Firman Arifandi, LLB
A.Pendahuluan
Ilmu fiqih merupakan suatu disipin ilmu yang kini posisinya mulai
nampak dirasakan sangat esensial dalam alur kehidupan beragama bahkan
bermasyarakat. Perbedaan zaman, letak geografis, dan karakter individu serta
komunitas dalam perjalanannya, memaksa fiqih mengalami evolusi. Pasca wafatnya Rasulullah SAW serta
para sahabat radiyallahu ‘anhum, belum ada formulasi tentang metode penetapan
hukum Syariah yang paten. Hingga munculah sejumlah madzhab ulama dengan produk
hukumnya masing-masing yang tak sedikit berbeda antara satu dengan yang
lainnya. Tokoh-tokoh madzahib tersebut menawarkan kerangka metodologi, teori,
dan kaidah-kaidah ijtihad yang menjadi pedoman mereka dalam menetapkan sebuah
hukum.
Dengan berjalannya
waktu, dalam abad pertengahan, metode tersebut diteruskan oleh para pengikut
dan murid-muridnya sehingga menjelma menjadi sebuah metode mutlak untuk
menggali sumber hukum. Hal tersebut memberikan corak dan warna tersendiri bagi
perkembangan Islam dari masa ke masa.
Dalam konteks kekinian,
muncul polemik tentang eksistensi serta urgensi madzhab dalam fiqih dengan
berbagai macam perspektifnya. Sekalipun sangat dominan yang memilih untuk bermadzhab,
tak sedikit yang menyatakan bermadzhab adalah pilihan yang keliru. Hal ini
penting untuk dikaji dengan berbagai macam pendekatan, termasuk pendekatan
sejarah. Tak bisa dipungkiri, madzhab berdiri karena perbedaan hasil ijtihad.
Hal ini bukanlah faktor yang menunjukkan kelemahan hukum Islam, justru
sebenarnya memberikan pandangan bahwa Islam adalah agama yang fleksibel dan
tidak memberikan tekanan.
B. Pokok Permasalahan
Sebagai tolak ukur
dalam makalah ini, sejumlah pokok permasalahan akan dirumuskan, di antaranya
adalah :
1. Pengertian ringkas tentang fiqih dan madzhab
2. Bagaimanakah latar belakang dan sejarah
munculnya konsentrasi ilmu fiqih dan madzhab fiqhiyyah?
3. Apakah penyebab perbedaan ijtihad dan munculnya
madzahib?
4. Urgensi bermadzhab dalam pendekatan sejarah
C. Pembahasan
1. Pengertian Fiqih dan Madzhab
Fiqih menurut bahasa
bermakna faham atau tahu[1]. Sementara
secara istilah, makna fikih mengalami perubahan secara berangsur-angsur dalam
tiga periode :
Periode pertama : Fiqih bermakna pemahaman terhadap
semua ilmu agama tanpa klasifikasi apapun, dalam kata lain segala hal yang
mencangkup segmentasi dalam agama seperti aqidah, ibadah, fadail a’mal dan
muamalat menjadi cangkupan dalam definisi fiqih. Hal ini berlaku dalam periode
risalah atau ketika diutusnya Rasulullah hingga kepada era sahabat[2].
Periode kedua : fiqih secara istilah bermakna hukum syar’i
yang berkaitan dengan amaliyah selain aqidah. Paham definisi ini berlaku
sepanjang pertengahan abad kedua hijriah. Dalam hal ini, disiplin ilmu akhlaq
ataupun tasawwuf termasuk dalam lingkup definisi fiqih.
Periode ketiga : dalam era ini fiqih bermakna segala
hukum yang berkaitan dengan ibadah dan muamalat tanpa segmen yang lain.
definisi ini berlaku sejak era kebangkitan Ijtihad. Maka sebagian ulama usul
mendefinisikan istilah fiqih sebagai : ilmu yang berfungsi untuk mengetahui hukum
syar’i bagi mukallaf dengan kategori 5 hukum[3].
Imam Syafi’i Rahimahullah mendefinisikan Fiqih dengan : ilmu tentang
hukum-hukum syar’iyah amaliyah yang diambil dari dalil-dalil yang tafsil
(terperinci/jelas)[4].
Sementara kata madzhab berasal dari bahasa Arab
yaitu ism makan atau kata keterangan
tempat, diambil dari kata dzahaba yang artinya pergi. Maka, madzhab secara
bahasa artinya tempat pergi atau jalan.
Secara istilah dalam ushul fiqih, madzhab
adalah kumpulan pendapat mujtahid yang berupa hukum-hukum Islam, yang digali
dari dalil-dalil syar’I yang rinci serta dari berbagai kaidah dan landasan
(ushul) yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama lain
sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh[5].
2. Sejarah dan Perkembangan Ilmu Fiqih
Apabila ditelaah kembali dari definisi fiqih di periode pertama,
sejarah mengungkapkan belum terbentuk 5 hukum yang mendasari syariat Islam
yaitu wajib, sunnah, makruh, haram, dan mubah secara pemahaman aplikatifz. Maka
sudah barang tentu, hukum-hukum tersebut merupakan produk Ijtihad pasca era
kenabian. Itu artinya, fiqih mengalami evolusi dalam perjalanannya dari satu
era ke era yang lain.
Dr.
Muhammad Taj Abdurrahman Al-‘Arusy dalam kitabnya al-fiqhu al-islamiy fii
miizaani-t-tarikh, membagi periode fiqih kepada lima bagian, yaitu : Periode
Rasulullah dan khulafau-r-rasyidin, periode berdirinya faham Fiqih, periode
kebangkitan ilmu Fiqih an terbukanya pintu Ijtihad, periode taqlid setelah
ditetapkannya tokoh madzahib, dan terakhir adalah periode kesadaran bermazhab
serta terbukanya kembali pintu Ijtihad[6].
Sementara
Dr. Abdul Wahab Khollaf membagi periode perjalanan Fiqih kepada 5 era dengan
klasifikasi berbeda, yaitu : periode Risalah, periode Sahabat, periode kodifikasi,
keemasan dan munculnya Imam-imam Mujtahidin, periode taqlid, terakhir periode
gerakan tasyri’ kontemporer.[7]
Melihat kepada klasifikasi periodikal tersebut, kita coba untuk
membahas perjalanan sejarahnya dengan menggabungkanya pada jenis-jenis periode
yang esensial sebagai berikut.
A.
Periode Risalah
Era ini berlangsung
hanya sepanjang kurang lebih 22 tahun dan sekian bulan namun dampaknya sangat
terasa hingga saat ini. Karena dalam periode ini dua sumber pedoman dalam Islam
dihasilkan, yakni Al-qur’an dan sunnah. Masa risalah ini dibagi kepada dua
tahap, yakni periode Makkah dan periode Madinah. Periode Makkah lebih
berkonsentrasi pada pelurusan aqidah, berjalan selama dua belas tahun.
Sekalipun ada ayat-ayat tentang hukum yang diturunkan, namun esensinya masih
dalam rangka revolusi aqidah jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah[8]. Sementara periode Madinah, adalah masa hijrah
nabi dari Makkah ke Madinah hingga masa wafatnya. Dalam periode ke dua risalah
ini, jumlah muslimin mulai bertambah banyak. Maka konsentrasi wahyu saat itu
adalah lebih menekankan pada penerapan hukum baik yang menyangkut masalah
Ibadah ataupun muamalah. Ayat-ayat tentang hudud, pernikahan, jual beli, hak
waris, dan lain-lain turun dalam era ke dua ini[9].
Secara keseluruhan, pada periode ini yang memegang otoritas atas hukum adalah
Rasulullah SAW sendiri, sehingga dalam memutuskan suatu permasalahan, kaum
muslimin dan para sahabat langsung berkonsultasi kepada baginda rasul.
B.
Periode Sahabat
Diawali dengan wafatnya baginda Rasulullah SAW pada tahun ke 11
Hijriah, hingga pada akhir abad pertama hijriah. Era ini juga dikenal dengan
era tafsir tasyri’ dan terbukanya pintu istinbath atas hukum suatu kejadian
yang tak tertera dalam nash. Tidak semua sahabat memiliki otoritas menentukan
sebuah hukum dalam era ini. Hanya orang-orang terpilih yang direkomendasikan
untuk menjadi konsultan dengan ketentuan tak tertulis seperti durasi hidupnya
bersama Rasul yang terhitung lama, faham yang kuat terhadap asbabun nuzul
ayat-ayat qur’an dan hadist, serta menghafal keduanya, juga mereka-mereka yang
dekat dan sering berkonsultasi kepada rasulullah. Di antara sahabat-sahabat
yang menjadi mufti adalah : keempat khulafaur rasyidiin di Madinah, serta Zaid
bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin ‘Umar dan ‘Aisyah. Di Makkah :
Abdullah bin Abbas, di Kufah : Ali bin Abi Tholib dan Abdullah bin Mas’ud. Di
Bashrah : Anas bin Malik dan Abu Musa Al-‘Asyari. di Syam : Muadz bin Jabal dan
Ubadah bin Shomt. Serta di Mesir : Abdullah bin Amru bin ‘ash. Pada awalnya
kebanyakan para mufti ini berada di Madinah dan keputusan-keputusan non-nushus
diputuskan dengan ijma’, namun dengan meluasnya kekuasaan Islam, maka merekapun
menyebar dan ijtihad secara individupun mulai dibuka. Pada era inilah sumber
landasan hukum juga bertambah menjadi : al-Qur’an, as-sunnah, dan Ijtihad para
sahabat.
Dalam era ini ada sejumlah efek tasyri’ yang menjadi catatan
penting, diantaranya adalah :
i.
Adanya interpretasi
terhadap hukum-hukum yang tertulis dalam Nash baik itu pada al-Qur’an
ataupun as-sunnah. Dengan melihat pada metode bahasa, korelasi kejadian
dan asbabun-nuzul.
ii.
Ditulisnya al-Qur’an
iii.
Banyaknya
fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh sahabat dari hasil ijtihad mereka. Hal ini
karena qodiyyah yang diperlukan tidak termaktub dalam al-Qur’an dan sunnah
secara gamblang.
iv.
Perpecahan kelompok
atas latar belakang politik yang kemudian hadir dengan qodiyah fiqhiyyah yang
justru menunjukkan karakter kelompok masing-masing. Berawal dari kejadian
terbunuhnya sayyidina Utsman bin ‘Affan RA. Kemudian dibaiatnya Sayyidina Ali
RA yang kemudian terjadilah perebutan dengan Muawiyah bin Abi Sufyan RA.
Berakhir dengan tahkim di antara keduanya. Dari situ muslimin terpecah ke dalam
tiga golongan : Khawarij, Syi’ah, dan Jumhur muslimin selain dua golongan
tersebut.
Khawarij adalah golongan
yang kecewa atas metode kepemimpinan ‘Utsman, juga kecewa dengan Ali yang
dianggap mengalah atas khilafah yang diambil Muawiyah, serta kecewa atas cara
Muawiyah yang mengambil khilafah dengan kekuatan. Maka mereka keluar dari ketiganya. Efeknya, mereka
tidak mengambil hukum yang pernah dinukil dari fatwa Ali, Utsman dan Muawiyah
Radiyallahu ‘Anhum, dan riwayat hadist dari mereka, bahkan dari sahabat-sahabat
lain yang dekat dan fanatik ketiganya[10].
Syiah adalah golongan yang pada awalnya
memandang Ali RA adalah sahabat yang paling berhak atas khilafah dibanding yang
lain. karena dia adalah sahabat yang diwasiatkan oleh rasulullah SAW atas
kepemimpinan. Golongan ini sendiri kemudian ikut terpecah kepada Kisaniyah,
Zaydiyah, Ismailiyah, dan Ja’fariyah. Sebagaimana khawarij, syiah bahkan tidak
mengambil qodiyyah dari jumhur sahabat, serta hadist-hadist yang diriwayatkan
oleh rasul dari para sahabat. Mereka lebih selektif kepada riwayat dan qodiyah
ahlul bait.
Jumhurul muslimin adalah mereka yang selain khawarij dan Syiah. Mereka bersikap
netral dan menerima semua qodiyah dan riwayat yang dari para sahabat[11].
C.
Periode kodifikasi atau pembukuan dan Munculnya Imam-Imam
Mujtahidin
Periode ini berawal dari permulaan abad kedua Hijriah sampai
pertengahan abad ke empat, kurang lebih selama 250 tahun. Di sinilah masa di
mana hadist mulai dituliskan. Juga muncul fatwa-fatwa dari sahabat, tabi’in,
tabi’u tabi’iin. Muncul pula penulisan-penulisan tafsir, tulisan-tulisan
tentang ilmu ushul fiqh, maka di sinilah juga bisa dibilang masa keemasan dalam
sejarah ilmu fiqih. Berikut adalah alasan atas penamaan era keemasan fiqih
tersebut :
i.
Daulah Islamiyah
menyebar sangat luas, ke timur hingga berbatas daratan China, ke barat hingga
Andalusia. Maka tidaklah sama kejadian-kejadian baru yang membutuhkan qodiyyah
fiqhiyyah. Dan ulama-ulamapun melihat kepada unsur-unsur maslahat dalam
menentukan sebuah hukum.
ii.
Tidak sedikit dari
permasalahan yang muncul di suatu tempat yang ternyata bisa dirujukan kepada
hukum yang pernah ditetapkan oleh para pendahulu dari sahabat atau tabi’in.
Sehingga mereka hanya cukup kembali kepada hukum tersebut tanpa lagi melakukan
ijtihad baru. Juga karena Qur’an dan Sunnah sudah tertulis.
iii.
Muslimin sangat
menjaga kuat gaya hidupnya agar tak lepas dari aturan-aturan syar’i. Maka
semangat belajar ilmu agama juga bermunculan di era ini. Tak sedikit
majlis-majlis ilmu yang beredar.
iv.
Hidupnya miliu
beragama, hingga pada era ini lahir ulama-ulama besar dengan karya-karyanya
yang bisa kita jadikan referensi hingga saat ini. Bahkan ulama madzhab
sekaliber imam Abu Hanifah, imam Malik, imam Syafi’i, dan imam Ahmad bin Hanbal
serta sahabat dan murid-muridnya.
Dalam era ini, yang
mempunyai otoritas dalam berijtihad dan mengeluarkan fatwa adalah tabi’in (pada
akhir abad pertama dan masuk ke pertengahan abad ke dua) yang pernah belajar
dari sahabat, dan yang mengambil riwayat hadist langsung dari sahabat, serta
hafal fatwa-fatwa sahabat. Seperti sa’id
bin Musib di Madinah dan said bin Jabir di Kufah. Sementara pada era tabi’iu
tabi’iin, yang berhak melakukan fatwa adalah mereka yang bertalaqi langsung
kepada tabi’in, kemudian turun lagi ilmunya kepada imam-imam madzhab yang kita
kenal beserta murid-muridnya.
Dari sini, maka
landasan tasyri’ bertambah menjadi : Al-Qur’an, as-sunnah, ijma’, ijtihad
dengan qiyas. Keunggulannya adalah ide dibukukannya hadist rasulullah SAW.
Berawal dari pesan khalifah Umar bin Abdul Aziz kepada Gubernur Madinah, Abu
Bakar Muhamma bin Umar bin hazm untuk membukukan hadist rasulullah demi
menghindari hilangnya para penghafal dan berkurangnya para ulama, maka
keduanyapun mencoba mengumpulkan semampu mereka. Kemudian pada tahun 140
Hijriah, imam Malik menulis kitabnya Muwattha’ atas permintaan khalifah
manshur. Berangsur pada abad ke 3 maka terbitlah kitab-kitab sohih hadist yang
enam : Bukhori, Muslim, Abu Daud, an-Nasai, Tirmidzi, dan Ibnu Majah.
Yang lebih istimewa
lagi adalah munculnya imam-imam madzhab, dengan karakter dan metode dasar-dasar
fiqih yang berbeda-beda. Penjelasan singkatnya sebagai berikut :
a) Imam Abu
Hanifah
Nama beliau yang sebenarnya adalah Imam Abu
Hanifah al-Nu’man bin Sabit bin Zauti lahir pada tahun 80 H. di kota Kuffah
pada masa Dinasti Umayyah. Dasar Metode ushul yang digunakan Abu Hanifah banyak
bersandar pada ra’yun, setelah pada Kitabullah dan as-sunnah. Kemudian ia
bersandar pada qiyas, yang ternyata banyak menimbulkan protes di kalangan para
ulama yang tingkat pemikirannya belum sejajar dengan Abu Hanifah. Begitu pula
halnya dengan istihsan yang ia jadikan sebagai sandaran pemikiran mazhabnya,
mengudang reaksi kalangan ulama[12].
dasar bangunan pemikiran fiqhiyah tercermin dalam pernyataannya berikut, “Saya
kembalikan segala persoalan pada Kitabullah, saya merujuk pada Sunnah Nabi, dan
apabila saya tidak menemukan jawaban hukum dalam Kitabullah maupun Sunnah Nabi
saw. maka saya akan mengambil pendapat para sahabat Nabi, dan tidak beralih
pada fatwa selain mereka. Apabila masalahnya sampai pada Ibrahim, Sya’bi, Hasan
Ibnu Sirin, Atha’ dan Said bin Musayyib (semuanya adalah tabi’ien), maka saya
berhak pula untuk berijtihad sebagaimana mereka berijtihad[13]”.
Yang membedakan dengan imam-imam yang lain adalah penetapan metode ijtihadnya
versi qiyas, ‘urf, istihsan, dan kemaslahatan lainnya yang dominan menekankan
kepada tujuan-tujuan moral dan disandingkan dengan perilaku masyarakatnya. Hal
ini juga adalah kelebihan ulama-ulama kufah pada umumnya. Imam Abu Hanifah
meninggal dengan Syahid pada tahun 150 H[14].
B) Imam Malik
Nama lengkapnya adalah Malik bin Anas Abi Amir
al Ashbahi, dengan julukan Abu Abdillah. Ia lahir pada tahun 93 H, Ia menyusun
kitab Al Muwaththa', dan dalam penyusunannya ia menghabiskan waktu 40 tahun,
selama waktu itu, ia menunjukan kepada 70 ahli fiqh Madinah. Dari beberapa
isyarat yang ada dalam fatwa-fatwanya dan bukunya Al-Muwattha’, fuqaha
Malikiyah merumuskan dasar-dasar mazhab Maliki. Sebagian fuqaha Malikiyah
menyebutkan bahwa dasar-dasar mazhab Maliki ada dua puluh macam, yaitu : Nash
literatur Al-Qur’an, mafhumul mukhalafah, mafhumul muwafaqah, tambih alal
‘illah (pencarian kuasa hukum), demikian juga dalam sunnah, ijma’ qiyas,
tradisi orang-orang Madinah, qaul sahabat, istihsan, istishab, sadd al dara-i’,
mura’at al khilaf, maslahah mursalah dan syar’u man qablana[15].
Al-Qurafi dalam bukunya Tanqih Al-Ushul, menyebutkan dasar-dasar mazhab maliki
sebagai berikut : Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, perbuatan orang-orang Madinah,
qiyas, qaul sahabat, maslahah mursalah, ‘urf, sadd ad-dara’i, istihsan dan istihsab.
Bahkan Syatibi, seorang ahli hukum mazhab Maliki, menyederhanakan dasar-dasar
mazhab Maliki itu ke dalam empat hal, yaitu Al-Qur’an, Sunnah, ijma’, dan ra’yi
(rasio)[16] .
C) Imam Syafi’i
Ia bernama Abu Abdullah, Muhammad ibnu Idris
bin Abbas bin Usman bin Syafi’i bin Saaib bin ‘Abiid bin Abdu Yazid bin Hasim
bin Muthalib bin Abdu Manaf, yang merupakan kakek dari kakek Nabi. Beliau
dikenal sebagai pengembara intelektual, maka semua keputusan-keputusan
fiqhiyyahnya bergantung pada keadaan zaman dan kondisi sosial masyarakat. Hal
in terbukti dengan terbentuknya qoul qodim dan qoul jadid li imam as-Syafi’i.
Qoul qodim adalah penetapan madzhabnya selama di Iraq yang menimbulkan
kontroversi dengan para ahli fiqih rasional di era khalifah Al-Amin. Sedangkan qoul
jadid adalah ketetapan madzhabnya setelah pindah ke Mesir, dengan banyak
mengoreksi pendapat-pendapat awalnya. Hal ini tertera pada kitab al-umm yang
ditulisnya juga pada kitab ar-risalah yang mengalami revisi selama di Mesir[17].
Bagi Imam Syafi’i Al-Qur’an dan Sunnah berada
dalam satu tingkat, dan bahkan merupakan satu kesatuan sumber syari’at Islam. Sementara
teori-teori istidlal seperti qiyas,
istihsan, istishab, dan lain-lain hanyalah merupakan suatu metode merumuskan
dan menyimpulkan hukum-hukum dari sumber utamanya tadi[18].
D) Imam Ahmad bin Hanbal
Nama lengkap imam besar ini adalah Ahmad bin
Hambal bin Hilal bin Usd bin Idris bin Abdullah bin Hayyan ibn Abdullah bin
Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban. Ia terlahir di Baghdad Irak pada
tahun 164 H/780 M. Imam Ahmad bin Hambal berguru kepada banyak ulama, jumlahnya
lebih dari dua ratus delapan puluh yang tersebar di berbagai negeri, seperti di
Makkah, Kufah, Bashrah, Baghdad, Yaman dan negeri lainnya.
Dasar-dasar mazhab Hambali ada 10 yaitu :
Nushus, yang terdiri dari nash Al-Qur’an, Sunnah dan nash ijma’, fatwa-fatwa
sahabat, apabila terjadi perbedaan, Imam Ahmad memilih yang paling dekat dengan
al-Qur’an dan Sunnah; dan apabila tidak jelas, dia hanya menceritakan ikhtilaf
itu dan tidak menentukan sikapnya secara khusus, hadits-hadits mursal dan
dhaif, qiyas, istihsan, saddu dzara-i’, istishab, ibthal al
ja’l, maslahah mursalah[19]. Imam
Ahmad bin Hambal lebih mempersempit penggunaan rasio dalam istidlal.
D.
Periode Taqlid
Era ini berawal dari pertengahan abad ke Empat
Hijriah, dimana muslimin mulai banyak disibukan dengan urusan-urusan politik.
Semangat Ijtihad mulai melemah pada masa ini dengan sebab-sebab berikut :
1)
Terbaginya daulah
Islamiyah ke beberapa sektor, masyarakat terlalu disibukkan dengan perang, perdebatan
kekuasaan antar daulah, sehingga miliu fiqih dan Ijtihad mulai turun. Serta
dorongan para penguasa kepada para hakim (qadi) untuk menyelesaikan perkara di
pengadilan dengan merujuk pada salah satu mazhab fiqh yang disetujui khalifah
saja.
2)
Munculnya sikap
at-taassub al-mazhabi yang berakibat pada sikap kejumudan (kebekuan berpikir)
dan taqlid (mengikuti pendapat imam tanpa analisis) di kalangan murid imam
mazhab.
3)
Munculnya gerakan
pembukuan pendapat masing-masing mazhab yang memudahkan orang untuk memilih
pendapat mazhabnya dan menjadikan buku itu sebagai rujukan bagi masing-masing
mazhab, sehinga aktivitas ijtihad terhenti.
4)
Timbulnya kemunduran
akhlaq antar satu alim dengan alim yang lainnya, dimana tidak ada lagi semangat
saling berbagi pengetahuan, bahkan terkesan saling ingin mengungguli di antara
ulama-ulama tersebut[20].
Pada era ini kemudian terbagilah ulama mujtahid
kepada level-level tertentu[21] :
I.
Mujtahid Madzhab,
Muthlaq Ghoiru Mustaqil
II.
Mujtahid Muqoyyad
III.
Mujtahid Takhrij
IV.
Mujtahid Tarjih
V.
Mujtahid Fatwa
VI.
Muqollid
E.
Periode bangkitnya Aktivitas Tasyri’
Bagi sejumlah ulama, periode ini dinilai sebagai menurunnya
nilai-nilai miliu fiqhiyyah, namun justru dengan berlandaskan padas pembagian
level-level mujtahid di atas, Dr. Abdul Wahhab Kholaf justru memandang masa
inilah kembali bangkit aktivitas tasyri’, dimana kemudian khalifah mulai
perduli pada sektor ini. Ciri-ciri yang paling menonjol pada era ini adalah :
1.
Munculnya pembukuan
terhadap berbagai fatwa
2.
Muncul berbagai
produk fiqih sesuai dengan rekomendasi pemerintah. Hal ini terjadi pada era
turki usmani, dimana ulil amri mempunyai hak penuh atas penetapan hukum-hukum
yang berkaitan pada Fiqih[22].
Pada tahun 1293 Hijriah dikeluarkan majallat al ahkam al adliyah atau kitab
hukum perdata yang didalamnya memuat undang-undang akad merujuk kepada Ibnu
Syabarma. Di Mesir juga demikian, dibentuk undang-undang perdata terkait
pernikahan sesuai dengan rekomendasi pemerintah yang merujuk pada fiqih madzhab
Hanafi. Namun akhirnya, memasuki tahun 1300 Hijriah, ulama mesir berpendapat
untuk menetapkan undang-undang dengan mengambil pendapat paling rajih dari para
madzhab.
Sedikitnya dengan dua karakter pada era ini, fiqih telah dinilai
kembali bangkit. Bahkan hingga saat ini, disiplin ilmu fiqih tak lepas dari
metode komparativ sehingga diharapkan tidak ada jenis taqlid yang tanpa
landasan ataupun tanpa pemahaman. Wallahu a’lam.
3.
Sebab-sebab terjadinya perbedaan Ijtihad dan munculnya madzahib
Secara garis besar, berikut adalah alasan terjadinya ikhtilaf ulama
dalam penentuan suatu hukum :
a)
Kebanyakan dari
ayat-ayat hukum yang tertera dalam Qur’an dan sunnah sifatnya adalah presumtif
dan bukan deterministic. Hal ini yang membuat Ijtihad tiap kepala bebeda.
b)
Pada era sahabat,
ikhtilaf terjadi juga karena hadist belum dibukukan, sehingga ada yang
mengetahui tentang hadist tertentu dan menjadikannya landasan hukum, sementara
di daerah lain ada yang belum tahu hadist tertentu dan menggunakan ijtihad
sebagai landasan penetapan hukum.
c)
Perbedaan karakter
komunitas, iklim, letak geografis juga sangat berpengaruh pada pengambilan
hukum. Letak geografis mempengaruhi kuantitas informasi yang masuk dari jenis
hadist dan fatwa sahabat. Itulah kenapa, Ulama Iraq lebih banyak menggunakan
metode ra’y (opini/akal) dalam interpretasi nusus dan penetapan hukum dengan
metode penemuan ‘illah. Sementara ulama di Hijaz telah banyak perbendaharaan
Hadist dan Fatwa sahabat yang mereka dapat, sehingga hanya cukup bersandar
kepada itu atau sedikit melakukan analogi.
d)
Berbedanya dasar-dasar
prinsip linguistik dalam bahasa arab mempengaruhi metode tafsir ayat-ayat
hukum.
4.
Urgensi Bermadzhab
Melalui perspektif sejarah, setidaknya ada sejumlah poin tentang
pentingnya bermadzhab, sekalipun mungkin tidak ada dalam nusus tentang perintah
bermadzhab secara gamblang. Namun logika menarik kesimpulan dari perjalan fiqih
dengan fase-fasenya sebagai berikut :
a)
Terbaginya
level-level ulama Mujtahid sejak periode taqlid, tidak menempatkan seorang
ulama pun setelahnya pada kualitas sekaliber ulama-ulama madzhab.
b)
Dikotomi ilmu pada
masa saat ini, memposisikan konstentrasi ulama hanya berkutat pada
bidang-bidang disipilin ilmu tertentu. Sementara syarat menjadi mujtahid adalah
penguasaan atas seluruh disiplin ilmu agama.
c)
Mengikuti ke empat
imam madzhab dengan mempelajarinya terlebih dahulu sehingga faham, secara tidak
langsung telah mengikuti madzhab sahabat dan tabi’in, karena mereka mempunyai
jalur belajar langsung kepada orang-orang tersebut[23].
5.
Kesimpulan dan Penutup
Melalui semua pembahasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa dalam
kacamata sejarah, fiqih telah mengalami evolusi. Bukan berarti originalitasnya
hilang, namun lebih kepada tahapan-tahapan perbaikan. Metode Ijtihad timbul
pasca wafatnya nabi dan bertahap terbuka melalui sejumlah periode. Tersebarnya
islam ke penjuru dunia menjadi faktor utama terjadinya ikhtilaf ulama dalam
berijtihad. Pengklasifikasian level-level mujtahid menjadikan kita di era saat
ini pada posisi mengikuti imam-imam madzhab dengan faham yang mendalam
tentunya.
Imam Ibnul-Qayyim meriwayatkan bahwa pada suatu ketika, Muhammad
bin Ubaidillah bin Munadi telah mendengar seorang lelaki bertanya kepada guru
beliau, imam Ahmad bin Hanbal : “apabila seseorang menghafal seratus ribu
hadist apakah dia bisa dibilang sebagai orang yang faqih?” Imam Ahmad menjawab
“tidak”. Dia ditanya lagi, kalau hafal dua ratus ribu hadist?” beliau menjawab
“tidak” orang itu kemudian bertanya lagi “jika dia hafal tiga ratus ribu?”
tidak, jawabnya. Ditanya lagi “kalau 400.000 hadits? Lalu imam Ahmad
mengisyaratkan dengan tangan beliau, “lebih kurang begitulah[24]”.
Riwayat di atas dapat memberi gambaran bahwa hanya dengan mempelajari sejumlah
hadist saja belum cukup untuk melayakkan diri mengeluarkan hukum dengan sewenang-wenang
kita. Belum lagi dengan disiplin ilmu agama yang lain. wallahu a’lam.
Bibliografi
Khollaaf,
abdul wahhab. خلاصة تاريخ التشريع الإسلامي. Darul qolam.kuwait. 2003
Al-‘Arusy, Taj
Abdur Rahman, Muhammad. الفقه الإسلامي في ميزان التاريخ. 2003
Gomah, Ali,
Dr. المدخل إلى دراسة المذاهب الفقهية. Darussalam. Cairo. 2009
Bin Ibrahim,
Mohammad. الاجتحاد و العرف.
Darussalam. Cairo. 2009
As-Syafi’I,
bin Idris, Mohammad. تحقيق tsabit, kamal. الرسالة. Darul atsar. 2007
Jauziyah,
ibnul Qayyim.إعلام الموقعين عن رب العالمين. Darul Qolam. 2005
[1]
Al-‘Arusy, Taj Abdur Rahman, Muhammad. الفقه
الإسلامي في ميزان التاريخ.
2003. Hal.8
[3]
Ibid 13
[4]
ibid
[5] Bin
Ibrahim, Mohammad. الاجتحاد و العرف.
Darussalam. Cairo. 2009. Hal
[6]
Al-‘Arusy, Taj Abdur Rahman, Muhammad. الفقه
الإسلامي في ميزان التاريخ.
2003. Hal.39
[7]
Khollaaf, abdul wahhab. خلاصة تاريخ التشريع الإسلامي. Darul qolam.kuwait. 2003. Hal 8
[8] http://muhamadqbl.blogspot.com/2010/11/sejarah-empat-mazhab-fiqih.html
[9]
Khollaaf, abdul wahhab. خلاصة تاريخ التشريع الإسلامي. Darul qolam.kuwait. 2003. Hal 13
[10]
Khollaaf, abdul wahhab. خلاصة تاريخ التشريع الإسلامي. Darul qolam.kuwait. 2003. Hal 48
[11] Ibid.
[14] Ibid
[16] Ibid
[20]
Khollaaf, abdul wahhab. خلاصة تاريخ التشريع الإسلامي. Darul qolam.kuwait. 2003. Hal 99
[21]
Ibid 106
[22] http://muhamadqbl.blogspot.com/2010/11/sejarah-empat-mazhab-fiqih.html
[23] http://majalah.hidayatullah.com/?p=1561
No comments:
Post a Comment