oleh : Muhammad Taufiq
Ibn Hazm mempunyai nama lengkap
Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm bin Galib bin Shalih bin Khalaf
bin Ma’dan bin Sufyan bin Yazid bin Abi Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abd
Syams al-Umawi, yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn Hazm al-Dzahiri ini lahir
di Cordova, Spanyol, pada 30 Ramadhan 384 H./7 November 994 M. {1}
Jadi pada 1020 tahun yang silam
lahir lah seorang tokoh islam yang fenomenal, yang mempunyai banyak karya nya
untuk kemajuan peradaban islam. Ia tumbuh dan besar di kalangan para pembesar dan pejabat.
Ayahnya, Ahmad bin sa’id, adalah seorang menteri pada masa pemerintahan
Khalifah al-Mansur dan putranya, al-Muzaffar. Kendati demikian, kemewahan hidup
yang dijalaninya itu tidak menjadikannya lupa diri dan sombong. Sebaliknya, ia
dikenal sebagai seorang yang baik budi pekertinya, pemaaf dan penuh kasih
sayang.
Sebagai seorang anak pembesar,
Ibn Hazm mendapat pendidikan dan pengajaran yang baik. Pada masa kecilnya, ia
dibimbing dan diasuh oleh guru-guru yang mengajarkan Al-Qur’an, syair, dan
tulisan indah Arab (khatt). Ketika meningkat remaja, ia mulai
mempelajari fikih dan hadits dari gurunya yang bernama Husain bin Ali al-Farisi
dan Ahmad bin Muhammad bin Jasur. Ketika dewasa, ia mempelajari bidang ilmu
lainnya, seperti filsafat, bahasa, teologi, etika, mantik, dan ilmu jiwa disamping
memperdalam lagi ilmu fikih dan hadits.
Penguasaan terhadap berbagai
disiplin ilmu tersebut pada akhirnya menjadikan Ibnu Hazm seorang yang pakar
dalam bidang agama. Kepakarannya ini bukan hanya diakui oleh kaum muslimin,
namun juga diakui oleh kalangan sarjana Barat. Ada sebuah nasehat yang terkenal
dari Ibnu Hazm yang ditujukan kepada para pencari ilmu yaitu, “Jika Anda
menghadiri majelis ilmu, maka janganlah hadir kecuali kehadiranmu itu untuk
menambah ilmu dan memperoleh pahala, dan bukannya kehadiranmu itu dengan merasa
cukup akan ilmu yang ada padamu, mencari-cari kesalahan dari pengajar untuk
menjelekkannya. Karena ini adalah perilaku orang-orang yang tercela, yang mana
orang-orang tersebut tidak akan mendapatkan kesuksesan dalam ilmu selamanya.”
Namun, kenikmatan dan kemewahan yang dirasakan
oleh Ibn Hazm bersama keluarganya tidaklah berlangsung lama. Segala cobaan,
fitnah dan kekerasan hidup telah menimpanya, terutama ketika terjadi pergantian
pemerintahan dari satu penguasa ke penguasa lainnya. Ibn Hazm bersama keluarga
merasakan pahit getir kehidupan, terutama pada awal masa mudanya. Hal ini
digambarkan dalam perkataannya:
“Setelah kepemimpinan Hisyam al-Muayyad, kami mendapatkan banyak kesukaran dan perlakuan otoriter dari para pemimpin negara. Kami juga ditahan, diasingkan, dan dililit utang serta diterpa banyak fitnah sampai wafatnya ayah kami (Ahmad bin Sa’id) yang menjadi menteri, peristiwa ini terjadi pada hari Sabtu setelah waktu Ashar, dua malam terakhir bulan Dzulqa‘dah 402 H/Juni 1013 M”.{2}
“Setelah kepemimpinan Hisyam al-Muayyad, kami mendapatkan banyak kesukaran dan perlakuan otoriter dari para pemimpin negara. Kami juga ditahan, diasingkan, dan dililit utang serta diterpa banyak fitnah sampai wafatnya ayah kami (Ahmad bin Sa’id) yang menjadi menteri, peristiwa ini terjadi pada hari Sabtu setelah waktu Ashar, dua malam terakhir bulan Dzulqa‘dah 402 H/Juni 1013 M”.{2}
Sehingga pada akhirnya, ia pun
meninggalkan Cordova pada awal Muharram 404 H. yang kala itu
sedang diguncang prahara perang saudara dan menetap di
Almeria dan Jativa. {3}
Karir Politik Ibn Hazm
al-Andalusy
Ibn Hazm, dalam karir politiknya, pernah
bekerja sama dengan Abdurrahman al-Murtadha yang menurutnya adalah khalifah
yang sah dalam dinasti Bani Umayyah. Al-Murtadha mengangkatnya menjadi salah
satu menterinya. Namun posisi itu dipegang tidak lama ketika al-Murtadha tewas
dibunuh dan Ibn Hazm diasingkan selama 6 tahun. {4}
Setelah kembali dari pengasingannya, Ibn Hazm
memfokuskan dirinya kembali pada dunia intelektual, seperti menulis, diskusi
dan mengajar. Akan tetapi tidak berselang lama Ibn Hazm diminta kembali untuk
menjadi menteri dalam pemerintahan Abdurrahman bin Hisyam bin Abd al-Jabbar
yang terkenal dengan sebutan al-Mustadzhir. Al-Mustadzhir menjadi khalifah saat
berumur 22 tahun, ahli pidato dan seorang penyair handal. Namun pemerintahan
yang dipimpin oleh al-Mustadzhir hanya bertahan 47 hari, karena adanya
pemberontakan dari anak pamannya, yang bernama al-Mustakfi lalu membunuh
al-Mustadzhir pada bulan Dzulqa’dah 414 H. serta Ibn Hazm dipenjara. {5}
Selang beberapa tahun kemudian, Ibn Hazm
memegang jabatan menteri lagi pada masa pemerintahan Hisyam al-Mu’tad Billah
bin Muhammad bin Abdul Malik bin Abdurrahman al-Nashir yang memerintah selama 2
tahun. Pada akhirnya, inilah jabatan terakhir Ibn Hazm dalam dunia politik
serta secara total ia keluar dari dunia perpolitikan pada masa itu.{6}
Sejak keluar dari istana, Ibnu Hazm
tidak menetap di satu tempat tertentu, tetapi berpindah-pindah. Selain mencari
ilmu, motivasinya hidup berpindah-pindah tempat karena ingin mencari ketenangan
dan keamanan hidupnya. Sejak saat itu ia juga mencurahkan perhatiannya kepada
penulisan kitab-kitabnya.
Perjalanan Intelektual Ibn Hazm
al-Andalusy
Pada mulanya
Ibn Hazm belajar fiqih mazhab Maliki sebagai mazhab yang paling banyak
dianut oleh masyarakat Andalusia kala itu,dan beliau belajar kitab Al-Muwattha’
kepada Mufti Cordova yaitu Ahamad bin Duhun, sampai beliau betul-betul
menguasai fiqih Maliki.
Dan sembari beliau juga
mempelajari kitab Imam Syafi’i yang mengkritik Imam Malik dalam masalah ushul
dan furu’ yaitu kitab “Ikhtilaf Al-Malik”. Dari pengalaman ini lah beliau mulai
berpindah dari mazhab Imam Maliki ke mazhab Imam Syafi’, pemahaman beliau
terhadap mazhab Syafi’i membuat beliau kagum terhadap prinsip-prinsip yang
dipegang oleh Imam Syafi’i seakan-akan menjadi fanatik kepada sesuatu. Dan
akhirnya beliau pun tidak puas dan berpindah ke mazhab Ad-Dzahiriyah dengan
imamnya “ Abu Daud bin Ali bin Khalaf Al-Asbihani (202-270 H).
_________________________________
Perpindahan Ibn Hazm dari satu mazhab fiqh ke
mazhab fiqh lainnya merupakan gambaran jelas atas apa yang selama ini dicarinya
yaitu sebuah kebenaran dalam beragama serta berdasarkan pada jiwa bebas
berpikir dan kritis terhadap ilmu pengetahuan, bukan hanya dalam bentuk
perpindahan yang semata-mata karena talfiq ataupun taklid buta.{7}
Ibn Hazm berkata: “tidak boleh taklid buta kepada para Imam Mazhab, Tabi’in
maupun Sahabat, sedangkan yang wajib diikuti dan ditaati hanyalah Allah swt dan
Rasulullah saw.{8} Ibn Hazm juga berkata: “Saya mengikuti
kebenaran dan berijtihad, saya tidak terikat oleh suatu mazhab apapun”.{9}
Ibn Hazm belajar banyak dari para Ulama’ yang memiliki
keluasan pengetahuan dalam agama semisal Hadist, Fiqh, Logika dan lainnya.
Adapun diantara guru-gurunya adalah:{10}
# Dalam Hadis: Ahmad bin Muhammad al-Jaswar (w.401 H), guru pertama Ibn Hazm, al-Hamdani dan Abu Bakar Muhammad bin Ishaq
# Dalam Hadis: Ahmad bin Muhammad al-Jaswar (w.401 H), guru pertama Ibn Hazm, al-Hamdani dan Abu Bakar Muhammad bin Ishaq
#
Dalam Fiqh: Ali Abdullah al-Azdy, al-Faqih Abu Muhammad Ibn Dahun al-Maliky dan
Abu al-Khayyar Mas’ud bin Sulaiman bin Maflat al-Zahiry.
#
Dalam Logika dan Akhlaq: Muhammad bin al-Hasan al-Madzhaji (w.400 H), Abu
al-Qasim Abdurrahman bin Abu Yazid al-Mishri, Abu al-Husain al-Farisi, sahabat
sekaligus guru panutan Ibn Hazm, Abu Muhammad ar-Rahuni dan Abdullah bin Yusuf
bin Nami.
Adapun murid-murid Ibn Hazm yang terkenal diantaranya adalah: putranya sendiri Abu Rafi’, kemudian Muhammad bin Abu Nasr al-Humaidi (420-488 H).{11} yang menyebarkan mazhab Zahiri ke masyriq setelah Ibn Hazm wafat serta al-Qadhi Abu al-Qasim Sa’id bin Ahmad al-Andalusi (w.463 H) dan masih banyak yang lainnya. Ibn ‘Araby sang sufi juga termasuk dari penerus generasi Zahiry setelah wafatnya Ibn Hazm.{12}
Sumber Hukum
Menurut Ibn Hazm Al Andalusy
Menurut
beliau dalam menggalli hukum, beliau hanya menggunakan 3 sumber :
1. Al-Qur’an
2. As-Sunnah
3. Ijma’
Karya- Karya Ibn
Hazm Al-Andalusy
Kitab-kitab karangan Ibnu Hazm
seperti yang dikatakan oleh anaknya, Abu Rafi’i al-Fadl, berjumlah 400 buah.
Tetapi karyanya yang paling monumental adalah :
Kitab Al-Ihkam fi
Ushul al-Ahkam (Ilmu Ushul Fikih; terdiri dari delapan jilid)
Kedua kitab ini menjadi rujukan
utama para pakar fikih kontemporeri.
Karya-karyanya yang lain di
antaranya adalah:
Risalah fi Fada’il Ahl al-Andalus (Risalah tentang
Keistimewaan Orang Andalus),
Al-Isal Ila Fahm al-Khisal
al-Jami’ah li Jumal Syarai’ al-Islam(Pengantar untuk Memahami
Alternatif yang mencakup Keseluruhan Syariat Islam),
Al-Fisal fi al-Milal wa al-Ahwa’
wa an-Nihal (Garis Pemisah antara Agama,
Paham dan Mazhab),
Al-Ijma’(Ijmak),
Maratib al-’Ulum wa Kaifiyah
Talabuha(Tingkatan-Tingkatan
Ilmu dan Cara Menuntutnya),
Izhar Tabdil al-Yahud wa
an-Nashara (Penjelasan
tentang Perbedaan Yahudi dan Nasrani), dan At-Taqrib lihadd
al-Mantiq (Ilmu Logika).
Selain menulis kitab mengenai
ilmu-ilmu agama, Ibnu Hazm juga menulis kitab sastra. Salah satu karyanya dalam
bidang sastra yang sangat terkenal adalah yang berjudul Thauq
al-Hamamah (Di Bawah Naungan Cinta). Kitab ini menjadi
karya sastra terlaris sepanjang abad pertengahan. Kitab yang berisikan kumpulan
anekdot, observasi, dan puisi tentang cinta ini tidak hanya dibaca oleh
kalangan umat Islam, tetapi juga kaum Nasrani di Eropa.
Ibnu Hazm wafat di Manta Lisham pada 28 Sya’ban
456 H bertepatan pada tanggal 15 Agus 1064 M. Wafatnya Ibnu Hazm cukup
membuat masyarakat kala itu merasa kehilangan dan terharu. Bahkan, Khalifah
Mansur al-Muwahidi, khalifah ketiga dari Bani Muwahid termenung menatap
kepergian Ibnu Hazm, seraya berucap: “Setiap manusia adalah keluarga Ibnu
Hazm”.
Wassalam.
No comments:
Post a Comment