Tuesday, 17 November 2015

SEKILAS TENTANG IBN HAZM AD-DZAHIRI

oleh : Muhammad Taufiq

Ibn Hazm mempunyai nama lengkap Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm bin Galib bin Shalih bin Khalaf bin Ma’dan bin Sufyan bin Yazid bin Abi Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abd Syams al-Umawi, yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn Hazm al-Dzahiri ini lahir di Cordova, Spanyol, pada 30 Ramadhan 384 H./7 November 994 M. {1}

           
            Jadi pada 1020 tahun yang silam lahir lah seorang tokoh islam yang fenomenal, yang mempunyai banyak karya nya untuk kemajuan peradaban islam. Ia tumbuh dan besar di kalangan para pembesar dan pejabat. Ayahnya, Ahmad bin sa’id, adalah seorang menteri pada masa pemerintahan Khalifah al-Mansur dan putranya, al-Muzaffar. Kendati demikian, kemewahan hidup yang dijalaninya itu tidak menjadikannya lupa diri dan sombong. Sebaliknya, ia dikenal sebagai seorang yang baik budi pekertinya, pemaaf dan penuh kasih sayang.
Sebagai seorang anak pembesar, Ibn Hazm mendapat pendidikan dan pengajaran yang baik. Pada masa kecilnya, ia dibimbing dan diasuh oleh guru-guru yang mengajarkan Al-Qur’an, syair, dan tulisan indah Arab (khatt). Ketika meningkat remaja, ia mulai mempelajari fikih dan hadits dari gurunya yang bernama Husain bin Ali al-Farisi dan Ahmad bin Muhammad bin Jasur. Ketika dewasa, ia mempelajari bidang ilmu lainnya, seperti filsafat, bahasa, teologi, etika, mantik, dan ilmu jiwa disamping memperdalam lagi ilmu fikih dan hadits.
Penguasaan terhadap berbagai disiplin ilmu tersebut pada akhirnya menjadikan Ibnu Hazm seorang yang pakar dalam bidang agama. Kepakarannya ini bukan hanya diakui oleh kaum muslimin, namun juga diakui oleh kalangan sarjana Barat. Ada sebuah nasehat yang terkenal dari Ibnu Hazm yang ditujukan kepada para pencari ilmu yaitu, “Jika Anda menghadiri majelis ilmu, maka janganlah hadir kecuali kehadiranmu itu untuk menambah ilmu dan memperoleh pahala, dan bukannya kehadiranmu itu dengan merasa cukup akan ilmu yang ada padamu, mencari-cari kesalahan dari pengajar untuk menjelekkannya. Karena ini adalah perilaku orang-orang yang tercela, yang mana orang-orang tersebut tidak akan mendapatkan kesuksesan dalam ilmu selamanya.”

            Namun, kenikmatan dan kemewahan yang dirasakan oleh Ibn Hazm bersama keluarganya tidaklah berlangsung lama. Segala cobaan, fitnah dan kekerasan hidup telah menimpanya, terutama ketika terjadi pergantian pemerintahan dari satu penguasa ke penguasa lainnya. Ibn Hazm bersama keluarga merasakan pahit getir kehidupan, terutama pada awal masa mudanya. Hal ini digambarkan dalam perkataannya:

“Setelah kepemimpinan Hisyam al-Muayyad, kami mendapatkan banyak kesukaran dan perlakuan otoriter dari para pemimpin negara. Kami juga ditahan, diasingkan, dan dililit utang serta diterpa banyak fitnah sampai wafatnya ayah kami (Ahmad bin Sa’id) yang menjadi menteri, peristiwa ini terjadi pada hari Sabtu setelah waktu Ashar, dua malam terakhir bulan Dzulqa‘dah 402 H/Juni 1013 M”.
{2}
Sehingga pada akhirnya, ia pun meninggalkan Cordova  pada awal Muharram 404 H. yang  kala  itu sedang  diguncang prahara perang saudara dan menetap  di  Almeria dan Jativa. {3}
_____________________________________________________________
{1}  Mahmud Ali Himayah, Ibn Hazm, h. 55 (Terjamah : Halid Al-Kaf Jakarta lentera 2001)
{2}  Muhammad Abu Zahra, hal 25, ibid, hal 33
{3}  Mahmud Ali Himayah,op.cit, hal 58,59
Karir Politik Ibn Hazm al-Andalusy

Ibn Hazm, dalam karir politiknya, pernah bekerja sama dengan Abdurrahman al-Murtadha yang menurutnya adalah khalifah yang sah dalam dinasti Bani Umayyah. Al-Murtadha mengangkatnya menjadi salah satu menterinya. Namun posisi itu dipegang tidak lama ketika al-Murtadha tewas dibunuh dan Ibn Hazm diasingkan selama 6 tahun. {4}

Setelah kembali dari pengasingannya, Ibn Hazm memfokuskan dirinya kembali pada dunia intelektual, seperti menulis, diskusi dan mengajar. Akan tetapi tidak berselang lama Ibn Hazm diminta kembali untuk menjadi menteri dalam pemerintahan Abdurrahman bin Hisyam bin Abd al-Jabbar yang terkenal dengan sebutan al-Mustadzhir. Al-Mustadzhir menjadi khalifah saat berumur 22 tahun, ahli pidato dan seorang penyair handal. Namun pemerintahan yang dipimpin oleh al-Mustadzhir hanya bertahan 47 hari, karena adanya pemberontakan dari anak pamannya, yang bernama al-Mustakfi lalu membunuh al-Mustadzhir pada bulan Dzulqa’dah 414 H. serta Ibn Hazm dipenjara. {5}   

Selang beberapa tahun kemudian, Ibn Hazm memegang jabatan menteri lagi pada masa pemerintahan Hisyam al-Mu’tad Billah bin Muhammad bin Abdul Malik bin Abdurrahman al-Nashir yang memerintah selama 2 tahun. Pada akhirnya, inilah jabatan terakhir Ibn Hazm dalam dunia politik serta secara total ia keluar dari dunia perpolitikan pada masa itu.{6}
                Sejak keluar dari istana, Ibnu Hazm tidak menetap di satu tempat tertentu, tetapi berpindah-pindah. Selain mencari ilmu, motivasinya hidup berpindah-pindah tempat karena ingin mencari ketenangan dan keamanan hidupnya. Sejak saat itu ia juga mencurahkan perhatiannya kepada penulisan kitab-kitabnya.

Perjalanan Intelektual Ibn Hazm al-Andalusy
            Pada mulanya Ibn Hazm belajar fiqih mazhab Maliki sebagai mazhab yang paling banyak dianut oleh masyarakat Andalusia kala itu,dan beliau belajar kitab Al-Muwattha’ kepada Mufti Cordova yaitu Ahamad bin Duhun, sampai beliau betul-betul menguasai fiqih Maliki.
Dan sembari beliau juga mempelajari kitab Imam Syafi’i yang mengkritik Imam Malik dalam masalah ushul dan furu’ yaitu kitab “Ikhtilaf Al-Malik”. Dari pengalaman ini lah beliau mulai berpindah dari mazhab Imam Maliki ke mazhab Imam Syafi’, pemahaman beliau terhadap mazhab Syafi’i membuat beliau kagum terhadap prinsip-prinsip yang dipegang oleh Imam Syafi’i seakan-akan menjadi fanatik kepada sesuatu. Dan akhirnya beliau pun tidak puas dan berpindah ke mazhab Ad-Dzahiriyah dengan imamnya “ Abu Daud bin Ali bin Khalaf Al-Asbihani (202-270 H).

_________________________________
{4}   Muhammad Abu Zahra, Ibn Hazm, h. 36
{5}   Mahmud Ali Himayah, Ibn Hazm, h. 65

Perpindahan Ibn Hazm dari satu mazhab fiqh ke mazhab fiqh lainnya merupakan gambaran jelas atas apa yang selama ini dicarinya yaitu sebuah kebenaran dalam beragama serta berdasarkan pada jiwa bebas berpikir dan kritis terhadap ilmu pengetahuan, bukan hanya dalam bentuk perpindahan yang semata-mata karena talfiq ataupun taklid buta.{7} Ibn Hazm berkata: “tidak boleh taklid buta kepada para Imam Mazhab, Tabi’in maupun Sahabat, sedangkan yang wajib diikuti dan ditaati hanyalah Allah swt dan Rasulullah saw.{8} Ibn Hazm juga berkata: “Saya mengikuti kebenaran dan berijtihad, saya tidak terikat oleh suatu mazhab apapun”.{9}
Ibn Hazm belajar banyak dari para Ulama’ yang memiliki keluasan pengetahuan dalam agama semisal Hadist, Fiqh, Logika dan lainnya. Adapun diantara guru-gurunya adalah:{10}

# Dalam Hadis: Ahmad bin Muhammad al-Jaswar (w.401 H), guru pertama Ibn Hazm, al-Hamdani dan Abu Bakar Muhammad bin Ishaq

# Dalam Fiqh: Ali Abdullah al-Azdy, al-Faqih Abu Muhammad Ibn Dahun al-Maliky dan Abu al-Khayyar Mas’ud bin Sulaiman bin Maflat al-Zahiry.

# Dalam Logika dan Akhlaq: Muhammad bin al-Hasan al-Madzhaji (w.400 H), Abu al-Qasim Abdurrahman bin Abu Yazid al-Mishri, Abu al-Husain al-Farisi, sahabat sekaligus guru panutan Ibn Hazm, Abu Muhammad ar-Rahuni dan Abdullah bin Yusuf bin Nami.

Adapun murid-murid Ibn Hazm yang terkenal diantaranya adalah: putranya sendiri Abu Rafi’, kemudian Muhammad bin Abu Nasr al-Humaidi (420-488 H).{11} yang menyebarkan mazhab Zahiri ke masyriq setelah Ibn Hazm wafat serta al-Qadhi Abu al-Qasim Sa’id bin Ahmad al-Andalusi (w.463 H) dan masih banyak yang lainnya. Ibn ‘Araby sang sufi juga termasuk dari penerus generasi Zahiry setelah wafatnya Ibn Hazm.{12}

_____________________________________________________________________________
{7}  Muhammad Abu Zahra, Ibn Hazm, h. 31
{8}  Ibn Hazm, Al-Muhalla bi al-Atsar, juz: 1 (Bairut: Dar al-Jiil, 1996) h. 66.
{9}  Muhammad Abu Zahra, Ibn Hazm, h. 32
{10}  Muhammad Abu Zahra, Ibn Hazm, h. 68-74, Mahmud Ali Himayah, Ibn Hazm, h. 59-60
{11}  Muhammad Abu Zahra, Ibn Hazm, h. 445
{12}  Ibid, h. 446




Sumber Hukum Menurut Ibn Hazm Al Andalusy
            Menurut beliau dalam menggalli hukum, beliau hanya menggunakan 3 sumber :
1.      Al-Qur’an
2.      As-Sunnah
3.      Ijma’

Karya- Karya Ibn Hazm Al-Andalusy
Kitab-kitab karangan Ibnu Hazm seperti yang dikatakan oleh anaknya, Abu Rafi’i al-Fadl, berjumlah 400 buah. Tetapi karyanya yang paling monumental adalah :
Kitab Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (Ilmu Ushul Fikih; terdiri dari delapan jilid)
dan kitab Al-Muhalla (Ilmu Fikih; terdiri dari tiga belas jilid).
Kedua kitab ini menjadi rujukan utama para pakar fikih kontemporeri.

Karya-karyanya yang lain di antaranya adalah:
Risalah fi Fada’il Ahl al-Andalus (Risalah tentang Keistimewaan Orang Andalus),
Al-Isal Ila Fahm al-Khisal al-Jami’ah li Jumal Syarai’ al-Islam(Pengantar untuk Memahami Alternatif yang mencakup Keseluruhan Syariat Islam), 
Al-Fisal fi al-Milal wa al-Ahwa’ wa an-Nihal (Garis Pemisah antara Agama, Paham dan Mazhab),
Al-Ijma’(Ijmak), 
Maratib al-’Ulum wa Kaifiyah Talabuha(Tingkatan-Tingkatan Ilmu dan Cara Menuntutnya),
Izhar Tabdil al-Yahud wa an-Nashara (Penjelasan tentang Perbedaan Yahudi dan Nasrani), dan At-Taqrib lihadd al-Mantiq (Ilmu Logika).

Selain menulis kitab mengenai ilmu-ilmu agama, Ibnu Hazm juga menulis kitab sastra. Salah satu karyanya dalam bidang sastra yang sangat terkenal adalah yang berjudul Thauq al-Hamamah (Di Bawah Naungan Cinta). Kitab ini menjadi karya sastra terlaris sepanjang abad pertengahan. Kitab yang berisikan kumpulan anekdot, observasi, dan puisi tentang cinta ini tidak hanya dibaca oleh kalangan umat Islam, tetapi juga kaum Nasrani di Eropa.

            Ibnu Hazm wafat di Manta Lisham pada 28 Sya’ban 456 H bertepatan pada tanggal 15 Agus 1064 M. Wafatnya Ibnu  Hazm cukup membuat masyarakat kala itu merasa kehilangan dan terharu. Bahkan, Khalifah Mansur al-Muwahidi, khalifah ketiga dari Bani Muwahid termenung menatap kepergian Ibnu Hazm, seraya berucap: “Setiap manusia adalah keluarga Ibnu Hazm”.


Wassalam.

No comments:

Post a Comment