buku seorang tokoh,  tanpa mengetahui catatan hidupnya yang sedikit banyak sudah mempengaruhi bangunan pemikiran dan melatar-belakangi ide-idenya. Ini penting agar kita bisa mensetting pemikiran tokoh tersebut dengan lebih jujur dan terhindar dari rasa simpati atau empati, dan agar kita tidak selalu terjebak dari analisis ideologis dan fanatisme sektarian yang hanya melahirkan analisa yang subjektif.
Penulis buku ini bernama Syeikh Muhammad Al-Ghazali As saqa lahir di desa Nakhla al-Inab, Itay al-Barud, Buhairah, Mesir pada tanggal 22 September 1917 M. Dibesarkan dalam lingkungan keluarga agamis yang memotivasi beliau hafal Quran sejak usia belia di umur 10 tahun. Pendidikan intelektualnya ditempuh dalam bimbingan masyayikh Al Azhar sejak usia dini, Beliau masuk Madrasah tsanawiyah dan aliyahnya di ma’had agama Azhar di kota Iskandariah. Kemudian melanjutkan di fakultas Ushuluddin universitas Al Azhar Kairo dan mendapatkan gelar Magister di bidang Dawah wal Irsyad tahun 1362 H/ 1944 M. Disamping mendapatkan keilmuan agama dari Al Azhar beliau juga mendapatkan gemblengan dan tempaan fiqih da’wah dari Imam Hasan al-Bana pendiri pergerakan dakwah Ikhwan Muslimin.
Ghazali mengomentari tentang dirinya; “Jika Imam al Ghazali terpengaruh dengan otak para filusuf dan Ibnu Taimiyah teropengaruh degan otak ahli fiqih maka saya menganggap diri saya adalah murid dari sekolah filsafat dan fiqih dalam waktu yang sama. Saya sangat dipengaruhi oleh syaikh Abdul Azim Az Zarqani [4] dan Muhammad Saltut [5], akan tetapi saya lebih dipengaruhi oleh Hasan Al Banna.
Kehidupan Intelektualnya mengantarkan beliau aktif dalam berbagai kegiatan misalnya sebagai penasihat dan pembimbing di Kementrian Wakaf, ketua Dewan Kontrol Masjid, Ketua Dewan Da’wah, dan terakhir menjadi Wakil Menteri Wakaf dan Urusan Dakwah Mesir. Dan di dunia internasional  beliau menjadi peneliti di berbagai lembaga research, diantaranya: 1. Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah (Dewan Riset Islam) di Al-Azhar Al-Syarif. 2. al-Majma’ al-Malaki li Buhuts al-Hadharah al-Islamiyah (Dewan Riset penelitian kebudayaan Islam) di Yordania. 3. The International Institute of Islamic Thouhgt (IIIT) di Washington. 4. Al-Hai`ah al-Khairiyah al-Islamiyah al-’Alamiyah (Gerakan kebaikan Islam Internasional) di Kuwait, dan lain-lain.
Beliau juga mengajar dan menjadi guru besar di sejumlah universitas seperti Al Azhar, Islamic university Madinah, Ummul Qura Makkah, King Abdul Aziz Jeddah, Universitas Qatar, dan mengagas pendirian serta menjadi pembimbing Universitas Amir Abdul Qadir al-Islamiyah di Aljazair. Diantara murid muridnya beliau adalah : Syeikh Yusuf Qardhawi, Syeikh Manna Qattan, Dr Ahmad Assal[6] dan lain lain
Beliau juga dikenal sebagai da’i brilian dan oratur ulung dalam pidato dan khutbah2nya. Materi ceramahnya selalu update dengan permasalahan masyarakat modern, tutur katanya yang mudah di fahami segala lapisan masyarakat, materi tulisan dan ceramahnya banyak berkisar tentang bagaimana memajukan Islam dan membangunkan ummat dari keterpurukan, menganjurkan persatuan Islam demi melawan pemikiran yang bertentangan dengan Islam. Dr. Yusuf Qardhawi mengomentarinya, “Syekh Al-Ghazali salah satu tokoh Islam abad modern. Ia dai yang sulit ditemukan tandingannya di dunia Islam saat ini. Ia jenius dan keindahan katanya menawan hati, hingga saya dapat menghapal beberapa ungkapan, bahkan beberapa lembar tulisannya, lalu mengulang sesuai teks aslinya di beberapa ceramah”.
Beliau juga seorang penulis produktif, menulis lebih dari 60 buku yang berkaitan dengan ilmu ilmu keislaman Diantaranya: 1. Al-Islam wa al-Awda‘ al-Iqtisadiyyah (Islam dan Kedudukan Ekonomi) 2. Al-Islam wa al-Manhaj al-Istirakiyyah (Islam dan Metodologi Sosialis) 3. Islam wa Istibdad al-Siyasi(Islam dan Politik Diktator) 4. Islam Muftara ‘alayh bayn Shuyu‘in wa al-Rasumaliyyin (Salah Faham Terhadap Islam: Antara Tentangan Komunis dan Kapitalis) 5. Min Huna Na‘lam (Dari Sini Kita Memahami) 6. Ta’amulat fi Din wa ‘l-Hayat (Penghayatan Pada Agama dan Kehidupan) 7. Khuluq al-Muslim(Peribadi Orang Islam) 8. ‘Aqidah al-Muslim (Akidah Muslim) 9. Al-Ta‘asub wa al-Tasamuh (Ekstremisme dan Toleransi) 10. Fi Mawkib al-Da‘wah (Dalam Perjalanan Dakwah) 11. Fiqih Sirah 12. Kaifa Nataamal Ma Al Quran (Bagaimana berinteraksi dengan Quran. 13. Nazharat fi Alquran 14. Almahawir al Khamsah Fi Quran 14. Al marah fi Islam ( Kedudukan Perempuan dalam Islam) dan lain sebagainya [7]
Atas prestasinya beliau juga mendapatkan banyak penghargaan dan bintang tanda jasa antara lain : 1. Bintang tanda jasa Al-Amir. Ini merupakan penghargaan tertinggi di AlJazair Tahun 1988 M. 2. Penghargaan Internasional Raja Faisal tahun 1989 M. untuk bantuan Islam. 3. Penghargaan Al-Imtiaz dari Pakistan tahun 1991 M. 4. Penghargaan Al-Daulah Al-Taqdiriyah dari Mesir tahun 1991 M.
Syeikh Muhammad Al-Ghazali mengalami serangan jantung dalam sebuah kunjungannya menghadiri seminar di Riyadh yang akhirnya wafat , tanggal 9 Maret 1996. Kemudian jenazahnya dipindah ke Madinah Al-Munawarah untuk dimakamkan di pekuburan Al-Baqi’.
Menurut pemakalah, setidaknya ada beberapa unsur yang membangun watak keilmuan Muhammad ghazali dari kilasan biografi beliau:
·         Beliau adalah seorang cendikiawan muslim yang banyak bergelut dengan literatur2 keilmuan klasik (turats) maupun kontemporer dengan pelbagai spesifikasi ilmu-ilmu keislaman. Seorang akademisi yang cemerlang, filosof islami dan sastrawan yang berbakat, pemikir Islam yang mendalami berbagai ilmu ilmu humaniora modern, ilmu sosial dan kejiwaan.
·         Beliau adalah seorang aktifis pergerakan dan ahli fikih dakwah yang turun langsung ke dalam problematika masyarakat modern. Berkat pengalamanya beliau mampu mengharmonisasikan antara ilmu aqli dan naqli dalam pembacaannya terhadap prinsip prinsip shariah yang universal, serta mampu menggali tujuan hakiki dari maqasid shariah sehingga berkompeten untuk menyegarkan tradisi tradisi klasik dan menyesuaikannya pada kasus kontemporer.
Berangkat dari sinilah menurut pemakalah, beliau mewakili sosok ulama  yang selalu mengusung jargon Wasathiyah Islam, moderat dalam melihat fenomena keagamaan modern  dan mampu menampilkan wajah Islam yang relevan dengan zamannya, jauh dari kesan rigid dan penampilan yang kaku. Dan kita akan melihat bagaimana dua unsure ini mempengaruhi sepak terjangnya dalam mengkaji hadis.

Latar belakang, tujuan dan maksud penulisan
Sebenarnya Ghazali bukanlah seorang ahli hadis dan bukan pula penulis yang concern pada kajian hadis, beliau lebih bisa dikatakan seorang mufakkir pemikir islam. Ini terlihat dari tulisan2nya dan ceramahnya yang banyak berkaitan tentang isu isu modernitas dan sosial keagamaan secara umum. Bukunya yang berkaitan langsung dengan kajian hadis  secara khusus hanyalah buku yang sedang kita bicarakan saat ini.
Buku setebal 205 halaman ini diterbitkan oleh Dar al-Syuruq Kairo. Pertama kali terbit pada Bulan Januari 1989 M. dan mengalami terbitan ulang secara berturut-turut pada Bulan Februari, Maret, April, dan Mei pada tahun yang sama. Buku ini termasuk karya popular dan best seller, dalam lima bulan dicetak sebanyak lima kali dan banyak mendapatkan respon dan kritik dari banyak sarjana keislaman. Oleh karenanya dalam cetakan keenamnya beliau menambahkan banyak catatan penting dari hasil penjelasan dan koreksi dari beberapa ulama sebagaimana diungkapkan dalam mukaddimah bukunya.
Latar belakang penulisan buku ini sebagaimana disinggung oleh Ghazali sendiri dalam pendahuluannya adalah atas permintaan al-Ma’had al-alam li al-Fikri al-Islami  (Institut Pemikiran Islam Internasional), sebuah lembaga pemikiran Islam yang berpusat di Amerika Serikat dan dipimpin oleh Prof. Dr. Thaha Jabir al-‘Ulwani. Misi penulisan buku ini adalah upaya mengkaji Sunah secara proporsional dengan metodologi ilmu ilmu kontemporer, obyektif, dan sesuai dengan kebutuhan zaman dengan lebih concern pada kajian matan. Karena menurutnya, bidang tersebut masih kurang terjamah oleh para ulama, berbeda dengan kajian sanad yang sudah sangat matang dan mapan.[8]
Dalam mukaddimah cetakan pertamanya kita bisa melihat Ghazali menyatakan kegundahannya dan menekankan bahwa umat islam saat ini dalam keadaan terpuruk karena umat Islam selalu saja disibukan dengan masalah khilafiah perpecahan sesama muslim dan saling menyalahkan dalam memahami teks keagamaan. Lebih lanjut di akhir kata mukaddimahnya beliau menulis:
وأنا أكره التعصب المذهبي وأراه قصور فقه، ...لكن التقليد المذهبي أقل ضررا من الاجتهاد الصبياني في فهم الأدلة.. وبديهي أن تنشأ مشكلات ثقافية واجتماعية من هذا النهج، وأن تسمع حدثا يقول: مالك لا يعرف حديثة الاستفتاح، ولاسنة الاستعاذة ولا يدرك خطورة البسملة، ويخرج من الصلاة دون أن يتم التسليمتين، فهو جاهل بالسنة النبوية..!!وحدثا آخر يقول: أبو حنيفة لا يرفع يديه قبل الركوع ولا بعده ويوصي أتباعه ألا يقرؤوا حرفا من القرآن وراء الإمام، وربما صلى بعد لمس المرأة. فهو يصلي بلا وضوء.إنه هو الآخر جاهل بالإسلام...وانتشر الفقه البدوي، والتصور الطفولي للعقائد والشرائع...وفي هذا الكتاب جرعة قد تكون مرة للفتيان الذين يتناولون كتب الأحاديث النبوية ثم يحسبون أنهم أحاطوا بالإسلام علما بعد قراءة عابرة أو عميقة.ولعل فيه درسا لشيوخ يحاربون الفقه المذهبي لحساب سلفية مزعومة عرفت من الإسلام قشوره ونسيت جذوره؟.وأوكد أولا وآخرا أنني مع القافلة الكبرى للإسلام، هذه القافلة التي يحدوها الخلفاء الراشدون والأئمة المتبوعون والعلماء الموثقون، خلفا بعد سلف، ولاحقا يدعو لسابق.. يدعو الله بصدق قائلا: «ربنا اغفر لنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان، ولا تعجل في قلوبنا غلا للذين آمنوا. ربنا إنك رءوف رحيم[9]
Saya membenci fanatisme madzhab dan saya anggap sebagai kegagalan Fiqih..hanya saja taqlid madhabi lebih sedikit madharatnya daripada ijtihad bebasnya para anak muda dalam memahami dalil dalil agama sehingga konsekwensinya memunculkan problematika intelektual-sosial. Maka wajar muncul ungkapan: Imam malik tidak mengetahui hadis istiftah dan tidak mengetahui sunah istiadzah dan tidak mengetahui pentingnya basmalah dan menyelesaikan shalat tanpa dua salam jadi imam malik adalah bodoh tidak mengetahui sunnah. Dan ada ungkapan lagi: Imam hanafi tidak mengangkat kedua tangannya sebelum ruku dan sesudahnya dan menganjurkan murid2nya untuk tidak membaca ayat alquran saat menjadi mamum dan mungkin saja melakukan shalat setelah menyentuh wanita maka dia shalat tanpa berwudhu (krn sudah menyentuh) maka imam hanafi tidak mengetahui ajaran Islam……dan semakin lebar kedangkalan fiqih dan pemahaman sederhana terhadap akidah dan syariah. Dalam buku ini terdapat obat yang mungkin terasa pahit untuk sebagian orang. Yakni para pemuda yang mempelajari kitab kitab hadis baik secara dangkal atapun mendalam kemudian menganggap bahwa mereka sudah memehami secara komprehensif ilmu keislaman dan semoga buku ini juga menjadi pelajaran untuk para asatidz yang memerangi dan pro-kontra terhadap fiqih madzhaby dengan jargon“ kembali kepada para salaf atau salafiah yang dipalsukan, yang hanya memperhatikan kulitnya Islam dan melupakan akar serta isinya.” dan aku sekali lagi menegaskan bahwasanya saya berpendapat  bersama mayoritas ummat yaitu kafilah yang diikuti oleh khulafa rasyidin para imam yang diikuti dan ulama2 terpecaya baik salaf ataupun khalaf….
Sedangkan dalam mukaddimah cetakan keenam Ghazali lebih menekankan agar sunnah Nabi dipahami demi memajukan peradaban Islam, bukan malah membuatnya mundur dan tertinggal di mata dunia. Ghazali mengungkapkan bahwa penulisan buku ini memicu banyak keritikan pedas dari orang yang tidak sependapat dan sepemikiran dengannya. Hanya saja keritikan yang menyakitkan adalah tuduhan bahwa beliau  memerangi dan mengingkari  Sunnah sebagaimana diungkap kan dalam tulisannya:
الشتم الذي أوجعني اتهام البعض لي: بأني اخاصم السنة النبوية!!.وأنا أعلم أن الله ورسوله أحب الي مما سواهما، وأن إخلاصي للإسلام يتجدد ولا يتبدد، وأنه أولى بأولئك المتحدثين أن يلزموا الفقه والأدب
فغايتي تنقية السنة مما قد يشوبها! وغايتي كذلك حماية الثقافة الإسلامية من ناس قيل فيهم: إنهم يطلبون العلم يوم السبت، ويدرسونه يوم الأحد، ويعلمون أساتذة له يوم الاثنين. أما يوم الثلاثاء فيطاولون الأئمة الكبار ويقولون: نحن رجال وهم رجال!!.
وأؤكد أنني مع جمهرة الفقهاء والمتحدثين عن الإسلام، ولست صاحب مذهب شاذ، بل إنني من صميم الجماعة ومن حماة أهدافها، وأولو العلم يعرفون ما أعني.والخطورة تجئ من أنصاف متعلمين أو أنصاف متدينين يعلو الآن نقيقهم في الليل المخيم على العالم الإسلامي، ويعتمد أعداء الإسلام ـ في أوربا وأمريكا ـ على ضحالة فكرهم في إخماد صحوة جديدة لديننا المكافح المثخن بالجراح..إن الحضارة التي تحكم العالم مشحونة بالأخطاء والخطايا، بيد أنها ستبقى حاكمة مادام لا يوجد بديل أفضل!.هل البديل الأفضل جلباب قصير ولحية كثة؟ أم عقل أذكى وقلب أنقى، وخلق أزكى وفطرة أسلم وسيرة أحكم؟...وأنا أتوجه إلى أمراء الجماعات الدينية الأكارم، والى الأوصياء الكبار على تراث السلف أن يراجعوا أنفسهم كي يهتموا بأمرين:
أولهما: زيادة التدبر لآيات القرآن الكريم.وآخرهما: توثيق الروابط بين الأحاديث الشريفة ودلالات القرآن القريبة والبعيدة، فلن تقوم دراسة إسلامية مكتملة ومجدية إلا بالأمرين معا..إن الصلف مع العلم رذيلة، فكيف إذا كان الصلف مع عجز وقصور؟؟ وهذا الكتاب حصيلة تجارب كثيرة في ميدان الدعوة أردت به ترشيد الصحوة، وشد أزر العاملين المخلصين.إن أريد إلا الإصلاح ما استطعت، وما توفيقي إلا بالله عليه توكلت وإليه أنيب[10]
Secara tegas Ghazali mengatakan bahwa ia hanya bertujuan membersihkan sunnah Nabi yang telah banyak dikotori dan dicemari oleh pemahaman pemahaman dangkal. Oleh sebab itu, tujuan penulisan kitab ini juga ia ingin menjaga dan memelihara peradaban Islam dari orang-orang yang berfikiran dangkal-sebagaimana dikatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang menuntut ilmu pada hari sabtu, mengajarkannya pada hari ahad, dan menjadi guru besar pada hari seninnya. Dan kemudian pada hari selasa mereka memberanikan diri untuk mensejajarkan diri dengan para ulama besar. Mereka berkata: Jika mereka laki-laki, maka kami juga laki-laki. Beliau menegaskan bahwasana beliau berpendapat sesuai dengan pendapat para ulama sebelumnya dan bukan membuat hal hal baru.
Selanjutnya beliau menyatakan bahwa kemerosotan umat Islam saat ini banyak disebabkan oleh para pemikir yang setengah-setengah sehingga mudah dikelabui dan diperalat oleh musuh Islam, yaitu Amerika dan Eropa. Oleh sebab itu, menurutnya perlu pemikiran alternatif yang lebih baik. Bukan malah pemikiran yang semakin menjatuhkan peradaban Islam.
Dalam hal ini, beliau berkata bahwa sebenarnya yang paling penting adalah bukan baju gamis atau jenggot yang lebat, namun sebenarnya yang harus ditekankan dalam pemikiran adalah kecerdasan akal, ketulusan hati, kebersihan akhlak, fitrah yang lebih sehat dan prilaku yang lebih bijaksana. Di akhir mukaddimahnya beliau menganjurkan  kepada seluruh pembesar, para ulama, untuk memperhatikan dua hal, yaitu
a.       Untuk lebih mentadabburi dan memahami al-Qur’an
b.      Mendalami hubungan antara hadis-hadis Nabi dengan dalil-dalil al-Qur’an baik yang tersurat (mantuq) maupun tersirat (mafhum), karena studi mengenai Islam tidak akan sempurna kecuali dengan mengikuti kedua langkah ini.
Sekilas tentang tehnik penulisan dan isi buku
Buku ini dikarang di akhir akhir karier ilmiah dan dakwahnya selama puluhan tahun, tentu saja ini adalah hasil pengamatan panjang beliau maka kita akan melihat bahwa beliau dengan piawainya mengangkat tema tema yang update dan hangat dibicarakan  masyarakat. Gaya penulisannya jauh berbeda dengan kitab kitab hadis klasik yang mengkaji hadis sebatas syarah, penjelasan hadis tanpa mengaitkannya dengan konteks saat ini. Buku ini disusun berdasarkan tema per tema, sehingga cukup "ringan" untuk dibaca. Ditambah lagi dengan sistematikanya yang begitu menarik dengan mencantumkan beberapa tema utama pada setiap bab sehingga memudahkan pembaca untuk fokus terhadap tema yang sedang dibaca, kemudian Antar Bab tidak saling terkait sehingga pembaca bisa memulainya dari mana saja. Dan yang lebih menarik adalah gaya bahasa yang penuh sastra sehingga tidak seperti membaca buku ilmiah yang terkesan dengan teori teori berat.
Sebelum membahas lebih jauh analisa Ghazali ada baiknya pemakalah menuliskan semua tema tema yang diangkat dalam buku ini sebagaimana yang tertulis dalam daftar isinya.
Pembahasan pertama tentang pemahaman ra’yu (rasio) dan riwayat serta contoh2nya didalamnya dibahas tentang syarat otentitas hadis dan contoh2 hadis yang dikritisi isi matannya misalnya: Hadis tentang Betulkah mayit diazab karena tangisan keluarganya?, Tentang hukum qishash dan diyat, Shalat tahiyatul masjid saat khutbah Jumat, Tentang hadits: Tuhan mendekat dan lebih mendekat lagi, Aisyah, ahli hadits yang kritis, Fatwa yang tidak bertanggung jawab, Musa menonjok mata malaikat maut?, Rasul menghukum mati orang yang belum pasti bersalah?, Haramkah mengumumkan kematian seseorang?, Keutamaan negeri Syam, Nafkah wanita yang ditalak tiga, Memaksa gadis dinikahi seseorang yang tak disukainya.
Kemudian tema selanjutnya Ghazali mengangkat beberapa tema sentral seputar dunia wanita, misalnya kelemahan hadis tentang  hijab dan cadar,  wanita antara kewajiban keluarga dan profesi (wanita karier), kelemahan hadis hadis yang melarang wanita ke masjid, kesaksian wanita dalam hukum pidana dan qishas, dan masalah kepemimpinan wanita.
Pembahasan yang dibahas selanjutnya mengenai hukum nyanyian. Nilai hadits yang diriwayatkan secara tunggal (ahad), Kritik Ibnu Hazm terhadap riwayat mengenai larangan bernyanyi, Menghibur hati dengan hal-hal yang mubah, Beberapa contoh nyanyian yang baik, Rusaknya kebanyakan lingkungan komunitas seni, Berlebih-lebihan dalam mengharamkan nyanyian merupakan kecenderungan non-Islami
Kemudian Ghazali membahas tentang sunnah nabi yang berkaitan dengan afal jibiliyah seperti etika menyantap makanan dan minum, Adab berpakaian, Adab membangun rumah. Selanjutnya membahas kerasukan jin dan cara pengobatannya
Kemudian mengangkat tema mendahulukan fiqih alquran. Didalamnya membahas tentang Hadits-hadits yang disimpangkan dari maksudnya atau kurang dipahami maknanya, Hadis tentang Peperangan dalam Islam, Posisi dakwah umat yang tidak sukses, Hadits-hadits tentang zuhud, kurangnya pengetahuan sebagian peminat hadits di masa sekarang
Kemudian Membahas hadis hadis fitan (masa kekacauan). Tinjauan selintas tentang hadits-hadits seputar masa kekacauan, Hadits-hadits tentang Dajjal, pemimpin kaum Yahudi, Menelaah hadits tentang “betis” Hadits tentang hal-hal yang membatalkan shalat
Membahas  hadis antara sarana dan tujuan; Yang tetap dan berubah di lapangan, jihad Yang tetap dan berubah di lapangan syura
Membahas tema antara takdir dan fatalism; Ilmi Ilahi yang menyeluruh, Mengkritisi hadits yang cenderung mengarah pada fatalisme (jabariyyah), Ayat-ayat tentang ikhtiar manusia, ganjaran dan keadilan Ilahi, Makna ayat “Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia beri hidayah kepada kalian semua”, Perwujudan Iradat (Kehendak) Allah yang Mahatinggi, Penyesalan sia-sia para pendosa di hari kiamat, Tinjauan umum terhadap hadits-hadits tentang qadha dan qadar
Dalam penutupnya Ghazali membahas tentang Rangkaian perawi “rantai emas” tidak menolong matan yang rapuh, Kerja sama antara ahli fiqih dan ahli hadits dalam meneliti Sunnah Nabi, Benarkah seorang suami tak boleh ditanya mengapa ia memukul istrinya?Pulau tempat Dajjal, Isteri tidak menentukan jenis kelamin anak.
Pemahaman Hadis prespektif penulis
Buku ini mengetengahkan beberapa isu sentral dalam kajian hadis seperti korelasi antara Qur’an dan Sunnah, bagaimana posisi hadis Nabi saw.,sebagai sumber hukum Islam, dan bagaimana metode penelitian hadis dengan menyertai contoh contoh aplikatif hadis-hadis yang dipertanyakan kembali oleh penulis karena dianggap kontra dengan ajaran al-Qur’an, kebenaran ilmiah maupun historis.
Perlu diketahui pembahasan substansial dalam kajian hadis adalah persoalan otentisitas hadis atau keshahihan hadis. Apakah hadisnya shahih ataukah dhaif? Ini yang selalu menjadi pertanyaan setiap orang. Tentu saja pertanyaan seperti ini  bukan berarti resistensi (keingkaran) atas otoritas sunnah (hujjiyat sunnah), tetapi lebih pada usaha mengkritisi dan mempertanyakan keakuratan metodologi yang digunakan dalam menentukan otentisitas hadis. Sebab jika metodologi otentifikasi yang digunakan bermasalah, maka semua hasil yang dicapai dari metode tersebut tidak steril dari kemungkinan kemungkinan verifikasi ulang.[11]
Dalam kajian Mustalah Hadis kita mengenal ada dua komponen penting  pembentuk keshahihan hadis yaitu; Sanad dan matan. Hanya saja menurut Ghazali Dalam perkembangannya, kajian hadis yang dilakukan oleh ulama (muhaddisin) lebih cenderung menitikberatkan pada kajian kritik sanad hadis (al-naqd al-hadis) dari pada studi kritik matn (al-naqd al-matn). Padahal semestinya keduanya mempunyai porsi yang sama.
Kemudian menurut beliau menimbang validitas matan hadis, bukan tugas khusus ahli hadis tetapi diperlukan kerjasama antara muhaddis dengan berbagai ahli-ahli lain termasuk fuqaha, mufassir, ushuli, mutakallimun mengingat materi hadis ada yang berkaitan dengan akidah, ibadah, mu’amalah sehingga memerlukan pengetahuan komprehensif  dengan berbagai ahli tersebut jadi tidak semata mata atas barometer muhaddis saja.[12]
Sehingga beliau banyak mengritik sebagian orang yang hanya mengkaji hadis secara dominan dari satu sisi sanadnya saja, dan mengambil pemahaman yang prematur kemudian membuat kesimpulan hukum yang banyak bertentangan para Imam Mujtahid, bertentangan dengan hadis-hadis yang lain yang lebih kuat dan juga bertentangan dengan Al Qur'an. Misalnya beliau mengkrtik ahli hadis Ibn Hajar al-Atsqalani dan Muhammad bin Abdul Wahhab karena telah menguatkan hadis al-Gharaniq. Padahal menurut Al-Ghazali hadis tersebut adalah hasil buatan kaum zindiq. Salman Rusdi penulis novel Ayat-Ayat Setan menjadikan hadis palsu sebagai landasan penulisan novel tersebut. Begitu juga dengan Syaikh Al-Albani tidak luput dari kritik Muhammad Al-Ghazali. Karena Al-Albani telah mensahihkan hadis tentang “Daging sapi adalah penyakit”[13]. Menurut Ghazali hadis tersebut jelas sangat bertentangan dengan al-Qur’an, Bunyi hadisnya: عليكم بألبان البقر فإنها دواء وأسمانها فإنها شفاء! وإياكم ولحومها فإن لحومها داء [14] sekuat apapun sanadnya karena sapi adalah karunia bagi manusia.[15]
Pemikiran Ghazali bukanlah upaya menciptakan manhaj (metode) baru pada kritik hadis, ia hanya menginginkan mereka bisa menjaga, dan memelihara hadis, dengan kembali pada kaedah hadis yang telah disepakati ulama, ia menyayangkan sekelompok orang yang fanatik pada pendapat seseorang. Mereka menganggap diri sebagai pengikut sunnah, padahal mereka mencaci maki ulama fiqh, dan ulama yang lainnya. Atas nama pembelaan pada sunnah,  selanjutnya Ghazali menulis;
وفي عصرنا ظهر فتيان سوء يتطاولون على أئمة الفقه باسم الدفاع عن الحديث النبوي، مع أن الفقهاء ما حادوا عن السنة، ولا استهانوا بحديث صحت نسبته وسلم متنه. وكل ما فعلوه أنهم اكتشفوا عللا في بعض المرويات وفردوها ـ وفق المنهج العلمي المدروس ـ وأرشدوا الأمة الى ما هو أصدق قيلا وأهدى سبيلا
Pada masa ini, banyak di antara anak-anak muda kita,mencaci maki para fuqaha atas nama pembelaan pada sunnah, padahal para fuqaha sendiri, tidak pernah membenci dan melecehkan sunnah, selama sanad dan matan hadis tersebut sahih, yang terjadi sebenarnya para fuqaha hanya menemukan illat pada sebahagian riwayat, lalu mereka menolaknya sesuai dengan metode ilmiah yang ditetapkan ulama
Oleh karenanya guna mendukung pemahaman terhadap hadis nabi yang concern terhadap penelitian matan , Ghazali kemudian menyusun langkah metodologis yakni; pertama, menghimpun hadis yang berada dalam satu tema. Kedua, menelaah dan mengkaji asbab al-wurud-nya dengan tetap memperhatikan kondisi sosial budaya dan kesejarahan hadis. Ketiga, mengambil kesimpulan yang terkandung dalam matan hadis dan mengujinya dengan barometer petunjuk Quran dan Hadis yang lebih shahih.
Beberapa contoh pemahaman Hadis prespektif Ghazali
Ghazali mengkritik orang-orang yang memahami secara tekstual hadis-hadis yang sahih sanadnya, namun matannya bertentangan dengan al-Qur’an. Menurutnya Qur’an adalah barometer utama dalam menilai validitas matan . Ghazali memberi contoh hadis tentang mayat yang disiksa karena tangisan keluarganya. Hadis ini diriwayatkan oleh: Bukhari, Muslim, Turmudzi, Nasai, Abu daud, Ibnu Majah, Imam Ahmad dan Imam Malik. Berikut ini dalam riwayat Muslim :

 حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة ومحمد بن عبد الله بن نمير جميعا عن ابن بشر قال أبو بكر حدثنا محمد بن بشر العبدي عن عبيد الله بن عمر قال حدثنا نافع عن عبد الله أن حفصة بكت على عمر فقال مهلا يا بنية ألم تعلمي أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال إن الميت يعذب ببكاء أهله عليه[16]

Dengan lantang  ‘Aisyah menolak hadis yang mengatakan bahwa orang mati disiksa karena tangisan keluarganya. Bahkan kemudian dia bersumpah nabi tidak pernah mengucapkan hadis tersebut. Alasan penolakannya adalah dianggap bertentangan dengan al-Qur’an,  لا تزر وازرة وزراخري (Tidaklah seseorang menanggung dosa orang lain”). (Q.S. Al-An’am(6): 164).
Demikianlah ‘Aisyah menolak dengan tegas periwayatan suatu hadis yang bertentangan dengan al-Qur’an. Meskipun begitu, hadis tersebut beberapa puluh tahun kemudian masih saja tercantum dalam kitab-kitab hadis sahih.
Contoh kedua hadis tentang tidak adanya qishas bagi seorang muslim yang membunuh orang kafir. لا يقتل المسلم الكافر (Seorang muslim tidak boleh di bunuh karena membunuh orang kafir).
Al-Ghazali menolak hadis tersebut karena bertentangan dengan Zahir ayat quran Quran :
"dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.[17]
Ditambah lagi hadis tersebut mengabaikan rasa keadilan dan tidak menghargai jiwa kemanusiaan. Karena antara muslim dan kafir sebenarnya mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Berangkat dari sini Ghazali mengatakan bahwasanya beliau tidak ngasal mendhaifkan keshahihan hadis tetapi untuk menetapkan validitas hadis dari segi matan-nya diperlukan pemahaman yang mendalam tentang isi ayat al-Qur’an baik yang tersurat maupun tersirat. [18]
Contoh ketiga Hadis tentang larangan perempuan shalat jamaah di masjid
Ghazali mengkritisnya hadis tersebut dianggap bertentangan dengan amalan Rasulullah yang membiarkan perempuan mengikuti shalat jamaah di masjid dengan menyediakan pintu khusus bagi perempuan yang masuk masjid untuk mengikuti shalat jamaah. Rasul juga pernah memendekkan shalat Subuh dengan membaca surat-surat pendek ketika mendengar tangis bayi, karena dikhawatirkan sang ibu tidak khusyu’ karena tangisan anaknya. Menurut Ghazali, bahkan nabi tidak memberikan sugesti agar perempuan lebih baik shalat di rumah. Dengan demikian, hadis yang menjelaskan tentang larangan perempuan ikut shalat di masjid adalah bathil. Hadis ini juga tidak dijumpai dalam kitab sahih Bukhari dan Muslim. Beliau menkonfirmasi hadis tersebut matan hadis lain dan dengan pendekatan sejarah.
Contoh keempat hadis: "Pastilah gagal suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang perempuan." [19]
Beliau menjelaskan bahwa ketika negeri Persia sedang berada di ambang kehancuran menghadapi hantaman bertubi-tubi pasukan Islam, pada waktu itu ia diperintah oleh suatu sistem monarki yang bobrok dan totaliter. Agama mereka adalah watsaniyah (penyembah berhala). Keluarga kerajaan tidak mengenal sistem permusyawaratan dan tidak menghormati pendapat apa pun yang berlawanan dengan pendapat mereka. Hubungan antar-mereka dan rakyat sangat buruk. Adakalanya seseorang dari mereka membunuh ayahnya atau saudaranya sendiri demi mencapai idamannya. Dan rakyat pun terpaksa tunduk patuh dengan segala kehinaan. Dalam pada itu, ketika pasukan-pasukan Persia telah dipaksa mundur,dan luas wilayahnya makin menyempit, sebenarnya masih ada kemungkinan untuk menyerahkan kepemimpinan negara kepada seorang Jenderal yang piawai yang mungkin dapat menghentikan kekalahan demi kekalahan. Namun, paganisme politik telah menjadikan rakyat dan negara sebagai harta warisan yang diterimakan kepada seorang perempuan muda yang tidak tahu apa-apa. Hal itulah yang menandakan bahwa negeri Persia sedang menuju kehancuran total. Dalam mengomentari keadaan itulah, Nabi saw.  mengucapkan hadis tersebut, yang benar-benar melukiskan keadaan sesungguhnya waktu itu. Dengan demikian Ghazali terlihat menganalis hadis dengan pendekatan historis dan sosiologis.
Contoh kelima, tentang hadis keutamaan menggunakan imamah
عليكم بالعمائم فإنها سيماء الملائكة , وأرخوا لها خلف ظهوركم
Hendaknya kalian mengenakan surban, sebab surban adalah tanda pengenal para malaikat. Dan biarkanlah ujungnya menjulur di belakang punggung kalian
Beliau mengatakan Surban adalah pakaian bangsa Arab, bukan lambang keislaman. Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa memilih jenis model pakaian tidak ada sangkut pautnya dengan agama, melainkan sangat terkait dengan budaya dan geografis di mana seseorang hidup. Begitu pula igal (tali pengikat kerudung kepala). Karena faktanya dunia arab yang iklimnya relative panas mengharuskan penutupan kepala dan punggung, begitupula hadis yang menganjurkan untuk berpakaian dengan pakaian putih. Meskipun nabi sering tampak menggunakan pakaian warna putih atau terkadang berwarna gelap itu karena budaya dan kondisi alam di mana nabi bertempat tinggal. maka lazimnya mereka menggunakan pakaian berwarna putih, demikian juga ketika orang tinggal di daerah dingin, akan cenderung memakai pakaian gelap, hal ini lah yang tampak pada kebiasaan nabi. Terlihat beliau menganalisa hadis tersebut dengan pendekatan antropologi.
Kesimpulan
1. Ghazali lebih menekankan kajian matn dari pada kajian sanad hadis. Bahkan hadis yang secara sanad berstatus do’if masih dapat digunakan sebagai dasar fatwa ketika matn hadis tersebut tidak bertentangan dengan al-Qur'an dan ajaran Islam. Sedangkan ukuran otentitas matan menurutnya adalah sejalan seiring dengan: Prinsip Qur'an, substansi matn hadis sahih lainnya, dengan fakta sejarah, prinsip-prinsip umum ajaran Islam, matn hadis tidak bersifat syaz, hadis tersebut harus bersifat ‘illah qadihah (cacat yang diketahui oleh para ahli hadis.
2. Metode pemahaman hadis yang digunakan Ghazali adalah metode sintesis, yaitu upaya memadukan antara aspek teologis yang meyakini hujjiyat sunnah dengan prinsip-prinsip ilmiah yang berasal dari penalaran rasionalitas manusia yang meliputi antara lain aspek bahasa, geografis, antropologis, sosial, sejarah dan lain sebagaimya
3. Dari pemahaman hadis yang diterapkan Ghazali terlihat jelas dipengaruhi oleh kondisi sosial-budaya-politik ketika ia melakukan penelitian terhadap hadis. Secara psikologis, beliau adalah seorang da’i yang selalu menyeru persatuan ummat dan keluar dari hegemoni barat. Secara keilmuan, beliau sangat dipengaruhi oleh paham Hanafi yang lebih mengutamakan al-Qur’an daripada sunnah ketika ada kontroversi di antara keduanya.
Kritikan terhadap Ghazali
Pemikiran dan metode Ghazali dalam kritik matan sejatinya bukanlah hal baru, cikal bakal kritik matan sudah dipraktekan sejak ahli hadis klasik. Hanya saja kritikannya pada beberapa hadis yang sudah termaktub dalam shahihain memunculkan polemik di kalangan ulama. Dan kita tidak perlu heran dan kaget karena polemik dan perbedaan adalah keniscayaan dan bagian dari dinamika intelektual. Agar mendapatkan pemahaman dan informasi yang berimbang, ada baiknya pemakalah sebutkan beberapa buku yang mengulas dan mengkritik buku ini . Diantaranya berikut ini:
-أزمة الحوار الديني : نقد كتاب السنة النبوية بين أهل الفقه وأهل الحديث لمؤلفه محمد الغزالي  لجمال سلطان. - جناية محمد الغزالي على الحديث وأهله  لأشرف عبد المقصود. - كشف موقف الغزالي من السنة وأهلها ونقد بعض آرائه  للشيخ ربيع بن هادي المدخلي. - المعيار لعلم الغزالي في كتابه السنة النبوية لللشيخ صالح آل الشيخ. - نظرات ونقدات في العقيدة والفقه والدعوة والحديث ردا على الشيخ محمد الغزالي للشيخ سليم الهلالي بالاشتراك مع علي الحلبي الأثري. - طليعة سمط اللآلي في الرد على الشيخ محمد الغزالي للشيخ الحويني.
Uraian makalah ini kami tutup dengan ungkapan Syeh Qardhawi: Mungkin anda berbeda pandangan dengan al Ghozali, atau ia beerbeda pendapat dengan anda dalam masalah-masalah kecil atau besar, sedikit atau banyak masalah. Tapi apabila anda mengenalnya dengan baik, anda pasti mencintai dan menghormatinya. Karena anda tau keikhlasan dan ketundukannya pada kebenaran, keistiqomahan orientasi dan ghirahnya yang murni untuk Islam.”
Begitulah adab kita terhadap ulama, seyogyanya berhusnuz zhan terhadap mereka. Berbeda boleh boleh saja dalam tataran pemikiran, hanya saja menyalahkan dengan ungkapan yang tidak patut sudah semestinya kita hindari. Semoga Coretan ringkas ini bermanfaat dan bisa menjadi pengantar diskusi bedah buku kita Wallahu A’lam




[1]Makalah dipresentasikan dalam Kajian bedah buku Lakpesdam-Bm PCI NU Pakistan tanggal 8/11/2014 di lesehan taman I10
[2] Pegiat PCI-NU Pakistan dan Mahasiswa S2 IIUI Departemen Tafsir dan Ilmu ilmu Alquran.
[3]. Beberapa buku yang menulis biografi dan pemikiran beliau: -Syeikh Ghazaly Kama Araftuhu karangan Syeikh Yusuf Qardhawi, Assyeikh Muhammad Ghazaly Almawqi Alfikri wal Maarik Alfikriyah karangan Dr Muhammad Imarah. – Hakadza ‘Allamani Muhammad Ghazaly karangan‘Alauddin alu rasyi.- Kayfa Nataamal ma Alquran fi Mudarasat Maa Syeikh Ghazaly karangan Umar Ubaid Hasanah. – Syeikh Muhamad Ghazaly : Suwar Min hayati Mujahid Azim waDdirasah liJjawanib Fikrihi karangan Abdul Halim Uwais. – Daf’u Syubhat an Syeikh Muhamad Ghazali karangan Ahmad Hijazi Assaqa.- Malamih Al fikr As siyasi li Syeikh Muhammad Ghazali karangan Muhammad Waqi ullah. – Ad daiyah An najih fi Fikril Ghazali karangan Wasfi Asyur Abu Zaid dan masih banyak beberapa buku yang membahas khusus pemikiran beliau. Ini adalah indikator kontribusinya yang signifikan dalam pemikiran Islam sehingga beliau menajdi objek penelitian.
[4] Ulama besar Al Azhar pengarang buku Manahil Irfan Fi ulum Quran
[5] Salah seorang pakar tafsir  dan menjabat sebagai Grand Syeikh Al azhar tahun 1958
[6] Seorang pakar Ushul Fiqh dan pernah menjadi Rektor IIUI Islamabad Pakistan sekitar tahun 2002
[7] Buku buku karya beliau bisa di unduh di: http://islamic-arabic-blog.blogspot.com/2012/01/books-of-imam-sheikh-muhammad-alghazali.html
[8] Muhammad Ghazali , Assunnah Nabawiyah Baina Ahl Fiqh wa Ahl Hadis (cet. 6 ; Cairo: Dar Syuruq, 1989), h.6.
[9] Ibid., h.11-16.
[10] Ibid., h.7-9.
[11] Muhaddisin mensyaratkan otentisitas hadis dari lima unsur: 1.Ittisal sanad (Kesinambungan mata rantai periwayatan) 2.Adalat ruwat para perawi harus menjunjung tinggi agama, dan tidak melakukan dosa-dosa besar 3. Dhabt Ruwat Akurasi proses periwayatan, seperti periwayat tidak boleh ceroboh atau diketahui memiliki daya ingat yang lemah .4. Adam syudzudz Bebas dari syadz, yaitu kontradiksi dengan sumber-sumber yang lebih dapat dipercaya 5. Bebas dari cacat-cacat penyimpangan (‘illat qadhihah), yaitu ketidaktepatan dalam melakukan periwayatan.
[12] Muhammad Ghazali, op. cit., h. 19.
[13] Muhammad Nasiruddin Albani,Shahihul Jami Ashagier, Juz II (Cet. I; Damaskus: Almaktab Al Islami ), h. 749.  No 4053
[14] Surat Al An am: 142
[15] Muhammad Ghazali, op. cit., h. 20-21.
[16] Imam Muslim , Shahih Muslim, Juz II (Cet. I; Bairut: Dar Ihya’ Turas alArabi,), h. 638. no 927
[17] Surat Almaidah 45.48,50
[18] Muhammad Ghazali, op. cit., h. 20-21.
[19] Ibid., h.51-57.

No comments:

Post a Comment