oleh: Ahmad Badruddin.[2]
Hadis diyakini sebagai sumber
otoritas kedua setelah Quran dalam pengambilan hukum, Disamping sebagai
penjelas terhadap ayat-ayat yang masih umum dan samar. Hanya saja, pengambilan
hadits sebagai dasar hukum tidaklah semudah membalikan telapak tangan, mengingat
banyaknya persoalan yang terdapat dalam hadis itu sendiri. Disamping itu, pada
perjalanannya, pemahaman para ulama terhadap hadits dikemudian hari tidaklah
satu. Hal itu mempengaruhi pemahaman mereka yang berbeda beda terhadap istimbath
al ahkâm. Penentuan shahîh dan dha’îf, penafsiran matan hadits, hingga
pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari, merupakan perbincangan yang terus
mewarnai studi ilmu hadits dalam dunia Islam. Salah satu ulama yang membahas
tentang Kajian Hadis adalah Syeikh Muhammad Ghazali dalam buah karyanya “As
Sunnah an Nabawiyyah baina Ahl al Fiqh wa Ahl al Hadits”
Coretan sederhana ini, tentu saja terlalu lebay, jika dikatakan untuk membedah
pemikiran Syeikh Ghazali dan metode memahami hadis dalam karyanya
tersebut. Oleh karenanya pemakalah hanya sekedar
(cukup) bermaksud melakukan pembacaan ulang (review) dan pengenalan singkat
tentang isi buku tanpa melakukan aksi apa apa terhadap buku ini. Sedangkan tujuan
penulisan makalah ini adalah upaya menjawab rumusan beberapa pertanyaan berikut
ini: Siapa dan bagaimana idenditas penulis buku tersebut? bagaimanakah pemikiran
dan gagasan penulis tentang hadis?, bagaimana konsep analisis, metode dan
pendekatan yang ditawarkan penulis berkaitan dengan pemahaman hadis dalam buku
tersebut?.
Tentang
catatan hidup sang penulis[3]
Tidak afdol
rasanya menelaah pemikiran dan membedah buku seorang tokoh, tanpa mengetahui catatan hidupnya yang sedikit
banyak sudah mempengaruhi bangunan pemikiran dan melatar-belakangi ide-idenya.
Ini penting agar kita bisa mensetting pemikiran tokoh tersebut dengan lebih
jujur dan terhindar dari rasa simpati atau empati, dan agar kita tidak selalu terjebak
dari analisis ideologis dan fanatisme sektarian yang hanya melahirkan analisa
yang subjektif.
Penulis buku
ini bernama Syeikh Muhammad Al-Ghazali As saqa lahir di desa Nakhla al-Inab,
Itay al-Barud, Buhairah, Mesir pada tanggal 22 September 1917 M. Dibesarkan dalam
lingkungan keluarga agamis yang memotivasi beliau hafal Quran sejak usia belia
di umur 10 tahun. Pendidikan intelektualnya ditempuh dalam bimbingan masyayikh
Al Azhar sejak usia dini, Beliau masuk Madrasah tsanawiyah dan aliyahnya di
ma’had agama Azhar di kota Iskandariah. Kemudian melanjutkan di fakultas
Ushuluddin universitas Al Azhar Kairo dan mendapatkan gelar Magister
di bidang Dawah wal Irsyad tahun 1362 H/ 1944 M. Disamping mendapatkan keilmuan
agama dari Al Azhar beliau juga mendapatkan gemblengan dan tempaan fiqih da’wah
dari Imam Hasan al-Bana pendiri pergerakan dakwah Ikhwan Muslimin.
Ghazali
mengomentari tentang dirinya; “Jika Imam al Ghazali terpengaruh dengan otak
para filusuf dan Ibnu Taimiyah teropengaruh degan otak ahli fiqih maka saya
menganggap diri saya adalah murid dari sekolah filsafat dan fiqih dalam waktu
yang sama. Saya sangat dipengaruhi oleh syaikh Abdul Azim Az Zarqani [4] dan
Muhammad Saltut [5],
akan tetapi saya lebih dipengaruhi oleh Hasan Al Banna.
Kehidupan
Intelektualnya mengantarkan beliau aktif dalam berbagai kegiatan misalnya sebagai
penasihat dan pembimbing di Kementrian Wakaf, ketua Dewan Kontrol Masjid, Ketua
Dewan Da’wah, dan terakhir menjadi Wakil Menteri Wakaf dan Urusan Dakwah Mesir.
Dan di dunia internasional beliau menjadi
peneliti di berbagai lembaga research, diantaranya: 1. Majma’ al-Buhuts
al-Islamiyah (Dewan Riset Islam) di Al-Azhar Al-Syarif. 2. al-Majma’ al-Malaki
li Buhuts al-Hadharah al-Islamiyah (Dewan Riset penelitian kebudayaan Islam) di
Yordania. 3. The International Institute of Islamic Thouhgt (IIIT) di
Washington. 4. Al-Hai`ah al-Khairiyah al-Islamiyah al-’Alamiyah (Gerakan
kebaikan Islam Internasional) di Kuwait, dan lain-lain.
Beliau juga
mengajar dan menjadi guru besar di sejumlah universitas seperti Al Azhar,
Islamic university Madinah, Ummul Qura Makkah, King Abdul Aziz Jeddah, Universitas
Qatar, dan mengagas pendirian serta menjadi pembimbing Universitas Amir Abdul
Qadir al-Islamiyah di Aljazair. Diantara murid muridnya beliau adalah : Syeikh
Yusuf Qardhawi, Syeikh Manna Qattan, Dr Ahmad Assal[6] dan lain
lain
Beliau juga dikenal
sebagai da’i brilian dan oratur ulung dalam pidato dan khutbah2nya. Materi
ceramahnya selalu update dengan permasalahan masyarakat modern, tutur katanya
yang mudah di fahami segala lapisan masyarakat, materi tulisan dan ceramahnya
banyak berkisar tentang bagaimana memajukan Islam dan membangunkan ummat dari
keterpurukan, menganjurkan persatuan Islam demi melawan pemikiran yang bertentangan
dengan Islam. Dr. Yusuf Qardhawi mengomentarinya, “Syekh Al-Ghazali salah satu
tokoh Islam abad modern. Ia dai yang sulit ditemukan tandingannya di dunia
Islam saat ini. Ia jenius dan keindahan katanya menawan hati, hingga saya dapat
menghapal beberapa ungkapan, bahkan beberapa lembar tulisannya, lalu mengulang
sesuai teks aslinya di beberapa ceramah”.
Beliau juga seorang
penulis produktif, menulis lebih dari 60 buku yang berkaitan dengan ilmu ilmu
keislaman Diantaranya: 1. Al-Islam wa al-Awda‘ al-Iqtisadiyyah (Islam dan
Kedudukan Ekonomi) 2. Al-Islam wa al-Manhaj al-Istirakiyyah (Islam dan
Metodologi Sosialis) 3. Islam wa Istibdad al-Siyasi(Islam dan Politik Diktator)
4. Islam Muftara ‘alayh bayn Shuyu‘in wa al-Rasumaliyyin (Salah Faham Terhadap
Islam: Antara Tentangan Komunis dan Kapitalis) 5. Min Huna Na‘lam (Dari Sini
Kita Memahami) 6. Ta’amulat fi Din wa ‘l-Hayat (Penghayatan Pada Agama dan
Kehidupan) 7. Khuluq al-Muslim(Peribadi Orang Islam) 8. ‘Aqidah al-Muslim (Akidah
Muslim) 9. Al-Ta‘asub wa al-Tasamuh (Ekstremisme dan Toleransi) 10. Fi Mawkib
al-Da‘wah (Dalam Perjalanan Dakwah) 11. Fiqih Sirah 12. Kaifa Nataamal Ma Al
Quran (Bagaimana berinteraksi dengan Quran. 13. Nazharat fi Alquran 14.
Almahawir al Khamsah Fi Quran 14. Al marah fi Islam ( Kedudukan Perempuan dalam
Islam) dan lain sebagainya [7]
Atas
prestasinya beliau juga mendapatkan banyak penghargaan dan bintang tanda jasa
antara lain : 1. Bintang tanda jasa Al-Amir. Ini merupakan penghargaan
tertinggi di AlJazair Tahun 1988 M. 2. Penghargaan Internasional Raja Faisal
tahun 1989 M. untuk bantuan Islam. 3. Penghargaan Al-Imtiaz dari Pakistan tahun
1991 M. 4. Penghargaan Al-Daulah Al-Taqdiriyah dari Mesir tahun 1991 M.
Syeikh Muhammad Al-Ghazali
mengalami serangan jantung dalam sebuah kunjungannya menghadiri seminar di
Riyadh yang akhirnya wafat , tanggal 9 Maret 1996. Kemudian jenazahnya dipindah
ke Madinah Al-Munawarah untuk dimakamkan di pekuburan Al-Baqi’.
Menurut
pemakalah, setidaknya ada beberapa unsur yang membangun watak keilmuan Muhammad
ghazali dari kilasan biografi beliau:
·
Beliau adalah
seorang cendikiawan muslim yang banyak bergelut dengan literatur2 keilmuan klasik
(turats) maupun kontemporer dengan pelbagai spesifikasi ilmu-ilmu keislaman.
Seorang akademisi yang cemerlang, filosof islami dan sastrawan yang berbakat,
pemikir Islam yang mendalami berbagai ilmu ilmu humaniora modern, ilmu sosial
dan kejiwaan.
·
Beliau
adalah seorang aktifis pergerakan dan ahli fikih dakwah yang turun langsung ke
dalam problematika masyarakat modern. Berkat pengalamanya beliau mampu mengharmonisasikan
antara ilmu aqli dan naqli dalam pembacaannya terhadap prinsip prinsip shariah
yang universal, serta mampu menggali tujuan hakiki dari maqasid shariah
sehingga berkompeten untuk menyegarkan tradisi tradisi klasik dan
menyesuaikannya pada kasus kontemporer.
Berangkat dari
sinilah menurut pemakalah, beliau mewakili sosok ulama yang selalu mengusung jargon Wasathiyah
Islam, moderat dalam melihat fenomena keagamaan modern dan mampu menampilkan wajah Islam yang
relevan dengan zamannya, jauh dari kesan rigid dan penampilan yang kaku. Dan
kita akan melihat bagaimana dua unsure ini mempengaruhi sepak terjangnya dalam
mengkaji hadis.
Latar belakang,
tujuan dan maksud penulisan
Sebenarnya Ghazali
bukanlah seorang ahli hadis dan bukan pula penulis yang concern pada
kajian hadis, beliau lebih bisa dikatakan seorang mufakkir pemikir
islam. Ini terlihat dari tulisan2nya dan ceramahnya yang banyak berkaitan
tentang isu isu modernitas dan sosial keagamaan secara umum. Bukunya yang
berkaitan langsung dengan kajian hadis secara khusus hanyalah buku yang sedang kita
bicarakan saat ini.
Buku setebal
205 halaman ini diterbitkan oleh Dar al-Syuruq Kairo. Pertama kali terbit pada
Bulan Januari 1989 M. dan mengalami terbitan ulang secara berturut-turut pada
Bulan Februari, Maret, April, dan Mei pada tahun yang sama. Buku ini termasuk
karya popular dan best seller, dalam lima bulan dicetak sebanyak lima kali dan banyak
mendapatkan respon dan kritik dari banyak sarjana keislaman. Oleh karenanya
dalam cetakan keenamnya beliau menambahkan banyak catatan penting dari hasil
penjelasan dan koreksi dari beberapa ulama sebagaimana diungkapkan dalam
mukaddimah bukunya.
Latar belakang
penulisan buku ini sebagaimana disinggung oleh Ghazali sendiri dalam
pendahuluannya adalah atas permintaan al-Ma’had al-alam li al-Fikri
al-Islami (Institut Pemikiran Islam
Internasional), sebuah lembaga pemikiran Islam yang berpusat di Amerika Serikat
dan dipimpin oleh Prof. Dr. Thaha Jabir al-‘Ulwani. Misi penulisan buku ini
adalah upaya mengkaji Sunah secara proporsional dengan metodologi ilmu
ilmu kontemporer, obyektif, dan sesuai dengan kebutuhan zaman dengan lebih concern
pada kajian matan. Karena menurutnya, bidang tersebut masih kurang terjamah
oleh para ulama, berbeda dengan kajian sanad yang sudah sangat matang dan mapan.[8]
Dalam mukaddimah
cetakan pertamanya kita bisa melihat Ghazali menyatakan kegundahannya dan menekankan
bahwa umat islam saat ini dalam keadaan terpuruk karena umat Islam selalu saja disibukan
dengan masalah khilafiah perpecahan sesama muslim dan saling menyalahkan
dalam memahami teks keagamaan. Lebih lanjut di akhir kata mukaddimahnya beliau
menulis:
وأنا أكره التعصب المذهبي وأراه قصور
فقه، ...لكن التقليد المذهبي أقل ضررا من الاجتهاد الصبياني في فهم الأدلة..
وبديهي أن تنشأ مشكلات ثقافية واجتماعية من هذا النهج، وأن تسمع حدثا يقول: مالك
لا يعرف حديثة الاستفتاح، ولاسنة الاستعاذة ولا يدرك خطورة البسملة، ويخرج من
الصلاة دون أن يتم التسليمتين، فهو جاهل بالسنة النبوية..!!وحدثا
آخر يقول: أبو حنيفة لا يرفع يديه قبل الركوع ولا بعده ويوصي أتباعه ألا يقرؤوا
حرفا من القرآن وراء الإمام، وربما صلى بعد لمس المرأة. فهو يصلي بلا وضوء.إنه هو الآخر جاهل بالإسلام...وانتشر
الفقه البدوي، والتصور الطفولي للعقائد والشرائع...وفي
هذا الكتاب جرعة قد تكون مرة للفتيان الذين يتناولون كتب الأحاديث النبوية ثم
يحسبون أنهم أحاطوا بالإسلام علما بعد قراءة عابرة أو عميقة.ولعل
فيه درسا لشيوخ يحاربون الفقه المذهبي لحساب سلفية مزعومة عرفت من الإسلام قشوره
ونسيت جذوره؟.وأوكد أولا وآخرا
أنني مع القافلة الكبرى للإسلام، هذه القافلة التي يحدوها الخلفاء الراشدون
والأئمة المتبوعون والعلماء الموثقون، خلفا بعد سلف، ولاحقا يدعو لسابق.. يدعو
الله بصدق قائلا: «ربنا اغفر لنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان، ولا تعجل في
قلوبنا غلا للذين آمنوا. ربنا إنك رءوف رحيم[9]
Saya membenci fanatisme madzhab dan saya anggap sebagai kegagalan
Fiqih..hanya saja taqlid madhabi lebih sedikit madharatnya daripada ijtihad
bebasnya para anak muda dalam memahami dalil dalil agama sehingga konsekwensinya
memunculkan problematika intelektual-sosial. Maka wajar muncul ungkapan: Imam
malik tidak mengetahui hadis istiftah dan tidak mengetahui sunah istiadzah dan
tidak mengetahui pentingnya basmalah dan menyelesaikan shalat tanpa dua salam
jadi imam malik adalah bodoh tidak mengetahui sunnah. Dan ada ungkapan lagi:
Imam hanafi tidak mengangkat kedua tangannya sebelum ruku dan sesudahnya dan
menganjurkan murid2nya untuk tidak membaca ayat alquran saat menjadi mamum dan
mungkin saja melakukan shalat setelah menyentuh wanita maka dia shalat tanpa
berwudhu (krn sudah menyentuh) maka imam hanafi tidak mengetahui ajaran
Islam……dan semakin lebar kedangkalan fiqih dan pemahaman sederhana terhadap
akidah dan syariah. Dalam buku ini terdapat obat yang mungkin terasa pahit
untuk sebagian orang. Yakni para pemuda yang mempelajari kitab kitab hadis baik
secara dangkal atapun mendalam kemudian menganggap bahwa mereka sudah memehami
secara komprehensif ilmu keislaman dan semoga buku ini juga menjadi pelajaran
untuk para asatidz yang memerangi dan pro-kontra terhadap fiqih madzhaby dengan
jargon“ kembali kepada para salaf atau salafiah
yang dipalsukan, yang hanya memperhatikan kulitnya Islam dan melupakan akar
serta isinya.” dan aku sekali lagi
menegaskan bahwasanya saya berpendapat
bersama mayoritas ummat yaitu kafilah yang diikuti oleh khulafa rasyidin
para imam yang diikuti dan ulama2 terpecaya baik salaf ataupun khalaf….
Sedangkan dalam
mukaddimah cetakan keenam Ghazali lebih menekankan agar sunnah Nabi
dipahami demi memajukan peradaban Islam, bukan malah membuatnya mundur dan
tertinggal di mata dunia. Ghazali mengungkapkan bahwa penulisan buku ini memicu
banyak keritikan pedas dari orang yang tidak sependapat dan sepemikiran
dengannya. Hanya saja keritikan yang menyakitkan adalah tuduhan bahwa
beliau memerangi dan mengingkari Sunnah sebagaimana diungkap kan dalam
tulisannya:
الشتم الذي أوجعني اتهام البعض لي:
بأني اخاصم السنة النبوية!!.وأنا
أعلم أن الله ورسوله أحب الي مما سواهما، وأن إخلاصي للإسلام يتجدد ولا يتبدد،
وأنه أولى بأولئك المتحدثين أن يلزموا الفقه والأدب
فغايتي تنقية السنة مما قد يشوبها!
وغايتي كذلك حماية الثقافة الإسلامية من ناس قيل فيهم: إنهم يطلبون العلم يوم
السبت، ويدرسونه يوم الأحد، ويعلمون أساتذة له يوم الاثنين. أما يوم الثلاثاء
فيطاولون الأئمة الكبار ويقولون: نحن رجال وهم رجال!!.
وأؤكد أنني مع جمهرة الفقهاء
والمتحدثين عن الإسلام، ولست صاحب مذهب شاذ، بل إنني من صميم الجماعة ومن حماة
أهدافها، وأولو العلم يعرفون ما أعني.والخطورة
تجئ من أنصاف متعلمين أو أنصاف متدينين يعلو الآن نقيقهم في الليل المخيم على
العالم الإسلامي، ويعتمد أعداء الإسلام ـ في أوربا وأمريكا ـ على ضحالة فكرهم في
إخماد صحوة جديدة لديننا المكافح المثخن بالجراح..إن
الحضارة التي تحكم العالم مشحونة بالأخطاء والخطايا، بيد أنها ستبقى حاكمة مادام
لا يوجد بديل أفضل!.هل البديل الأفضل
جلباب قصير ولحية كثة؟ أم عقل أذكى وقلب أنقى، وخلق أزكى وفطرة أسلم وسيرة أحكم؟...وأنا أتوجه إلى أمراء
الجماعات الدينية الأكارم، والى الأوصياء الكبار على تراث السلف أن يراجعوا أنفسهم
كي يهتموا بأمرين:
أولهما: زيادة التدبر لآيات القرآن
الكريم.وآخرهما: توثيق
الروابط بين الأحاديث الشريفة ودلالات القرآن القريبة والبعيدة، فلن تقوم دراسة
إسلامية مكتملة ومجدية إلا بالأمرين معا..إن
الصلف مع العلم رذيلة، فكيف إذا كان الصلف مع عجز وقصور؟؟ وهذا الكتاب حصيلة تجارب
كثيرة في ميدان الدعوة أردت به ترشيد الصحوة، وشد أزر العاملين المخلصين.إن أريد إلا الإصلاح ما استطعت، وما توفيقي إلا بالله عليه توكلت
وإليه أنيب[10]
Secara tegas Ghazali
mengatakan bahwa ia hanya bertujuan membersihkan sunnah Nabi yang telah banyak
dikotori dan dicemari oleh pemahaman pemahaman dangkal. Oleh sebab itu, tujuan
penulisan kitab ini juga ia ingin menjaga dan memelihara peradaban Islam dari
orang-orang yang berfikiran dangkal-sebagaimana dikatakan bahwa mereka adalah
orang-orang yang menuntut ilmu pada hari sabtu, mengajarkannya pada hari ahad,
dan menjadi guru besar pada hari seninnya. Dan kemudian pada hari selasa mereka
memberanikan diri untuk mensejajarkan diri dengan para ulama besar. Mereka
berkata: Jika mereka laki-laki, maka kami juga laki-laki. Beliau menegaskan
bahwasana beliau berpendapat sesuai dengan pendapat para ulama sebelumnya dan
bukan membuat hal hal baru.
Selanjutnya
beliau menyatakan bahwa kemerosotan umat Islam saat ini banyak disebabkan oleh
para pemikir yang setengah-setengah sehingga mudah dikelabui dan diperalat oleh
musuh Islam, yaitu Amerika dan Eropa. Oleh sebab itu, menurutnya perlu
pemikiran alternatif yang lebih baik. Bukan malah pemikiran yang semakin
menjatuhkan peradaban Islam.
Dalam hal ini,
beliau berkata bahwa sebenarnya yang paling penting adalah bukan baju gamis
atau jenggot yang lebat, namun sebenarnya yang harus ditekankan dalam pemikiran
adalah kecerdasan akal, ketulusan hati, kebersihan akhlak, fitrah yang lebih
sehat dan prilaku yang lebih bijaksana. Di akhir mukaddimahnya beliau
menganjurkan kepada seluruh pembesar,
para ulama, untuk memperhatikan dua hal, yaitu
a. Untuk lebih mentadabburi dan memahami
al-Qur’an
b. Mendalami hubungan antara hadis-hadis
Nabi dengan dalil-dalil al-Qur’an baik yang tersurat (mantuq) maupun tersirat
(mafhum), karena studi mengenai Islam tidak akan sempurna kecuali dengan
mengikuti kedua langkah ini.
Sekilas
tentang tehnik penulisan dan isi buku
Buku ini
dikarang di akhir akhir karier ilmiah dan dakwahnya selama puluhan tahun, tentu
saja ini adalah hasil pengamatan panjang beliau maka kita akan melihat bahwa
beliau dengan piawainya mengangkat tema tema yang update dan hangat
dibicarakan masyarakat. Gaya
penulisannya jauh berbeda dengan kitab kitab hadis klasik yang mengkaji hadis
sebatas syarah, penjelasan hadis tanpa mengaitkannya dengan konteks saat ini.
Buku ini disusun berdasarkan tema per tema, sehingga cukup "ringan"
untuk dibaca. Ditambah lagi dengan sistematikanya yang begitu menarik dengan
mencantumkan beberapa tema utama pada setiap bab sehingga memudahkan pembaca
untuk fokus terhadap tema yang sedang dibaca, kemudian Antar Bab tidak saling
terkait sehingga pembaca bisa memulainya dari mana saja. Dan yang lebih menarik
adalah gaya bahasa yang penuh sastra sehingga tidak seperti membaca buku ilmiah
yang terkesan dengan teori teori berat.
Sebelum
membahas lebih jauh analisa Ghazali ada baiknya pemakalah menuliskan semua tema
tema yang diangkat dalam buku ini sebagaimana yang tertulis dalam daftar
isinya.
Pembahasan
pertama tentang pemahaman ra’yu (rasio) dan riwayat serta contoh2nya didalamnya
dibahas tentang syarat otentitas hadis dan contoh2 hadis yang dikritisi isi
matannya misalnya: Hadis tentang Betulkah mayit diazab karena tangisan
keluarganya?, Tentang hukum qishash dan diyat, Shalat tahiyatul masjid saat
khutbah Jumat, Tentang hadits: Tuhan mendekat dan lebih mendekat lagi, Aisyah,
ahli hadits yang kritis, Fatwa yang tidak bertanggung jawab, Musa menonjok mata
malaikat maut?, Rasul menghukum mati orang yang belum pasti bersalah?, Haramkah
mengumumkan kematian seseorang?, Keutamaan negeri Syam, Nafkah wanita yang
ditalak tiga, Memaksa gadis dinikahi seseorang yang tak disukainya.
Kemudian tema
selanjutnya Ghazali mengangkat beberapa tema sentral seputar dunia wanita,
misalnya kelemahan hadis tentang hijab
dan cadar, wanita antara kewajiban keluarga
dan profesi (wanita karier), kelemahan hadis hadis yang melarang wanita ke
masjid, kesaksian wanita dalam hukum pidana dan qishas, dan masalah
kepemimpinan wanita.
Pembahasan
yang dibahas selanjutnya mengenai hukum nyanyian. Nilai
hadits yang diriwayatkan secara tunggal (ahad), Kritik Ibnu Hazm terhadap
riwayat mengenai larangan bernyanyi, Menghibur hati dengan hal-hal yang mubah, Beberapa
contoh nyanyian yang baik, Rusaknya kebanyakan lingkungan komunitas seni, Berlebih-lebihan
dalam mengharamkan nyanyian merupakan kecenderungan non-Islami
Kemudian Ghazali membahas
tentang sunnah nabi yang berkaitan dengan afal jibiliyah seperti etika
menyantap makanan dan minum, Adab berpakaian, Adab membangun rumah. Selanjutnya membahas kerasukan jin dan cara pengobatannya
Kemudian
mengangkat tema mendahulukan fiqih alquran. Didalamnya membahas tentang Hadits-hadits
yang disimpangkan dari maksudnya atau kurang dipahami maknanya, Hadis tentang
Peperangan dalam Islam, Posisi dakwah umat yang tidak sukses, Hadits-hadits
tentang zuhud, kurangnya pengetahuan sebagian peminat hadits di masa sekarang
Kemudian Membahas
hadis hadis fitan (masa kekacauan). Tinjauan selintas tentang hadits-hadits
seputar masa kekacauan, Hadits-hadits tentang Dajjal, pemimpin kaum Yahudi, Menelaah
hadits tentang “betis” Hadits tentang hal-hal yang membatalkan shalat
Membahas hadis antara sarana dan tujuan; Yang tetap dan
berubah di lapangan, jihad Yang tetap dan berubah di lapangan syura
Membahas tema
antara takdir dan fatalism; Ilmi Ilahi yang menyeluruh, Mengkritisi hadits yang
cenderung mengarah pada fatalisme (jabariyyah), Ayat-ayat tentang ikhtiar
manusia, ganjaran dan keadilan Ilahi, Makna ayat “Seandainya Allah menghendaki,
niscaya Dia beri hidayah kepada kalian semua”, Perwujudan Iradat (Kehendak)
Allah yang Mahatinggi, Penyesalan sia-sia para pendosa di hari kiamat, Tinjauan
umum terhadap hadits-hadits tentang qadha dan qadar
Dalam
penutupnya Ghazali membahas tentang Rangkaian perawi “rantai emas” tidak
menolong matan yang rapuh, Kerja sama antara ahli fiqih dan ahli hadits dalam
meneliti Sunnah Nabi, Benarkah seorang suami tak boleh ditanya mengapa ia
memukul istrinya?Pulau tempat Dajjal, Isteri tidak menentukan jenis kelamin
anak.
Pemahaman
Hadis prespektif penulis
Buku ini
mengetengahkan beberapa isu sentral dalam kajian hadis seperti korelasi antara
Qur’an dan Sunnah, bagaimana posisi hadis Nabi saw.,sebagai sumber hukum Islam,
dan bagaimana metode penelitian hadis dengan menyertai contoh contoh aplikatif hadis-hadis
yang dipertanyakan kembali oleh penulis karena dianggap kontra dengan ajaran
al-Qur’an, kebenaran ilmiah maupun historis.
Perlu
diketahui pembahasan substansial dalam kajian hadis adalah persoalan
otentisitas hadis atau keshahihan hadis. Apakah hadisnya shahih ataukah dhaif?
Ini yang selalu menjadi pertanyaan setiap orang. Tentu saja pertanyaan seperti
ini bukan berarti resistensi
(keingkaran) atas otoritas sunnah (hujjiyat sunnah), tetapi lebih pada usaha
mengkritisi dan mempertanyakan keakuratan metodologi yang digunakan dalam
menentukan otentisitas hadis. Sebab jika metodologi otentifikasi yang digunakan
bermasalah, maka semua hasil yang dicapai dari metode tersebut tidak steril
dari kemungkinan kemungkinan verifikasi ulang.[11]
Dalam kajian Mustalah
Hadis kita mengenal ada dua komponen penting pembentuk keshahihan hadis yaitu; Sanad dan
matan. Hanya saja menurut Ghazali Dalam perkembangannya, kajian hadis yang
dilakukan oleh ulama (muhaddisin) lebih cenderung menitikberatkan pada kajian
kritik sanad hadis (al-naqd al-hadis) dari pada studi kritik matn (al-naqd
al-matn). Padahal semestinya keduanya mempunyai porsi yang sama.
Kemudian menurut
beliau menimbang validitas matan hadis, bukan tugas khusus ahli hadis tetapi diperlukan
kerjasama antara muhaddis dengan berbagai ahli-ahli lain termasuk fuqaha,
mufassir, ushuli, mutakallimun mengingat materi hadis ada yang berkaitan dengan
akidah, ibadah, mu’amalah sehingga memerlukan pengetahuan komprehensif dengan berbagai ahli tersebut jadi tidak
semata mata atas barometer muhaddis saja.[12]
Sehingga
beliau banyak mengritik sebagian orang yang hanya mengkaji hadis secara dominan
dari satu sisi sanadnya saja, dan mengambil pemahaman yang prematur kemudian
membuat kesimpulan hukum yang banyak bertentangan para Imam Mujtahid,
bertentangan dengan hadis-hadis yang lain yang lebih kuat dan juga bertentangan
dengan Al Qur'an. Misalnya beliau mengkrtik ahli hadis Ibn Hajar al-Atsqalani dan
Muhammad bin Abdul Wahhab karena telah menguatkan hadis al-Gharaniq. Padahal
menurut Al-Ghazali hadis tersebut adalah hasil buatan kaum zindiq. Salman Rusdi
penulis novel Ayat-Ayat Setan menjadikan hadis palsu sebagai landasan penulisan
novel tersebut. Begitu juga dengan Syaikh Al-Albani tidak luput dari kritik
Muhammad Al-Ghazali. Karena Al-Albani telah mensahihkan hadis tentang “Daging
sapi adalah penyakit”[13].
Menurut Ghazali hadis tersebut jelas sangat bertentangan dengan al-Qur’an, Bunyi
hadisnya: عليكم بألبان البقر فإنها
دواء وأسمانها فإنها شفاء! وإياكم ولحومها فإن لحومها داء [14] sekuat apapun sanadnya karena sapi adalah karunia bagi manusia.[15]
Pemikiran Ghazali
bukanlah upaya menciptakan manhaj (metode) baru pada kritik hadis, ia hanya
menginginkan mereka bisa menjaga, dan memelihara hadis, dengan kembali pada
kaedah hadis yang telah disepakati ulama, ia menyayangkan sekelompok orang yang
fanatik pada pendapat seseorang. Mereka menganggap diri sebagai pengikut
sunnah, padahal mereka mencaci maki ulama fiqh, dan ulama yang lainnya. Atas
nama pembelaan pada sunnah, selanjutnya Ghazali
menulis;
وفي عصرنا ظهر فتيان سوء يتطاولون على
أئمة الفقه باسم الدفاع عن الحديث النبوي، مع أن الفقهاء ما حادوا عن السنة، ولا
استهانوا بحديث صحت نسبته وسلم متنه. وكل ما فعلوه أنهم اكتشفوا عللا في بعض
المرويات وفردوها ـ وفق المنهج العلمي المدروس ـ وأرشدوا الأمة الى ما هو أصدق
قيلا وأهدى سبيلا
Pada masa ini,
banyak di antara anak-anak muda kita,mencaci maki para fuqaha atas nama
pembelaan pada sunnah, padahal para fuqaha sendiri, tidak pernah membenci dan
melecehkan sunnah, selama sanad dan matan hadis tersebut sahih, yang terjadi
sebenarnya para fuqaha hanya menemukan illat pada sebahagian riwayat, lalu
mereka menolaknya sesuai dengan metode ilmiah yang ditetapkan ulama
Oleh karenanya
guna mendukung pemahaman terhadap hadis nabi yang concern terhadap
penelitian matan , Ghazali kemudian menyusun langkah metodologis yakni;
pertama, menghimpun hadis yang berada dalam satu tema. Kedua, menelaah dan
mengkaji asbab al-wurud-nya dengan tetap memperhatikan kondisi sosial budaya
dan kesejarahan hadis. Ketiga, mengambil kesimpulan yang terkandung dalam matan
hadis dan mengujinya dengan barometer petunjuk Quran dan Hadis yang lebih
shahih.
Beberapa
contoh pemahaman Hadis prespektif Ghazali
Ghazali mengkritik
orang-orang yang memahami secara tekstual hadis-hadis yang sahih sanadnya,
namun matannya bertentangan dengan al-Qur’an. Menurutnya Qur’an adalah
barometer utama dalam menilai validitas matan . Ghazali memberi contoh hadis
tentang mayat yang disiksa karena tangisan keluarganya. Hadis ini diriwayatkan
oleh: Bukhari, Muslim, Turmudzi, Nasai, Abu daud, Ibnu Majah, Imam Ahmad dan Imam
Malik. Berikut ini dalam riwayat Muslim :
حدثنا
أبو بكر بن أبي شيبة ومحمد بن عبد الله بن نمير جميعا عن ابن بشر قال أبو بكر
حدثنا محمد بن بشر العبدي عن عبيد الله بن عمر قال حدثنا نافع عن عبد الله أن حفصة
بكت على عمر فقال مهلا يا بنية ألم تعلمي أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال إن
الميت يعذب ببكاء أهله عليه[16]
Dengan lantang
‘Aisyah menolak hadis yang mengatakan
bahwa orang mati disiksa karena tangisan keluarganya. Bahkan kemudian dia
bersumpah nabi tidak pernah mengucapkan hadis tersebut. Alasan penolakannya
adalah dianggap bertentangan dengan al-Qur’an,
لا تزر وازرة وزراخري (Tidaklah seseorang menanggung dosa orang
lain”). (Q.S. Al-An’am(6): 164).
Demikianlah
‘Aisyah menolak dengan tegas periwayatan suatu hadis yang bertentangan dengan
al-Qur’an. Meskipun begitu, hadis tersebut beberapa puluh tahun kemudian masih
saja tercantum dalam kitab-kitab hadis sahih.
Contoh kedua hadis tentang tidak adanya qishas bagi seorang muslim yang
membunuh orang kafir. لا يقتل المسلم الكافر (Seorang muslim tidak boleh di bunuh karena
membunuh orang kafir).
Al-Ghazali
menolak hadis tersebut karena bertentangan dengan Zahir ayat quran Quran :
"dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di
dalamnya bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan
hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada
kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu
(menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut
apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.[17]
Ditambah lagi hadis
tersebut mengabaikan rasa keadilan dan tidak menghargai jiwa kemanusiaan.
Karena antara muslim dan kafir sebenarnya mempunyai hak dan kewajiban yang sama.
Berangkat dari sini Ghazali mengatakan bahwasanya beliau tidak ngasal mendhaifkan
keshahihan hadis tetapi untuk menetapkan validitas hadis dari segi matan-nya
diperlukan pemahaman yang mendalam tentang isi ayat al-Qur’an baik yang
tersurat maupun tersirat. [18]
Contoh ketiga Hadis tentang larangan perempuan shalat jamaah di masjid
Ghazali
mengkritisnya hadis tersebut dianggap bertentangan dengan amalan Rasulullah
yang membiarkan perempuan mengikuti shalat jamaah di masjid dengan menyediakan
pintu khusus bagi perempuan yang masuk masjid untuk mengikuti shalat jamaah.
Rasul juga pernah memendekkan shalat Subuh dengan membaca surat-surat pendek
ketika mendengar tangis bayi, karena dikhawatirkan sang ibu tidak khusyu’
karena tangisan anaknya. Menurut Ghazali, bahkan nabi tidak memberikan sugesti
agar perempuan lebih baik shalat di rumah. Dengan demikian, hadis yang
menjelaskan tentang larangan perempuan ikut shalat di masjid adalah bathil.
Hadis ini juga tidak dijumpai dalam kitab sahih Bukhari dan Muslim. Beliau
menkonfirmasi hadis tersebut matan hadis lain dan dengan pendekatan sejarah.
Contoh keempat hadis: "Pastilah gagal suatu kaum yang menyerahkan urusan
mereka kepada seorang perempuan." [19]
Beliau menjelaskan
bahwa ketika negeri Persia sedang berada di ambang kehancuran menghadapi
hantaman bertubi-tubi pasukan Islam, pada waktu itu ia diperintah oleh suatu
sistem monarki yang bobrok dan totaliter. Agama mereka adalah watsaniyah
(penyembah berhala). Keluarga kerajaan tidak mengenal sistem permusyawaratan
dan tidak menghormati pendapat apa pun yang berlawanan dengan pendapat mereka.
Hubungan antar-mereka dan rakyat sangat buruk. Adakalanya seseorang dari mereka
membunuh ayahnya atau saudaranya sendiri demi mencapai idamannya. Dan rakyat
pun terpaksa tunduk patuh dengan segala kehinaan. Dalam pada itu, ketika
pasukan-pasukan Persia telah dipaksa mundur,dan luas wilayahnya makin
menyempit, sebenarnya masih ada kemungkinan untuk menyerahkan kepemimpinan
negara kepada seorang Jenderal yang piawai yang mungkin dapat menghentikan
kekalahan demi kekalahan. Namun, paganisme politik telah menjadikan rakyat dan
negara sebagai harta warisan yang diterimakan kepada seorang perempuan muda
yang tidak tahu apa-apa. Hal itulah yang menandakan bahwa negeri Persia sedang
menuju kehancuran total. Dalam mengomentari keadaan itulah, Nabi saw. mengucapkan hadis tersebut, yang benar-benar
melukiskan keadaan sesungguhnya waktu itu. Dengan demikian Ghazali terlihat
menganalis hadis dengan pendekatan historis dan sosiologis.
Contoh kelima,
tentang hadis keutamaan menggunakan imamah
عليكم بالعمائم فإنها سيماء الملائكة ,
وأرخوا لها خلف ظهوركم
Hendaknya
kalian mengenakan surban, sebab surban adalah tanda pengenal para malaikat. Dan
biarkanlah ujungnya menjulur di belakang punggung kalian
Beliau
mengatakan Surban adalah pakaian bangsa Arab, bukan lambang keislaman. Lebih
lanjut beliau menyatakan bahwa memilih jenis model pakaian tidak ada sangkut
pautnya dengan agama, melainkan sangat terkait dengan budaya dan geografis di
mana seseorang hidup. Begitu pula igal (tali pengikat kerudung kepala). Karena
faktanya dunia arab yang iklimnya relative panas mengharuskan penutupan kepala
dan punggung, begitupula hadis yang menganjurkan untuk berpakaian dengan
pakaian putih. Meskipun nabi sering tampak menggunakan pakaian warna putih atau
terkadang berwarna gelap itu karena budaya dan kondisi alam di mana nabi
bertempat tinggal. maka lazimnya mereka menggunakan pakaian berwarna putih,
demikian juga ketika orang tinggal di daerah dingin, akan cenderung memakai
pakaian gelap, hal ini lah yang tampak pada kebiasaan nabi. Terlihat beliau
menganalisa hadis tersebut dengan pendekatan antropologi.
Kesimpulan
1. Ghazali
lebih menekankan kajian matn dari pada kajian sanad hadis. Bahkan hadis yang
secara sanad berstatus do’if masih dapat digunakan sebagai dasar fatwa ketika
matn hadis tersebut tidak bertentangan dengan al-Qur'an dan ajaran Islam. Sedangkan
ukuran otentitas matan menurutnya adalah sejalan seiring dengan: Prinsip Qur'an,
substansi matn hadis sahih lainnya, dengan fakta sejarah, prinsip-prinsip umum
ajaran Islam, matn hadis tidak bersifat syaz, hadis tersebut harus bersifat
‘illah qadihah (cacat yang diketahui oleh para ahli hadis.
2. Metode pemahaman
hadis yang digunakan Ghazali adalah metode sintesis, yaitu upaya memadukan
antara aspek teologis yang meyakini hujjiyat sunnah dengan
prinsip-prinsip ilmiah yang berasal dari penalaran rasionalitas manusia yang
meliputi antara lain aspek bahasa, geografis, antropologis, sosial, sejarah dan
lain sebagaimya
3. Dari
pemahaman hadis yang diterapkan Ghazali terlihat jelas dipengaruhi oleh kondisi
sosial-budaya-politik ketika ia melakukan penelitian terhadap hadis. Secara
psikologis, beliau adalah seorang da’i yang selalu menyeru persatuan ummat dan
keluar dari hegemoni barat. Secara keilmuan, beliau sangat dipengaruhi oleh
paham Hanafi yang lebih mengutamakan al-Qur’an daripada sunnah ketika ada
kontroversi di antara keduanya.
Kritikan
terhadap Ghazali
Pemikiran dan
metode Ghazali dalam kritik matan sejatinya bukanlah hal baru, cikal bakal
kritik matan sudah dipraktekan sejak ahli hadis klasik. Hanya saja kritikannya
pada beberapa hadis yang sudah termaktub dalam shahihain memunculkan
polemik di kalangan ulama. Dan kita tidak
perlu heran dan kaget karena polemik dan perbedaan adalah keniscayaan dan bagian
dari dinamika intelektual. Agar mendapatkan pemahaman dan informasi yang
berimbang, ada baiknya pemakalah sebutkan beberapa buku yang mengulas dan
mengkritik buku ini
. Diantaranya
berikut ini:
-أزمة الحوار الديني : نقد
كتاب السنة النبوية بين أهل الفقه وأهل الحديث لمؤلفه محمد الغزالي
لجمال سلطان. - جناية محمد الغزالي على الحديث
وأهله لأشرف عبد المقصود. - كشف موقف الغزالي من السنة وأهلها ونقد بعض آرائه
للشيخ ربيع بن هادي المدخلي. - المعيار لعلم الغزالي في كتابه
السنة النبوية لللشيخ صالح آل الشيخ. - نظرات ونقدات في العقيدة والفقه والدعوة
والحديث ردا على الشيخ محمد الغزالي للشيخ سليم الهلالي بالاشتراك مع علي الحلبي
الأثري. - طليعة سمط اللآلي في الرد على الشيخ محمد الغزالي للشيخ الحويني.
Uraian makalah
ini kami tutup dengan ungkapan Syeh Qardhawi: Mungkin anda berbeda pandangan
dengan al Ghozali, atau ia beerbeda pendapat dengan anda dalam masalah-masalah
kecil atau besar, sedikit atau banyak masalah. Tapi apabila anda mengenalnya
dengan baik, anda pasti mencintai dan menghormatinya. Karena anda tau
keikhlasan dan ketundukannya pada kebenaran, keistiqomahan orientasi dan
ghirahnya yang murni untuk Islam.”
Begitulah adab kita terhadap ulama, seyogyanya berhusnuz zhan
terhadap mereka. Berbeda boleh boleh saja dalam tataran pemikiran, hanya saja
menyalahkan dengan ungkapan yang tidak patut sudah semestinya kita hindari.
Semoga Coretan ringkas ini bermanfaat dan bisa menjadi pengantar diskusi bedah
buku kita Wallahu A’lam
[1]Makalah dipresentasikan dalam Kajian
bedah buku Lakpesdam-Bm PCI NU Pakistan tanggal 8/11/2014 di lesehan taman I10
[2] Pegiat PCI-NU Pakistan dan Mahasiswa
S2 IIUI Departemen Tafsir dan Ilmu ilmu Alquran.
[3]. Beberapa buku yang menulis biografi
dan pemikiran beliau: -Syeikh Ghazaly Kama Araftuhu karangan Syeikh
Yusuf Qardhawi, Assyeikh Muhammad Ghazaly Almawqi Alfikri wal Maarik Alfikriyah
karangan Dr Muhammad Imarah. – Hakadza ‘Allamani Muhammad Ghazaly karangan‘Alauddin
alu rasyi.- Kayfa Nataamal ma Alquran fi Mudarasat Maa Syeikh Ghazaly karangan
Umar Ubaid Hasanah. – Syeikh Muhamad Ghazaly : Suwar Min hayati Mujahid Azim
waDdirasah liJjawanib Fikrihi karangan Abdul Halim Uwais. – Daf’u Syubhat
an Syeikh Muhamad Ghazali karangan Ahmad Hijazi Assaqa.- Malamih Al fikr
As siyasi li Syeikh Muhammad Ghazali karangan Muhammad Waqi ullah. – Ad
daiyah An najih fi Fikril Ghazali karangan Wasfi Asyur Abu Zaid dan masih
banyak beberapa buku yang membahas khusus pemikiran beliau. Ini adalah
indikator kontribusinya yang signifikan dalam pemikiran Islam sehingga beliau
menajdi objek penelitian.
[4] Ulama besar Al Azhar pengarang buku
Manahil Irfan Fi ulum Quran
[5] Salah seorang pakar tafsir dan menjabat sebagai Grand Syeikh Al azhar
tahun 1958
[6] Seorang pakar Ushul Fiqh dan pernah
menjadi Rektor IIUI Islamabad Pakistan sekitar tahun 2002
[7]
Buku buku karya beliau bisa di
unduh di:
http://islamic-arabic-blog.blogspot.com/2012/01/books-of-imam-sheikh-muhammad-alghazali.html
[8] Muhammad Ghazali , Assunnah
Nabawiyah Baina Ahl Fiqh wa Ahl Hadis (cet. 6 ; Cairo: Dar Syuruq, 1989),
h.6.
[9]
Ibid., h.11-16.
[10]
Ibid., h.7-9.
[11] Muhaddisin mensyaratkan otentisitas
hadis dari lima unsur: 1.Ittisal sanad (Kesinambungan mata rantai periwayatan)
2.Adalat ruwat para perawi harus menjunjung tinggi agama, dan tidak
melakukan dosa-dosa besar 3. Dhabt Ruwat Akurasi proses periwayatan,
seperti periwayat tidak boleh ceroboh atau diketahui memiliki daya ingat yang
lemah .4. Adam syudzudz Bebas dari syadz, yaitu kontradiksi dengan sumber-sumber
yang lebih dapat dipercaya 5. Bebas dari cacat-cacat penyimpangan (‘illat
qadhihah), yaitu ketidaktepatan dalam melakukan periwayatan.
[13]
Muhammad Nasiruddin Albani,Shahihul
Jami Ashagier, Juz II (Cet.
I; Damaskus: Almaktab Al Islami ), h. 749.
No 4053
[14] Surat Al An am: 142
[16]
Imam Muslim , Shahih Muslim, Juz II (Cet. I; Bairut:
Dar Ihya’ Turas al‐Arabi,), h. 638.
no 927
[17] Surat Almaidah 45.48,50
[19]
Ibid., h.51-57.
No comments:
Post a Comment