Wednesday, 18 November 2015

Fiqih dan Madzhab dalam Tinjauan Sejarah


Firman Arifandi, LLB
A.Pendahuluan
       Ilmu fiqih merupakan suatu disipin ilmu yang kini posisinya mulai nampak dirasakan sangat esensial dalam alur kehidupan beragama bahkan bermasyarakat. Perbedaan zaman, letak geografis, dan karakter individu serta komunitas dalam perjalanannya, memaksa fiqih mengalami  evolusi. Pasca wafatnya Rasulullah SAW serta para sahabat radiyallahu ‘anhum, belum ada formulasi tentang metode penetapan hukum Syariah yang paten. Hingga  munculah sejumlah madzhab ulama dengan produk hukumnya masing-masing yang tak sedikit berbeda antara satu dengan yang lainnya. Tokoh-tokoh madzahib tersebut menawarkan kerangka metodologi, teori, dan kaidah-kaidah ijtihad yang menjadi pedoman mereka dalam menetapkan sebuah hukum.

       Dengan berjalannya waktu, dalam abad pertengahan, metode tersebut diteruskan oleh para pengikut dan murid-muridnya sehingga menjelma menjadi sebuah metode mutlak untuk menggali sumber hukum. Hal tersebut memberikan corak dan warna tersendiri bagi perkembangan Islam dari masa ke masa.
       Dalam konteks kekinian, muncul polemik tentang eksistensi serta urgensi madzhab dalam fiqih dengan berbagai macam perspektifnya. Sekalipun sangat dominan yang memilih untuk bermadzhab, tak sedikit yang menyatakan bermadzhab adalah pilihan yang keliru. Hal ini penting untuk dikaji dengan berbagai macam pendekatan, termasuk pendekatan sejarah. Tak bisa dipungkiri, madzhab berdiri karena perbedaan hasil ijtihad. Hal ini bukanlah faktor yang menunjukkan kelemahan hukum Islam, justru sebenarnya memberikan pandangan bahwa Islam adalah agama yang fleksibel dan tidak memberikan tekanan.
B. Pokok Permasalahan
       Sebagai tolak ukur dalam makalah ini, sejumlah pokok permasalahan akan dirumuskan, di antaranya adalah :
1.    Pengertian ringkas tentang fiqih dan madzhab
2.    Bagaimanakah latar belakang dan sejarah munculnya konsentrasi ilmu fiqih dan madzhab fiqhiyyah?
3.    Apakah penyebab perbedaan ijtihad dan munculnya madzahib?
4.    Urgensi bermadzhab dalam pendekatan sejarah
C. Pembahasan
1. Pengertian Fiqih dan Madzhab
          Fiqih menurut bahasa bermakna faham atau tahu[1]. Sementara secara istilah, makna fikih mengalami perubahan secara berangsur-angsur dalam tiga periode :
Periode pertama : Fiqih bermakna pemahaman terhadap semua ilmu agama tanpa klasifikasi apapun, dalam kata lain segala hal yang mencangkup segmentasi dalam agama seperti aqidah, ibadah, fadail a’mal dan muamalat menjadi cangkupan dalam definisi fiqih. Hal ini berlaku dalam periode risalah atau ketika diutusnya Rasulullah hingga kepada era sahabat[2].
Periode kedua : fiqih secara istilah bermakna hukum syar’i yang berkaitan dengan amaliyah selain aqidah. Paham definisi ini berlaku sepanjang pertengahan abad kedua hijriah. Dalam hal ini, disiplin ilmu akhlaq ataupun tasawwuf termasuk dalam lingkup definisi fiqih.
Periode ketiga : dalam era ini fiqih bermakna segala hukum yang berkaitan dengan ibadah dan muamalat tanpa segmen yang lain. definisi ini berlaku sejak era kebangkitan Ijtihad. Maka sebagian ulama usul mendefinisikan istilah fiqih sebagai : ilmu yang berfungsi untuk mengetahui hukum syar’i bagi mukallaf dengan kategori 5 hukum[3]. Imam Syafi’i Rahimahullah mendefinisikan Fiqih dengan : ilmu tentang hukum-hukum syar’iyah amaliyah yang diambil dari dalil-dalil yang tafsil (terperinci/jelas)[4].
Sementara kata madzhab berasal dari bahasa Arab yaitu ism makan atau kata  keterangan tempat, diambil dari kata dzahaba yang artinya pergi. Maka, madzhab secara bahasa artinya tempat pergi atau jalan.
Secara istilah dalam ushul fiqih, madzhab adalah kumpulan pendapat mujtahid yang berupa hukum-hukum Islam, yang digali dari dalil-dalil syar’I yang rinci serta dari berbagai kaidah dan landasan (ushul) yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh[5].
2. Sejarah dan Perkembangan Ilmu Fiqih
Apabila ditelaah kembali dari definisi fiqih di periode pertama, sejarah mengungkapkan belum terbentuk 5 hukum yang mendasari syariat Islam yaitu wajib, sunnah, makruh, haram, dan mubah secara pemahaman aplikatifz. Maka sudah barang tentu, hukum-hukum tersebut merupakan produk Ijtihad pasca era kenabian. Itu artinya, fiqih mengalami evolusi dalam perjalanannya dari satu era ke era yang lain.
            Dr. Muhammad Taj Abdurrahman Al-‘Arusy dalam kitabnya al-fiqhu al-islamiy fii miizaani-t-tarikh, membagi periode fiqih kepada lima bagian, yaitu : Periode Rasulullah dan khulafau-r-rasyidin, periode berdirinya faham Fiqih, periode kebangkitan ilmu Fiqih an terbukanya pintu Ijtihad, periode taqlid setelah ditetapkannya tokoh madzahib, dan terakhir adalah periode kesadaran bermazhab serta terbukanya kembali pintu Ijtihad[6].
            Sementara Dr. Abdul Wahab Khollaf membagi periode perjalanan Fiqih kepada 5 era dengan klasifikasi berbeda, yaitu : periode Risalah, periode Sahabat, periode kodifikasi, keemasan dan munculnya Imam-imam Mujtahidin, periode taqlid, terakhir periode gerakan tasyri’ kontemporer.[7]
Melihat kepada klasifikasi periodikal tersebut, kita coba untuk membahas perjalanan sejarahnya dengan menggabungkanya pada jenis-jenis periode yang esensial sebagai berikut.

A.   Periode Risalah
          Era ini berlangsung hanya sepanjang kurang lebih 22 tahun dan sekian bulan namun dampaknya sangat terasa hingga saat ini. Karena dalam periode ini dua sumber pedoman dalam Islam dihasilkan, yakni Al-qur’an dan sunnah. Masa risalah ini dibagi kepada dua tahap, yakni periode Makkah dan periode Madinah. Periode Makkah lebih berkonsentrasi pada pelurusan aqidah, berjalan selama dua belas tahun. Sekalipun ada ayat-ayat tentang hukum yang diturunkan, namun esensinya masih dalam rangka revolusi aqidah jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah[8].  Sementara periode Madinah, adalah masa hijrah nabi dari Makkah ke Madinah hingga masa wafatnya. Dalam periode ke dua risalah ini, jumlah muslimin mulai bertambah banyak. Maka konsentrasi wahyu saat itu adalah lebih menekankan pada penerapan hukum baik yang menyangkut masalah Ibadah ataupun muamalah. Ayat-ayat tentang hudud, pernikahan, jual beli, hak waris, dan lain-lain turun dalam era ke dua ini[9]. Secara keseluruhan, pada periode ini yang memegang otoritas atas hukum adalah Rasulullah SAW sendiri, sehingga dalam memutuskan suatu permasalahan, kaum muslimin dan para sahabat langsung berkonsultasi kepada baginda rasul.

B.   Periode Sahabat
Diawali dengan wafatnya baginda Rasulullah SAW pada tahun ke 11 Hijriah, hingga pada akhir abad pertama hijriah. Era ini juga dikenal dengan era tafsir tasyri’ dan terbukanya pintu istinbath atas hukum suatu kejadian yang tak tertera dalam nash. Tidak semua sahabat memiliki otoritas menentukan sebuah hukum dalam era ini. Hanya orang-orang terpilih yang direkomendasikan untuk menjadi konsultan dengan ketentuan tak tertulis seperti durasi hidupnya bersama Rasul yang terhitung lama, faham yang kuat terhadap asbabun nuzul ayat-ayat qur’an dan hadist, serta menghafal keduanya, juga mereka-mereka yang dekat dan sering berkonsultasi kepada rasulullah. Di antara sahabat-sahabat yang menjadi mufti adalah : keempat khulafaur rasyidiin di Madinah, serta Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin ‘Umar dan ‘Aisyah. Di Makkah : Abdullah bin Abbas, di Kufah : Ali bin Abi Tholib dan Abdullah bin Mas’ud. Di Bashrah : Anas bin Malik dan Abu Musa Al-‘Asyari. di Syam : Muadz bin Jabal dan Ubadah bin Shomt. Serta di Mesir : Abdullah bin Amru bin ‘ash. Pada awalnya kebanyakan para mufti ini berada di Madinah dan keputusan-keputusan non-nushus diputuskan dengan ijma’, namun dengan meluasnya kekuasaan Islam, maka merekapun menyebar dan ijtihad secara individupun mulai dibuka. Pada era inilah sumber landasan hukum juga bertambah menjadi : al-Qur’an, as-sunnah, dan Ijtihad para sahabat.
Dalam era ini ada sejumlah efek tasyri’ yang menjadi catatan penting, diantaranya adalah :
                       i.        Adanya interpretasi terhadap hukum-hukum yang tertulis dalam Nash baik itu pada  al-Qur’an  ataupun as-sunnah. Dengan melihat pada metode bahasa, korelasi kejadian dan asbabun-nuzul.
                      ii.        Ditulisnya al-Qur’an
                     iii.        Banyaknya fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh sahabat dari hasil ijtihad mereka. Hal ini karena qodiyyah yang diperlukan tidak termaktub dalam al-Qur’an dan sunnah secara gamblang.
                    iv.        Perpecahan kelompok atas latar belakang politik yang kemudian hadir dengan qodiyah fiqhiyyah yang justru menunjukkan karakter kelompok masing-masing. Berawal dari kejadian terbunuhnya sayyidina Utsman bin ‘Affan RA. Kemudian dibaiatnya Sayyidina Ali RA yang kemudian terjadilah perebutan dengan Muawiyah bin Abi Sufyan RA. Berakhir dengan tahkim di antara keduanya. Dari situ muslimin terpecah ke dalam tiga golongan : Khawarij, Syi’ah, dan Jumhur muslimin selain dua golongan tersebut.
Khawarij adalah golongan yang kecewa atas metode kepemimpinan ‘Utsman, juga kecewa dengan Ali yang dianggap mengalah atas khilafah yang diambil Muawiyah, serta kecewa atas cara Muawiyah yang mengambil khilafah dengan kekuatan. Maka  mereka keluar dari ketiganya. Efeknya, mereka tidak mengambil hukum yang pernah dinukil dari fatwa Ali, Utsman dan Muawiyah Radiyallahu ‘Anhum, dan riwayat hadist dari mereka, bahkan dari sahabat-sahabat lain yang dekat dan fanatik ketiganya[10].
Syiah adalah golongan yang pada awalnya memandang Ali RA adalah sahabat yang paling berhak atas khilafah dibanding yang lain. karena dia adalah sahabat yang diwasiatkan oleh rasulullah SAW atas kepemimpinan. Golongan ini sendiri kemudian ikut terpecah kepada Kisaniyah, Zaydiyah, Ismailiyah, dan Ja’fariyah. Sebagaimana khawarij, syiah bahkan tidak mengambil qodiyyah dari jumhur sahabat, serta hadist-hadist yang diriwayatkan oleh rasul dari para sahabat. Mereka lebih selektif kepada riwayat dan qodiyah ahlul bait.
Jumhurul muslimin adalah mereka yang selain khawarij dan Syiah. Mereka bersikap netral dan menerima semua qodiyah dan riwayat yang dari para sahabat[11].

C.   Periode kodifikasi atau pembukuan dan Munculnya Imam-Imam Mujtahidin
Periode ini berawal dari permulaan abad kedua Hijriah sampai pertengahan abad ke empat, kurang lebih selama 250 tahun. Di sinilah masa di mana hadist mulai dituliskan. Juga muncul fatwa-fatwa dari sahabat, tabi’in, tabi’u tabi’iin. Muncul pula penulisan-penulisan tafsir, tulisan-tulisan tentang ilmu ushul fiqh, maka di sinilah juga bisa dibilang masa keemasan dalam sejarah ilmu fiqih. Berikut adalah alasan atas penamaan era keemasan fiqih tersebut :
                      i.        Daulah Islamiyah menyebar sangat luas, ke timur hingga berbatas daratan China, ke barat hingga Andalusia. Maka tidaklah sama kejadian-kejadian baru yang membutuhkan qodiyyah fiqhiyyah. Dan ulama-ulamapun melihat kepada unsur-unsur maslahat dalam menentukan sebuah hukum.
                     ii.        Tidak sedikit dari permasalahan yang muncul di suatu tempat yang ternyata bisa dirujukan kepada hukum yang pernah ditetapkan oleh para pendahulu dari sahabat atau tabi’in. Sehingga mereka hanya cukup kembali kepada hukum tersebut tanpa lagi melakukan ijtihad baru. Juga karena Qur’an dan Sunnah sudah tertulis.
                    iii.        Muslimin sangat menjaga kuat gaya hidupnya agar tak lepas dari aturan-aturan syar’i. Maka semangat belajar ilmu agama juga bermunculan di era ini. Tak sedikit majlis-majlis ilmu yang beredar.
                   iv.        Hidupnya miliu beragama, hingga pada era ini lahir ulama-ulama besar dengan karya-karyanya yang bisa kita jadikan referensi hingga saat ini. Bahkan ulama madzhab sekaliber imam Abu Hanifah, imam Malik, imam Syafi’i, dan imam Ahmad bin Hanbal serta sahabat dan murid-muridnya.

          Dalam era ini, yang mempunyai otoritas dalam berijtihad dan mengeluarkan fatwa adalah tabi’in (pada akhir abad pertama dan masuk ke pertengahan abad ke dua) yang pernah belajar dari sahabat, dan yang mengambil riwayat hadist langsung dari sahabat, serta hafal fatwa-fatwa sahabat.  Seperti sa’id bin Musib di Madinah dan said bin Jabir di Kufah. Sementara pada era tabi’iu tabi’iin, yang berhak melakukan fatwa adalah mereka yang bertalaqi langsung kepada tabi’in, kemudian turun lagi ilmunya kepada imam-imam madzhab yang kita kenal beserta murid-muridnya.
          Dari sini, maka landasan tasyri’ bertambah menjadi : Al-Qur’an, as-sunnah, ijma’, ijtihad dengan qiyas. Keunggulannya adalah ide dibukukannya hadist rasulullah SAW. Berawal dari pesan khalifah Umar bin Abdul Aziz kepada Gubernur Madinah, Abu Bakar Muhamma bin Umar bin hazm untuk membukukan hadist rasulullah demi menghindari hilangnya para penghafal dan berkurangnya para ulama, maka keduanyapun mencoba mengumpulkan semampu mereka. Kemudian pada tahun 140 Hijriah, imam Malik menulis kitabnya Muwattha’ atas permintaan khalifah manshur. Berangsur pada abad ke 3 maka terbitlah kitab-kitab sohih hadist yang enam : Bukhori, Muslim, Abu Daud, an-Nasai, Tirmidzi, dan Ibnu Majah.
          Yang lebih istimewa lagi adalah munculnya imam-imam madzhab, dengan karakter dan metode dasar-dasar fiqih yang berbeda-beda. Penjelasan singkatnya sebagai berikut :

a)  Imam Abu Hanifah
Nama beliau yang sebenarnya adalah Imam Abu Hanifah al-Nu’man bin Sabit bin Zauti lahir pada tahun 80 H. di kota Kuffah pada masa Dinasti Umayyah. Dasar Metode ushul yang digunakan Abu Hanifah banyak bersandar pada ra’yun, setelah pada Kitabullah dan as-sunnah. Kemudian ia bersandar pada qiyas, yang ternyata banyak menimbulkan protes di kalangan para ulama yang tingkat pemikirannya belum sejajar dengan Abu Hanifah. Begitu pula halnya dengan istihsan yang ia jadikan sebagai sandaran pemikiran mazhabnya, mengudang reaksi kalangan ulama[12]. dasar bangunan pemikiran fiqhiyah tercermin dalam pernyataannya berikut, “Saya kembalikan segala persoalan pada Kitabullah, saya merujuk pada Sunnah Nabi, dan apabila saya tidak menemukan jawaban hukum dalam Kitabullah maupun Sunnah Nabi saw. maka saya akan mengambil pendapat para sahabat Nabi, dan tidak beralih pada fatwa selain mereka. Apabila masalahnya sampai pada Ibrahim, Sya’bi, Hasan Ibnu Sirin, Atha’ dan Said bin Musayyib (semuanya adalah tabi’ien), maka saya berhak pula untuk berijtihad sebagaimana mereka berijtihad[13]”. Yang membedakan dengan imam-imam yang lain adalah penetapan metode ijtihadnya versi qiyas, ‘urf, istihsan, dan kemaslahatan lainnya yang dominan menekankan kepada tujuan-tujuan moral dan disandingkan dengan perilaku masyarakatnya. Hal ini juga adalah kelebihan ulama-ulama kufah pada umumnya. Imam Abu Hanifah meninggal dengan Syahid pada tahun 150 H[14].
B) Imam Malik
Nama lengkapnya adalah Malik bin Anas Abi Amir al Ashbahi, dengan julukan Abu Abdillah. Ia lahir pada tahun 93 H, Ia menyusun kitab Al Muwaththa', dan dalam penyusunannya ia menghabiskan waktu 40 tahun, selama waktu itu, ia menunjukan kepada 70 ahli fiqh Madinah. Dari beberapa isyarat yang ada dalam fatwa-fatwanya dan bukunya Al-Muwattha’, fuqaha Malikiyah merumuskan dasar-dasar mazhab Maliki. Sebagian fuqaha Malikiyah menyebutkan bahwa dasar-dasar mazhab Maliki ada dua puluh macam, yaitu : Nash literatur Al-Qur’an, mafhumul mukhalafah, mafhumul muwafaqah, tambih alal ‘illah (pencarian kuasa hukum), demikian juga dalam sunnah, ijma’ qiyas, tradisi orang-orang Madinah, qaul sahabat, istihsan, istishab, sadd al dara-i’, mura’at al khilaf, maslahah mursalah dan syar’u man qablana[15]. Al-Qurafi dalam bukunya Tanqih Al-Ushul, menyebutkan dasar-dasar mazhab maliki sebagai berikut : Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, perbuatan orang-orang Madinah, qiyas, qaul sahabat, maslahah mursalah, ‘urf, sadd ad-dara’i, istihsan dan istihsab. Bahkan Syatibi, seorang ahli hukum mazhab Maliki, menyederhanakan dasar-dasar mazhab Maliki itu ke dalam empat hal, yaitu Al-Qur’an, Sunnah, ijma’, dan ra’yi (rasio)[16] .
C) Imam Syafi’i
Ia bernama Abu Abdullah, Muhammad ibnu Idris bin Abbas bin Usman bin Syafi’i bin Saaib bin ‘Abiid bin Abdu Yazid bin Hasim bin Muthalib bin Abdu Manaf, yang merupakan kakek dari kakek Nabi. Beliau dikenal sebagai pengembara intelektual, maka semua keputusan-keputusan fiqhiyyahnya bergantung pada keadaan zaman dan kondisi sosial masyarakat. Hal in terbukti dengan terbentuknya qoul qodim dan qoul jadid li imam as-Syafi’i. Qoul qodim adalah penetapan madzhabnya selama di Iraq yang menimbulkan kontroversi dengan para ahli fiqih rasional di era khalifah Al-Amin. Sedangkan qoul jadid adalah ketetapan madzhabnya setelah pindah ke Mesir, dengan banyak mengoreksi pendapat-pendapat awalnya. Hal ini tertera pada kitab al-umm yang ditulisnya juga pada kitab ar-risalah yang mengalami revisi selama di Mesir[17].
Bagi Imam Syafi’i Al-Qur’an dan Sunnah berada dalam satu tingkat, dan bahkan merupakan satu kesatuan sumber syari’at Islam. Sementara  teori-teori istidlal seperti qiyas, istihsan, istishab, dan lain-lain hanyalah merupakan suatu metode merumuskan dan menyimpulkan hukum-hukum dari sumber utamanya tadi[18].
D) Imam Ahmad bin Hanbal
Nama lengkap imam besar ini adalah Ahmad bin Hambal bin Hilal bin Usd bin Idris bin Abdullah bin Hayyan ibn Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban. Ia terlahir di Baghdad Irak pada tahun 164 H/780 M. Imam Ahmad bin Hambal berguru kepada banyak ulama, jumlahnya lebih dari dua ratus delapan puluh yang tersebar di berbagai negeri, seperti di Makkah, Kufah, Bashrah, Baghdad, Yaman dan negeri lainnya.
Dasar-dasar mazhab Hambali ada 10 yaitu : Nushus, yang terdiri dari nash Al-Qur’an, Sunnah dan nash ijma’, fatwa-fatwa sahabat, apabila terjadi perbedaan, Imam Ahmad memilih yang paling dekat dengan al-Qur’an dan Sunnah; dan apabila tidak jelas, dia hanya menceritakan ikhtilaf itu dan tidak menentukan sikapnya secara khusus, hadits-hadits mursal dan dhaif,  qiyas,  istihsan, saddu dzara-i’, istishab, ibthal al ja’l, maslahah mursalah[19]. Imam Ahmad bin Hambal lebih mempersempit penggunaan rasio dalam istidlal.
D.   Periode Taqlid
Era ini berawal dari pertengahan abad ke Empat Hijriah, dimana muslimin mulai banyak disibukan dengan urusan-urusan politik. Semangat Ijtihad mulai melemah pada masa ini dengan sebab-sebab berikut :
1)    Terbaginya daulah Islamiyah ke beberapa sektor, masyarakat terlalu disibukkan dengan perang, perdebatan kekuasaan antar daulah, sehingga miliu fiqih dan Ijtihad mulai turun. Serta dorongan para penguasa kepada para hakim (qadi) untuk menyelesaikan perkara di pengadilan dengan merujuk pada salah satu mazhab fiqh yang disetujui khalifah saja. 
2)    Munculnya sikap at-taassub al-mazhabi yang berakibat pada sikap kejumudan (kebekuan berpikir) dan taqlid (mengikuti pendapat imam tanpa analisis) di kalangan murid imam mazhab. 
3)    Munculnya gerakan pembukuan pendapat masing-masing mazhab yang memudahkan orang untuk memilih pendapat mazhabnya dan menjadikan buku itu sebagai rujukan bagi masing-masing mazhab, sehinga aktivitas ijtihad terhenti.
4)    Timbulnya kemunduran akhlaq antar satu alim dengan alim yang lainnya, dimana tidak ada lagi semangat saling berbagi pengetahuan, bahkan terkesan saling ingin mengungguli di antara ulama-ulama tersebut[20].
Pada era ini kemudian terbagilah ulama mujtahid kepada level-level tertentu[21] :
              I.        Mujtahid Madzhab, Muthlaq Ghoiru Mustaqil
            II.        Mujtahid Muqoyyad
           III.        Mujtahid Takhrij
          IV.        Mujtahid Tarjih
            V.        Mujtahid Fatwa
          VI.        Muqollid

E.    Periode bangkitnya Aktivitas Tasyri’
Bagi sejumlah ulama, periode ini dinilai sebagai menurunnya nilai-nilai miliu fiqhiyyah, namun justru dengan berlandaskan padas pembagian level-level mujtahid di atas, Dr. Abdul Wahhab Kholaf justru memandang masa inilah kembali bangkit aktivitas tasyri’, dimana kemudian khalifah mulai perduli pada sektor ini. Ciri-ciri yang paling menonjol pada era ini adalah :
1.    Munculnya pembukuan terhadap berbagai fatwa
2.    Muncul berbagai produk fiqih sesuai dengan rekomendasi pemerintah. Hal ini terjadi pada era turki usmani, dimana ulil amri mempunyai hak penuh atas penetapan hukum-hukum yang berkaitan pada Fiqih[22]. Pada tahun 1293 Hijriah dikeluarkan majallat al ahkam al adliyah atau kitab hukum perdata yang didalamnya memuat undang-undang akad merujuk kepada Ibnu Syabarma. Di Mesir juga demikian, dibentuk undang-undang perdata terkait pernikahan sesuai dengan rekomendasi pemerintah yang merujuk pada fiqih madzhab Hanafi. Namun akhirnya, memasuki tahun 1300 Hijriah, ulama mesir berpendapat untuk menetapkan undang-undang dengan mengambil pendapat paling rajih dari para madzhab.
Sedikitnya dengan dua karakter pada era ini, fiqih telah dinilai kembali bangkit. Bahkan hingga saat ini, disiplin ilmu fiqih tak lepas dari metode komparativ sehingga diharapkan tidak ada jenis taqlid yang tanpa landasan ataupun tanpa pemahaman. Wallahu a’lam.
3.   Sebab-sebab terjadinya perbedaan Ijtihad dan munculnya madzahib
Secara garis besar, berikut adalah alasan terjadinya ikhtilaf ulama dalam penentuan suatu hukum :
a)    Kebanyakan dari ayat-ayat hukum yang tertera dalam Qur’an dan sunnah sifatnya adalah presumtif dan bukan deterministic. Hal ini yang membuat Ijtihad tiap kepala bebeda.
b)    Pada era sahabat, ikhtilaf terjadi juga karena hadist belum dibukukan, sehingga ada yang mengetahui tentang hadist tertentu dan menjadikannya landasan hukum, sementara di daerah lain ada yang belum tahu hadist tertentu dan menggunakan ijtihad sebagai landasan penetapan hukum.
c)    Perbedaan karakter komunitas, iklim, letak geografis juga sangat berpengaruh pada pengambilan hukum. Letak geografis mempengaruhi kuantitas informasi yang masuk dari jenis hadist dan fatwa sahabat. Itulah kenapa, Ulama Iraq lebih banyak menggunakan metode ra’y (opini/akal) dalam interpretasi nusus dan penetapan hukum dengan metode penemuan ‘illah. Sementara ulama di Hijaz telah banyak perbendaharaan Hadist dan Fatwa sahabat yang mereka dapat, sehingga hanya cukup bersandar kepada itu atau sedikit melakukan analogi.
d)    Berbedanya dasar-dasar prinsip linguistik dalam bahasa arab mempengaruhi metode tafsir ayat-ayat hukum.

4.   Urgensi Bermadzhab
Melalui perspektif sejarah, setidaknya ada sejumlah poin tentang pentingnya bermadzhab, sekalipun mungkin tidak ada dalam nusus tentang perintah bermadzhab secara gamblang. Namun logika menarik kesimpulan dari perjalan fiqih dengan fase-fasenya sebagai berikut :

a)    Terbaginya level-level ulama Mujtahid sejak periode taqlid, tidak menempatkan seorang ulama pun setelahnya pada kualitas sekaliber ulama-ulama madzhab.
b)    Dikotomi ilmu pada masa saat ini, memposisikan konstentrasi ulama hanya berkutat pada bidang-bidang disipilin ilmu tertentu. Sementara syarat menjadi mujtahid adalah penguasaan atas seluruh disiplin ilmu agama.
c)    Mengikuti ke empat imam madzhab dengan mempelajarinya terlebih dahulu sehingga faham, secara tidak langsung telah mengikuti madzhab sahabat dan tabi’in, karena mereka mempunyai jalur belajar langsung kepada orang-orang tersebut[23].

5.   Kesimpulan dan Penutup
Melalui semua pembahasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa dalam kacamata sejarah, fiqih telah mengalami evolusi. Bukan berarti originalitasnya hilang, namun lebih kepada tahapan-tahapan perbaikan. Metode Ijtihad timbul pasca wafatnya nabi dan bertahap terbuka melalui sejumlah periode. Tersebarnya islam ke penjuru dunia menjadi faktor utama terjadinya ikhtilaf ulama dalam berijtihad. Pengklasifikasian level-level mujtahid menjadikan kita di era saat ini pada posisi mengikuti imam-imam madzhab dengan faham yang mendalam tentunya.
Imam Ibnul-Qayyim meriwayatkan bahwa pada suatu ketika, Muhammad bin Ubaidillah bin Munadi telah mendengar seorang lelaki bertanya kepada guru beliau, imam Ahmad bin Hanbal : “apabila seseorang menghafal seratus ribu hadist apakah dia bisa dibilang sebagai orang yang faqih?” Imam Ahmad menjawab “tidak”. Dia ditanya lagi, kalau hafal dua ratus ribu hadist?” beliau menjawab “tidak” orang itu kemudian bertanya lagi “jika dia hafal tiga ratus ribu?” tidak, jawabnya. Ditanya lagi “kalau 400.000 hadits? Lalu imam Ahmad mengisyaratkan dengan tangan beliau, “lebih kurang begitulah[24]”. Riwayat di atas dapat memberi gambaran bahwa hanya dengan mempelajari sejumlah hadist saja belum cukup untuk melayakkan diri mengeluarkan hukum dengan sewenang-wenang kita. Belum lagi dengan disiplin ilmu agama yang lain. wallahu a’lam.

Bibliografi
Khollaaf, abdul wahhab. خلاصة تاريخ التشريع الإسلامي. Darul qolam.kuwait. 2003
Al-‘Arusy, Taj Abdur Rahman, Muhammad. الفقه الإسلامي في ميزان التاريخ. 2003
Gomah, Ali, Dr. المدخل إلى دراسة المذاهب الفقهية. Darussalam. Cairo. 2009
Bin Ibrahim, Mohammad. الاجتحاد و العرف. Darussalam. Cairo. 2009
As-Syafi’I, bin Idris, Mohammad. تحقيق tsabit, kamal. الرسالة. Darul atsar. 2007
Jauziyah, ibnul Qayyim.إعلام الموقعين عن رب العالمين. Darul Qolam. 2005









           







         



           
           




      





[1] Al-‘Arusy, Taj Abdur Rahman, Muhammad. الفقه الإسلامي في ميزان التاريخ. 2003. Hal.8 
[2] Al-‘Arusy, Taj Abdur Rahman, Muhammad. الفقه الإسلامي في ميزان التاريخ. 2003.hal 12
[3] Ibid 13
[4] ibid
[5] Bin Ibrahim, Mohammad. الاجتحاد و العرف. Darussalam. Cairo. 2009. Hal
[6] Al-‘Arusy, Taj Abdur Rahman, Muhammad. الفقه الإسلامي في ميزان التاريخ. 2003. Hal.39
[7] Khollaaf, abdul wahhab. خلاصة تاريخ التشريع الإسلامي. Darul qolam.kuwait. 2003. Hal 8
[8] http://muhamadqbl.blogspot.com/2010/11/sejarah-empat-mazhab-fiqih.html
[9] Khollaaf, abdul wahhab. خلاصة تاريخ التشريع الإسلامي. Darul qolam.kuwait. 2003. Hal 13
[10] Khollaaf, abdul wahhab. خلاصة تاريخ التشريع الإسلامي. Darul qolam.kuwait. 2003. Hal 48
[11] Ibid.
[14] Ibid
[15] Gomah, Ali, Dr. المدخل إلى دراسة المذاهب الفقهية. Darussalam. Cairo. 2009. Hal 141
[16] Ibid
[17] Gomah, Ali, Dr. المدخل إلى دراسة المذاهب الفقهية. Darussalam. Cairo. 2009. Hal 21
[18] Gomah, Ali, Dr. المدخل إلى دراسة المذاهب الفقهية. Darussalam. Cairo. 2009. Hal 23
[20] Khollaaf, abdul wahhab. خلاصة تاريخ التشريع الإسلامي. Darul qolam.kuwait. 2003. Hal 99
[21] Ibid 106
[22] http://muhamadqbl.blogspot.com/2010/11/sejarah-empat-mazhab-fiqih.html
[23] http://majalah.hidayatullah.com/?p=1561
[24] Jauziyah, ibnul Qayyim.إعلام الموقعين عن رب العالمين. Darul Qolam. 2005. Juz II

No comments:

Post a Comment